BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum.
1
Negara hukum yang
dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.2 Dalam sejarah ketatanegaraan kita, cita-cita bangsa Indonesia sebagai negara hukum juga telah dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), bahwa, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat)”.3 Untuk mewujudkan hukum sebagai sebuah cita-cita bangsa, dibutuhkan suatu organisasi negara yang cukup komplek. Negara dituntut untuk campur tangan dalam perwujudan hukum yang abstrak dengan mengadakan berbagai macam lembaga untuk keperluan tersebut. Dalam
1
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat), Sekertaris Jenderal MPR RI, Jakarta, hlm. 46. 3 Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara romawi I angka 1. 2
2
kaitan itu negara membentuk lembaga-lembaga penegak hukum, diantaranya adalah lembaga Kejaksaan Republik Indonesia (Kejaksaan). 4 Kejaksaan sebagai komponen dari salah satu elemen sistem hukum, mempunyai posisi sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum.5 Kejaksaan
adalah
lembaga
pemerintahan
yang
melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
6
Tugas dan wewenang Kejaksaan, secara normatif
ditegaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) yang berbunyi: (1) Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
4
Lihat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401). 5 Marwan Effendy, 2010, Kejaksaan dan Penegakan Hukum, Timpani Publishing, Jakarta, hlm. 28. 6 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401).
3
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengamanan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Selain tugas dan wewenang yang telah disebutkan tersebut, Kejaksaan juga dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.7 Berdasarkan peraturan tersebut, dapat dilihat bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dalam dua bidang, yaitu non yudisial dan yudisial. Tugas non yudisial misalnya mengawasi aliran kepercayaan, media massa dan buku cetakan apakah isinya bersinggungan dengan SARA, mengawasi generasi muda, organisasi sosial keagamaan, dan lain-lain. Tugas yudisial dimaksudkan sebagai upaya penegakan hukum dan keadilan. Dalam bidang ini Jaksa bertugas sebagai penuntut umum dalam peradilan pidana (criminal justice system) dan pelaksana putusan Hakim. Selain itu masih ada tugas tambahan Jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi serta tugas lain dalam bidang perdata dan tata usaha negara.8 Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang perdata bukanlah hal yang baru karena dasar hukum dan pelaksanaannya telah ada sejak zaman
7
Dalam Pasal 32 UU Kejaksaan ditulis: Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang. 8 Lihat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 17.
4
perundang-undangan Hindia Belanda yang diatur dalam Staatsblaad 1922 Nomor 522 (S. 1922-522) dan berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar yaitu dalam BW, Ordonansi Catatan Sipil dan Ordonansi Kepailitan. Dalam Koninklijk Besluit (KB/putusan raja) yang dimuat dalam Staatsblaad 1922 Nomor 522 berjudul “Vertegenwoordiging van den Lande in Rechten” (Mewakili Negara dalam Hukum) disebutkan bahwa, “dalam sengketasengketa yang diadili menurut acara sipil (perdata), pihak yang bertindak untuk pemerintah Indonesia sebagai wakil negara dalam tingkat pertama adalah Opsir Yustisi atau Jaksa atau pegawai yang menjalankan tugas Jaksa”.9 Dewasa ini materi mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang perdata seperti yang telah tercantum sebelumnya, dimuat dalam Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan yang berbunyi, “Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”.10 Ketentuan lain juga dapat kita lihat dalam Pasal 35 huruf d UU Kejaksaan mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung untuk mengajukan kasasi demi
9
JAM DATUN, 1997, Himpunan Informasi dan Petunjuk JAM DATUN Tahun 1997 Buku X, Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 207. 10 Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan.
