BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal yang disebut dengan early puberty hingga usia dua puluhan awal yang disebut dengan remaja akhir. Selama periode ini, tidak hanya terjadi perubahan emosional dan sosial tetapi juga perubahan fisik pada individu (Papalia, Olds, & Fieldmans, 2009). Periode ini juga merupakan periode yang mengandung risiko karena sebagian besar remaja mengalami permasalahan dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan dalam mengatasi bahaya saat menjalani masa ini. Memasuki masa remaja berarti memasuki tahap storm and stress dalam perkembangan jiwa manusia, yaitu masa remaja yang penuh dengan masalah, tuntutan, dan tekanan dalam hidupnya. Pada masa ini, status remaja awal tidak hanya sulit ditentukan, tetapi juga membingungkan. Perlakuan orang tua terhadap remaja sering berganti-ganti. Orang tua ragu memberikan tanggungjawab dengan alasan remaja masih kanak-kanak. Tetapi saat remaja bertingkah kekanak-kanakan, remaja mendapat teguran sebagai orang dewasa sehingga, remaja bingung akan statusnya (Mappiare, 1982). Sikap, pikiran, pemahaman, penentuan pendapat, serta emosi pada masa remaja awal masih terus berkembang dan belum stabil (Papalia, dkk, 2009). Adanya permasalahan atau pergolakan emosi yang terjadi pada remaja muncul akibat banyaknya tuntutan dan harapan baru, baik dari dalam maupun dari luar diri individu. Permasalahan yang dialami remaja merupakan suatu hal yang harus dihadapi dan dipecahkan 1
2
karena jika tidak diselesaikan akan menimbulkan kecemasan, ketegangan, dan konflik yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kepribadiannya. Kenyataan yang sering dilihat, saat perkembangan remaja menuju kedewasaan, individu tidak selalu dapat menunjukkan siapa dirinya dan apa peranannya di dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya banyak faktor yang berpengaruh pada diri individu semasa ia kecil, baik di lingkungan rumah maupun lingkungan masyarakat pada saat ia berkembang. Jika saat individu masih kecil dapat berjalan dengan baik maka pada tahap perkembangan selanjutnya individu tidak akan mengalami masalah yang berarti dalam upaya untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan (Willis, 2004). Berkaitan dengan upaya penyesuaian diri kearah dewasa, remaja mengalami kebingungan dalam menemukan konsep dirinya, karena remaja belum menemukan status dirinya secara utuh. Konsep diri merupakan keseluruhan cara bagaimana individu melihat atau memahami dirinya sendiri. Konsep diri disusun dari semua persepsi terhadap “aku” dan “saya” dengan semua perasaan, nilai-nilai dan kepercayaan menyatu dengan semua bagian tersebut. Konsep diri terdiri dari bagaimana individu memandang dirinya sendiri yang biasa disebut dengan gambaran diri (Self Image), bagaimana individu menilai dirinya sendiri yang disebut dengan Self Evaluation, dan bagaimana individu menginginkan dirinya untuk menjadi seperti yang individu harapkan atau yang biasa disebut Ideal Self (Atwater, 1983). Menurut pandangan Rogers (dalam Feist & Feist, 2010), konsep diri merefleksikan bagaimana individu memandang dirinya dalam hubungannya dengan peran-peran yang individu jalankan dalam kehidupan, peran-peran tersebut diperoleh dari banyaknya interaksi dengan orang lain. Hurlock (1980) menyatakan bahwa konsep diri merupakan inti pola kepribadian yang mempengaruhi bentuk berbagai sifat. Jika konsep diri positif, maka individu akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya secara apa adanya, sehingga akan mengembangkan penyesuaian sosial yang baik.
