BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Negara
Indonesia berdasarkan negara hukum (rechtstaat)
kekuasaan belaka (machstaat)
tidak berdasarkan atas
hal ini ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945
sebelum
amandemen. Hal ini berarti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjamin hak asasi manusia dan bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja seseorang yang nyata – nyata melawan hukum , melainkan perbuatan yang mungkin akan terjadi perlengkapan negara
dan kepada alat
untuk bertindak menurut hukum.1Hal ini sehubungan dengan agar
tercapainya tujuan pembangunan nasional seperti yang tercantum dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa indonsesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara indonesia adalah negara hukum (rechstaat), suatu pelanggaran terhadap hukum akan diproses oleh lembaga aparatur negara melalui kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sebagaimana mestinya agar pelaku pelanggar hukum tersebut mendapatkan efek jera dari sanksi 1
Evi Hartati,2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, h.1
perbuatannya, baik berupa sanksi denda, dan pidana pejara. Jadi sanksi pidana tersebut diharapkan dapat mengurangi kejahatan. Membicarakan masalah kejahatan, tidak akan ada habis-habisnya, baik dalam kehidupan di masyarakat sehari-hari. di kampung-kampung, di kelompok tukang becak atau sopir taksi, di perkumpulan Rukun Tetangga atau Rukun Warga, maupun sampai yang dimuat di media cetak dan media elektronika. Setiap hari, tiada berita yang tidak memuat atau menayangkan tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kejahatan, baik bentuk kejahatan yang berskala besar seperti korupsi, manipulasi perbankan, maupun bentuk “kejahatan-kejahatan warungan”, seperti pencurian, perampasan di jalan, perampokan, dan sebagainya. Meningkatnya kejahatan, baik kualitas maupun kuantitas, tentu akan meresahkan masyarakat.2 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) semakin penuh dengan penghuni, baik penghuni baru maupun penjahat kambuhan (residivis). Jumlah narapidana di seluruh Indonesia sekarang ini sudah mencapai 84.251 orang, yang setiap tahunnya jumlahnya semakin meningkat, sehingga tidak sepadan dengan tingkat hunian pada seluruh LAPAS di Indonesia, yang hanya mencapai maksimal sekitar 40.000 orang.3 Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis sangat berbeda dengan sistem kepenjaraan. Asas yang dianut sistem pemasyarakatan menempatkan narapidana sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi dan warga Negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Perbedaan
2
3
1.
Kedudukan Rakyat, Harian,Yogyakarta, 16 Agustus 2003, hal 2. Keterangan Menteri Kehakiman (Yusril Ihza Mahendra), Kompas, Harian, Jakarta, 15 Agustus 2003, hal
dua sistem tersebut memberi implikasi perbedaan dalam cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan, di sebabkan pada perbedaan yang dicapai. Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah – masalah kejahatan . Penggunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum pelaku – pelaku kejahatan . pidana penjara ini semakin memegang peranan penting karena diangap telah menggeser pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam.4 Pidana penjara yang merampas kemerdekaan manusia harus diperhatikan, dikatakan perampasan oleh karena si terpidana ditempatkan di dalam rumah penjara yang mengakibatkan terpidana
tidak dapat
bergerak dengan bebas seperti di luar penjara atau lingkungan
masyarakat.5 Apabila hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa proses peradilan belumlah berakhir sampai di sana masih dilanjutkan pelaksanaan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan sistem pemasyarakatan merupakan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara yang merupakan upaya baru dan perlakuan baru terhadap narapidana yang berlandaskan pada asas kemanusiaan . Model pembinaan bagi nara pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi narapidana dalam menjalani kehidupan setelah bebas dari masa hukuman . lembaga pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan narapidana kembali kemasyarakat. Sistem pemenjaraan di dalam LAPAS yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjaraan yang secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang 4
Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
h.42 5
Hermin hadiati Koeswadji, 1995, Perkembangan macam – macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,h.45
tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasisosial agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 2009 menyebutkan bahwa untuk mengatasi kondisi LAPAS yang sebagian besar dalam keadaan over kapasitas maka perlu dilakukan perombakan dalam sistem pemidanaan. Penambahan alternatif pemidanaan lain di samping pidana penjara dapat menjadi titik tolak dalam mengatasi over kapasitas sebagian besar LAPAS di Indonesia. Langkah selanjutnya adalah dengan mengefektifkan pemberian hak-hak narapidana yaitu remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku6. Pemberian remisi diharapkan pula akan lebih memotivasi narapidana untuk selalu berkelakuan baik dalam rangka mempercepat proses reintegrasi sosial dan secara psikologis pembenan remisi dapat membantu menekan tingkat frustasi sehingga dapat mereduksi gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas. Terkait dengan masalah remisi ini, beberapa waktu terakhir ini ramai deberitakan di media massa tentang kebijakan yang diambil oleh Kementerian Hukun dan Hak Asasi Manusia tentang moratorium remisi terhadap terpidana teroris dan korupsi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menunda pemberian pembebasan bersyarat kepada terpidana perkara Pemilihan Deputi Senior Guberaur BI, Paskah Suzetta dan kawan-kawan. Menurut Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kebijakan untuk mengkaji pemberian remisi terhadap terpidana teroris dan korupsi karena menganggap kedua kejahatan itu sebagai
6
Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia, 2009, Ringkasan Hasil Pengkajian Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia. h.10
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga efek jeranya harus ditingkatkan7. Selain itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin sempat melontarkan wacana bahwa hukuman minimal bagi tahanan koruptor adalah lima tahun penjara. Wacana itu keluar akibat hukuman bagi koruptor saat ini yang dapat dibilang sangat ringan, yaitu hanya dalam hitungan bulan penjara. Menurut Denny, hukuman minimal lima tahun itu tujuannya untuk mengirimkan pesan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga hukumannya juga harus mengirimkan pesan kejeraan. Efek jera menurutnya, diberikan agar sesuai dengan keadilan di tengah masyarakat. Terhadap kebijakan moratorium remisi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini mendapat tanggapan beragam. Salah satu pendapat dilontarkan oleh Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada pemerintahan Presiden BJ Habibie, Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan kebijakan tersebut sebagai suatu pelanggaran hukum dan tidak sepatutnya terjadi dalam negara yang menganut asas hukum. Yusril menjelaskan sesuai dengan Undang-Undang Pemasyarakatan serta keputusan turunannya dengan tegas mengatur tentang pemberian remisi kepada koruptor dan teroris.8 Namun kenyataannya di lapangan banyak terjadi pelanggaran dalam pemberian remisi salah satunya kasus Anggodo widjojo,narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi selama 29 bulan dinilai aneh. Emerson yuntho anggota koalisi dari LSM anti korupsi ICW menjelaskan, Anggodo semestinya baru mendapatkan remisi pada 2013. Itu yang kami pertanyakan. Kalau berbicara remisi Anggodo,menurut Undang-Undang di peraturan pemerintah (PP) no.28/2006 syaratnya
7
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/10/30 diakses pada 06 November 2011
8
http://www.poskota.co.id-berita-terkini 2011/11/01 diakses pada 06 November 2011
adalah setelah menjalani 1/3 massa hukuman, yaitu pada 2013, “kata Emerson di kantor kementrian Hukum dan Ham. Emerson menjelaskan setelah tahun 2013 hingga pertengahan tahun 2014, Anggodo mendapatkan remisi selama 29 bulan. Hal ini dinilai aneh oleh koalisi. ” ini aneh kami menghitung dalam 1,5 itu dia sudah dapat 29 bulan, Ini jadi aneh,” kata emerson. Ihwal pembebasan bersyarat Anggodo, Emerson juga melihat adanya permasalahan.jika didasarkan peraturan yang ada,maka Anggodo yang divonis 10 tahun itu baru berhak mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani hukuman 7,5 tahun penjara “ini enggak baru menginjak tahun keempat sudah minta pembebasan bersyarat,kami terus telusuri apakah ini ada indikasi korupsi atau suap dibalik keluarnya pembebasan bersyarat dan remisi itu ”kata Emerson.Dia juga menyayangkan
komitmen direktur Jendral Pemasyarakatan (Dirjen Pas)
Handoyo Sudrajat terkait hal ini. Padahal Handoyo merupakan mantan deputi pengawasan internal dan pengaduan Masyarakat KPK. 9 Dari uraian diatas terlihat adanya pelanggaran dalam pemberian remisi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan uraian di atas sangatlah menarik untuk dikaji mengenai ”Pemberian Remisi Terhadap Narapidana pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali”.
1.2. Rumusan Masalah Dari permasalahan di atas terdapat suatu permasalahan yaitu : 1. Bagaimana Proses Pelaksanaan Pemberian
Remisi Narapidana di Wilayah Kantor
Kementrian Hukum dan HAM Bali?
9
http:// www.tribunnews.com 2014/20/22 diakses pada 28 september 2014
2. Hambatan - hambatan Proses Pemberian Remisi Narapidana Di LAPAS Denpasar Berdasarkan Prosedur Pemberian Remisi Narapidana Di Wilayah Kantor Hukum dan HAM Bali?
