BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Ketentuan ini terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.1 Secara yuridis formal, pengaturan Syari’at Islam di Aceh didasarkan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan Syari’at Islam. Hal ini menandakan Syari’at Islam adalah bagian dari kebijakan negara yang diberlakukan di Aceh. Oleh karena itu, dalam konteks pelaksanaannyapun tidak terlepas dari tanggung jawab negara.2 ____________________ 1
UUD 1945 Pasal 18 menyebutkan “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Setelah UUD 1945 diamandemen, klausul tersebut tercantum dalam Pasal 18 B Ayat (1) disebutkan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang”. 2 Syahrizal, dkk, “Konstruksi Implementasi syari’at di Nanggroe Aceh Darussalam” dalam Dimensi Pemikiran Hukum Dalam Implementasi Syari’at Islam di Aceh, Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2007, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan dapat juga diartikan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah dan aparatnya haruslah berdasarkan atas hukum, yaitu memiliki dasar hukum yang sah, berdasarkan wewenang hukum yang diatur secara jelas dan sah pula. Tindakan pemerintah atau aparatnya yang bertentangan atau tidak memiliki dasar hukum dapat dipersoalkan dan dianggap tidak sah sehingga tidak sesuai dengan citra negara hukum.3 Pelaksanaan Syari’at Islam dalam wujud peradilan Syari’at di Aceh mempunyai sejarah yang panjang. Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah membentuk beberapa peraturan daerah/qanun, salah satu diantaranya adalah Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Kedudukan mahkamah syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peradilan nasional adalah peradilan khusus sesuai ketentuan Pasal 3 A UndangUndang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa di lingkungan peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang.4 Secara yuridis kedudukan mahkamah syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peradilan nasional memiliki landasan hukum yang kuat ____________________ 3 Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Nadya Foundation, Lhokseumawe, 2004, hal. 37 – 38. 4 Lihat Pasal 3 A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh menyatakan:5 (1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. (2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar ummat beragama. Bab XVIII Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur tentang Mahkamah Syar’iyah. Pasal 128 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa “Peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh mahkamah syar’iyah yang bebas intervensi dari pihak manapun”. Berdasarkan pasal tersebut maka Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas pelaksanaan Syari’at Islam.6
____________________ 5
Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. 6 Lihat Bab XVIII Pasal 128 s/d 137 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan lebih lanjut tentang tanggung jawab Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam.7 Pasal 5 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian) menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir”. Selanjutnya dalam penjelasan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa qanun tentang larangan maisir (perjudian) ini dimaksudkan sebagai upaya preemtif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah).8 Instruksi Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 04/INSTR/2002 tentang Larangan Judi (Maisir), Buntut, Taruhan, dan Sejenisnya yang Mengandung Unsur-Unsur Perjudian dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tegas
menyebutkan
maisir
(perjudian)
juga
dengan
merupakan pelanggaran terhadap
Syari’at Islam dan norma-norma kehidupan dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.9 ____________________ 7
Lihat Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah
Aceh. 8
Lihat Pasal 5 Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). Lihat Instruksi Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 04/INSTR/2002 tentang Larangan Judi (Maisir), Buntut, Taruhan, dan Sejenisnya yang Mengandung Unsur-Unsur Perjudian dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 9
Universitas Sumatera Utara
Namun dalam kenyataannya, di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe, masih ada masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap jarimah maisir (perjudian). Hal ini berdasarkan hasil penelitian awal
di
Mahkamah
Syar’iyah Lhokseumawe dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 terdapat 5 kasus pelanggaran maisir (perjudian) yang sampai saat ini belum dilaksanakan putusan meskipun telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 22 huruf (i) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 dimana penuntut umum mempunyai kewenangan melaksanakan putusan dan penetapan hakim.10 Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut agar mendapatkan gambaran yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe terhadap pelanggaran jarimah maisir (perjudian). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan maisir (perjudian) dalam Qanun Nomor 13 Tahun 2003. 2. Bagaimanakah pelaksanaan
