1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan awal dari kehidupan berkeluarga yang sesuai dengan ketentuan agama, dan peraturan perundangan yang berlaku. Perkawinan yang sesuai dengan perundangan yang berlaku diharapkan dapat mengurangi masalah-masalah dalam kehidupan keluarga. Masyarakat tersusun dari masyarakat kecil yang disebut keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak yamg merupakan komponen yang menyusun keluarga. Ketiganya sangat menentukan keharmonisan sebuah keluarga. Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang memiliki pengaruh besar bagi nusa bangsa dan negara karena keluarga merupakan tempat tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus yang menentukan kuat atau lemahnya negara dan bangsa di masa yang akan datang. Awal
dari
kehidupan
berkeluarga
adalah
dengan
melaksanakan
perkawinan yang dilaksanakan sesuai ketentuan agama dan aturan perundangan yang berlaku. Baik buruknya kualitas sebuah keluarga akan mempengaruhi baik buruknya masyarakat dan baik buruknya tatanan masyarakat akan mempengaruhi karakter sebuah bangsa (Kemenag, 2011). Oleh karena itu, perkawinan yang sah dan harmonisasi harus dilaksanakan oleh setiap warga yang menjalaninya. Meskipun demikian pasangan yang telah melaksanakan perkawinan yang sah dan menurut peraturan maupun perundangan masih ada yang tidak mulus dan kurang
2
memuaskan. Bahkan ada perkawinan yang terpaksa kandas di tengah jalan atau terjadi perceraian. Kualitas sebuah perkawinan sangat ditentukan oleh persiapan dan kematangan kedua calon mempelai dalam menyongsong kehidupan rumah tangganya. Untuk itu, intervensi diperlukan agar terjadi keharmonisan dan kesiapkan pasangan, karena apabila perkawinan tidak harmonis dapat terjadi konflik perkawinan. Terjadinya konflik perkawinan karena perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan dan tujuan dari pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya
calon
pengantin
kurang memahami
tujuan
perkawinan
yang
sesungguhnya meskipun perkawinannya berdasarkan saling mencintai. Berdasarkan data Kemenag (2011), kandasnya perkawinan atau terjadinya perceraian di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 10% dari angka perkawinan. Penyebab perceraian yang tertinggi adalah masalah ketidakharmonisan, yakni ada 32,20%. Ketidakharmonisan merupakan perselisihan antara suami istri yang terus menerus dan tidak ada penyelesaian yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Ini dapat terjadi karena tujuan perkawinan maupun pengetahuan tentang pengelolaan bahtera rumah tangga kurang dipahami oleh pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut. Tujuan dari perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kondisi ini harus selalu diusahakan, demikian pula kesadaran untuk
3
mengatasi problem perkawinan juga senantiasa harus dilakukan oleh semua pasangan yang melaksanakan perkawinan (Kemenag, 2012). Perkawinan yang merupakan ikatan dua orang yang memiliki latar belakang yang berbeda serta memiliki nilai maupun budaya yang tidak sama dapat merupakan penyebab gagalnya sebuah perkawinan. Perbedaan latar belakang dapat merupakan salah satu penyebab ketidakharmonisan pasangan yang memicu terjadinya perceraian. Dangkalnya pengetahuan serta kurangnya pemahaman tentang kehidupan rumah tangga akan memperberat konflik perkawinan (Lestari, 2012). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, peningkatan pemahaman masalah rumah tangga serta perkawinan perlu dipersiapkan pada setiap pasangan yang akan menikah. Apabila pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan meningkat, maka kedua pasangan akan berusaha meningkatkan keharmonisan dan konflik yang ada tidak mengganggu. Keharmonisan dapat terjadi jika ada pengertian antara suami istri bahwa perbedaan antara keduanya memang secara alamiah ada, tetapi jika diusahakan akan timbul keharmonisan antara keduanya. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa peningkatan pengetahuan calon pengantin tentang masalah tumah tangga dan perkawinan yang memadai perlu diupayakan. Untuk itu, diperlukan psikoedukasi kepada para calon pengantin agar ketrampilan mereka dalam mengatasi masalah rumah tangga dan perkawinan meningkat. Materi
psikoedukasi
dalam penelitian ini adalah
pemahaman masalah penyebab ketidakharmonisan, misalnya masalah perbedaan harapan, nilai, tujuan perkawinan, motivasi terhadap perkawinan itu sendiri. Meningkatnya pengetahuan akan mempengaruhi persepsi pasangan dalam
4
menghadapi problem perkawinannya demikian juga karena psikoedukasi calon pengantin diberikan kepada kedua calon mempelai secara bersama-sama, maka persamaan persepsi dan kerja sama serta latihan diskusi antar pasangan dalam memecahkan masalah akan timbul diantara keduanya. Setelah persepsi berubah, maka kecenderungan perilakunya juga akan berubah dan perubahan tersebut bermanfaat untuk menuju keharmonisan. Jika ada keharmonisan maka konflik berkurang dan dalam penelitian ini akan ditunjukkan dengan skor konflik yang rendah. Keharmonisan dapat terjadi jika ada kerja sama pasangan misalnya perencanaan tentang bagaimana membagi dan mengerjakan tugas rumah tangga beserta fungsi serta peran masing-masing. Biasanya setelah menikah pasangan akan membuat perjanjian tentang yang dapat dilakukan masing-masing, cara kerja sama di antara mereka. Setiono (2011) mengatakan bahwa dengan berpedoman pada kepentingan bersama, pasangan
dapat mengatasi problem-