1.3. Ruang lingkup masalah Untuk lebih mendapat uraian yang lebih terarah perlu kiranya diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut di atas, maka dalam hal ini penyajiannya dibatasi hanya ditinjau dari sudut yuridis dan kriminologis yang dikaji dalam kurun waktu 3 tahun yaitu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012. Pokok pembahasannya adalah mengenai Bagaimana Proses Pelaksanaan Pemberian Remisi Narapidana pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Bali dan Hambatanhambatan dalam Proses Pemberian Remisi Narapidana.
1.4. Tujuan Penelitian Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah :
a. Tujuan umum.
1. Untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma Science as a Process (Ilmu sebagai Proses). Paradigma ini ilmu akan terus berkembang di bidang proses Pemberian Remisi terhadap Narapidana pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali
b. Tujuan khusus. 1. Untuk mengetahui serta memahami proses
pemberian Remisi pada Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Bali 2.Untuk mengetahui hambatan pemberian remisi pada kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan hukum pada khususnya
2. Manfaat Praktis Untuk dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan karya tulis berupa laporan baik itu pembuatan makalah maupun penelitian hukum lainnya bagi generasi akademi Fakultas Hukum Universitas Udayana pada khususnya, di mana nantiya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan terhadap proses pemberian remisi terhadap narapidana oleh divisi pemasyarakatan pada khususnya.
1.6. Landasan Teoritis dan Hipotesis
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, beradab,dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka negara berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan mencegah terjadinya tindak pidana di masyarakat. Dalam bekerjanya hukum pidana, pemberian pidana atau pemidanaan dalam arti kongkrit yaitu pada terjadinya perkara pidana bukanlah tujuan akhir. Pidana sebenarnya merupakan sarana belaka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Tentang tujuan hukum pidana dapat disimak dari pandangan Sudarto tentang fungsi hukum pidana. Fungsi umum hukum pidana adalah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sementara itu, fungsi khusus hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak merugikannya dengan menggunakan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam dibandingkan dengan saksi yang terdapat dalam bidang hukum lainnya.10 Dalam ilmu hukum pidana, dikenal tiga macam teori tentang tujuan pemidanaan (Eropa Kontinental) yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Pembagian teori pemidanaan yang demikian berbeda dengan teori pemidanaan yang dikenal di dalam sistem hukum Anglo Saxon, yaitu teori retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitas. Berikut teori tujuan pemidanaan yang penyusun gunakan (EropaKontinental), antara lain:
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (retributive/absolute)
10
Sudarto, Hukum Pidana 1, Semarang : Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990, hal.11-12.
Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern.11Menurut teori ini, tujuan penjatuhan pidana itu adalah pembalasan atau pengimbalan kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan atau tindak pidana. Pidana merupakan pidana mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun
yang
menjadi
dasar
pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut. Menurut Johanes Andreaes, mengatakan bahwa tujuan utama dari pidana adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to safety the claims of justice).12 Sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang menguntungkan adalah hal sekunder. Jadi menurutnya bahwa pidana yang dijatuhkan semata-mata untuk mencari keadilan dengan melakukan pembalasan.13 Sementara itu, Karl O. Christiansen mengidentifikasilima ciri pokok dari teori absolut, yakni:14 a. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan. b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat. c. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan. d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku.
11
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 29.
12
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 187.
13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan dalam Pidana, Bandung: Alumni, 1984,
hal. 11 14
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: Grafindo Persada, 2003, hal. 35
e. Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, ,mendidik dan meresosialisasi si pelaku. Teori absolut ini disebut dengan proporsionality, termasuk ke dalam kategori the gravityini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya. 15
2. Teori relatif atau Teori Tujuan Menurut teori ini, penjatuhan pidana bertujuan untuk menjerakan dan mencegah pengulangan tindak pidana baik oleh orang itu sendiri maupun oleh orang-orang lain (prevensi khusus dan prevensi umum).16 Semua orientasi pemidanaan tersebut adalah dalam rangka menciptakan dan mempertahankan tata tertib hukum dalam kehidupan masyarakat. Teori ini memang sangat menekankan pada kemampuan pemidanaan sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime) khususnya bagi terpidana. Oleh karena itu, implikasinya dalam praktik pelaksanaan pidana sering kali bersifat out of controlsehingga sering terjadi kasus-kasus penyiksaan terpidana secara berlebihan oleh aparat dalam rangka menjadikan terpidana jera untuk selanjutnya tidak melakukan kejahatan lagi. Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif ini sebagai berikut:17 a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention). b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.
15
84
16
17
17
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. E. Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986, hal. 185 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal.
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku
saja
(misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana. d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan. e. Pidana melihat kedepan (bersifat prospektif).
