BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah adalah sesuatu yang wajar bagi semua individu. Setiap individu membutuhkan kemampuan dan ketrampilan tertentu agar dapat memecahkan masalah dengan efektif. Executive function memegang peranan penting dalam memecahkan masalah dengan efektif. Contoh peranan tersebut antara lain adalah dalam proses belajar (St Clair-Thompson & Gathercole, 2006), regulasi emosi (Schmeichel & Tang, 2015), dan sosial kognitif (Benson & Sabbagh, 2013). Lezar, Howieson, Bigler, & Tranel (2012) mendefinisikan fungsi eksekutif sebagai kemampuan untuk bertindak bebas atau independent, bertujuan atau purposive, mandiri atau self-directed, dan memiliki kepedulian terhadap diri sendiri atau self-serving. Pendapat dari Stirling (2002) menguatkan bahwa fungsi eksekutif adalah hal yang penting bagi manusia, fungsi eksekutif dianggap sebagai atribut psikologi yang memiliki tugas untuk mengawasi atau supervisoring, mengontrol atau controlling, dan mengorganisasi atau organizing. Menurut Stirling (2002) fungsi eksekutif memiliki beragam peran dalam kehidupan sehari-hari, seperti kemampuan untuk membuat rencana, memulai, dan mengahiri tindakan, berfikir abstrak dan konseptual, beradaptasi pada lingkungan yang berubah-ubah, dan merespon tuntutan sosial. Pendapat dan hasil penelitian para ahli tersebut menguatkan pendapat bahwa fungsi eksekutif memiliki peran penting dalam memecahkan masalah kompleks. Miyake, Friedman, Emerson, Witzki, & Howerter (2000) menyebutkan bahwa salah satu jenis dari fungsi eksekutif adalah inhibition, yaitu kemampuan untuk melawan respon dominan atau melakukan tindakan diluar respon. Berdasarkan pengertian dari 1
2
Miyake dkk., (2000), contoh dari inhibition bisa berupa kemampuan pengendara sepeda motor dalam hal menghindari orang yang menyebrang secara mendadak di depan pengendara tersebut. Pengendara motor memiliki respon umum mengatur kecepatan motor dengan stabil dan menekan rem dengan jarak waktu yang cukup. Penyebrang jalan yang menyebrang secara mendadak membuat pengendara motor harus melakukan respon lain yang bukan merupakan respon umum, seperti menekan rem, menghilangkan gas, dan menghindari penyebrang jalan tersebut. Pengendara motor yang memiliki inhibition baik akan mampu menghindari penyebrang sehingga keduanya selamat. Pengendara motor yang gagal menghindari penyebrang jalan bisa dikatakan memiliki inhibition yang buruk. Banyak penelitian mengenai inhibition yang mendukung pendapat bahwa inhibition merupakan komponen penting di dalam executive function yang berguna bagi kehidupan manusia. Penelitian dari Hasher dan Zacks (1988) menunjukkan bahwa salah satu penyebab dari penurunan fungsi kognitif pada lansia disebabkan oleh kemampuan inhibition yang semakin menurun. Hippel & Dunlop (2005) juga menyatakan bahwa inhibition memiliki peran penting dalam pemahaman dan memori. Miyake dkk. (2000) berpendapat bahwa inhibition memang terlepas dari fungsi eksekutif yang lain, namun inhibition mempengaruhi fungsi eksekutif lainnya. Pendapat para ahli tersebut mendukung inhibition menjadi kemampuan yang berperan penting dalam executive function. Kana, Keller, Minshew, & Just (2007) berpendapat bahwa inhibition ikut membantu mengatur kognisi yang kompleks dan mengubahnya menjadi perilaku yang sesuai dengan lingkungan. Berdasarkan pendapat Kana dkk., (2007), kurangnya inhibition dapat dilihat dari perilaku pada saat tertentu yang kurang sesuai dengan lingkungan. Penelitian dari Hippel & Dunlop (2005) menghasilkan indikasi yang sama. Penelitian tersebut menemukan kecenderungan pada lansia dengan inhibition yang sudah berkurang, mereka cenderung melakukan suatu hal yang kurang pantas dilakukan di lingkungan
3
