BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Masa
dewasa
awal
adalah
suatu
masa
dimana
individu
telah
menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Masa remaja yang ditandai dengan pencarian identitas diri, sedangkan pada masa dewasa awal, identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis. Berbagai masalah juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Masa dewasa awal merupakan masa kematangan, termasuk kematangan emosi. Kematangan emosi adalah seorang individu dapat melihat situasi secara kritis sebelum berespon secara emosional sehingga tidak bereaksi seperti anak– anak dan orang yang tidak matang, serta emosinya stabil. Hurlock (1990) menyatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 17 tahun sampai kirakira umur 40 tahun (dewasa lanjut). Keluarga merupakan lingkungan pertama yang menentukan perilaku anak. Orang tua dalam keluarga sebagai pimpinan keluarga sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar kepribadian anak. Keberhasilan anak dalam membentuk tingkah laku secara tepat di masyarakat adalah ditentukan oleh peranan lingkungan. Mengenai hal ini Hurlock (1999) mengemukakan bahwa pengertian
14
mengenai nilai-nilai tingkah laku serta kemampuan anak untuk membentuk tingkah laku yang dikembangkan di dalam lingkungan. Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing orang tua kerena setiap keluarga memiliki kondisikondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Hurlock (1999) membagi pola asuh menjadi tiga yaitu: pola asuh otoriter, demokrasi dan permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orang tua yang sangat dominan. Pola asuh demokrasi, antara disiplin dan pemberian kasih sayang seimbang. Pola asuh permisif, pada dasarnya orang tua memberikan kebebasan penuh dan membiarkan perbuatan-perbuatan anak tanpa batasan yang jelas. Secara psikologis, pada masa usia dewasa awal tidak sedikit di antara anak yang kurang mampu mencapai kematangan dalam emosinya. Hal ini disebabkan karena banyaknya masalah yang dihadapinya dan tidak mampu mengatasinya. Individu yang stabil emosinya atau matang dalam emosi akan memiliki muatan emosional yang rendah, mampu menanggulangi permasalahan yang dihadapi dan tidak mengalami kesulitan emosional yang berlebih. Menurut Walgito (2002), kematangan emosi berkaitan erat dengan usia seseorang dimana seseorang diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu
15
akan lebih menguasai atau mengendalikan emosinya, namun tidak berarti bahwa bila seseorang bertambah usianya berarti dapat mengendalikan emosinya secara otomatis. Berdasarkan data Dinas Sosial Kabupaten Pemalang tahun 2000, dapat dinyatakan bahwa kurang lebih 90% korban penyalahgunaan narkotika adalah kelompok remaja akhir atau dewasa awal. Kenakalan remaja juga dibuktikan berdasarkan survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berupa 57% kasus HIV AIDS terjadi pada masa dewasa awal pada saat masa anak dituntut untuk lebih luas dalam pergaulan dan mencari lebih banyak teman (Prawidya, 2010). Hal ini menunjukkan perilaku kenakalan pada masa usia dewasa awal dalam kurun waktu kurang dari dasawarsa terakhir semakin memprihatinkan. Semua masalah tersebut terjadi karena kurangnya matangannya emosional yang dimiliki oleh seseorang pada usia dewasa awal (Hadi, 2010). Berdasarkan data rekapitulasi di Desa Pohjejer Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto, dari 100 remaja. 40%-50% kasus remaja yang bermasalah karena emosi anak yang masih cenderung labil, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah kurang perhatian dari orang tua dan orang tua juga sering bertengkar di depan anak, pilih kasih diantara kedua anak dalam keluarga, dan kurangnya interaksi anak dengan orang tua (Yusuf. S, 2004). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu guru BK di SMA Theresiana Salatiga menurut informasi dari siswa yang pernah mengalami kasus, siswa di sekolah ini berasal dari latar belakang orang tua yang berbeda dan membentuk pola asuh orang tua terhadap anaknya yang berbeda-beda, serta
16
