BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa pernikahan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pernikahan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: "Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk kyeluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Sesuai dengan pernyataan diatas, pernikahan tidak cukup hanya berbentuk sekedar ikatan lahir atau batin saja melainkan harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah, perkawinan merupakan satu tindakan yang berlandaskan hukum dan keagamaan. Pernikahan menjadi bagian dari perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama
1
2
dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan. Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan kebutuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat, yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh enak dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan sebagai isteri. Menurut teori perkembangan dari Papalia, Olds & Feldman, (2007), masa usia menikah adalah saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun atau menurut Hurlock, (1999) antara usia 18-40 tahun. Dengan kata lain, masa dewasa awal merupakan masa dimana seorang individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Havighurst (dalam Hurlock, 1999) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa dewasa awal adalah mulai memilih pasangan hidup dan bekerja. Hurlock (1999) menambahkan bahwa masa dewasa awal merupakan masa bermasalah karena pada masa dewasa awal banyak masalah yang ditimbulkan oleh penyesuaian diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan persiapan pernikahan dan juga karir. Maksud dari pengertian tersebut adalah bahwa baik karir dan persiapan untuk menuju kehidupan pernikahan merupakan dua hal yang harus dilakukan secara bersamaan pada masa dewasa awal.
3
Pernikahan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru sebagai individu dewasa dan pergantian status lajang menjadi sepasang suami-istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus sepanjang pernikahan (Hurlock, 1999). Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kesiapan menuju kehidupan pernikahan belum dapat disebut layak untuk melakukan pernikahan, sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau pendewasaan usia pernikahan (Hurlock, 1999). Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting agar tugas-tugas perkembangan yang harus dijalani setelah menikah tetap dapat terpenuhi. Kesiapan menikah tidak dipandang dari usia individu yang akan menikah (Duvall & Miller, 1985). Usia individu dalam menikah bervariasi disebabkan oleh banyak hal antara lain (1) Pencapaian pendidikan; (2) Perbedaan individu; (3) Perubahan keadaan sosial ekonomi (Duvall & Miller, 1985). Persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahuntahun remaja, dikarenakan munculnya kecenderungan kawin muda dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan mereka. Persiapan mengenai aspek-aspek dalam pernikahan dan bagaimana membina keluarga masih terbatas dan hanya sedikit dipersiapkan baik itu di rumah maupun perguruan tinggi. Persiapan yang kurang inilah yang menimbulkan masalah saat remaja memasuki masa dewasa (Hurlock, 1999). Boykin & Stith (2007) mengemukakan bahwa kecenderungan pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan berakhir pada perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi pernikahan.
4
Untuk mengatasi msalah pernikahan di usia remaja tersebut, maka pemerintah mengatur dalam hukum bahwa pernikahan hanya bisa dilaksanakan ketika usia kedua pasangan telah menginjak usia dewasa. Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 7 menyatakan : ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berusia 19 tahun dan pihak wanita berusia 16 tahun”. Namun demikian dalam pelaksanaannya ada dua ketentuan yang harus diperhatikan: 1. Seseorang yang belum berumur 21 tahun, untuk dapat melangsungkan perkawinan harus mendapat ijin orang tua atau walinya sebagaimana ketentuan pasal 6 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Pasal 6 ayat (2) UUP menyatakan “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua”. 2. Seorang laki-laki yang akan kawin, sedang ia berumur di bawah 19 tahun atau seorang wanita yang hendak kawin, sedang ia berumur di bawah 16 tahun, harus mendapat dispensasi dari Pengadilan pasal 7 ayat (2) UUP Keharusan mendapat Ijin kawin dari orang tua atau wali bagi yang hendak kawin sebelum berumur 21 tahun tentu dimaksudkan sebagai ukuran apakah seseorang sudah matang untuk berumah tangga ataukah belum, bukan sebagai patokan kedewasaan seseorang dalam arti memiliki kecakapan bertindak hukum. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur 21
5