3.Teori Gabungan Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si pelaku tindak pidana itu. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam penjelasan umumnya memuat pernyataan bahwa tujuan pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana dan anak pidana untuk menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman tertib dan damai. Tujuan pemidanaan dalam Undang–Undang Pemasyarakatan ini condong pada tujuan pemidanaan menurut teori gabungan.18 Secara tegas undang-undang pemasyarakatan mengatur hak-hak narapidana, salah satunya pemberian remisi yang tentunya diperkuat oleh peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberian remisi. Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN.02.01 Tahun 1999, remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Merujuk pada Keputusan Presiden dan Keputusan
18
Ibid,hal.21
Menteri Hukum dan Perundang-undangan tersebut, remisi dihitung pada saat menjalani masa pidana dan tidak dihitung dengan mengakumulasi masa penahanan. 19
1.7.Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Berdasarkan pemaparan latar belakang dan rumusan masalah di atas , penulis akan menggunakan jenis penelitian hukum empiris . dalam penelitian hukum empiris , hukum dikonsepkan sebagai sutau gejala empiris yang diamati di dalam kehidupan nyata. Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara teori dengan realita, kesenjangan antara
keadaan
teoritis
dengan fakta hukum, dan atau adanya situasi
ketidaktauan yang dikaji untuk pemenuhan sistem akademik . b.
Sifat Penelitian Untuk membahas permasalahan yang terdapat dalam laporan ini digunakan sifat penelitian deskriptif dimana dalam penelitian ini menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu dan menentukan ada tidaknya hubungan gejala yang satu dengan gejala yang lain dalam suatu masyarakat.
c.
Sumber Data Dalam penulisan karya tulis ini sumber data yang digunakan adalah : 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber utama dilapangan.data tersebut
berasal dari observasi
atau pengamatan dan wawancara langsung dengan
informan. Informasi yang diperoleh dari wawancara tersebut di dalamnyatermasuk fakta – fakta, pendapat,dan persepsi, wawancara ini dilakukan terhadap narapidana maupun informasi dari pejabat instansi pembina narapidana yang berkaitan dengan 19
Ibid,hal.22
pemberian remisi serta pihak – pihak yang mengetahui permasalahan tentang remisi yakni divisi pemasyarakatan di Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali. Data yang di peroleh sebagai berikut : a) Data dari ininstansi pemberi remisi yang juga sebagai pembina narapidana dari kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM Bali, berupa data dokumenter mengenai jumlah narapidana dan narapidana yang memperoleh remisi serta tentang sistem kebijakan prosedur pemberian remisi. b) Data dari narapidana, berupa pendapat- pendapat narapidana yang berkaitan dengan kebijakan, prosedur, manfaat pemberian remisi kepada narapidana. 2. Data sekunder, yakni data yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu bahan hukum primer berupa peraturan perundang – undangan melalui studi kepustakaan ini dimaksud untuk mencari teori – teori, konsepsi-konsepsi, pendapat para ahli, baik hukum
maupun disiplin ilmu lainnya sebagai landasan
analisis terhadap pokok
permasalahan yang akan dibahas.
d.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan laporan ini adalah dalam penelitian diadakan pencatatan secara sistematis dari bahan - bahan yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Selain itu pencatatan dilakukan berdasarkan tanya jawab yang dihasilkan melalui wawancara terhadap informan diberikan pertanyaan-pertanyan yang telahdipersiapkan
sebelumnya agar lebih
mempermudah
wawancara. Berdasarkan pertanyaan – pertanyaan
dan memperlancar jalannya
tersebut informan
memberikan
pandangan – pandangan sehingga jawaban tersebut diadakan pencatatan secara sederhana yang selanjutnya diolah dan dianalisis.
e. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah menggunakan teknik non probabilitas sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.20 Sedangkan mengenai bentuk dari non propability sampling yang digunakan adalah purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.21 Artinya penarikan sampel di dasarkan pada pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi criteria dan sifat-sifat tertentu yang merupakan cirri utama populasi. f. Teknik pengolahan dan Analisa Data Berdasarkan data yang telah dikumpulkan baik melalui data kepustakaan maupun data lapangan
dan tanya jawab, maka selanjutnya data – data tersebut
diolah secara
kualiatif.Terhadap data kepustakaan dilakukan pengklasifikasian untuk mempermudah di dalam mendukung penulisan secara menyeluruh .Sedangkan terhadap data yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara dilakukan pencatatan ulang agar data tersebut lebih sistematis
dan mudah dimengerti.selanjutnya
dari semua data tersebut ,baik data
kepustakaan dan data lapangan dilakukan penyajian secara deskriftif – analisis dalam bentuk karya ilmiah.
20
Sugiyono, 2003, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta Bandung, h. 95.
21
Ibid, h. 96.