5
kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.11 Ketentuan hukum tersebut menunjukkan bahwa Jaksa baik dimuka Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung bahkan diluar pengadilan dengan kuasa khusus dapat mewakili pemerintah atau negara sebagai pihak penggugat maupun tergugat dan berperan sebagai kuasa hukum pemerintah termasuk di dalamnya badan usaha milik pemerintah. Dalam hal ini Jaksa berperan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN). 12 Jaksa diberi wewenang sebagai JPN, apabila negara menjadi pihak dalam gugatan perdata dan jika seorang warga atau badan hukum meminta Hakim Tata Usaha
11
Dalam Pasal 35 huruf d UU Kejaksaan ditulis: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara. 12 Sebutan Jaksa Pengacara Negara (JPN) tidak secara tegas dan jelas tercantum dalam UU Kejaksaan, Perpres 38 th 2010 dan peraturan sebelumnya, yaitu UU 5/1991, serta Keppres 55/1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI. Namun, sebutan Jaksa Pengacara Negara telah diatur berdasarkan KEPJA Nomor: KEP-039/J.A/5/1993 tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara DATUN dan Surat Edaran JAM DATUN Nomor: B039/G/4/1993 tentang sebutan Jaksa Pengacara Negara bagi Jaksa yang melaksanakan tugas DATUN. Makna “kuasa khusus” dalam bidang keperdataan dengan sendirinya identik dengan tugas “Pengacara”. Selain itu, istilah Pengacara Negara dapat diartikan sebagai terjemahan dari Lands Advocaten versi Staatblad 1922 Nomor 522 yang telah dikenal secara luas oleh masyarakat dan pemerintah. Menurut beberapa pihak, dewasa ini istilah Jaksa Pengacara Negara sudah tidak relevan lagi. Hal tersebut berkaitan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288), yang menyatakan bahwa baik pengacara, advokat, penasihat hukum, dan konsultan hukum, semuanya disebut sebagai Advokat (lihat Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Advokat).
6
Negara untuk menguji apakah tindakan administratif terhadap dirinya yang diambil oleh pejabat pemerintah itu berlaku atau sah menurut hukum.13 Kewenangan Kejaksaan di bidang perdata saat ini dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN) sebagai institusi dalam lingkungan organisasi Kejaksaan Agung dan juga sebagai salah satu institusi pembantu Jaksa Agung.14 Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, posisi JAM DATUN beserta tugas dan wewenangnya sendiri telah diatur secara tegas dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia15 serta secara lebih khusus dalam Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS-001/G/9/1994 tentang Tata Laksana
13
RM. Surachman dan Andi Hamzah, 1995, Jaksa di Berbagai Negara; Peranan dan Kedudukannya , Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42. 14 Pengaturan tentang JAM DATUN pertama kali ditetapkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Aturan tersebut kemudian diperinci dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : Kep-035/J.A/3/1992 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang kemudian dirubah dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : Kep-115/J.A./10/1999 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 15 Dalam Pasal 5 huruf g Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Organisasi Kejaksaan Agung terdiri dari salah satunya Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Pernyataan tersebut dapat kita temui kembali dalam Pasal 7 butir 7 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per - 009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
7
Penegakan Hukum, Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS002/G/9/1994 tentang Tata Laksana Bantuan Hukum, dan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS-003/G/9/1994 tentang Tata Laksana Pelayanan Hukum, Pertimbangan Hukum dan Tindakan Hukum Lain yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Perja040/A/JA/12/2010 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Wewenang Datun (Perdata dan Tata Usaha Negara) yang meliputi pemberian Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Pelayanan Hukum, Penegakan Hukum dan Tindakan Hukum Lain. Pelaksanaan tugas JAM DATUN pada wilayah hukum Kejaksaan Tinggi dilaksanakan oleh Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara,16 sedangkan pada wilayah hukum Kejaksaan Negeri dilaksanakan oleh Kepala Seksi Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.17 Penulisan Hukum ini berfokus untuk menganalisis dan menjelaskan mengenai pelaksanaan kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata di Kejaksaan Negeri Sleman. Pelaksanaan salah satu kewenangan Kejaksaan tersebut dinilai masih belum maksimal. Hal tersebut terindikasi dari belum banyaknya kasus perdata yang ditangani oleh Kejaksaan yang disorot oleh media atau dipublikasikan oleh instansi Kejaksaan sendiri. Hal
16
Lihat Pasal 553 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per 009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia 17 Lihat Pasal 611 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per 009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
8
tersebut ditambah dengan belum familiarnya berbagai kalangan baik dari Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, BUMN atau BUMD, praktisi hukum, akademisi, mahasiswa maupun masyarakat dengan kewenangan Kejaksaan di bidang perdata membuat kewenangan Kejaksaan ini seakan terlupakan. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan Penulisan Hukum dalam rangka penyusunan penulisan hukum dengan memilih judul, “Kewenangan Kejaksaan Dalam Menangani Perkara Perdata (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Sleman)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka masalah-masalah dalam Penulisan Hukum ini akan dikelompokkan dalam tiga permasalahan dan dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pelaksanaan kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata di Kejaksaan Negeri Sleman?