problem perkawinan secara efektif. Kondisi tersebut akan berjalan secara baik jika pemahaman tentang masalah rumah tangga dan perkawinan memadai. Dalam sebuah perkawinan, suami maupun istri berharap agar dirinya dimengerti oleh pasangannya, sehingga kehidupan pasangan menjadi harmonis dan memuaskan. Pengertian antara suami istri secara fisik maupun mental akan menjadikan mereka mudah saling memahami dan merasa puas dalam kehidupan perkawinannya. Pasangan yang melaksanakan perkawinan hendaknya saling dapat menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya serta saling menyesuaikan diri. Sebuah perkawinan akan langgeng dan abadi jika pasangan tersebut selalu
5
memupuk rasa cinta dan bermusyawarah didalam mengatasi semua problemnya serta mau saling memaafkan jika terjadi kesalahan (Lestari, 2012; Lou, 2008). Ketrampilan dan pengetahuan dalam menghadapi biduk rumah tangga sangat diperlukan dalam sebuah keluarga. Suami istri harus saling membantu pada setiap usaha untuk meningkatkan kualitas diri maupun kualitas pasangan serta rumah tangganya agar tercapai kemajuan bersama maupun kebahagiaan bersama. Namun, tidak semua pasangan memiliki pengetahuan dalam mengelola rumah tangga secara baik dan dapat mengatasi konflik perkawinannya. Oleh karena itu,
psikoedukasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang masalah
rumah tangga dan perkawinan diharapkan akan meningkatkan keharmonisan pasangan agar dapat mengatasi konflik perkawinannya. Untuk itu, peneliti ingin melakukan penelitian masalah peningkatan pengetahuan tentang masalah rumah tangga dan perkawianan pada calon pengantin dengan psikoedukasi. Peningkatan pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan bertujuan agar pengantin memiliki modal dalam menghadapi problem-problem rumah tangga yang akan dijalaninya dan konflik perkawinan dapat diatasi bersama. Meningkatnya pengetahuan dan pemahaman tentang rumah tangga diharapkan dapat mengurangi terjadinya konflik perkawinan dan perceraian serta perkawinan yang bermasalah. Apabila konflik suami istri tidak tertangani secara memadai dapat berdampak buruk pada keluarga, misalnya pada produktivitas, fungsi dan peran masing-masing bahkan berdampak buruk pada anak. Konflik perkawinan yang tidak tertangani dengan baik merupakan stresor bagi suami istri, sehingga tidak dapat membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Sebagai warga
6
masyarakat, pasangan tersebut kurang dapat berperan sebagai anggota masyarakat yang baik serta sebagai sumber daya manusia yang berkualitas. Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat dan memiliki pengaruh yang besar bagi bangsa dan negara, sehingga mengatasi konflik secara memadai mutlak diperlukan. Ketidakharmonisan antara suami istri menyebabkan konflik pasangan tersebut yang berdampak pada turunnya peran sebagai orangtua pasangan tersebut. Sebagai orangtua, apabila tidak optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya, maka akan melahirkan generasi penerus yang kurang baik kualitasnya bahkan dapat menjadi beban sosial masyarakat (Lestari, 2012). Konflik keluarga yang tidak tertangani dapat menyebabkan stresor bagi semua anggota dalam keluarga tersebut, baik keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak maupun keluarga besar yang terdiri atas nenek, kakek, paman, bibi maupun saudara-saudara yang lain. Bahkan, menurut Mumtazah (2012) ketidakharmonisan rumah tangga akan berdampak terjadinya konflik serta dapat juga berperan sebagai pemicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meskipun pasangan suami istri tersebut memulai perkawinan mereka berdasarkan cinta. Pasangan yang menikah berdasarkan cinta dapat saja di dalam perjalanannya timbul ketidakharmonisan, sehingga terjadi konflik perkawinan. Apabila konflik perkawinan tidak tertangani dengan baik dan menjadi kronik, maka dapat saja terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT (Mumtazah, 2012). Dampak dari perkawinan yang tidak harmonis adalah konflik perkawinan yang kronik dan terus menerus sebagai akibatnya suami atau istri
dapat
mengalami gangguan depresi. Hal ini disebabkan karena stres kronik dan
7
berkepanjangan mempengaruhi keseimbangan dan kenyamanan bagi suami, istri maupun anggota keluarga yang lain. Pinel (2009) mengatakan bahwa stres meningkatkan kerentanan terhadap penyakit-penyakit infeksi, meskipun dikatakan bahwa stres akut yang berlangsung pendek misalnya lomba atletik, bicara di depan umum, konser musik justru akan meningkatkan kekebalan tubuh. Namun stresor kronik termasuk stresor yang diakibatkan oleh masalah perkawinan mempengaruhi sistem kekebalan adaptif secara adversif. Demikian pula dampak yang dialami anak akibat adanya konflik antara ayah ibunya dapat menyebabkan buruknya hubungan antara anak dengan orangtuanya. Memburuknya hubungan anak dan orangtua dapat berdampak depresi dan perasaan tidak aman pada anak, yang pada gilirannya berdampak buruk pada perkembangan anak.
Suasana perkawinan orangtua yang tidak
harmonis dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak, karena perkembangan neural dan hormonal mengalami gangguan (Pinel, 2009). Fase perkembangan anak yang tidak baik akan sangat mempengaruhi kualitas anak tersebut, sehingga dampak selanjutnya adalah turunnya kualitas bangsa dan masa depan bangsa. Konflik dapat merupakan stresor kronik bagi suami maupun istri yang mengalami konflik perkawinan akan terjadi stresor yang bersifat kronik dan dapat menyebabkan
berbagai
keluhan
fisik
maupun
psikologik.