3
Sebaliknya apabila konsep diri negatif, maka individu akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Remaja merasa ragu dan kurang percaya diri, sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk pula. Konsep diri sangat berperan dalam perilaku individu karena seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya akan mempengaruhi individu tersebut dalam mempersepsikan setiap aspek pengalaman-pengalamannya. Suatu kejadian akan dipersepsikan secara berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu yang lain, karena masing-masing individu mempunyai pandangan dan sikap berbeda terhadap diri mereka. Persepsi individu terhadap sesuatu peristiwa banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sendiri. Persepsi negatif terhadap pengalaman disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya (Desmita, 2009). Konsep diri yang melekat pada individu akan berpengaruh terhadap tingkah laku individu di lingkungannya sehingga sangat penting untuk membentuk konsep diri positif pada individu. Individu memandang atau menilai dirinya sendiri dapat dilihat dari seluruh perilaku yang ditunjukkan. Apabila individu memandang dirinya sebagai seorang yang memiliki cukup kemampuan untuk melaksanakan tugas, maka individu itu akan menampakkan perilaku sukses dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya apabila individu memandang dirinya sebagai seorang yang kurang memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas, maka individu itu akan menunjukkan ketidakmampuan dalam perilakunya. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar individu sejak masa anak-anak hingga dewasa. Konsep diri yang terbentuk akan semakin stabil seiring dengan bertambahnya usia individu. Terkait dengan peran konsep diri dalam
tingkah
laku,
Rogers
(dalam
Burns,
1993)
menyatakan
bahwa konsep
diri memainkan peranan yang sentral dalam tingkah laku manusia, dan bahwa semakin besar kesesuaian di antara konsep diri dan realitas, maka semakin berkurang ketidakmampuan diri
4
individu yang bersangkutan dan juga semakin berkurang perasaan tidak puasnya. Hal ini karena cara individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh perilakunya. Sesuai dengan pemaparan tersebut, maka terlihat bahwa konsep diri merupakan suatu aspek kepribadian yang sangat penting untuk dikembangkan secara positif, namun tidak semua orang mampu memiliki konsep diri positif pada dirinya. Menurut Burns (dalam Hutagalung, 2007) ciri dari individu yang memiliki konsep diri negatif ialah sangat peka dan sulit menerima kritik dari orang lain, sulit
berinteraksi
dengan
orang lain,
sulit
mengakui
kesalahan,
kurang mampu
mengungkapkan perasaan dengan cara yang wajar, menunjukkan sikap mengasingkan diri, merasa tidak berdaya, tidak menyukai persaingan dan malu-malu. Individu dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Individu tersebut tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan, mudah menyerah sebelum menghadapi sesuatu dan ketika gagal akan cenderung menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain. Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, termasuk juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, tapi sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. Adanya perbedaan perkembangan konsep diri tersebut memunculkan sebuah pertanyaan pada peneliti mengapa ada individu yang memiliki konsep diri positif sedangkan yang lainnya memiliki konsep diri negatif. Menurut Hurlock (1980) banyak faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja, salah satunya ialah hubungan dalam keluarga dan juga teman sebaya. Salah satu ciri dari remaja awal adalah berusaha untuk mandiri namun masih sangat membutuhkan orangtua (Ahmadi
5
dan Sholeh, 2005). Keluarga merupakan bagian terpenting dari kehidupan seorang anak karena di dalam keluarga, anak pertama kali belajar tentang segala hal, baik berinteraksi ataupun belajar norma-norma. Keluarga juga memiliki peranan penting dalam pembentukan konsep diri pada remaja. Kasih sayang, perhatian, kehangatan dan keutuhan keluarga sangat dibutuhkan remaja untuk membantu membentuk konsep diri yang ideal. Remaja dapat mempersepsikan dirinya melalui interaksi yang dilakukan, pertama kali adalah dengan lingkungan keluarga. Calhoun dan Accocella (dalam Ghufron, 2010) berpendapat bahwa orang tua merupakan figur untuk berinteraksi yang paling awal dan paling kuat dalam pembentukan kerangka dasar konsep diri. Saat masa kanak-kanak, orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan konsep diri individu adalah orang yang paling dekat dengan diri individu yang disebut significant others, yaitu orangtua. Fungsi orangtua adalah memberikan rasa aman, nyaman, dan kasih sayang. Remaja yang merasa aman, memiliki hubungan yang kuat dan penuh dukungan dengan