BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah individu unik yang mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangan. Sebagai individu yang unik anak memiliki berbagai kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan tumbuh kembang. Kebutuhan tersebut dapat meliputi kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan nutrisi dan cairan, aktivitas, eliminasi, tidur, dan lain-lain (Hidayat, 2005). Salah satu kebutuhan fisiologis adalah aktivitas yang berbentuk permainan. Masa prasekolah merupakan masa-masa bahagia dan masa yang memuaskan dari seluruh masa kehidupan anak dan hampir sebagian besar waktu dihabiskan untuk bermain (Akbar, 2004). Berdasarkan Teori Psikososial oleh Erik Erikson (initiative vs guilt) yaitu anak belajar tentang dunia melalui permainan. Oleh karena itu, bermain merupakan aspek yang penting dalam tahap perkembangan anak untuk mengenal lingkungannya (Moreau, 2005). Pada tahap prasekolah, anak menjadi aktif dan asertif dalam bermain. Mereka mengembangkan koordinasi fisik dan memperluas hubungan sosial untuk mencapai apa yang mereka harapkan. Tapi dalam bermain anak prasekolah masih berpusat pada diri sendiri, bermain sendiri walaupun anak-anak lain sedang berkumpul. Maka dari itu dengan bermain anak dapat belajar tentang diri mereka sendiri, lingkungan sekitar
1
2
dan mengembangkan hubungan sosialnya dengan teman yang lain (Klossner, 2006). Anak tidak bisa membedakan antar bermain dan bekerja. Bagi anak bermain merupakan seluruh aktivitas anak temasuk bekerja dan kesenangannya serta merupakan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tapi juga merupakan kebutuhan anak seperti halnya makanan, perawatan, cinta kasih dan lainlain. Anak memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik, mental dan perkembangan emosinya (Soetjiningsih, 1995). Bermain merupakan suatu aktivitas di mana anak dapat melakukan atau
mempraktikkan
keterampilan,
memberikan ekspresi terhadap
pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa. Banyak ditemukan anak pada masa tumbuh kembang mengalami perlambatan yang disebabkan karena kurangnya pemenuhan kebutuhan pada diri anak termasuk di dalamnya adalah kebutuhan bermain, yang seharusnya masa tersebut merupakan masa bermain yang diharapkan untuk menumbuhkan kematangan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Jika pada masa tersebut tidak digunakan sebaik mungkin maka akan mengganggu tumbuh kembang anak (Hidayat, 2005). Bermain adalah unsur penting untuk perkembangan anak baik fisik, emosi mental, intelektual, kreativitas dan sosial. Anak yang mendapat kesempatan cukup untuk bermain akan menjadi orang dewasa yang mudah berteman, kreatif dan cerdas bila dibandingkan dengan anak yang masa
3
kecilnya kurang mendapatkan kesempatan bermain. Bermain mempunyai arti dalam tumbuh kembang anak, bukan hanya pada pertumbuhan fisik anak tapi juga terhadap perkembangan mental dan sosial anak (Soetjiningsih, 1995). Permainan menjadi hal yang penting bagi anak-anak karena dengan bermain mereka tidak merasa kesepian, dapat beraktivitas sehingga meningkatkan nafsu makan, anak dapat belajar mengontrol diri dan meningkatkan kreativitas terutama pada anak tahap prasekolah di mana mereka aktif bermain dan belajar bersosialisasi dengan teman yang lain (Soetjiningsih, 1995). Ketika anak mengalami sakit, hal tersebut merupakan masa yang sulit bagi anak. Mereka akan kehilangan kebiasaan bermain, teman-teman sepermainan, lingkungan yang dikenal dan mengharuskan anak untuk menjalani rawat inap di mana rumah sakit merupakan tempat yang asing baginya, dalam keadaan sakit dan sepi serta harus menjalani berbagai prosedur pengobatan yang menakutkan. Jika dibiarkan maka anak akan merasa jenuh, bosan dan kegembiraannya semakin lama akan semakin berkurang dan akhirnya hilang (Wong, 1996). Hospitalisasi atau rawat inap biasanya akan memberikan pengalaman yang menakutkan bagi anak. Hospitalisasi adalah suatu proses yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan hingga sampai pulang kembali ke rumah (Supartini, 2004). Semakin muda usia anak, semakin kurang kemampuannya dalam menghayati sehingga dapat menimbulkan hal yang menakutkan. Semakin
4