Gangguan
psikosomatik, keluhan lambung, iritabilitas, kehilangan selera makan, mudah marah merupakan dampak dari stress (Muchlas, 2005; Atkinson dkk., 2003). Konflik perkawinan akan berdampak pada produktivitas seseorang dan turunnya
8
kreativitas, sehingga tugas sebagai orangtua yang bertanggung jawab tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Tugas sebagai warganegara, anggota masyarakat maupun tugas sosial yang lain tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Dampak lain dari konflik perkawinan adalah kurang produktifnya suami atau istri sebagai sumber daya manusia (SDM). Negara Indonesia yang saat ini sangat memerlukan kinerja masyarakatnya secara optimal akan sangat rugi jika memiliki SDM yang tidak dapat mengoptimalkan potensinya. Sebagai SDM apabila tidak dapat memaksimalkan potensi, energi maupun kognisinya karena disabot oleh masalah rumah tangga, maka akan mengganggu laju pembangunan bangsa dan negara. Suatu perkawinan yang disepakati dan direncanakan oleh pasangan yang saling mencintai dalam perjalannya dapat terjadi perbedaan-perbedaan atau ketidakcocokan, sehingga terjadilah Ketidakharmonisan tersebut
ketidakharmonisan antara suami istri.
dapat berperan sebagai penyebab konflik
perkawinan. Perbedaan-perbedaan latar belakang dan budaya yang dianut oleh suami istri dapat berwujud perbedaan kebiasaan, tujuan perkawinan, masalah ekonomi, kekuasaan dan identitas, kesalahan persepsi dan kesalahan komunikasi (Lestari, 2012). Perbedaan tujuan perkawinan dan kepuasan terhadap pasangan akan terlihat terutama dalam mengatasi konflik yang terjadi dalam perjalanan perkawinannya (Wanic dan Kulik, 2011). Penyebab lain misalnya struktur keluarga dengan dominasi pengaturan dalam rumah tangga dan kewenangan dalam pengaturan rumah tangga dapat berperan juga sebagai sumber ketidakharmonisan dan timbulnya konflik (Lestari, 2012). Kurangnya pemahaman
9
masalah kesetaraan gender dalam masyarakat dan informasi yang tidak memadai terhadap pemahaman masalah gender dapat juga menjadi penyebab konflik rumah tangga atau konflik perkawinan (Mumtazah dkk., 2012). Hal ini diperberat oleh kurangnya
pengetahuan
dari
pasangan
tersebut
dalam
mengatasi
ketidakharmonisan yang terjadi, sehingga pengetahuan dalam mengatasi ketidakharmonisan serta konflik perlu diedukasikan pada pasangan calon pengantin. Konflik terjadi karena adanya interaksi antara dua orang atau lebih dan merupakan masalah sosial yang selalu timbul dalam hubungan antar manusia (Muchlas, 2005, Lestari, 2012, Nazari dan Soleimanian, 2008, Sadarjon, 2005). Sebagai
suami istri tentu saja pasangan tersebut saling berhubungan dan
berinteraksi, sehingga konflik perkawinan tidak dapat dihindari. Latar belakang antara kedua pasangan tentu saja tidak sama dan ketidaksamaan tersebut berdampak adanya konflik. Konflik interpersonal sering terjadi dalam hubungan antara suami istri, terutama pengantin baru. Untuk itu, memahami arti perkawinan yang sah dan tercatat merupakan salah satu cara untuk menyadarkan suami istri agar berusaha untuk bertanggung jawab terhadap perkawinannya itu sendiri, karena secara hukum dan sosial pasangan tersebut memiliki tanggung jawab sebagai suami istri. Pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan pembinaan keluarga sakinah melalui Desa Binaan Keluarga Sakinah (DBKS). Pembinaan keluarga sakinah diupayakan secara sinergis oleh pemerintah untuk mengembangkan pembangunan dalam bidang ekonomi, kesehatan yang dipadukan dengan
10
peningkatan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, akhlak yang mulia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya tersebut melalui desa binaan keluarga sakinah di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kemenag, 2012). Meskipun pembekalan pernikahan sudah dilakukan di
Kantor Urusan
Agama (KUA) dengan maksud menyiapkan calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga, namun angka perceraian di Indonesia masih tinggi, yakni sekitar 10% (Kemenag, 2011) dan ketidakharmonisan perkawinan sekitar 32,20%. Kondisi seperti ini dapat disebabkan karena persiapan calon pengantin untuk memasuki kehidupan perkawinan mereka masih kurang, meskipun pembekalan pernikahan dari KUA sudah dilaksanakan dan diikuti oleh semua calon pengantin. Psikoedukasi dalam modul peningkatan pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan menekankan upaya prevensi dan belajar memecahkan masalah yang dapat terjadi dalam perkawinan dengan pemahaman terhadap masalah dan dipecahkan oleh pasangan bersama dengan dipandu edukator, sedangkan pembekalan pernikahan atau kursus calon pengantin masih bersifat umum dan kurang memperhatikan masalah individual, misalnya pemahaman tentang masalah akhlak, biologi, sosial budaya yang melatarbelakangi pasangan pengantin maupun masalah keuangan. Berikut ini gambaran peristiwa pernikahan, talak, cerai dan rujuk di Daerah Istimewa Yogyakarta Tabel 1. Jumlah peristiwa nikah, talak, cerai dan rujuk menurut kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 NO (1) 1
KABUPATEN/KOTA (2) YOGYAKARTA
NIKAH (3) 1.594
TALAK (4) 39
CERAI (5) 123
RUJUK (6) -
11
2 3 4 5
BANTUL KULONPROGO GUNUNG KIDUL SLEMAN JUMLAH
4.760 2.114 4.115 5.961 18.544
120 77 64 76 376
275 194 433 174 1,199
2 2