orangtua yang memahami cara remaja melihat dirinya sendiri, mengizinkan dan mendorong usaha remaja untuk mencapai kemandirian, serta menyediakan tempat aman disaat-saat remaja mengalami tekanan emosional. Mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang memiliki orangtua lengkap dengan suasana keluarga positif cenderung untuk mengarungi masa depan tanpa masalah serius. Dalam memasuki kehidupan rumah tangga yaitu sebagai orangtua, remaja cenderung memiliki pernikahan yang kuat dan menjalani hidup dengan sangat nyaman (Papalia, dkk, 2009). Kenyataan yang ada, tidak semua orangtua mampu memberikan kasih sayang, perhatian, kehangatan dan keutuhan keluarga kepada anak-anaknya. Salah satu permasalahan dalam keluarga ialah adanya hubungan antara ayah dan ibu yang tidak harmonis lagi, orangtua tidak bisa lagi menjadi panutan bagi anak-anaknya. Keharmonisan dalam keluarga tersebut
6
selanjutnya dapat berdampak pada perceraian, pisah ranjang, atau adanya keributan yang terus menerus terjadi dalam keluarga (Papalia, dkk, 2009). Hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis akan berdampak bagi perkembangan anak-anaknya. Remaja yang mengalami permasalahan, cenderung berasal dari keluarga yang tidak stabil dan menolak norma budaya. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Maria (2007) yang menunjukkan bahwa ada peran persepsi keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Penelitian lainnya yang terkait adalah penelitian oleh Afiah & Purnamasari (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara keharmonisan keluarga dan sikap terhadap seks pranikah pada remaja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keadaan hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis dapat berpengaruh terhadap persepsi diri remaja yang selanjutnya mempengaruhi perilaku yang remaja tunjukkan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sukmanti (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa kelas II di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kejobong Purbalingga. Kondisi keluarga yang harmonis mampu menciptakan konsep diri yang positif pada individu karena individu mendapatkan kasih sayang, perhatian, dukungan dan kehangatan dari keluarganya. Dengan kata lain, lingkungan keluarga merupakan tempat pembentukan kepribadian anggota-anggotanya, sehingga kualitas lingkungan keluarga akan mampu mempengaruhi pembentukan konsep diri. Selain keluarga, teman sebaya juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri. Meskipun remaja masih bergantung pada orang tuanya, namun intensitas ketergantungan tersebut telah berkurang dan remaja mulai mendekatkan diri pada temanteman sebayanya. Sesuai dengan salah satu ciri dari remaja awal yaitu mulai mendekatkan diri dengan teman sebaya dan berusaha bebas dari ketergantungan orangtua (Monks, Knoers, &Haditono, 2004). Remaja awal mulai belajar mengekspresikan perasaan-perasaan dengan
7
cara yang lebih matang dan berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara berkumpul dengan teman sebayanya (Desmita, 2009). Hal yang sama dikemukakan oleh Mappiare (1982) bahwa selain dengan orang tua, remaja dapat memenuhi kebutuhannya melalui teman sebayanya. Remaja cenderung lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebayanya karena remaja membutuhkan suatu pengakuan dan penerimaan di dalam kelompok sebayanya yang membuat mereka akan melakukan apapun untuk mendapat kebutuhan tersebut. Teman sebaya berperan sangat penting pada diri remaja. Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa saling memiliki yang penting di sekolah. Kelompok teman sebaya juga merupakan komunitas belajar peran-peran sosial dan standar yang berkaitan dengan kerja dan prestasi (Santrock, 2003). Teman sebaya memiliki peranan yang begitu penting sehingga para remaja berusaha melakukan berbagai cara agar bisa diterima oleh teman sebayanya. Penerimaan teman sebaya dapat dilihat dari persepsi mereka terhadap reaksi dari teman sebayanya (Durkin, 1995). Salah satu tugas perkembangan remaja adalah memupuk kemampuan bersosialisasi dengan memperluas hubungan antar pribadi dan berinteraksi secara lebih dewasa dengan teman sebaya (Hurlock, 1980). Pentingnya pencapaian dari tugas perkembangan remaja adalah remaja akan merasa bahagia apabila aspirasi remaja terpenuhi, demikian pula dengan harapan masyarakat. Dalam mengembangkan kemampuan sosialnya, remaja cenderung bergabung dengan kelompok dan banyak berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kelompok. Kemampuan remaja untuk dapat masuk dan bergabung serta beraktivitas bersama dalam kelompok sebayanya dapat dilihat dari sejauhmana remaja dapat menyesuaikan diri terhadap pendapat kelompok yang diikutinya. Kondisi ini akan membantu remaja untuk memperoleh gambaran tentang dirinya yang lebih baik karena ketika remaja memiliki kemampuan dalam