kematangan emosi yang berbeda pula pada setiap individunya. Siswa SMA Theresiana Salatiga rata-rata berada dalam usia dewasa awal yaitu berumur antara 17-19 tahun. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu guru BK di Sekolah ini, masalah yang dimiliki oleh siswa cukup beragam. Salah satunya masalah yang disebabkan oleh faktor emosi. Pada saat kegiatan belajar mengajar dan kegiatan lain di lingkungan sekolah yang sering terjadi antara lain siswa suka mencari alasan bila melakukan kesalahan agar dapat menghindar dari rasa bersalah. Contoh nyata yang terjadi di sekolah ini ketika siswa melanggar peraturan yang ada di sekolah yaitu merokok di lingkungan sekolah, membolos, karena siswa cenderung tidak mempunyai pendirian dan siswa mengikuti perilaku temantemannya yang menyimpang. Dalam buku catatan kasus yang ada di sekolah, pada bulan Desember tahun 2011 lalu, ada salah satu siswa yang mempunyai masalah dengan teman lainnya di dalam kelas, sampai pada saat jam kosong dua siswa yang bermasalah tersebut berkelahi di dalam kelas dan teman dekatnya bukan malah melerai, siswa tersebut ikut membantu temannya yang sedang berkelahi. Hal ini terjadi karena emosi siswa yang cenderung belum matang atau masih labil, jadi siswa asal ikut-ikutan tanpa berpikir panjang dari dampak perilaku yang menyimpang tersebut. Hurlock (1990) permasalahan-permasalah pada segi emosi dapat diakibatkan salah satunya oleh pola asuh orang tua, faktor lingkungan maupun individu itu sendiri. Lingkungan pertama bagi siswa adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga para siswa memiliki pola asuh yang berbeda-beda dalam mendidik anaknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Astuti (2000) yang
17
menyatakan bahwa pola asuh orang tua merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi kematangan emosi anak. Penelitian Aditya Pranata Kusuma (2009) tentang hubungan pola asuh demokratis orang tua dengan kematangan emosi siswa XI SMA Negeri 1 Bergas, menemukan pola asuh orang tua siswa kelas XI SMA Negeri 1 Bergas, pada pola asuh demokratis orang tua adalah dengan presentase 67,34% sedangkan kematangan emosi siswa termasuk kriteria sedang yaitu dengan persentase 67,96%. Ditemukan bahwa nilai r hitung=0,459. Taraf kesalahan ditetapkan 5%, r tabel = 0,220. Karena 0,459 > 0,220 artinya r hitung lebih besar dari r tabel, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Berarti ada hubungan positif dan dan signifikansi antara pola asuh demokratis orang tua dengan kematangan emosi dengan koefisien sebesar 0,459. Hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum Rohmatul (2009), tentang hubungan pola asuh dengan kematangan emosi siswa SMP MAN Tempursari Ngawi. Berdasarkan analisis data pola asuh orang tua dengan kematangan emosi diperoleh nilai koefisien korelasi 0,198 dan nilai r tabel adalah 0,163. Dari hasil korelasi di atas memiliki nilai 0,198 < r tabel adalah 0,063, berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya pola asuh orang tua tidak memiliki hubungan (tidak berkorelasi) dengan kematangan emosi. Mencermati informasi tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian kembali dengan judul “Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kematangan Emosi Pada Siswa SMA Theresiana Salatiga”.
18
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut : “Adakah hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan kematangan emosi pada siswa SMA Theresiana Salatiga”. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi hubungan antara pola asuh orang tua dengan kematangan emosi pada siswa SMA Theresiana Salatiga. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk maksud sebagai berikut : 1.4.1
Manfaat Teoritis
a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling yang khususnya dapat dimanfaatkan sebagai kajian bersama mengenai pola asuh orang tua tentang kematangan emosi anak sehingga dapat dijadikan sumber informasi yang bermanfaat bagi dunia pendidikan. b. Jika penelitian ini positif, dan signifikan, maka penelitian ini mendukung pendapat Astuti (2000) yang menyatakan bahwa pola asuh orang tua merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi kematangan emosi anak.
19
1.4.2
Manfaat Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi guru pembimbing di sekolah untuk lebih mengetahui tingkat kematangan emosi siswa. b. Bagi Orang tua Penelitian ini diharapkan menjadi bahan introspeksi orang tua dalam mendidik anaknya sehingga dapat menjadikan anak lebih baik lagi. Selain itu dapat menjadi masukan orang tua agar dapat menerapkan pola asuh yang ideal bagi anak-anaknya sehingga dapat menjadikan anak matang dalam emosi di dalam dirinya maupun pergaulan dalam lingkungannya. c. Bagi peneliti lainnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang hubungan pola asuh orang tua dengan kematangan emosi siswa SMA Theresiana Salatiga. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang meliputi : Bab I.
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II.
Landasan Teori berisi, Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kematangan Emosi Siswa , penelitian yang relevan dan hipotesis.
Bab III.
Metode Penelitian berisi tentang jenis penelitian, variabel penelitian, Populasi dan sampel, metode pengumpulan data, teknik analisis data.
20
Bab IV.
Hasil Penelitian dan Pembahasan berisi tentang gambaran umum subyek penelitian, hasil penelitian dan pembahasan.
Bab V.
Penutup berisi kesimpulan dan saran.
21