BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum,1 tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum serta mendasarkan pula pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan sistem hukumnya adalah sistem hukum kontinental sebagai warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Sistem hukum kontinental mengutamakan hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Oleh karena itu, Indonesia berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis. Walaupun demikian, dalam praktiknya, dikenal adanya sistem hukum lain, yaitu hukum agama, hukum adat, dan juga diakuinya yurisprudensi serta kewenangan hakim untuk menemukan hukum. Ada dua hal yang cukup signifikan dalam peraturan perundangundangan, yakni syarat materil dan syarat formil. Kesesuaian dan keharmonisan
substansi
suatu
peraturan
perundang-
undangan serta pemenuhan unsur teknikal dalam penormaannya merupakan
1
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3)
1
lingkup kajian yang sangat terkait erat dengan pemenuhan syarat materil. Sedangkan keabsahan dalam pembentukan suatu peraturan perundangundangan sangat terkait erat dengan pemenuhan syarat formil. Pemenuhan syarat formil atau syarat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dijadikan indikasi adanya penguatan terhadap jamninan terpenuhinya syarat materil. Pembentukan
peraturan
merupakan salah satu syarat
dalam
perundang-undangan
rangka
pembangunan
hukum
nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, yang berwenang negara yang
baku,
dan
membuat mendasarkan
standar yang mengikat
peraturan pada
semua
lembaga
perundang-undangan.
Sebagai
Pancasila
dan
UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum serta harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Untuk
mewujudkan
negara
hukum
tersebut
diperlukan
tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dan sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya. Tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dirintis
sejak saat
tahap perencanaan
sampai
dengan
pengundang-
undangannya. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara
2
penyiapan, dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya. Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui
sesuai
dengan
tuntutan
perkembangan
kebutuhan.
Dalam upaya pembaruan hukum tersebut, penataan kembali susunan hirarkis peraturan perundang-undangan tersebut bersifat niscaya, mengingat susunan hirarkis
peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia dewasa
ini
dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dewasa ini. Di samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata-urut peraturan perundang-undangan, dalam praktiknya selama
32
tahun
belum
berhasil
membangun
susunan
perundang-
undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perundang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam praktiknya, masih banyak
produk
peraturan yang tumpang
tindih
dan
tidak
mengikuti
sistem yang baku, termasuk dalam soal nomenklatur yang digunakan oleh tiap-tiap kementerian dan badan-badan pemerintahan setingkat Menteri.
3
Beberapa kementerian mengeluarkan peraturan di bidangnya dengan menggunakan
sebutan
Keputusan
Menteri,
dan
beberapa
lainnya
menggunakan istilah Peraturan Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dengan Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif biasa tidak dibedakan, kecuali dalam kode nomornya saja, sehingga tidak jelas kedudukan masing-masing sebagai salah satu bentuk peraturan perundangundangan yang bersifat mengatur. Akhir-akhir ini sering terdengar pro-kontra tentang pemberlakuan peraturan daerah Syari‟ah dari 37 kabupaten di Indonesia. Pro-kontra yang muncul sangat beragam sesuai dengan kepentingan masing-masing yang diemban oleh pihak tersebut. Mulai dari „pembenaran‟ tentang hukum Islam, kedudukan hukum Perda, sampai dengan rasa pesimis maupun optimis akan keberhasilan Perda tersebut. Beragam kepentingan dan beragam pola pandang yang berujung pada perdebatan tiada henti dan tidak menyelesaikan masalah. Perda Syari‟ah berangkat dari kebutuhan peningkatan moral suatu daerah. Selama ini di Indonesia memang terbukti bahwa norma agama selalu menjadi pengendali terbaik penyimpangan moral. Dalam artian, setiap orang yang mengerti agama dan menjunjung norma agama akan selalu berusaha menghindarkan
dirinya
dari
sikap-sikap
amoral
maupun
tindakan
penyimpangan lainnya. Kemudian, lembaga eksekutif daerah mengakomodir kepentingan moral itu dalam bentuk sebuah Peraturan Daerah dengan persetujuan lembaga legislatif daerah tersebut.
4
Namun tidak begitu saja Perda Syari‟ah bisa dijalankan sama rata bagi semua orang. Karena dalam kenyataannya ketentuan agama Islam tidak dapat diterima semua pihak, termasuk orang islam itu sendiri. Ketakutan akan „kejamnya‟ hukum Islam selalu mengusik rasa kemanusiaan untuk mencoba mencari kebenaran tentang pantas tidaknya Perda Syari‟ah diberlakukan. Ada berapa unsur permasalahan pokok dan asumsi-asumsi yang menjadi alasannya yaitu pertama, Perda Syari‟ah tidak demokratis dan Cacat Hukum. Kontra Perda Syari‟ah tidak dapat diterima sebagai sebuah bentuk hukum yang konstitusionil karena ternyata tidak semua orang beragama Islam. Bahkan, Sebagian umat Islam tidak setuju hukum Islam diberlakukan. Alasannya, karena Indonesia adalah negara berdasarkan Hukum, bukan berdasarkan Islam. Kedua, Agama Islam tidak boleh dipaksakan, jadi tidak boleh di-Perdakan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana penerapan asas-asas pembentukan peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam pembentukan Perda No 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kabupaten Tanggerang C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui penerapan asas-asas pembentukan peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam pembentukan Perda No 8 Seri E Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kabupaten Tanggerang
5
D. Tinjauan Pustaka 1. Konsepsi Negara Hukum Materiil di Indonesia Aristoteles merumuskan Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara, dan sebagai wujud keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles
ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi
pergaulan antar warga negaranya, maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah
manusia
melainkan
“pikiran yang adil”.