8
menyesuaikan diri dan mampu beraktivitas serta diterima dengan baik dalam kelompok sebayanya membuat remaja memiliki persepsi akan gambaran diri yang positif. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Mappiare (1982) bahwa dengan diterimanya remaja dalam kelompok teman sebayanya, maka akan membuat remaja merasa dirinya dihargai dan dihormati oleh teman-temannya, sehingga akan menimbulkan rasa senang, gembira, puas terhadap diri dan memberikan rasa percaya diri yang besar. Rasa percaya diri yang besar serta rasa puas terhadap diri merupakan cerminan dari konsep diri yang positif. Dalam suatu proses belajar, setiap individu pernah mendapatkan pengalaman yang berupa kegagalan atau kesuksesan. Kesuksesan yang diperoleh remaja dapat membuat remaja tersebut merasa diterima dalam kelompok sebayanya. Sebaliknya, kegagalan terkadang menimbulkan perasaan tidak berharga pada remaja sehingga mereka merasa tidak diterima di dalam kelompoknya. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan yang menjadi salah satu penyebab rendahnya konsep diri dan harga diri. Burn (1993) mengatakan bahwa proses belajar dan pengalaman terutama yang berhubungan dengan diri baik yang berupa kegagalan dan kesuksesan dapat membentuk konsep diri. Remaja yang mengalami kesuksesan akan menampilkan konsep diri yang positif, sedangkan remaja yang mengalami kegagalan akan membentuk konsep diri yang negatif. Dilingkup sekolah, penerimaan teman sebaya bisa diperoleh karena pencapaian prestasi yang tinggi, baik melalui kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler seperti sebagai pemain band, penyanyi, penari hingga menjadi atlet olah raga dimana semua kegiatan disini ditekuni berdasarkan minat dan hobi masing-masing individu untuk mengembangkan kreativitasnya. Ada juga penerimaan dari teman sebaya itu atas dasar penampilan fisik yang dimiliki karena pada masa remaja, penampilan fisik merupakan perubahan yang paling dominan. Mereka juga masuk dalam kelompok sebaya yang memiliki minat sama, disinilah remaja melakukan interaksi dan belajar menekuni bidang yang sama.
9
Tetapi ada juga remaja yang selalu mengikuti kegiatan apa saja yang dilakukan oleh kelompok sebayanya hanya karena ingin diterima dalam kelompok tersebut. Penerimaan kelompok sebaya itu sendiri merupakan persepsi tentang diterima atau dipilihnya individu tersebut menjadi anggota dalam suatu kelompok tertentu (Hurlock, 1980). Seorang remaja yang diterima di sekolahnya baik karena faktor fisik yang baik, kemampuan intelektual maupun sikap yang ramah dan rendah hati, akan merasa bahagia dan memiliki konsep diri yang positif (Mappiare, 1982). Sebaliknya, remaja yang tidak diterima di kelompok sebayanya di sekolah cenderung memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Hurlock bahwa apabila remaja memandang dirinya diterima di dalam kelompok, maka selanjutnya mereka akan menyesuaikan perilaku dengan perilaku yang diharapkan kelompok sehingga hal tersebut akan berdampak pada perkembangan psikologis remaja seperti mereka akan merasa bahagia, optimis, dan terbentuk konsep diri yang positif. Sebaliknya, bila mereka memandang bahwa mereka tidak diterima oleh kelompoknya maka berbagai akibat negatif akan timbul. Mereka akan merasa kesepian, tidak aman, memiliki konsep diri yang negatif, kurang memiliki pengalaman belajar, sedih, kurang memiliki keterampilan sosial, dan melakukan penyesuaian sosial secara berlebihan (Hurlock, 1980). Pengabaian dan penolakan dari teman sebaya juga dapat mengakibatkan para remaja merasa kesepian dan timbul rasa permusuhan yang selanjutnya berhubungan dengan kesehatan mental individu dan masalah kriminal. Selain itu, penolakan dari teman sebaya dalam pertemanan dapat memunculkan perilaku-perilaku negatif yang merupakan cerminan dari konsep diri yang negatif (Santrock, 2003). Berdasarkan pemaparan diatas membuat peneliti berkeinginan untuk mengetahui peran keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya terhadap konsep diri pada remaja.
10
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan : Apakah Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya berperan terhadap Konsep Diri remajaSMP di Denpasar?
C.
Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai peneliti adalah : Mengetahui Peran Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya Terhadap Konsep Diri Pada Remaja SMP di Denpasar.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada pembaca ataupun pihak yang terkait, yaitu: 1.
Manfaat Teoretis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan kajian ilmu psikologi khususnya pada ilmu psikologi perkembangan, kepribadian, dan sosial terkait dengan keharmonisan keluarga, penerimaan teman sebaya dan konsep diri pada remaja.
2.