Peningkatan pengetahuan tentang arti perkawinan dengan memperhatikan faktor individual dan cara mengatasinya secara bersama dengan pasangan belum banyak disentuh. Kebersamaan dalam mengatasi masalah rumah tangga dan perkawinan serta cara pandang yang sama dari pasangan perlu diedukasikan, agar dalam mengatasi masalah memiliki kesamaan persepsi dan timbul keharmonisan. Pembinaan keluarga sakinah masih mengandalkan pembinaan yang bersifat umum dan pemecahan sesuai dengan masalah belum dijelaskan secara rinci. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui peningkatan pengetahuan tentang masalah rumah tangga dan perkawinan dapat meningkatkan keharmonisan pasangan pengantin dan selanjutnya dapat mengurangi konflik perkawinan atau tidak. Untuk itu, peneliti berusaha untuk meningkatkan pengetahuan calon pengantin dan membuat panduannya. Untuk peningkatan pengetahuan tersebut peneliti menganggap perlu adanya panduan yang jelas dan mudah dilaksanakan serta dapat diketahui keberhasilannya. Untuk itu, peneliti membuat modul peningkatan masalah rumah tanngga dan perkawinan. Dalam modul yang peneliti buat ada penjelasan tentang langkah-langkah pelaksanaannya, materi serta cara pemecahan masalah, sehingga dapat dipergunakan sebagai pegangan oleh edukator dalam pelaksanaan psikoedukasi. kepada calon pengantin yang akan segera menikah di KUA DIY.. Peningkatan pengetahuan dalam modul ini melibatkan pasangan untuk berdiskusi dengan dipandu edukator. Modul ini
12
mencakup kemampuan pemahaman terhadap materi edukasi, afeksi terhadap materi dan psikomotor serta kerja sama pasangan dalam mengatasi masalah rumah tangga dan perkawinan secara individual maupun bersama pasangan. Peneliti beranggapan bahwa dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang masalah rumah tangga yang akan berdampak pada peningkatan keharmonisan pasangan dan tanggung jawab keluarga merupakan sarana untuk mengurangi konflik perkawinan. Peningkatan pengetahuan tentang masalah rumah tangga pada pasangan calon pengantin diharapkan berdampak pada peningkatan keharmonisan suami istri dan
pada peningkatan tanggung
jawab terhadap perannya. Apabila pasangan tersebut harmonis serta bertanggung jawab maka dapat mengurangi konflik perkawinan yang mungkin terjadi. Sebaliknya, bila tanggung jawab dan keharmonisan tidak ada, maka akan menimbulkan sanksi hukum maupun moral. Sanksi yang diterima pelaku dapat secara hukum negara maupun hukum agama. Menurut hukum negara, jika pelaku atau pasangan tersebut tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka dapat berwujud sanksi pidana. Apabila terjadi KDRT, maka pelaku dapat dihukum sesuai dengan kesalahannya, demikian juga sanksi perdata juga sesuai dengan tingkat kesalahan pelaku. Sanksi
agama dapat berwujud perasaan berdosa yang hanya dapat
dirasakan oleh mereka yang melanggar. Sanksi agama tergantung besar kecilnya nilai agama yang dihayati, tetapi secara informal sanksi juga diperoleh pelaku dari masyarakat. Keluarga sebagai anggota masyarakat atau masyarakat terkecil di dalam sebuah negara tentu berkewajiban menjaga ketenteramannya.
Apabila
13
dalam masyarakat terkecil masyarakat sekelilingnya
terjadi ketidakharmonisan atau konflik maka akan merasa terganggu dan akan membantu
memberikan jalan ke luar yang sesuai. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesediaan dari mayarakat untuk menjadi relawan di Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) dan lembaga-lembaga lain yang bertujuan membantu pemecahan masalah perkawinan. Interaksi antara suami istri tentunya berisiko terjadi konflik (Nazari dan Soleimanian, 2008). Konflik dapat terjadi
karena perbedaan tujuan, harapan,
keinginan, kehendak, motivasi, dan minat dari pasangan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka memahami keinginan pasangan dan kemauan memahami diri sendiri, menerima perbedaan serta mencari solusi yang tepat dan juga mencari kesepakatan bersama harus dilakukan oleh pasangan tersebut agar keluarga tersebut harmonis dan konflik berkurang. Namun, yang menjadi masalah adalah pengetahuan dan ketrampilan tentang masalah tersebut belum tentu dimiliki semua calon pengantin. Kesiapan untuk menghadapi berbagai problem rumah tangga serta keluarga perlu ditingkatkan. Untuk itu, pengetahuan tentang masalah rumah tangga perlu diberikan agar konflik perkawinan tidak merusak hubungan pasangan tersebut. Berdasarkan alasan tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui calon pengantin yang diberi edukasi tentang pengetahuan rumah tangga dan perkawinan lebih harmonis dan skor konflik perkawinannya lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi edukasi atau tidak. Tujuan pemberian edukasi untuk meningkatkan keharmonisan dan
14
mengatasi konflik perkawinan, sehingga konflik perkawinan berkurang. Pengetahuan tentang masalah rumah tangga akan memberikan dampak pada ketrampilan, sikap dan perilaku seseorang
dalam
mengatasi konflik
perkawinannya. Edukasi kepada calon pengantin dilakukan oleh edukator dengan dasar Modul Peningkatan Pengetahuan Masalah Rumah Tangga yang berisi tentang: arti perkawinan, pengetahuan tentang keluarga dan rumah tangga yang Islami, masalah akhlak, masalah biologi, masalah sosial budaya, keuangan, anak, stress rutin, kesibukan, komunikasi, kebiasaan buruk, seks dan perbedaan individual serta identifikasi penyebab konflik perkawinan dan cara mengatasi konflik perkawinan. Sebelum dipergunakan sebagai modul baku maka Modul Pengetahuan Masalah Rumah Tangga Dalam Mengatasi Konflik Perkawinan divalidasi dahulu kepada calon pengantin di luar subjek penelitian. Uji validasi dilakukan dengan cognitive de briefing yakni menguji alat ukur dapat dipahami atau tidak oleh responden yang memiliki karakteristik sama dengan subjek penelitian. Dari uraian latar belakang permasalahan, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Perkawinan merupakan ikatan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki latar belakang, budaya, kepribadian yang berbeda, sehingga sangat mungkin terjadi ketidakharmonisan yang berdampak pada adanya konflik pada pasangan tersebut. Konflik terjadi karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dinyatakan dalam skor konflik perkawinan.