putusan maisir (perjudian)
di
Mahkamah
Syar’iyah Lhokseumawe. ____________________ 10
Lihat Pasal 22 huruf (i) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-faktor apa yang menjadi hambatan pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe dan bagaimana solusi terhadap hambatan tersebut. C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam usulan penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan maisir (perjudian) dalam Qanun No. 13 Tahun 2003. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe. 3. Untuk
mengetahui
faktor-faktor apa yang menjadi hambatan pelaksanaan
putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe dan bagaimana solusi terhadap hambatan tersebut. D. Manfaat Penelitian Adapun kontribusi penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi yang mendalam terhadap pengembangan ilmu hukum terutama hukum pidana mengenai pelaksanaan putusan mahkamah syar’iyah terhadap pelanggaran jarimah maisir (perjudian) di Aceh. Kontribusi dimaksud berupa penjelasan mengenai kondisi yang terjadi di lapangan maupun kerangka konseptual yang berkaitan dengan permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang positif dalam pelaksanaan syari’at Islam berdasarkan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang jarimah maisir (perjudian). Kontribusi yang dimaksud dapat berupa data maupun pemikiran konseptual mengenai permasalahan yang diteliti yang kiranya dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan baik kepada Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada tataran praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk dapat merealisasikan amanat Qanun Nomor 13 Tahun 2003. E. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik Perpustakaan Pusat maupun yang ada di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Pelaksanaan Putusan Maisir di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas sehingga dapat dikatakan asli. Namun demikian
Muhibuddin
telah
melakukan
penelitian
yang
berkaitan
dengan
Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam Tentang Khalwat Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat). Yang menjadi permasalahannya adalah: 1. Bagaimana kedudukan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem Pemerintahan Daerah.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam tentang khalwat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Hambatan dan upaya apa yang dilakukan dalam pelaksanaan Syari’at Islam tentang khalwat di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Pembahasan mengenai pelaksanaan putusan maisir (perjudian) di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe akan dipakai teori utama yaitu teori Lawrence M. Friedmann, dalam bukunya Legal Culture and Social Development mengenai sistem hukum. Lawrence M. Friedmann berpandangan tentang penegakan hukum bahwa untuk memahami efektif atau tidak berlakunya hukum di dalam masyarakat, harus diperhatikan komponen-komponen sistem hukum sebagai berikut:11 1. Komponen struktural dan sistem hukum mencakup berbagai institusi, bentuk serta proses yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Salah satu lembaga tersebut adalah pengadilan. Dalam hubungan ini, pembicaraan termasuk pula tentang struktur organisasi, landasan bekerjanya hukum, kompetensi dan lain sebagainya.
____________________ 11
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoritis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2008, hal. 410.
Universitas Sumatera Utara
2. Komponen substantif, mencakup keluaran (output) dari sistem hukum, apakah dalam bentuk peraturan, keputusan ataupun doktrin, sepanjang hal tersebut dipergunakan dalam proses bersangkutan. 3. Komponen budaya (budaya hukum) adalah keseluruhan sikap dan nilai-nilai serta tingkah laku yang menentukan bagaimana hukum tersebut berlaku pada masyarakat. Salah satu dari konsekuensi pelaksanaan Syari’at Islam penegakan hukum dilakukan
atas
peraturan
adalah
bahwa
perundang-undangan di bidang Syari’at
dalam kerangka sistem penegakan hukum nasional. Menurut Mahadi,
penegakan hukum (law enforcement) adalah hal menegakkan dan mempertahankan hukum oleh aparat penegak hukum jika terjadi pelanggaran hukum atau diduga hukum akan/mungkin dilanggar.12 Hukum perlu ditegakkan dan dipertahankan karena hukum adalah pedoman perilaku yang disepakati bersama. Salah satu fungsi hukum adalah sarana untuk mengendalikan masyarakat. Tujuan pengendalian adalah untuk menciptakan ketertiban dan ketenangan; artinya menjaga kepentingan umum, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama.13 ____________________ 12