tahun, harus mendapat izin kedua orangtua, sesuai dengan kesepakatan pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan Pertama diijinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun. Meskipun batasan usia perkawinan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, namun pada kenyataannya masih banyak dijumpai kasus terjadinya perkawinan pada usia muda atau usia dini. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bu Dukuh dari salah satu desa di kabupaten gunung kidul, berikut ini didapatkan informasi mengenai pernikahan diusia dini yakni sebagai berikut. “kalo putri tu ada, yang menikah di usia 18, 19 tu ada.yang mau nikah tahun ini juga ada, baru 18 tahun usianya.kalau perempuan banyak mas disini yang nikah dini. Mungkin karena masalah ekonomi, kan ga ada dana untuk melanjutkan sekolah, jadi ya dinikahkan saja. Tapi ini bukan paksaan lo ya mas, jadi bukan dijodohkan kayak jaman siti nurbaya itu.disini ini menikah dini itu karena kebiasaan mas. Saya sendiri mengalami mas. Waktu jaman saya itu lulus smp langsung nikah mas. Jadi memang karena kebiasaan masyarakat sini mas.Mungkin karena masalah ekonomi dan dulu kan listrik juga belum masuk mas.” (P)
Seperti yang diungkap oleh beberapa warga di desa Panggang berkaitan dengan mengapa banyak diantara mereka yang melakukan pernikahan dini, beberapa informan memberikan informasi sebagai berikut : “disini ini banyak yang menikah dini mas. Bukan karena paksaan juga mas.Memang karena niatan sendiri.”(S)
“karena dari segi pendidikan disini yang rendah otomatis pemikirannya ya langsung kesitu aja. Pacaran ya langsung menikah.”(P)
“mungkin ada ya yang merasa kalo anaknya menikah itu ya sudah selesai lah. Sudah menyelesaikan tanggung jawab sebagai orang tua.Mungkin ada yang punya pikiran ya kalo anak sudah menikah ya sudah cukup gitu mas.”(P)
6
Data Susenas dari Badan Pusat Statistik Propinsi DIY tahun 2009 menunjukkan bahwa perempuan yang menikah pada usia di bawah 16 tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar 8,74% dengan persentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (15,40%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Persentase tersebut meningkat pada tahun 2010 menjadi 10,81% dengan persentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan Kabupaten Sleman (9,12%). Data dari Kantor Pengadilan Agama Bantul juga menunjukkan bahwa permohonan dispensasi nikah di Bantul pada tahun 2008 mencapai 70 pasangan, pada tahun 2009 sebanyak 82 pasangan, dan di tahun 2010 meningkat menjadi 115 pasangan, dan sampai bulan Oktober 2011 sudah melonjak menjadi 135 pasangan. Di Kabupaten Kulon Progo, data dari Kementrian Agama menunjukkan jumlah pasangan yang menikah karena hamil terus mengalami peningkatan (BPPM, 2011). Data statistik tentang usia pernikahan dini yang didapatkan dari KUA desa Panggang pada tahun 2010, terdapat 144 pria dan wanita yang berusia 21 tahun kebawah yang memutuskan untuk menikah dini. Pada tahun 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 162 pria dan wanita yang menikah pada usia 21 tahun ke bawah. Jumlah ini mengalami penurunan pada tahun 2013 sejumlah 143 pria dan wanita. Data pada tahun 2012 tidak ditemukan di KUA desa panggang (KUA Panggang). Data sensus yang didapatkan dari BKKBN (2011), memberikan gambaran secara umum bahwa 55 dari 100 remaja kelompok umur 10-14 tahun ternyata ada yang sudah kawin, 1 dari 100 remaja umur 10 – 14 tahun pernah melahirkan hidup antara 1-2 anak, serta 10 dari 1000 remaja umur 10 – 14 berstatus cerai hidup. Perkawinan di usia muda ini akan memberikan sumbangan terhadap tingginya kelahiran.Temuan lain dari kajian tersebut dilihat dari wilayah Perkotaan dan Perdesaan bahwa penduduk kelompok umur 10-14 tahun yakni pasangan yang
7
sudah kawin (18 dari 100 remaja); cerai hidup (2 dari 1000 remaja) dan cerai mati (1 dari 1000 remaja). Hal ini ditunjukkan dengan kejadian kawin muda pada kelompok remaja umur 15-19 tahun lebih besar pada mereka yang tinggal di perdesaan (3.53%) dibandingkan di perkotaan (2.81%). Berdasarkan Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan termasuk orang tua mencegah terjadinya perkawinan pada anak-anak. Untuk itu orang tua serta anak perlu mendapatkan sosialisasi agar tidak terjadi perkawinan muda pada anak remaja. Fakta lainnya adalah perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah sebanyak (0.2%) atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun (11,7% P; 1.6% L) (BKKBN, 2012). Berdasarkan sumber dari kantor Kementerian Agama Kab/Kota jumlah pernikahan yang terjadi pada usia 16 tahun untuk perempuan pada tahun 2009 di provinsi DIY berjumlah 275 dan untuk laki-laki dibawah usia 19 berjumlah 143 orang. Jumlah ini menurun untuk kasus perempuan dibawah usia 16 pada tahun 2010 yakni sejumlah 200 orang namun meningkat untuk laki-laki yang berusia dibawah 19 sejumlah 187 orang (BPPM, 2011) Pernikahan seringkali dianggap sebagai solusi dari berbagai kejadian yang terjadi sebelumnya. Salah satu contohnya adalah hubungan seks diluar nikah dan hamil di luar nikah, sehingga tanpa disadari pernikahan hanya dijadikan sebagai pembenaran aktivitas seksual. Hal ini berkaitan dengan kondisi seksualitas pada remaja yaitu rasa ingin tahu mereka terhadap halhal yang berkaitan dengan seksual lebih tinggi, sebab pada masa ini remaja berada dalam potensi seksual yang aktif karena pengaruh hormon. Pernikahan dini bagi remaja berdampak pada fisik