2.
Bagaimana cara penyelesaian perkara perdata yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sleman?
3.
Apa saja kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan Negeri Sleman dalam pelaksanaan kewenangannya di bidang perdata?
9
C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai penulis dalam Penulisan Hukum ini adalah: 1.
Tujuan Subyektif Penulisan Hukum ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaikan proses belajar pada tingkatan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
2.
Tujuan Obyektif: a.
Untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata di Kejaksaan Negeri Sleman;
b.
Untuk mengetahui cara penyelesaian perkara perdata yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Sleman;
c.
Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan Negeri Sleman dalam pelaksanaan kewewenangannya di bidang perdata.
D. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran penulis di media cetak, elektronik, internet, dan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sleman, penulis tidak menemukan Penulisan Hukum mengenai Kewenangan Kejaksaan Dalam Menangani Perkara Perdata, baik yang melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Sleman maupun Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi
10
lainnya. Namun, sebagai perbandingan penulis menemukan satu penelitian di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang sekiranya berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu: 1. Kunthoro Basuki, 2000, Tindakan Hukum Kejaksaan dalam Usaha Melindungi
Kepentingan
Negara
Dan
Hak-Hak
Keperdataan
Masyarakat, Penelitian Dosen. Penelitian dalam bentuk jurnal yang terdapat pada Jurnal Mimbar Hukum ini pada intinya membahas mengenai tindakan hukum yang dapat diambil oleh Kejaksaan bilamana terjadi pelanggaran terhadap hak-hak keperdataan masyarakat. Adapun Permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah: 1.) Tindakan hukum apa yang dilakukan Kejaksaan terhadap pelanggaran hak keperdataan, sebagai akibat perbuatan pidana yang merugikan kepentingan Negara dan pelanggaran hak-hak keperdataan masyarakat?, dan 2.) Apakah yang menjadi faktor penghambat dilakukannya tindakan hukum oleh Kejaksaan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut? Kesimpulan yang terdapat pada penelitian tersebut adalah: 1.) Dari 23 fungsi Kejaksaan yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dibatasi oleh Jaksa Agung dalam instruksinya No. INS-001/G/9/1994 tanggal 1 September 1994 yang antara lain menetapkan bahwa dalam penegakan hukum, Kejaksaan karena jabatannya dapat melakukan tindakan hukum dalam 11 fungsi.
11
Dalam penelitian diperoleh data bahwa beberapa hak-hak keperdataan masyarakat yang dilanggar belum dilakukan tindakan hukum, peluang yang ada, karena kasusnya sudah ditangani Kejaksaan dalam tindak pidana pemalsuan surat keterangan atau KTP dalam perkawinan, tetapi tidak ada tindakan lebih lanjut untuk mohon pembatalan atau dalam surat dakwaan tidak diajukan tuntutan tambahan agar Hakim memerintahkan Pegawai Pencatat Perkawinan/Nikah untuk mencoret telah terjadinya perkawinan dalam daftar perkawinan yang sedang berjalan. Dalam usaha melindungi kepentingan Negaara, data yang diperoleh hanya dalam kasus tindak pidana korupsi, yaitu ada 14 putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari sejumlah itu, yang memuat adanya hukuman tambahan pembayaran uang pengganti ada 11 putusan, yang terinci: 7 putusan belum dilakukan usaha penyelesaian, 4 putusan tidak dapat diselesaikan karena terpidana mengajukan surat keterangan miskin, dan 1 putusan telah dibayar lunas (dengan penyelesaian di luar pengadilan), serta 1 putusan diselesaikan di luar pengadilan tetapi masih ada sisa yang belum terbayar. 2.) Faktor-faktor yangyang menghambat dilakukannya tindakan hukum oleh Kejaksaan adalah: a. Tidak adanya pengaduan atau laporan dari masyarakat dan dari instansi lain
12