Mahadi, “Peranan Penegakan Hukum Dalam Proses Penegakan Hukum”. Makalah disampaikan dalam Simposium Masalah Penegakan Hukum, BPHN, 6 – 8 Desember 1979, Bali, hal. 90. 13 Soejono Dirdjosisworo, Penegakan Hukum dalam Sistem Pertahanan Sipil, Karya Nusantara, Bandung, 1978, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, penegakan hukum merupakan kewajiban dari seluruh
masyarakat
dan
untuk
itu
pemahaman
tentang
hak
dan
kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat ikut berperan dalam penegakan hukum.14 Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah penegakan hukum dalam dimensi sosial tidak dapat dipisahkan oleh:15 1. Peranan faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum itu; 2. Soal lingkungan proses penegakan hukum yang dikaitkan dengan manusianya secara pribadi; dan 3. Penegakan hukum sebagai suatu lembaga. Negara hukum yang menganut sistem trias politika, lembaga yudikatif adalah ujung tombak penegakan hukum. Tugas hakim adalah memutuskan suatu perkara sesuai dengan tuntutan rumusan hukum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum agar putusan yang diambil dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kedua sistem tersebut, dengan skala prioritas mendahulukan
hukum dalam
____________________ 14 Alvy Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Softmedia, Jakarta, 2009, hal. 7. 15 Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 135.
Universitas Sumatera Utara
pengertian peraturan perundang-undangan, baru kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai penyelarasan sehingga terjadi link atau jalinan kerja sama yang saling mengisi dan memperkuat. Hakim dalam memutuskan perkara, secara kasuistis selalu dihadapkan kepada tiga asas yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan.16 Sudikno mengatakan ketiga asas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan secara seimbang atau proporsional.17 Adapun teori-teori dari eksplanasi terhadap persoalan hukum yang tidak bisa melepaskan diri dari kebersinggungannya dengan konsep hukum adalah: 1. Teori hukum responsif ide atau responsive law dari Nonet & Selznick yang menghendaki agar hukum senantiasa diposisikan sebagai fasilitator yang merespon kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat, dengan karakternya yang menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar prosedural justice, berorientasi pada keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih dari pada itu mengedepankan pada substancial justice. 2. Teori hukum realis atau legal realism (Oliver Wendell Holmes) terkenal dengan
kredonya, “Bahwa kehidupan
pada dasarnya bukan logika,
melainkan pengalaman (“The life of the law has not been logic: it has bee experience”). Dengan konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika ____________________ 16 Sugianto Darmadi, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, CV. Mandar Madju, Bandung, Cet. I, 1988, hal. 63. 17 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 56 – 74.
Universitas Sumatera Utara
tetapi experience, maka hukum tidak dilihat dari bekerjanya hukum. Pemahaman terhadap hukum dalam legal realism tidak hanya terbatas pada teks atau dokumen-dokumen hukum, tetapi melampaui teks dan dokumen hukum tersebut.18 3. Teori sosiological jurisdependence (Roscue Pound) yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi juga melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum (terkenal dengan konsep bahwa law as tool of social engineering).19 4. Hukum alam atau (natural law) yang memberi penjelasan tentang hal-hal meta-juridical. Hukum alam memandang hukum tidak lepas dari nilai-nilai moral yang bersifat transendental. Kebertahanan eksistensi hukum alam dalam konstelasi teori maupun praktik hukum, tetapi juga universal. Potensi hukum alam ini mengakibatkan senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan moral dan etika.20 5. Studi hukum kritis atau critical legal studies (Roberto M. Unger), yang tidak puas terhadap tradisi hukum liberal yang antara lain penuh dengan formalism ____________________ 18
Marwan Mas, “Pengantar Ilmu Hukum”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 129. Rumusan ini menunjukkan adanya kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 122. 20 Ibid 19
Universitas Sumatera Utara
dan objectivism.21 Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Sri Soemantri22 unsur-unsur terpenting dalam negara hukum ada 4 yaitu: 1 Pemerintah
dalam
melaksanakan
tugas
dan
kewajibannya
harus
berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle). Indonesia sebagai negara hukum didasarkan pada cita hukum (recht idee) yang dibangun oleh pejuang dan pendiri republik kerakyatan (demokratik). Citra hukum ini dinyatakan secara singkat dalam konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Ketentuan ini terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan prinsip negara hukum yang utama adalah kekuasaan itu tidak tanpa batas.23 Artinya, kekuasaan harus tunduk kepada hukum. ____________________ 21