15
2. Perbedaan dan perubahan kehidupan dari hidup sendiri menjadi hidup berdua dengan pasangan memerlukan penyesuaian. Penyesuaian tersebut dapat menimbulkan ketidakharmonisan pasangan sehingga berakibat adanya konflik. Konflik terjadi karena adanya interaksi dan hubungan yang dekat, baik jarak maupun secara emosional. 3. Konflik perkawinan dapat terjadi karena perbedaan nilai, tujuan, pikiran, sikap, harapan, pemahaman tentang perkawinan, tanggung jawab dalam perannya sebagai suami dan istri. Untuk mengatasi masalah tersebut, pengetahuan dan cara mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut perlu ditingkatkan. Tujuan dari psikoedukasi pada calon pengantin agar jarak antara harapan dan kenyataan diperkecil menjadikan problem perkawinan berkurang dan konflik perkawinan juga berkurang atau bila masih ada dapat diatasi dengan baik. 4. Konflik perkawinan yang tidak terselesaikan dengan baik akan mempengaruhi kebahagiaan seseorang, bahkan dapat menyebabkan gangguan baik fisik, mental maupun sosial bahkan terjadinya perceraian. Padahal perkawinan terjadi karena calon pengantin berharap dan bercita-cita membentuk keluarga yang sakinah mawadah warahmah sesuai dengan perintah agama. Jika konflik perkawinan tidak teratasi maka cita-cita tersebut sulit terealisasi. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, apabila terjadi konflik yang tidak teratasi secara
baik
menjadikan
keluarga
tersebut
tidak
berkualitas
yang
mempengaruhi perkembangan anggota keluarga tersebut serta kualitasnya.
16
Jika konflik mengganggu dan tidak dapat diatasi, maka
secara otomatis
berdampak pada kependudukan dan pembangunan. 5. Keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah adalah usaha terencana untuk mewujudkan penduduk yang dapat tumbuh kembang dan berkualitas. Negara Indonesia yang sedang giat membangun memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas agar cita-cita menjadi negara adil makmur, sejahtera segera terwujud. Dengan peningkatan pengetahuan calon pengantin dalam mengatasi konflik perkawinan, diharapkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai. Studi ini merupakan studi eksperimental untuk mengetahui efektivitas edukasi dalam meningkatkan pengetahuan calon pengantin guna mengatasi konflik perkawinannya. 6. Untuk menunjang keberhasilan edukator dalam meningkatkan pengetahuan calon pengantin dalam masalah rumah tangga dan perkawinan, peneliti membuat Modul Peningkatan Pengetahuan tentang Masalah Rumah Tangga dan Perkawinan dalam Mengatasi Konflik Perkawinan agar dapat dijadikan pegangan oleh edukator. 7. Isi dari modul tersebut: a. Pengertian tentang perkawinan menurut Islam, karena mayoritas penduduk di DIY adalah Islam. b. Pengertian tentang keluarga dan rumah tangga secara Islam, yakni hak dan kewajiban suami istri. c. Ketrampilan
mengidentifikasi
sumber
konflik,
misalnya
masalah
keuangan, perencanaan kehadiran anak, stres rutin dalam kesibukan dalam
17
pekerjaan dan aktivitas harian, komunikasi yang kurang asertif, masalah emosional kebiasaan, dan perilaku pasangan yang jelek. d. Pengetahuan tentang perubahan fase dalam perkawinan, misalnya bulan madu yang selalu ingin membahagiakan pasangan, dapat berubah menjadi fase pengenalan kenyataan dan kebiasaan pasangan, adanya perubahan sikap, salah satu ingin mengubah kebiasaan pasangannya. Fase menerima kenyataan meskipun berbeda pendidikan, nilai, latar belakang ekonomi dan kebiasaan sampai adanya kesepakatan dan persetujuan bersama.
B. Permasalahan Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka timbul permasalahan : 1. Apakah pada kelompok eksperimen ada perbedaan skor pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan antara sebelum mendapatkan psikoedukasi
apabila
dibandingkan
dengan
sesudah
mendapatkan
psikoedukasi? 2. Apakah ada perbedaan skor pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan antara kelompok eksperimen apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. 3. Apakah ada perbedaan skor konflik perkawinan antara kelompok eksperimen apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
18
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan skor pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan sebelum mengikuti psikoedukasi apabila dibandingkan dengan setelah mengikuti psikoedukasi pada kelompok eksperimen.. 2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan skor pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan antara kelompok eksperimen apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan skor konflik perkawinan antara kelompok eksperimen apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
D. Manfaat Penelitian 1. Untuk negara dan bangsa: terwujudnya perkawinan yang sakinah, karena sebagian besar penduduk DIY beragama Islam maka pernikahan secara Islami dan terwujudnya keluarga Islami sangat diharapkan. Peneliti berharap penelitian dan edukasi tentang pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan dapat bermanfaat bagi pengantin dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Dengan mendapat edukasi tentang pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan yang dapat berperan sebagai prevensi terjadinya konflik perkawinan dan menjadi modal pengetahuan dan ketrampilan calon pengantin dalam mengatasi konflik perkawinannya, sehingga dengan edukasi
19
ini terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat terwujud. 2. Terbentuknya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dapat menjadikan keluarga menjadi tempat tumbuh kembangnya anak yang baik yang pada gilirannya menjadi generasi penerus yang baik pula. Terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah menjadikan suami dan istri maupun anak-anak sebagai SDM yang berkualitas dan dapat memberi sumbangan pada masa pembangunan bangsa saat ini. Dengan adanya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah diharapkan stabilitas dan kesejahteraan maupun keamanan masyarakat menjadi lebih baik. 3. Bagi peneliti sendiri penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan mengaplikasikan pengetahuan dalam penelitian serta menjadikan ladang ibadah serta mengembangkan ketrampilan dalam penelitian. 4. Bagi ilmu pengetahuan diharapkan akan bisa memperluas khazanah pengetahuan mengenai kehidupan berkeluarga dan berumah tangga, sehingga bisa digunakan oleh para praktisi sebagai referensi untuk menangani masalahmasalah pada waktu sebelum maupun sesudah menikah.