b. Kurang dikenal dan dipahaminya oleh masyarakat dan instansi lain, bahwa Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan keperdataan c. Pemahaman sebagian pejabat Kejaksaan Negeri bahwa dalam kasus perkawinan kewenangannya hanya terbatas dalam kasus pidananya saja, dan perkawinan sudah batal demi hukum dengan putusan pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap d. Terpidana benar-benar tidak mempunya harta atau telah jatuh miskin, sehingga tidak ada harta yang dapat digunakan atau disita untuk memenuhi kewajiban membayar pidana tambahan sejumlah uang pengganti e. Tidak adanya ketentuan yang tegas dalam peraturan perundanundangan yang memberi petunjuk atau perintah agar Kejaksaan bertindak lebih proaktif untuk melindungi hak-hak keperdataan masyarakat dan kepentingan negara. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak Kejaksaan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut di atas, yaitu: a. Sosialisasi bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan keperdataan atau mempunyai fungsi DATUN; dan b. Meningkatkan sarana dan prasarana di instansi Kejaksaan, seperti, peralatan, transportasi, koordinasi antar jajaran intern Kejaksaan, dan personil. Khusus untuk personil SDM-nya secara terus-menerus
13
diusahakan untuk ditingkatkan sesuai dengan prinsip bekerja sambil belajar. Selain penelitian tersebut, penulis juga menemukan beberapa penelitian lain yang telah dilaksanakan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang penulis akses melalui website http://lib.law.ugm.ac.id/ yang sekiranya juga berkaitan dengan penelitian ini, antara lain: 1. Achmad Lopa, 2009, Peranan Jaksa Agung Muda Dan Tata Usaha Negara (Jamdatum) Dalam Upaya Penegakkan Hukum Sengketa Perdata Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti, Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Rahayu Dewi Andyani, 1998, Pelaksanaan Penegakan Hukum Oleh Jaksa Dalam Perkara Perdata, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 3. Syamsiah Kadir, 2003, Keberadaan Jaksa Agung Muda Perdata Dan Tata Usaha Negara Dalam Upaya Menyelamatkan Kekayaan Negara, Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Namun dari ketiga judul tersebut diatas, penulis tidak dapat mengakses rumusan dan kesimpulannya dikarenakan tidak tersedianya data yang lengkap pada Website Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada serta file aslinya sudah tidak ditemukan lagi di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
14
Dengan demikian, maka belum ada penulisan hukum mengenai Kewenangan Kejaksaan Dalam Menangani Perkara Perdata (studi kasus di Kejaksaan Negeri Sleman), dan penelitian ini dapat berfungsi sebagai pelengkap terhadap penelitan yang telah ada sebelumnya tersebut. Ditambah lagi penelitian-penelitian yang telah penulis sebutkan tersebut dibuat sebelum diterbitkannya Peraturan Jaksa Agung Nomor: Perja-040/A/JA/12/2010 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Wewenang Datun (Perdata dan Tata Usaha Negara) sebagai dasar hukum yang paling baru terhadap pelaksanaan kewenangan Kejaksaan di bidang perdata. Atas dasar tersebut penulis menjamin keaslian Penulisan Hukum ini dan dapat mempertanggungjawabkannya.
E. Kegunaan Penelitian Kegunaan atau manfaat yang penulis harapkan dengan adanya penulisan ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Penulisan Hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan pengayaan materi mengenai apa saja kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata dan bagaimana pelaksanaannya. Penulis juga mengharapkan agar hasil yang didapat dari Penulisan Hukum ini dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
15
memperkaya khasanah ilmu hukum acara, terutama hukum acara perdata, sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian lain.
2. Manfaat Praktis Penulisan Hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada para stakeholder hukum di Indonesia, utamanya instansi Kejaksaan (dalam hal ini Kejaksaan Negeri Sleman) dalam mengevaluasi kinerjanya dalam penanganan perkara perdata. Selain itu, penulis mengharapkan agar masyarakat luas dapat mengetahui apa saja kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata dan bagaimana pelaksanaannya, sehingga instansi pemerintah, lembaga negara, BUMN atau BUMD dan masyarakat dapat memanfaatkan jasa hukum dari Kejaksaan tersebut.