8
dan mental, dimana secara fisik, berupa remaja yang belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan (Sasmita, 2008). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat menyarankan supaya kaum muda untuk menghindari pernikahan di usia dini guna mencegah kemungkinan terjadinya risiko kanker leher rahim ( kanker serviks) pada pasangan istri, serta berdasarkan pasal 6 ayat 2 UU No.1 Tahun1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 20 tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua (Burhani, 2009). Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun berisiko terkena kanker leher rahim, pada usia remaja sel-sel leher rahim belum tumbuh dengan matang. Jika terpapar oleh Human Papiloma Virus (HPV), maka pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Dr Nugroho Kampono Sp.OG menyebutkan bahwa kanker leher rahim menduduki peringkat pertama kanker yang menyerang perempuan Indonesia, terdapat 23% kasus kanker leher rahim diantara kasus kanker lainnya (Burhani,2009). Ketidaksiapan fisik tidak hanya berdampak pada remaja yang melakukan pernikahan dini, tetapi juga berdampak pada anak yang dilahirkan. Dampak buruk tersebut berupa bayi lahir dengan berat rendah, hal ini akan menjadikan bayi tersebut tumbuh menjadi remaja yang tidak sehat, tentunya ini juga akan berpengaruh pada kecerdasan anak (Manuaba,1998). Hal-hal inilah yang menyebabkan pernikahan dini dianggap kurang baik karena banyak faktor yang akan memberikan dampak negatif pada pasangan muda. Akibat lain dari usia perkawinan yang terlalu muda adalah meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami-istri. Duvall & Miller, (1985) menyatakan bahwa menikah merupakan hubungan yang bersifat suci/sakral antara pasangan dari seorang pria dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah
9
memiliki umur cukup dewasa dan hubungan tersebut telah diakui secara sah dalam hukum dan secara agama. Duvall & Miller, (1985) mengutarakan bahwa kesiapan mental untuk menikah mengandung pengertian kondisi psikologis emosional yakni siap menanggung berbagai risiko yang timbul selama hidup dalam pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi keluarga, memelihara dan mendidik anak-anak, dan membiayai kesehatan keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu warga dapat didapatkan informasi bahwa pasangan yang menikah di usia dini masih belum mampu membiayai kehidupan keluarga mereka sendiri. “kalo disini tu mas, kalo pekerjaan disini itu tani mas. Jadi disini tu kalo ada anak yang nikah usia dini tu nanti yang ngurus anak cucunya itu neneknya, karena mereka itu bekerja tani itu belum bisa mas. Sebenarnya mereka belum bisa kerja tani itu mas, tapi ya neneknya yang melindungi.Kalo disini itu anak menikah di usia dini itu tinggalnya sama orang tua yang ngurus itu orang tuanya.” (S)
Data yang didapat dari Depkes RI (2006) menyatakan bahwa perkawinan usia muda yang menjadi fenomena sekarang ini pada dasarnya merupakan suatu siklus fenomena yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan yang notabene dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan, namun juga terjadi di wilayah perkotaan yang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh “role model” dari materi hiburan yang mereka tonton. Penelitian yang dilakukan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Provinsi Jawa Barat mengungkapkan fakta bahwa masih tingginya angka perkawinan usia muda di pulau Jawa dan Bali. Diantara wilayahwilayah tersebut, Jawa Barat berada di urutan teratas dalam jumlah pasangan yang menikah di usia muda dimana dari 1000 penduduknya dengan usia 15 hingga 19, terdapat 126 orang yang menikah dan melahirkan di usia muda, selanjutnya diikuti oleh DKI Jakarta dengan 44 orang. Terdapat pro dan kontra dalam menyikapi banyaknya kejadian perkawinan usia muda. Pihak yang pro terhadap perkawinan usia muda memberikan alasan bahwa dengan menikah di
10