Roberto M. Unger, “Gerakan Studi Hukum Kritis”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 1999, hal. XXVI. 22 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 29 – 30. 23 Mochtar Kusumaatmadja, “Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di masa kini dan Masa yang Akan datang”, dalam Jurnal Padjajaran, No. 1 Tahun 1945, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1995, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum, dimana kekuasaan dibatasi dan tunduk kepada hukum. Penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan dapat juga diartikan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah dan aparatnya haruslah berdasarkan atas hukum, yaitu memiliki dasar hukum yang sah berdasarkan kewenangannya.24 Sementara itu Sudargo Gautama25 mengemukakan unsur-unsur dari negara hukum, yakni: 1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi oleh hukum. Individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa; 2. Asas legalitas. Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum; 3. Pengakuan terhadap hak asasi manusia; dan 4. Pemisahan kekuasaan. Agar hak-hak asasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundangundangan melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan. Menurut Bagir Manan26 bahwa pengertian kedaulatan di tangan rakyat ____________________ 24 25
Syahrizal, loc cit., hal. 37 – 38. Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973,
hal.8-10. 26
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990, hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
(demokrasi) telah terkandung makna negara hukum. Ini merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat mewujudkan duet yang integral yang pada akhirnya adanya keseimbangan antara kepentingan penguasa dan kepentingan rakyat dan dapat berjalan secara harmonis.27 Berdasarkan pendapat di atas, dapat dilihat bahwa pemisahan kekuasaan merupakan hal yang sangat mendasar dalam negara hukum. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekuasaan mutlak pada satu lembaga, sehingga dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan itu cenderung disalah gunakan dan oleh karenanya perlu adanya pembatasan kekuasaan.28 Sebagaimana adagium Power tends to corrupt, Absolut power corrupt absolutely, artinya kekuasaan yang mutlak cenderung disalah gunakan secara mutlak. Penyalahgunaan kekuasaan itu dapat dihilangkan, dicegah, atau dibatasi (yang dibatasi
itu
bukanlah
kekuasaan
itu
sendiri
melainkan
peluang
untuk
menyalahgunakan kekuasaan).29 Secara umum Syari’at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan ____________________ 27
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1994, hal. 2. 28 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hal. 61. 29 Indra Perwira, “Penataan Lambaga-Lembaga Negara”, dalam Jurnal Sosial Politik Dialektika, Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis UNPAD, Vol. 2 Nomor 2, 2001, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
terhadap norma-norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani seseorang, juga disertai adanya duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur tentang Syari’at Islam dan pelaksanaannya yaitu dalam Bab XVII Pasal 125 sampai dengan Pasal 127. Pasal 127 menyebutkan bahwa:30 1. Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam. 2. Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. 3. Pemerintah, Pemerintahan Aceh, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota mengalokasikan dana dari sumber daya lainnya untuk pelaksanaan Syari’at Islam. 4. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintahan Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan qanun yang memperhatikan peraturan perundangundangan. Landasan yuridis bagi mahkamah syar’iyah tersebut cukup kuat sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Pasal 3 A yang menyatakan bahwa di lingkungan peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang. Kemudian dalam penjelasan pasal demi pasal angka 2 Pasal 3 A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyatakan bahwa pengadilan khusus ____________________ 30
Lihat Pasal 127 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Universitas Sumatera Utara
dalam lingkungan peradilan Agama adalah pengadilan Syari’at Islam yang diatur dengan undang-undang. Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 Ayat (2) disebutkan bahwa peradilan Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan Agama dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.31 2. Konsepsional Konsep dasar yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya).32 2. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa ____________________ 31
Lihat penjelasan pasal demi pasal, Pasal 3 A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 32 Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 627.