F. Cara Penelitian 1. Sifat Penelitian Dalam penyusunan Penulisan Hukum ini peneliti menggabungkan antara penelitian hukum normatif (jenis penelitian yang dilakukan dengan
16
meneliti data sekunder)
18
dengan penelitian hukum empiris (jenis
penelitian untuk mendapatkan data primer)19, sehingga penelitian ini dapat disebut dengan penelitian hukum normatif-empiris. Penelitian hukum normatif-empiris 20 merupakan penelitian yang memadukan antara data sekunder melalui studi pustaka dengan menelaah buku-buku, laporan penelitian, jurnal, artikel, dan peraturan perundang-undangan sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan dengan melakukan penelitian ke lapangan melalui wawancara dan pengamatan langsung terhadap kondisi lokasi yang diteliti.
2. Bentuk Data Bentuk data yang diperlukan meliputi data sekunder sebagai titik berat dan data primer sebagai penunjang, diantaranya: a. Data Sekunder atau data pustaka, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan berupa bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata, yang terdiri dari:
18
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 13-14. 19 Ibid, hlm. 14. 20 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 52.
17
1)
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat 21 terhadap institusi Kejaksaan dalam tugas dan kewenangannya dalam menangani perkara perdata, yang terdiri dari: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3206); c) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
21
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 52.
18
Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958); d) Undang-Undang Kejaksaan
Nomor
Republik
16
Tahun
Indonesia
2004
tentang
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401); e) Undang-Undang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); f) Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia; g) Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS001/G/9/1994 tentang Tata Laksana Penegakan Hukum; h) Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS002/G/9/1994 tentang Tata Laksana Bantuan Hukum; i) Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: INS003/G/9/1994 tentang Tata Laksana Pelayanan Hukum; j) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per – 009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia; k) Peraturan Jaksa Agung Nomor Perja-040/A/JA/12/2010 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelaksanaan
19
Tugas, Fungsi dan Wewenang Datun (Perdata dan Tata Usaha Negara); l) Serta segala peraturan lainnya yang berkaitan dengan materi penelitian ini. 2)
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer,22 yang terdiri dari: a) Buku-buku mengenai hukum perdata; b) Buku-buku mengenai hukum acara perdata; c) Buku-buku mengenai kewenangan Kejaksaan; d) Artikel-artikel/ Jurnal mengenai hukum perdata; e) Artikel-artikel/ Jurnal mengenai hukum acara perdata; f) Artikel-artikel/ Jurnal mengenai kewenangan Kejaksaan;.
3)
Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,23 yang terdiri dari: a) Kamus Hukum; b) Kamus Inggris-Indonesia; c) Kamus Besar Bahasa Indonesia; d) Ensiklopedia.
22 23
Ibid. Ibid.
20
b. Data Primer atau data lapangan, merupakan data yang diperoleh dari penelitian lapangan, yaitu dengan mengadakan wawancara dengan narasumber dan koresponden dari pejabat di lingkungan Kejaksaan Negeri Sleman yang terkait dengan kewenangannya dalam menangani perkara perdata.
3. Lokasi dan Subyek Penelitian a. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kejaksanaan Negeri Sleman, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun alasan pemilihan instansi tersebut sebagai lokasi penelitian karena Kejaksaan Negeri Sleman mampu memenuhi kebutuhan data yang diperlukan oleh penulis dalam menyusun penulisan hukum ini. Dalam penulisan
hukum yang berjudul Kewenangan Kejaksaan Negeri
Sleman dalam Menangani Perkara Perdata, data yang dibutuhkan penulis antara lain statistik pelaksanaan kewenangan Kejaksaan Negeri Sleman di bidangn Perdata. Selain itu Kejaksaan Negeri Sleman juga dapat menyediakan narasumber yang dapat penulis wawancarai guna menyusun penulisan hukum ini. b. Subyek penelitian Merupakan seseorang, hal atau tempat data variabel penelitian yang melekat dan dipermasalahkan, sehingga subyek merupakan hal yang paling penting dalam proses penelitian. Dalam
21
Penulisan Hukum ini, subyek penelitiannya adalah Kejaksaan Negeri Sleman khususnya terhadap Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara. Untuk lebih memperdalam informasi yang didapat dari data sekunder, penulis melakukan wawancara kepada narasumber yang telah disediakan oleh Kejaksaan Negeri Sleman. Narasumber merupakan seseorang yang dipandang memiliki pengetahuan yang lebih terhadap objek penelitian ini atau yang menjadi sumber informasi (informan) dalam penelitian ini
24
yaitu mengenai
Kewenangan Kejaksaan dalam Menangani Perkara Perdata. Dalam penelitian ini, narasumbernya adalah: 1) Ibu Wiwik Triatmini, S.H. M.Hum, yang merupakan Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Sleman yang diperbantukan pada Seksi Pidana Khusus dan Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara. Ibu Wiwik ini yang ditunjuk oleh Kejaksaan Negeri Sleman menjadi Jaksa Pembimbing penulis selama melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Sleman. 2) Bapak Sarpan, S.H., selaku Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Sleman.