usia muda akan menghindari hal-hal yang dilarang baik asas agama maupun sosial di tengah gejolak pergaulan yang semakin ”menggila” seperti saat ini dengan dalih dari pada terjerat dalam pergaulan bebas dan menghindari terjadinya hamil di luar pernikahan (Sarwono, 1991). Dari pihak yang kontra, mereka melihat dan menelaah bahwa pasangan yang menikah di usia muda memiliki kecenderungan untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga mereka. Tingginya perkara perceraian di hampir semua daerah yang menjadi area penelitian Ikatan Sosiologi Indonesia ( ISI ) berbanding lurus dengan tingkat penikahan di usia muda. Namun penyebab dari perceraian tersebut bukan hanya karena alasan usia pernikahan yang masih terlalu muda melainkan alasan-alasan yang lain, salah satunya seperti masalah ekonomi. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai salah satu dampak dari pernikahan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologis (Kartono, 1992). Fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia. Bahkan pada jaman dahulu, masyarakat memandang pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan persepsi yang kurang baik. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb (BKKBN, 2014). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh salah seorang informan yaitu, “di desa sini kan mas kalo misalnya menikahnya kelamaan tar dibilang “perawan tua” gitu mas. jadi yaa akhirnya pada merasa malu gitu mas kalo usia udah diatas 20 tahun tapi belum ada yang ngelamar.”(S) Penelitian yang dilakukan oleh Bayisenge (2010) dan Landung J., Thaha R. & Abdullah, A.Z. (2009) menjelaskan bahwa faktor sosial-budaya merupakan salah satu faktor kuat yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Melalui norma sosial yang ada, sosial-budaya mendorong pembiasaan dan pembentukan makna negatif mengenai nilai seorang gadis remaja. Pemaknaan negatif pada masyarakat mengenai gadis remaja yang belum menikah, pemaknaan
11
negatif pada keluarga miskin dan pelabelan manja pada gadis yang menempuh pendidikan tinggi tersebut mendorong orangtua akan sesegera mungkin menikahkan anak perempuan mereka walau masih berusia remaja karena apabila tidak dilakukan maka akan menjadi aib dan beban bagi keluarga. Faktor-faktor yang ada membentuk tingkah laku menikah dini sebagai hal yang wajar pada masyarakat pedesaan. Faktor tersebut diungkapkan oleh Jackson and Smith (1999) sebagai keyakinan yang saling terkait, yakni norma dan nilai kelompok yang menghasilkan tingkah laku menikah dini. Proses pengkontruksian makna tersebut didasarkan atas sebab atribut kultural yang ada pada masyarakat, dalam hal ini adalah kepercayaan, adat istiadat dan norma yang merujuk pada identitas sosial. Makna pernikahan tidak dapat terlepas dari tujuan-tujuan yang melingkupi pernikahan tersebut. Makna pernikahan berkaitan erat dengan tujuan pernikahan, karena pernikahan tidak memiliki makna bila apa yang menjadi tujuan pasangan tidak tercapai dalam pernikahan yang mereka jalani. (Cristensen, 1987). Menurut Cristensen (1987), makna pernikahan berkaitan dengan tiga hal yaitu : 1. Mewujudkan fungsi sosial keluarga Pernikahan adalah sebuah lembaga yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat. Tanpa pernikahan, tidak ada satu pun masyarakat yang dapat terbentuk. Lembaga pernikahan perlu diorganisasikan untuk keperluan fungsi sosial yang diwujudkan untuk kebutuhan manusia. Tujuan umum pernikahan dan keluarga adalah untuk mengesahkan keberadaan keluarga-keluarga tersebut dan untuk menjelaskan universalitas dari lembaga pernikahan itu sendiri.
12
2. Melengkapi sifat alamiah jenis kelamin Penyatuan antara pria dan wanita dalam sebuah ikatan pernikahan memungkinkan timbulnya
hubungan
intim
yang
bersifat
alamiah,
emosional
dan
berkesinambungan dalam waktu lama yang berpeluang untuk mencapai keharmonisan dan kebahagiaan 3. Kebahagiaan sebagai tolak ukur suksesnya sebuah pernikahan Tujuan pernikahan seseorang adalah untuk memperoleh kebahagiaan dapat dirasakan oleh pasangan yang mengalami pernikahan tersebut. Ketika tujuan pernikahan tercapai, maka muncullah makna yang mendasari pernikahan tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya pernikahan dini serta bagaimana makna pernikahan bagi perempuan yang menikah dini dengan mengkaji dan membahas berbagai masalah tersebut melalui penelitian yang berjudul “Makna Pernikahan bagi Perempuan yang Menikah Dini”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang diteliti dirumuskan sebagai berikut : •
Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia dini?
•
Apakah makna pernikahan bagi perempuan yang menikah dini?
13
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memberikan kontribusi berupa masukan kepada para remaja desa Panggang terhadap dampak negatif dari pernikahan di usia dini dan sebagai bahan pertimbangan kepada pasangan remaja yang ingin melaksanakan pernikahan di usia dini melalui pemahaman terhadap makna pernikahan.
D. •
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian-penelitian yang akan datang tentang pernikahan dini dan sebagai referensi untuk pengembangan ilmu psikologi terutama di bidang psikologi perkembangan remaja dan dewasa.
•
Manfaat Praktis Diharapkan
hasil
penelitian
ini
dapatmemberikan
informasi
tentang
dampaknegatif terhadap pernikahan dini serta sebagai bahan pertimbangan bagi remaja yang ingin melaksanakan pernikahan di usia dini.