E. Keaslian Penelitian Meskipun kursus pranikah sudah dilakukan secara menyeluruh kepada setiap calon pengantin di semua KUA di negara Republik Indonesia, tetapi edukasi tentang peningkatan pengetahuan masalah rumah tangga pada calon pengantin dengan modul baku sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan di DIY.
20
Kursus pranikah dilaksanakan sesuai dengan pedoman penyelengaraan kursus pra nikah yang diatur oleh Kementerian Agama Republik Indonesia masih bersifat umum. Adapun penelitian mengenai masalah perkawinan yang hampir sama dengan judul yang penulis lakukan memang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya antara lain:
Tabel 2. Persamaan dan perbedaan dengan penelitian lain Judul/peneliti/tahun
Persamaan/ hasil
Perbedaan
Faktor risiko dan
Melakukan intervensi
Pada penelitian Soewadi
intervensi psikiatri sebagai
terhadap subjek
dilakukan intervensi
upaya pencegahan
penelitian.
psikiatri perbaikan
perceraian pada populasi
Pasangan yang akan
hubungan pada pasangan
Islam dengan keadaan
bercerai rata-rata sudah
yang bermasalah. Pada
cemas di DIY
mengalami konflik
penelitian ini dilakukan
(Soewadi,1991)
selama dua tahun dan
intervensi dengan modul
ada perbedaan yang
edukasi sejak pasangan
bermakna antara
belum menikah.
pasangan yang mendapatkan intervensi psikiatri lebih banyak yang dapat didamaikan
Predicting two years
Subjek penelitian adalah
Subjek penelitian pada
21
marital satisfaction from
pasangan yang bersedia
penelitian Gee sudah
partners discussion of
mengikuti intervensi.
menikah tetapi ragu-ragu
their marriage check up
29 pasangan suami istri
terhadap kelangsungan
(Gee,2002)
yang mengalami
perkawinannya,
keraguan kelangsungan
intervensinya dengan
perkawinannya dan ada
memotivasi agar
konflik dalam
mempertahankan
perkawinan dan selama
perkawinannya dan
dua tahun dimotivasi
dilatih bekerjasama
untuk mempertahankan
dengan pasangan dalam
perkawinannya dan
memecahkan masalah
pasangan yang mendapat
perkawinannya serta
terapi marital
mendapatkan terapi
kerjasamanya meningkat
marital. Pada penelitian
dalam memecahkan
ini intervensinya
masalah perkawinan dan
peningkatan pengetahuan
lebih aktif mencari solusi masalah rumah tangga dan setelah tiga tahun
dan perkawinan dengan
yang bercerai hanya tiga
modul
Predicting Marital
Subjek penelitian adalah
Lou dkk
Statisfaction from Self.
pasangan suami istri.
membandingkan subjek
Patner and Couple
537 pasangan hasilnya
yang memiliki emosi
Characteristic: It is Me
menunjukkan bahwa
negatif tinggi
22
You or Us (Lou dkk,2008)
orang yang memiliki
dibandingkan dengan
emosi negatif lebih tidak
yang tidak memiliki
puas terhadap
emosi negatif yang
perkawinanya dan
tinggi. Dalam penelitian
pribadi yang ramah dan
dari Lou dkk tidak ada
memiliki keterbukaan
intervensi. Pada
lebih puas dalam
penelitian ini intervensi
perkawinannya.
bersifat promosi dengan
Pasangan yang banyak
modul peningkatan
persamaannya lebih
pengetahuan masalah
harmonis dan memiliki
rumah tangga dan
komitmen yang tinggi
perkawinan.
dalam perkawinanya
Kepribadian dan kepuasan
Subjek penelitian
Subjek penelitian sudah
perkawinan (Sari dkk.,
merupakan pasangan
menikah, pada penelitian
2012)
suami istri.
Sari tidak ada intervensi
Hasilnya menunjukkan
dan objek penelitiannya
bahwa pasangan yang
adalah perbedaan
memiliki kepribadian
kepribadian ekstroversi
ekstraversi lebih puas
dan introversi dengan
terhadap perkawinannya
kepuasan perkawinan.
dan keadaan
Pada penelitian ini ada
23
perkawinannya lebih
intervensi dengan modul
baik.
peningkatan pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan.
Couple Attachment and
Subjek penelitian yang
Penelitian dari
Quality of Marital
merupakan pasangan
Alexandrov merupakan
Relationships and Concept suami istri.
pasangan yang sudah
in the Validation of the
Sebanyak 73 pasangan,
menikah.
New Couple Attachment
yang kelekatannya baik
Objek penelitian adalah
Interview an Coding
kualitas perkawinannya
keterikatan pasangan dan
System (Alexandrov,2005)
juga baik karena
tanpa intervensi. Pada
memiliki emosi positif
penelitian ini ada
serta memberikan suport
intervensi dengan modul
emosi pada pasangannya. peningkatan pengetahuan cara mengatasi konflik
masalah rumah tangga
perkawinannya Pasangan dan perkawinan. yang memiliki emosi positif lebih nyaman Couple Similarity and
Subjek penelitian adalah
Pada penelitian Gaunt,
Marital Statisfaction are
pasangan suami istri.
pasangan sudah
Similar Spouses Hapier.
Dari 248 pasangan
menikah, objek
(Gaunt,2006)
didapatkan bahwa
penelitian adalah
24
pasangan yang banyak
persamaan pasangan dan
memiliki persamaan
kepuasan perkawinan
hasilnya lebih puas
serta konflik perkawinan,
dalam perkawinannya
tidak ada intervensi.
serta bahagia karena
Pada penelitian ini ada
pertentangan memiliki
intervensi dengan modul
korelasi positif dengan
yang berisi peningkatan
konflik.
pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan.