muda usia anak dan semakin lama anak mengalami hospitalisasi maka dampak psikologis yang dirasakan anak semakin besar. Dampak psikologis yang terjadi salah satunya adalah peningkatan kecemasan yang berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, saudara atau kawankawannya akibat pemindahan dari lingkungan yang sudah akrab dan sesuai dengannya (Simbolon, 1999). Anak yang dirawat di rumah sakit akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi anak dalam mengatasi krisis dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat, sistem dukungan yang tersedia serta keterampilan koping dalam menangani stres (Nursalam, 2005). Tindakan perawatan yang diberikan oleh perawat juga akan mengakibatkan stres bagi anak karena anak berada di lingkungan yang asing, bertemu dengan orang yang belum dikenal sebelumnya, peralatanperalatan medis di ruangan yang mengerikan dan menakutkan serta anak merasa berpisah sementara dengan orang-orang yang dikenal dan teman yang dicintai. Jika kebutuhan anak akan dicintai tidak terpenuhi dalam perawatan maka sikap kooperatif akan terhambat, akibatnya proses perawatan yang dilakukan tidak berjalan dengan lancar sehingga tujuan yang diharapkan juga tidak tercapai dengan baik (Hurlock, 1999).
5
Atraumatic care sebagai bentuk perawatan terapeutik yang dapat diberikan kepada anak dan keluarga dengan mengurangi dampak psikologis dari tindakan keperawatan yang diberikan. Atraumatic care adalah perawatan yang tidak menimbulkan adanya trauma pada anak dan keluarga. Perawatan tersebut difokuskan untuk pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak. Perhatian khusus kepada anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh kembang, sangat penting karena masa anak merupakan proses menuju kematangan. Kalau proses menuju kematangan tersebut ada hambatan atau gangguan maka anak tidak akan mencapai kematangan (Hidayat, 2005). Salah satu tindakan keperawatan yang dapat menurunkan trauma akibat hospitalisasi adalah bermain terapeutik. Bermain terapeutik dapat memungkinkan anak untuk bisa lebih kooperatif dengan perawat, karena bermain terapeutik dapat memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya, mengungkapkan ketakutannya dan memahami perlukaan atau penyakitnya, pengobatan dan lingkungan rumah sakit, menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi dan memberikan perlindungan terhadap anak yang mengalami stres, membantu anak menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan, pengobatan dan prosedur invasif sehingga memungkinkan dapat menurunkan stres dan ketakutan pada anak (Mott, James dan Sperhac, 1990 cit Heni, 2003). Perawat adalah seseorang yang karena latihan dan pengalamannya mengobservasi, menginterpretasi serta menilai perasaan tidak nyaman
6
serta membantu anak memperoleh kembali tingkat kesehatan yang sepadan
dengan
kemampuannya.
Perawat
sebagai
orang
yang
berhubungan dengan anak selama di rawat di rumah sakit mempunyai kedudukan dan fungsi yang penting dalam proses penyembuhan anak (Sacharin, 1996). Perawat juga mengarahkan klien dengan membentuk hubungan saling percaya untuk penyembuhan. Hal ini membantu klien berorientasi pada masa depan dan mampu berupaya ke arah penyembuhan dan pemulihan (Potter&Perry, 2005). Peran perawat dalam meminimalkan stres akibat hospitalisasi pada anak sangat penting. Perawat perlu memahami konsep stres hospitalisasi dan prinsip-prinsip asuhan keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan (Nursalam, 2005). Oleh karena itu, pentingnya perawat memiliki kompetensi dalam memberikan bermain terapeutik yang menjadi faktor penting untuk membina hubungan saling percaya dan untuk mengatasi stres akibat hospitalisasi. Akibat dari perilaku perawat yang lemah tentang bermain terapeutik maka akan mempengaruhi kinerja perawat dalam memberikan tindakan keperawatan kepada anak sehingga kesejahteraan anak akan terganggu. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2008 di bangsal Ibnu Sina RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta peneliti mendapatkan bahwa tidak pernah dilaksanakannya bermain terapeutik, maka peneliti tertarik meneliti tentang ´Perilaku Perawat Dalam Melakukan Bermain Terapeutik Pada Anak Usia Prasekolah´.