mereka. Inhibition yang buruk juga berhubungan dengan kesusahan belajar atau learning difficulties (Blair & Reza, 2007) dan perilaku bermasalah atau behavioral problems (Friedman, Haberstick, Wilcut, Miyake, Young, Corley, & Hewitt, 2007). Penelitianpenelitian tersebut membuktikan bahwa inhibition yang kurang dapat memberikan dampak negatif bagi manusia. Berdasarkan hal tersebut, penting bagi manusia untuk menjaga inhibition yang dimiliki. Ng, Tamis-LeMonda, Yoshikawa, & Sze (2014) berpendapat bahwa pendidikan self-regulation sejak dini dapat memicu perkembangan inhibition. Masyarakat Indonesia memberikan pendidikan self-regulation sejak dini melalui norma-norma sosial, seperti tidak menunjukkan emosi negatif di depan umum, menghindari konflik terbuka dengan orang lain, dan menyimpan emosi negatif (Forshee, 2006). Hal tersebut memicu perkembangan inhibition masyarakat Indonesia sejak dini. Perkembangan inhibition sejak dini di Indonesia belum tentu menghasilkan kemampuan inhibition yang baik. Ada faktor-faktor di sekitar yang tanpa disadari dapat menurunkan kemampuan inhibition. Faktor yang memiliki kemungkinan untuk dapat menyebabkan kemampuan inhibition berkurang adalah media multitasking. Rosen (2008) mendefinisikan media multitasking sebagai penggunaan berbagai jenis media secara serempak, seperti televisi, internet, video games, telefon, dan e-mail. Menurut Foehr (2006), media multitasking adalah perilaku untuk melibatkan diri pada lebih dari satu media pada saat yang bersamaan. Kedua definisi media multitasking tersebut mengacu pada penggunaan media yang lebih dari satu secara bersamaan. Ophir, Nass, & Wagner (2009) membagi perilaku media multitasking ke dalam dua kelompok, heavy mediamultitaskers (HMM) dan light media-multitaskers (LMM). HMM adalah pelaku mediamultitasking / meda-multitaskers yang tergolong menggunakan media secara berlebihan
4
atau di atas kewajaran penggunaan. LMM adalah media multitaskers yang tergolong menggunakan media secukupnya. HMM terbiasa untuk membagi perhatian ke beberapa informasi sekaligus, mereka mungkin lebih mudah terdistraksi oleh stimulus yang tidak terlalu relevan dengan aktivitas utama mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Ophir, Nass, & Wagner (2009) telah membuktikan hal tersebut, HMM lebih mudah terdistraksi oleh distraktor eksternal dan internal dibandingkan dengan LMM. Individu dengan kemampuan inhibition yang baik dapat mengontrol stimulus yang datang, mereka dapat mengabaikan distraktor dan tetap fokus pada aktivitas utama (Baumgartner, Weeda, van der Heijden, & Huizinga, 2014). Kebiasaan HMM untuk membagi perhatian ke beberapa stimulus memungkinkan HMM memiliki kemampuan inhibition yang rendah. Media multi-tasking di Indonesia semakin difasilitasi oleh gadget smartphone. Gadget smartphone memiliki fasilitas untuk mewadahi kegiatan media-multitasking, seperti menggunakan internet, mendengarkan musik, dan membalas pesan singkat secara serempak. Pembelian smartphone di Indonesia bukan lagi didasari oleh kebutuhan, penelitian oleh Chuzaimah, Mabruroh, & Dihan (2010) menghasilkan bahwa motif utama penggunaan smartphone di Indonesia adalah untuk life-style atau gaya hidup. Life-style smartphone mengindikasikan penggunaan smartphone yang tinggi di Indonesia. Berdasarkan survey tahun 2013 yang dilakukan oleh Google dan Ipsos Media CT, pengguna smartphone di Indonesia diprediksi mencapai 55 juta pada akhir tahun 2015 (Jose, 2015). Tahun 2018, pengguna smartphone di Indonesia diprediksi akan meningkat dengan pesat hingga mencapai 100 juta, dengan demikian Indonesia menjadi pengguna smartphone terbanyak peringkat empat di dunia (Millward, 2014). Prediksi perkembangan tersebut dapat membuat perilaku media multi-tasking di Indonesia semakin berkembang.