24
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 898.
22
4. Alat dan Cara Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk data yang telah diuraikan sebelumnya, maka pengumpulan data dalam Penulisan Hukum ini dilakukan dengan dua cara, yaitu: a. Cara Pengumpulan Data 1) Penelitian Kepustakaan Alat yang digunakan untuk pengumpulan data pustaka adalah studi dokumen, 25 yaitu mengumpulkan data dengan cara mempelajari, mengkaji dan menelaah bahan hukum yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang berhubungan Penulisan Hukum ini. Pengumpulan bahan tersebut dilakukan dengan cara mencari dan meneliti dokumen-dokumen yang relevan dengan penulisan ini di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Perputaskaan pada Kejaksaan Negeri Sleman, dan dokumen di internet. 2) Penelitian Lapangan Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data lapangan secara langsung kepada subyek penelitian, dengan cara melakukan wawancara langsung dengan narasumber.
25
Maria S. W Sumardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian; Sebuah Panduan Dasar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 36.
23
b. Alat Pengumpul Data Pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara
atau
interview.
26
Dalam
penelitian
ini,
untuk
mengumpulkan data sebagai sumber informasi dan bahan-bahan penelitian digunakan dua jenis alat pengumpul data Dalam hal pengumpulan data primer, penulis menggunakan cara wawancara yang dilakukan langsung kepada subyek penelitian. Wawancara yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab langsung maupun tertulis kepada narasumber dan responden dengan tujuan mendapatkan data akurat, langsung, dan benar. Berdasarkan cara pengumpulan data tersebut diperlukan alat pengumpulan data dengan pedoman wawancara. Pedoman wawancara yang dimaksud adalah daftar pertanyaan yang terstruktur yang berkaitan langsung dengan materi penulisan hukum ini. Adapaun
dalam
pengumpulan
data
sekunder,
penulis
mempergunakan studi dokumen atau studi pustaka (library research). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpul data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan Content Analysis, 27
26
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hlm. 21. 27 Ibid.
24
mengumpulkan data dengan mempelajari kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan objek penelitian. Selain menggunakan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan untuk mendukung Penulisan Hukum ini, dalam penelitian di lapangan, digunakan alat berupa daftar pertanyaan yang disusun berdasarkan permasalahan yang diteliti dan bersifat terbuka, sehingga memungkinkan terdapatnya pertanyaan tambahan yang berkembang dari daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya pada saat wawancara.
5. Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan, maka terdapat 2 (dua) jenis metode analisis, yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. 28 Analisis Kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.29 Analisis kuantitatif berarti penyorotan terhadap masalah serta usaha pemecahannya, yang dilakukan dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada pengukuran yang
28 29
Ibid, hlm. 39. Soerjono Soekanto, Op Cit, hlm. 32.
25
memecahkan obyek penelitian ke dalam unsur-unsur tertentu untuk ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang lingkupnya.30 Dalam Penulisan Hukum ini, penulis menggunakan analisis kualitatif untuk menganilisis data sekunder yang berkaitan dengan aspekaspek yang menyangkut kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata. Data tersebut kemudian akan dilengkapi dengan data primer yang akan diolah dengan metode analisis kualitatif untuk menganalisis langkahlangkah yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan kewenanangan Kejaksaan dalam menangani perkara perdata.
30
Ibid.