7
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disusun, maka rumusan yang dapat ditarik yaitu : ´Bagaimanakah
perilaku perawat dalam melakukan bermain
terapeutik pada anak usia prasekolah di bangsal Ibnu Sina RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta?´. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perilaku perawat dalam melakukan bermain terapeutik pada anak usia prasekolah. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pengetahuan perawat dalam melakukan bermain terapeutik terhadap anak usia prasekolah. b. Untuk mengetahui sikap perawat dalam melakukan bermain terapeutik terhadap anak usia prasekolah. c. Untuk mengetahui psikomotor perawat dalam melakukan bermain terapeutik terhadap anak usia prasekolah. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Keperawatan a. Sebagai tempat untuk menerapkan ilmu yang didapat secara langsung serta memperdalam kompetensi perawat di bidang ilmu keperawatan.
8
b. Sebagai bahan masukan tentang pentingnya pemberian bermain terapeutik pada anak. c. Sebagai
masukan
bagi
profesi
keperawatan
untuk
lebih
meningkatkan kompetensi perawat dalam melakukan bermain terapeutik. 2. Bagi Peneliti a. Sebagai tempat untuk mempraktikkan ilmu yang didapat dan memperluas wawasan peneliti. b. Agar dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi Rumah Sakit Sebagai pertimbangan agar di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dapat meningkatkan dan mengembangkan kompetensi perawat melalui diskusi, seminar dan pelatihan-pelatihan yang membahas khusus tentang bermain terapeutik sehingga program bermain terapeutik dapat berjalan dengan lancar yang bertujuan untuk menurunkan dampak hospitalisasi pada anak. E. Ruang Lingkup penelitian 1. Responden Penelitian dilakukan pada perawat D3 dan S1 di bangsal anak Ibnu Sina RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Tempat Bangsal
Ibnu
Sina
(Bangsal
Muhammadiyah Yogyakarta.
Perawatan
Anak)
RSU
PKU
9
3. Waktu Dari tanggal 17 Februari ± 5 Maret 2009 4. Variabel Perilaku perawat dalam melakukan bermain terapeutik. F. Penelitian Terkait Penelitian terkait terapi bermain pernah dilakukan oleh Siswanti (2003) yang berjudul ´Pengaruh Pemberian Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia Pra Sekolah di Ruang Ibnu Sina (bangsal Perawatan Anak) RSU PKU Muhammadiyah´ dengan desain Quasi Eksperimen tanpa kelompok kontrol dengan responden anak usia 26 tahun. Penelitian terkait juga pernah dilakukan oleh Rezeki (2003) yang berjudul ´Pengaruh Pemberian Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kooperatif Selama Menjalani Perawatan pada Anak Usia Pra Sekolah di Bangsal Ibnu Sina RSU PKU Muhammadiyah´ dengan menggunakan metode analitik kuantitatif yang dilakukan pada anak usia 2-6 tahun, terapi bermain dengan menggunakan skala nominal dan tingkat kooperatif menggunakan skala ordinal serta menggunakan uji statistik yaitu wilcaxon test. Penelitian lainnya yaitu dilakukan oleh Herlina (2000) yang berjudul ´Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kooperatif pada Anak Usia Pra Sekolah di IRNA II RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta´ dengan menggunakan metode analitik kuantitatif yang dilakukan pada anak usia
10
3-5 tahun, terapi bermain dan tingkat kooperatif menggunakan skala dikotomy serta menggunakan uji t-test. Menurut pengetahuan penulis, penelitian mengenai ´Perilaku Perawat Dalam Melakukan Bermain Terapeutik Pada Anak Usia Prasekolah ´, dengan menggunakan desain non eksperimen deskriptif analitik dan observasi dengan pendekatan kuantitatif yang dilakukan pada perawat D3 dan SI belum pernah dilaksanakan di RSU PKU Muhammadiyah. Oleh karena itu penelitian ini baru pertama kali dilaksanakan.