Comparation the Effect of
Subjek penelitian adalah
Pada penelitian Askari
Comunication and
pasangan suami istri.
subjek penelitian sudah
Conflict Resolution Skills
Sama-sama ada
menikah. Intervensi
Training on Marital
intervensi dalam
yang dilaksanakan
Statisfaction.(Askari,2012) mengatasi masalah
dengan melatih
komunikasi dan konflik
komunikasi dalam
perkawinan.
mengatasi konflik
Ada 54 pasangan dan
perkawinan dan
ada kelompok
peningkatan kepuasan
eksperimen dan kontrol.
perkawinan
Hasilnya menunjukkan
Pada penelitian ini
bahwa pasangan yang
intervensinya yang
25
mendapatkan pelatihan
dilaksanakan untuk
ketrampilan komunikasi
meningkatkan
hasilnya lebih baik
pengetahuan masalah
dalam mengatasi konflik
rumah tangga dan
perkawinan apabila
perkawinan.
dibandingkan dengan pasangan yang tidak mendapatkan latihan
Kesimpulannya bahwa latihan komunikasi dan cara mengatasi konflik perkawinan efektif meningkatkan kepuasan pasangan dalam perkawinannya. Akan tetapi, penelitian ini berbeda dengan penelitian penelitian tersebut di atas dan perbedaannya terletak pada metode, setting dan lokasi
serta
subjek
penelitian. Pada penelitian sebelumnya, subjek penelitian adalah pasangan yang sudah menikah dan pada penelitian ini psikoedukasi dimulai sejak dari sebelum menikah dan dilanjutkan setelah menikah, metodenya dengan cara pasangan diminta membaca dan memahami sendiri-sendiri kemudian diberikan kasus untuk didiskusikan bersama, sedangkan pada penelitian sebelumnya tidak seperti itu. Dalam penelitian ini, setiap pasangan dapat mengemukakan pendapat serta mengekspresikan perasaan dan mendiskusikan dengan pasangan atas panduan dari edukator.
26
F. Batasan Penelitian dan Lingkup Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan sumbangan untuk masyarakat atau calon pengantin dalam menghadapi problem-problem perkawinan yang akan terjadi dalam rumah tangga yang baru dibentuk. Psikoedukasi kepada calon pengantin yang dibuat dengan panduan modul baku merupakan bentuk pelayanan kepada masyarakat, agar dapat dipergunakan sebagai pegangan oleh edukator perkawinan. Modul psikoedukasi dan edukasi dari edukator tentang pengetahuan calon pengantin dalam menyongsong kehidupan rumah tangga yang akan dijalaninya diharapkan akan meningkatkan pengetahuan calon pengantin dalam mengatasi konflik perkawinannya. Penelitian ini dilakukan pada kantor urusan agama (KUA) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) oleh karena jumlah pernikahan yang terbesar di DIY secara Islam sesuai dengan jumlah penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kebanyakan beragama Islam dan dilaksanakan di rumah pasangan pengantin. Psikoedukasi menggunakan modul untuk peningkatan pengetahuan calon pengantin tentang masalah rumah tangga termasuk cara suami dan istri dalam menghadapi konflik perkawinan. Alat ukur untuk mengetahui adanya perubahan pengetahuan dan tentang konflik perkawinan dibuat oleh peneliti untuk mengukur peningkatan pengetahuan pasangan pengantin setelah mendapatkan psikoedukasi sehingga penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
27
Pertama, pembuatan modul baku tentang pengetahuan calon pengantin tentang arti perkawinan, rumah tangga dan ketrampilan dalam mengidentivikasi, mengantisipasi dan mengatasi konflik perkawinan. Kedua, menguji coba apakah modul tentang pengetahuan calon pengantin dalam mengidentifikasi, mengantisipasi dan mengatasi konflik perkawinan dapat dipahami oleh calon pengantin, sehingga dapat dipergunakan sebagai modul baku serta bermanfaat bagi pasangan yang akan menikah. Ketiga, membuat alat ukur tentang konflik perkawinan. Alat ukur konflik perkawinan yang dibuat untuk mengukur skor konflik dalam perkawinan yang sudah berjalan selama tiga bulan. Keempat, penelitian ini berusaha untuk mengevaluasi hasil dari psikoedukasi tentang pengetahuan berumah tangga dan ketrampilan mengatasi konflik perkawinan. Dalam penelitian ini, pasangan pengantin yang mendapat psikoedukasi
dibandingkan
dengan
pengantin
yang
tidak
mendapatkan
psikoedukasi. Kelima dan terakhir, penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dalam usaha untuk mengetahui efektivitas psikoedukasi tentang pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan dalam mengatasi konflik perkawinan. Batasan permasalahan dan pengertian tentang penelitian ini perlu dijelaskan agar terdapat kesatuan bahasa dalam pembahasan tentang penelitian ini selanjutnya. Beberapa hal yang perlu diperjelas pengertiannya adalah: modul baku, perkawinan, konflik perkawinan, calon pengantin, psikoedukasi dan Kantor Urusan Agama (KUA).