Penguasa
hanyalah
pemegang hukum dan keseimbangan saja. 2 Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan
pada
pada legalitas.
peraturan
Artinya
perundang-undangan
pemerintah
tidak
dapat
atau
berdasarkan
melakukan
tindakan
pemerintahan tanapa dasar kewenangan. Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut : 3
a. Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan. 2
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta, Prenada Media Group, 2003,
hlm.21 3
Ibid, hlm.32
6
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara). d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benarbenar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif. f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :4 • Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; • Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; • Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana ter-akhir; • Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciriciri sebagai berkut : • Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; • Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; • Kebebasan beragama dalam arti positip; • Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; • Asas kekeluargaan dan kerukunan.
4
Philipus M Hadjon dan Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia = Introduction to the Indonesian Administrative Law / Rev.ed, Gadjah Mada University Press, 1994, hlm. 57
7
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi. Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Apabila kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen), kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
2. Hierarkhi Peraturan Perundang-undangan
8
Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang tata urutan perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-undangan menyebutkan bahwa hierarki perundang-undangan
Indonesia
meliputi;
pertama
UUD
1945,
yang
merupakan peraturan negara atau sumber hukum tertinggi dan menjadi sumber bagi
peraturan
perundang-undangan
lainnya.
Kedua,
UU/Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Perpu), kewenangan penyusunan undang-undang berada pada DPR denga persetujuan bersama dengan presiden. Dalam kepentingan yang memaksa presiden bisa mengeluarkan Perpu. Ketiga, Peraturan Pemerintah (PP), yang berhak menetapkan PP adalah presiden. Dalam hal ini presiden melakukan sendiri tanpa persetujuan dari DPR. Keempat adalah Peraturan Presiden, di dalamnya berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Selanjutnya adalah Peraturan Daerah (Perda). Perda ini meliputi Perda provinsi, Perda kabupaten/kota dan peraturan desa atau peraturan yang setingkat. Adapun wewenang untuk menetapkan Perda berada pada kepala daerah atas persetujuan DPRD.5
5
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-prinsip dari implementasi hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.29
9
3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (UU No. 10 Tahun 2004) Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi: a. kejelasan tujuan adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga atau pejabat yang tidak berwenang; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan
peraturan
perundang-undangan
harus
benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dangan jenis peraturan perundang-undangannya; d. dapat dilaksanakan adalah setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah setiap peraturan perundangundangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
10
f. kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundangundangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya; g. keterbukaan adalah dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan
mulai
dari
perencanaan,
persiapan,
penyusunan,
dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan.6 Di samping asas-asas di atas, dalam membentuk peraturan perundangundangan harus diperhatikan mengenai materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Di dalam Pasal 6 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa materi muatan peraturan perundangundangan mengandung asas : 7
6
Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008, hlm. 110. 7
Ibid, hlm.118
11
a. pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat; b. kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan pengayoman HAM serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; c. kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip NKRI; d. kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan; e. kenusantaraan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila; f. bhinneka tunggal ika adalah setiap materi muatan peraturan perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam lingkungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; g. keadilan adalah setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi warga Negara tanpa kecuali; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial; i. ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum; j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan dalam Pasal 6 sebagai berikut: Pasal 6 (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
12
a. pengayoman; b. kemanusiaan; c.
kebangsaan;
d. kekeluargaan; e.
kenusantaraan;
f.
bhinneka tunggal ika;
g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan; keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Peraturan Perundangundangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 6 diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal 6 sebagai berikut: Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
13
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaza khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporcional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Huruf h Yang dimaksud dengan ”asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Huruf i Yang dimaksud dengan ”asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
14
undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Huruf j Yang dimaksud dengan ”asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Pasal 6 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan masalah Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan normatif, dengan menitikberatkan pada pengkajian yang berkaitan dengan asas-asas Pembentukan Peraturan Perundangan Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Selain itu kajian ini dilakukan melalui kegiatan yuridis
2. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian ini adalah penilitian yuridis normatif yang dilakukan dengan mendokumentasikan bahan hukumn primer, sekunder dan tersier
15
a. Bahan Hukum Primer Berupa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. b.
Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan hukum yang menunjang dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa karya ilmiah, skripsi, artikelartikel para ahli hukum.
c. Bahan Hukum Tersier Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari kamus bahasa Indonesia maupun kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Data kepustakaan yang telah dikumpulkan melalui proses identifikasi yang kritis analitis, kemudian selanjutnya melalui prosedur klasifikasi yang logis sistematis sesuai dengan pokok-pokok masalah dan sistematika yang tersusun dalam penulisan ini sehingga dapat ditarik suatau analisa yaitu kesimpulan untuk memperoleh data-data yang kongkrit.8
a. Studi Kepustakaan
8
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1984,
hlm.66
16
Merupakan suatu studi untuk memperoleh data-data dengan cara mengumpulkan dan mempelajari keterangan-keterangan, teori-teori serta pendapat para ahli tentang segala persoalan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini, baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang dipakai dalam penelitian ini. b. Teknik Dokumentasi Yaitu suatu cara untuk memperoleh informasi atau bukti-bukti yang berhubungan dengan masalah pada penelitian yang digunakan sebagai bahan penunjang dengan cara mendokumentasikan bahan hukum primer dan sekunder yang didapatkan dari media surat kabar maupun internet. 4. Analisis Data Adapun analisis data-data untuk penulisan ini menggunakan analisa secara kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dari dokumen maupun dalam kepustakaan setelah dikumpulkan, diseleksi dan disusun secara sistematis kemudian dianalisa berdasarkan hukum dan disajikan secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan tetap mengarah kepada permasalahan yang ada
17