5
Kemampuan inhibition di Indoensia yang telah berkembang karena adanya pendidikan self-regulation sejak dini (Forshee, 2006) dihadapkan dengan peningkatan pengguna media multitasking / media multitaskers yang dipicu dengan perkembangan gadget. Peristiwa tersebut membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai media multitasking dan inhibition di Indonesia. Salah satu alat ukur yang dapat melihat kemampuan inhibition adalah stroop-task (Cothran & Larsen, 2008; Jensen, 1965; Homack & Riccio, 2004). Stroop-task yang diciptakan oleh Stroop (1935) bertujuan untuk melihat kemampuan atensi dalam melawan penghambat / distractor. Stroop (1935) menggunakan kartu sebagai alat tes, namun Hart, Lucena, Cleary, Belger, & Donkers (2012) dan Zarghi, Alireza, Mehdi, Farzad, Reza, Mehdi, & Motjaba (2012) menggunakan dasar stroop-task untuk membuat stroop-task menjadi aplikasi komputer, sehingga stroop-task dapat dilakukan melalui komputer dengan menggunakan tombol di keyboard untuk melakukan jawaban. Stroop-task tidak mengukur inhibition melalui skala yang berisi perilaku nampak, stroop-task menggunakan tugas untuk melihat kemampuan individu. Stroop-task menggunakan kondisi kongruen dan inkongruen untuk melihat kemampuan inhibition seseorang. Kondisi kongruen adalah kondisi dimana kata warna yang tertera sama dengan warna yang tertera, sedangkan kondisi inkongruen adalah kondisi dimana kata warna yang tertera berbeda dengan warna yang tertera. Perubahan kondisi dari kongruen menuju inkongruen memerlukan kemampuan inhibition, sehingga stroop-task cocok untuk mengukur kemampuan inhibition seseorang. Penelitian ini adalah penelitian awal yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya, hasil dari penelitian ini akan dianalisis lebih lanjut dan akan dijadikan penelitian lanjutan mengenai pengaruh media multitasking terhadap executive function di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian replika dari penelitian Ophir dkk., (2009).
6
Penelitian yang dilakukan Ophir dkk., (2009) membandingkan kemampuan control kognitif pada HMM dan LMM, pada penelitian ini kemamupan kontrol kognitif yang akan dibandingkan pada HMM dan LMM adalah salah satu executive function, yaitu inhibition.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan inhibition dengan menggunakan CSCWT (Computerized Stroop Color Word Test) antara Heavy Media Multitasking (HMM) dengan Light Media Multitasking (LMM).
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis a. Menambah kajian teori psikologi mengenai perilaku media multitasking dan executive function, khususnya inhibition, di Indonesia. Kajian, penelitian, dan pembahasan dari kedua hal tersebut masih jarang dijumpai pada sampel dan populasi masyarakat Indonesia. b. Memperkuat kajian mengenai perilaku media multitasking dan executive function, khususnya inhibition. c. Meanambah pemahaman teori mengenai inhibition yang penelitiannya masih jarang di Indonesia.
2.
Manfaat Praktis a. Menambah ketrampilan bagi peneliti sekarang maupun peneliti selanjutnya dalam hal melakukan eksperimen dengan menggunakan CSCWT (Computerized Stroop Color Word Test).
7
b. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan berguna sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya. Semoga peneliti selanjutnya semakin mampu untuk dapat mengembangkan penelitian yang relevan dengan inhibition dan media-multitasking. c. Menambah informasi mengenai pentingnya pengelolaan media multitasking jika hipotesis pada penelitian ini terbukti.