28
G. Batasan Pengertian 1. Modul Peningkatan Pengetahuan Masalah Rumah Tangga dan Perkawinan adalah modul yang dibuat peneliti dan dipergunakan untuk panduan edukator dalam mengedukasi pasangan calon pengantin. Modul berisi tentang masalah rumah tangga dalam mengatasi konflik perkawinan. Modul diujicobakan pada sebagian subjek dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini ada dua kelompok, yakni: pertama calon pengantin yang mendapat edukasi atau kelompok eksperimen dan calon pengantin yang tidak mendapatkan edukasi atau selanjutnya disebut kelompok kontrol. Kedua kelompok pasangan pengantin dan kelompok selanjutnya diukur skor konflik perkawinannya setelah tiga bulan menikah di KUA Daerah Istimewa Yogyakarta. Modul baku dibuat untuk dijadikan pegangan edukator dalam usaha meningkatkan pengetahuan calon pengantin dalam masalah rumah tangga dan konflik perkawinan. Isi dari modul untuk meningkatkan pengetahuan calon pengantin tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan ketrampilan tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, hak dan kewajiban suami istri, konflik yang dapat terjadi di dalam perkawinan. 2. Perkawinan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 bab 1 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
29
Perkawinan dinyatakan sah jika dilaksanakan menurut hukum agama dan tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Konflik perkawinan terjadi karena ketidakharmonisan pasangan dan merupakan suatu ekspresi pertentangan antara suami istri yang saling tergantung tetapi memiliki tujuan yang saling bertentangan. Konflik perkawinan adalah situasi ketika suami dan istri mengekspresikan perbedaan di antara mereka, baik yang termanifestasi maupun laten dalam upaya mencapai kebutuhan dan minat masing-masing. 4. Calon pengantin adalah pria dan wanita yang akan melaksanakan perkawinan dan mendaftarkan atau didaftarkan sebagai calon pengantin dan akan melaksanakan perkawinannya di KUA. 5. Psikoedukasi adalah intervensi dari edukator yang diberikan kepada calon pengantin
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
pemahaman
serta
ketrampilan tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga dengan tujuan agar pasangan tersebut dapat harmonis dan mampu mengatasi konflik-konflik dalam rumah tangganya. 6. Kantor Urusan Agama, atau selanjutnya disebut KUA, adalah kantor yang mengurusi perkawinan serta mencatat adanya sebuah perkawinan yang dipimpin oleh Kepala KUA. Di Daerah Istimewa Yogyakarta KUA semua berjumlah 78 buah. 7. Pendidikan, yang dimaksud dengan pendidikan adalah pendidikan formal yang ditunjukkan dengan adanya tanda tamat belajar yang diperoleh responden.
30
8. Umur adalah usia yang dihitung dari tahun kelahiran sampai penelitian dilakukan. 9. Sosial ekonomi dihitung dari penghasilan kepala keluarga atau anggota keluarga yang dinyatakan
lebih dari cukup jika diatas upah minimum
regional, cukup jika sama dengan upah minimal regional dan kurang jika dibawah upah minimum regional. 10. Pekerjaan dibagi menjadi dua yakni bekerja dan tidak bekerja, yang dimaksud bekerja adalah aktivitas yang menghasilkan uang. 11. Dukungan sosial dalam penelitian ini bersifat subjektif, yakni support atau bantuan yang dirasakan sebagai sesuatu yang mendukung atau membuat beban perasaan menjadi lebih ringan oleh pasangan. Dukungan sosial ditanyakan langsung kepada pasangan dan dukungan sosial dapat diberikan oleh setiap orang asal dirasakan mengurangi beban perasaan dianggap ada dukungan sosial.
H. Ruang Lingkup Penelitian 1. Penelitian ini mengenai perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan membentuk sebuah keluarga dan tercatat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan perkawinan adalah perkawinan yang disahkan oleh Kantor Urusan Agama di tempat perkawinan tersebut berlangsung.
31
2. Konflik perkawinan adalah konflik yang dicerminkan dengan adanya ketidakcocokan (incompatibility) suami istri. Konflik perkawinan dapat terjadi karena berlawanan atau perbedaan nilai, perilaku, pikiran, perasaan, hasrat, tuntutan serta tujuan antara suami istri (Lestari, 2012). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan konflik perkawinan adalah konflik yang menuju ke arah negatif karena hanya sekedar menyalurkan naluri agresif, untuk melawan pasangannya, tanpa tujuan yang baik atau demi kebaikan keluarga (Lestari, 2012). 3. Modul Peningkatan Pengetahuan Masalah Rumah Tangga dan Perkawinan, adalah modul yang berisi tentang: Pertama, pengetahuan tentang arti perkawinan menurut agama dan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, tentang arti rumah tangga yang Islami sesuai dengan ajaran agama Islam yang berisi tentang kewajiban dan hak suami istri dalam perkawinan serta masalah akhlak, perbedaan latar belakang, masalah biologi dan keuangan. Ketiga, adalah ketrampilan mengidentifikasi sumber konflik perkawinan. Keempat, ketrampilan mengantisipasi konflik perkawinan. Terakhir, ketrampilan mengatasi konflik perkawinan yang ada. Peningkatan pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan dilakukan dengan psikoedukasi kepada calon pengantin yang diberikan oleh edukator kepada calon suami maupun calon istri secara individual dan berpasangan. Edukasi dilaksanakan kepada calon pengantin yang akan menikah dan telah tercatat sebagai calon pengantin di KUA tempat penelitian dilakukan. 4. Alat ukur
32
a. Alat ukur untuk mengukur konflik perkawinan dengan Skala Konflik Perkawinan, yang selanjutnya disebut SKP dibuat untuk mengukur konflik yang dirasakan oleh suami atau istri. SKP, dipergunakan untuk mengukur konflik perkawinan yang dirasakan mengganggu oleh pengantin yang sudah menikah selama tiga bulan. Pengantin yang mendapat psikoedukasi maupun tidak mendapat psikoedukasi dibandingkan untuk melihat ada tidaknya perbedaan skor konflik perkawinannya. b. Alat ukur peningkatan pengetahuan masalah rumah tangga dan perkawinan untuk pasangan yang mendapat edukasi dibuat untuk membandingkan pengetahuan calon pengantin sebelum mendapatkan psikoedukasi dan setelah mendapatkan psikoedukasi, kemudian satu bulan setelah menikah, dua bulan setelah menikah dan tiga bulan setelah menikah, serta pada kelompok kontrol juga dilakukan pengukuran dengan alat ukur yang sama. c. General Health Questioner (GHQ) untuk mengukur kesehatan mental responden.