BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Setiap masalah yang muncul akan selalu memerlukan penyelesaian, baik penyelesaian
dengan segera maupun tidak. Penyelesaian masalah merupakan sesuatu yang harus dilakukan apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih besar apabila individu tersebut mencoba menghindari masalah dan tidak berusaha menyelesaikannya dengan baik. Akibat selanjutnya adalah individu akan mengalami konflik dan rasa frustrasi yang berkepanjangan (Arwindi dalam Widodo, 2007). Penyelesaian masalah tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, adakalanya penyelesaian masalah mengalami hambatan, hambatan dalam melakukan penyelesaian masalah menyebabkan tujuan yang diinginkan tidak tercapai (Arwindi, 2004). Seorang individu termasuk juga remaja terkadang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Remaja sebetulnya adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai” (Monks dkk, dalam Ali dan Asrori, 2005). Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya (Monks dkk, dalam Ali dan Asrori, 2005). Salah satu remaja yang belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya adalah 1
apabila remaja sedang mengalami konflik, baik konflik dengan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, konflik yang sering terjadi pada masa remaja adalah konflik dengan orangtua. Lima puluh persen (50%) remaja bunuh diri karena memiliki masalah dengan orangtuanya (Suarantb.com dalam Maulida, 2008). Konflik-konflik dalam diri remaja dapat menimbulkan situasi yang menekan bagi remaja, yang akhirnya menimbulkan stress. Perilaku bermasalah pada remaja sering kali timbul karena bentuk perilaku yang tidak sesuai dalam mengatasi stres. Solomon, dkk (dalam Widodo, 2004) mengungkapkan bahwa coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan dalam masalah stress, konsep coping digunakan untuk menjelaskan hubungan antara stres dengan perilaku individu dalam menghadapi stres. Shin, dkk (dalam Widodo, 2004), mengatakan bahwa coping adalah usaha untuk mengurangi stres dan tekanan perasan. Apabila penyesuaian fisik dan psikologis terhadap masalah atau stres pada individu berjalan relatif lancar, sesuai, baik dan efektif maka perilakunya akan sehat, namun jika tidak individu akan dipaksa berusaha lebih keras untuk mempertahankan keutuhannya, bila masalah atau stres menjadi terlalu besar dan cara penyelesaian yang biasa dipakai tidak berhasil, maka penyesuaian ini dapat menjadi berlebihan dan tidak cocok lagi, sehingga perilaku individu tersebut menjadi bermasalah. Cara utama menangani stress adalah dengan percaya bahwa mereka dapat mengubah situasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Aani, 2011). Coping yang paling efektif bagi individu adalah yang sesuai dengan jenis stres dan situasi yang dihadapi oleh individu yang bersangkutan (Nisa, dalam Mirdasari Maulida, 2008). Laporan sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan perilaku pada remaja lebih cenderung dipengaruhi oleh kelompok teman sebaya. Didalam kelompok sebaya ini mereka
2
kurang memperoleh pembekalan cara mengatasi permasalahan (coping), oleh karena itu, mereka harus berhadapan dengan masalah dalam kehidupannya, mereka merasa tidak berdaya atau mereka menggunakan alternatif coping yang keliru. Provitae No.2 (2005) menjelaskan bahwa jika remaja tidak melibatkan diri dalam kelompok sebaya namun kondisi keluarga, khususnya orang tua, kurang atau tidak membekali mereka dengan kemampuan coping yang layak, maka kemampuan remaja untuk mengatasi mereka juga akan mengalami hambatan. Hambatan tersebut kemudian akan berpotensi untuk menimbulkan gangguan psikologis pada diri remaja seperti depresi, kecemasan dan gejala bunuh diri. Contoh yang paling umum pada remaja yang mengalami depresi adalah perilaku merokok, minum-minuman keras ketika sedang menghadapi suatu masalah dan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Kasus narkoba yang dialami oleh OP, pada suatu saat OP baru saja diputus oleh pacarnya, yang membuatnya menjadi gelisah dan stres. Dia lantas menggunakan shabu-shabu untuk mengurangi tekanan perasaan yang dia alami (Warta Kota, 3 Agustus 2013). Didaerah tempat tinggal penulis, dalam menghadapi situasi yang menekan perasaan, remaja sering menggunakan strategi coping yang tidak sesuai, seperti penggunaan alkohol, kebiasaan merokok, dan tindakan agresi seperti perkelahian, atau hal-hal yang melanggar peraturan sekolah seperti membolos. Contoh-contoh diatas merupakan contoh bagaimana remaja sering menggunakan coping yang tidak sesuai dalam menghadapi masalah yang menekan perasaan mereka. Jenis coping yang dilakukan individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kesehatan fisik, karakteristik kepribadian, variabel sosial-kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial. Dan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku coping adalah pola asuh orang tua.
3
Hal tersebut sesuai dengan suatu fenomena yang terjadi pada orang tua yang memiliki anak remaja. Pola asuh yang di berikan orang tua akan mempengaruhi interaksi dalam keluarga. Penilaian remaja dipengaruhi oleh persepsi sehingga menimbulkan perilaku atau tindakan remaja baik yang bersifat positif maupun negatif. Persepsi yang positif dapat menghasilkan tindakan yang positif sedangkan persepsi yang negatif akan. menghasilkan tindakan yang negatif (Kartono dalam Mulyati, 2008). Penghayatan remaja tersebut tentu akan memengaruhi bagaimana ia menyikapi perlakuan orang tua dengan kata lain remaja akan memiliki cara penyesuaian atau coping terhadap situasi yang dihadapinya. Berdasarkan fenomena-fenomena yang dialami oleh remaja, usia remaja sering kali mengalami konflik-konflik, baik konflik dengan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, konflik yang sering terjadi pada masa remaja adalah konflik dengan orangtua, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah terdapat hubungan antara persepsi terhadap pola asuh orang tua dengan perilaku coping pada remaja di SMK HARAPAN JAYA II Tangerang.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada pembahasan sebelumnya, permasalahan
yang hendak dijawab dalam penelitian ini dirumuskan adalah “Apakah ada Hubungan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Coping pada Remaja di SMK Harapan Jaya II”.
1.3
Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
persepsi terhadap pola asuh orang tua dengan perilaku coping pada remaja SMK Harapan Jaya II Tangerang. 4
1.4
Manfaat Penelitian
Aspek Teoritis : Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya penelitianpenelitian dalam ilmu Psikologi, mengenai hubungan antara persepsi terhadap pola asuh orang tua dengan perilaku coping pada remaja.
Aspek praktis : Bagi orang tua yang memiliki anak remaja, dapat mengetahui bagaimana cara bersikap kepada anak remajanya, karena usia remaja adalah usia pencarian jati diri dimana anak ingin menentukan pilihannya sendiri, dan orang tua dapat mengarahkan anaknya secara baik.
5