Universitas Sumatera Utara
para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.33 3. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.34 4. Mahkamah syar’iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk dengan qanun serta melaksanakan syiar Islam dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.35 5. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.36 6.
Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qishash-diat, hudud, dan ta’zir.
7. ‘Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah.
____________________ 33
Soedikno Mertokusumo, op. cit., hal. 210. Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, (Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2009), hal. 271. 35 http://www.toodoc.com/pengertian-lembaga-peradilan-word.html. diakses tanggal 13 April 2010. 36 Pasal 1 (21) Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU RI No. 11 Tahun 2006), Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2006, hal. 6. 34
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis tentang Pelaksanaan Putusan Maisir di Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe. Sifat penelitian deskriptif adalah bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.37 Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan yuridis empiris yang didukung data primer dan sekunder. Penelitian yuridis adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan yuridis digunakan dengan pertimbangan bahwa kaidah-kaidah hukum yang berlaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti masyarakat yang diaturnya, kebudayaan yang berkembang, serta hukum dan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lainnya, sedangkan tinjauan empiris dimaksudkan untuk melihat hukum dari kenyataannya.38
____________________ 37
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Penerbit Alumni Bandung, 1994, hal. 89. 38 ibid, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Data Sumber data penelitian yang digunakan adalah: 2.1. Data Primer Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari lapangan yaitu wawancara dengan penyidik 2 (dua) orang, pihak kejaksaan sebanyak 2 (dua) orang, hakim sebanyak 1 (satu) orang, dinas Syari’at Islam sebanyak 2 (dua) orang, hakim pengawas dan pengamat (wasmat) sebanyak 1 (satu) orang, dan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) 1 (satu) orang. 2.2. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.39 a. Bahan hukum primer terdiri dari Al-Qur’an dan Hadist, peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 ____________________ 39
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 14-15.
Universitas Sumatera Utara
tentang Otonomi Khusus, Undang-Undang Nomor 11 Tahun Pemerintahan
Aceh,
Undang-Undang
Nomor
3
2006
tentang
Tahun 2006
tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Kitab
Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir, Peraturan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan ‘Uqubat Cambuk, dan Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah. b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu literatur di mahkamah syar’iyah khususnya tentang pelaksanaan putusan di mahkamah syar’iyah tentang pelanggaran jarimah maisir (perjudian). c. Bahan hukum tersier, yaitu dokumen-dokumen tentang putusan Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe terhadap pelanggaran jarimah maisir (perjudian). 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Polres Kota Lhokseumawe, Kejaksaan Negeri Lhokseumawe,
Mahkamah
Syar’iyah
Lhokseumawe,
Dinas Syari’at Islam
Lhokseumawe, dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Lhokseumawe karena
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan penelitian pendahuluan terdapat 5 (lima) kasus yang belum dilaksanakan putusan hakim terhadap tindak pidana maisir. 4. Teknik Pengumpulan Data Metode yang penulis gunakan untuk mendapatkan data dan informasi tersebut adalah dengan menggunakan metode penelitian. a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur,
peraturan
perundang-undangan,
teori-teori,
pendapat para sarjana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan peradilan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview), baik dengan penyidik, jaksa, pihak dinas syari’at Islam, hakim mahkamah syari’ah, hakim pengawas dan pengamat (wasmat), dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
5. Analisis Data
Universitas Sumatera Utara
Data yang diperoleh melalui suatu teknik wawancara ataupun melalui kajian kepustakaan yang kesemuanya itu bertujuan untuk memperoleh suatu karangan ilmiah yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan kepada siapapun. Oleh karena itu untuk menganalisis suatu data terlebih dahulu ditentukan metode apa yang digunakan agar sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan konprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.40
____________________ 40 Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 93.
Universitas Sumatera Utara