Manfaat Praktis: Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan serta memberikan hasil yang dapat menjadi dasar pihak – pihak yang bertanggung jawab seperti orangtua, orang-orang terdekat remaja tersebut serta masyarakat untuk mengembangkan dan mengatasi permasalahan remaja yang terkait dengan pentingnya keharmonisan keluarga serta
11
penerimaan teman sebaya yang dapat menunjang konsep diri remaja. Secara khusus dapat diuraikan manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Bagi Remaja 1) Bagi remaja itu sendiri diharapkan penelitian ini dapat memberikan kesadaran pada remaja untuk mengembangkan persahabatan dengan sebayanya dimana dengan mengembangkan persahabatan maka remaja dapat mengembangkan rasa empati yang merupakan hal yang penting untuk memperoleh penerimaan dari teman sebayanya. 2) Selain itu diharapkan penelitian ini juga mampu membuat remaja memahami pentingnya arti keluarga, sehingga remaja mampu untuk lebih mendekatkan diri dengan orangtuanya. b.
Bagi Orangtua Bagi orangtua diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat yaitu pentingnya membantu remaja dalam mengembangkan konsep diri yang positif dengan memberikan suasana keluarga yang hangat serta nyaman bagi remaja sehingga remaja dapat merasa bahwa dirinya aman berada di dalam keluarganya serta remaja juga merasa bahwa ia mendapat dukungan dan bantuan dari keluarga dalam melewati masa remaja yang merupakan masa pencarian identitas sehingga remaja mampu memperoleh identitasnya serta mengenali dirinya secara utuh dan membentuk konsep diri yang positif.
c.
Bagi Sekolah Bagi sekolah diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat yaitu informasi mengenai pentingnya penerimaan teman sebaya, sehingga diharapkan sekolah dapat membantu meminimalkan adanya diskriminasi di sekolah dengan
12
mengawasi siswa-siswa di sekolah. Usaha meminimalkan tindakan diskriminasi dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan berkelompok yang lebih banyak bagi seluruh siswa baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler dibandingkan dengan kegiatan individual. Hal tersebut dapat meningkatkan adanya kekompakan serta mampu mengembangkan rasa empati, persahabatan, tolong menolong dan lainnya. d.
Bagi masyarakat diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan informasi terkait faktor-faktor yang mampu menumbuhkan konsep diri yang positif bagi remaja.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan peneliti, penelitian tentang Peran Antara Keharmonisan Keluarga Dan Penerimaan Teman Sebaya Dengan Konsep Diri Pada Remaja SMP Di Denpasar ini belum pernah dilakukan di Provinsi Bali. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang difokuskan pada pencarian peran antara keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya dengan konsep diri pada remaja SMP di Denpasar. Berdasarkan penelusuran peneliti terhadap judul penelitian lain yang terkait tentang peran antara keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya dengan konsep diri pada remaja SMP di Denpasar, tidak ditemukan judul yang sama seperti diatas, namun setidaknya terdapat beberapa penelitian yang terkait. Penelitian yang pertama Urip Soliha yang berjudul Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penerimaan Teman Sebaya Dengan Tendensi Agresivitas Relasional Pada Remaja Putri Di SMPN27 Semarang pada tahun 2010 berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan karena Urip menggunakan satu variabel bebas yaitu persepsi terhadap penerimaan teman sebaya
13
dengan variabel tergantung adalah tendensi agresivitas relasional pada remaja putri di SMPN 27 Semarang sedangkan peneliti sendiri hanya menggunakan dua variabel bebas yaitu keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya dengan variabel tergantung adalah konsep diri. Dilihat dari tempat penelitian, Urip menggunakan daerah Semarang sedangkan peneliti menggunakan daerah Denpasar Bali. Pada penelitian yang kedua, Ulfah Maria yang berjudul Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga Dan Konsep Diri Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remajapada tahun 2007berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Maria menggunakan peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri sebagai variabel bebas dan kecenderungan kenakalan remaja sebagai variabel tergantung dan memperoleh hasil ada peran persepsi keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan kenakalan remaja dengan sumbangan efektif sebesar 7,2%. Dilihat dari tempat penelitian, Mariamenggunakan daerah Surakarta Jawa Tengah sedangkan peneliti menggunakan daerah Denpasar Bali. Pada penelitian ketiga yang dilakukan oleh Putu Purnaretna Sukmanti yang berjudul Hubungan Antara KeharmonisanKeluarga Dengan Konsep Diri Siswa Kelas II SMA Negeri 1 KejobongTahun Pelajaran 2004/2005 pada tahun 2005 berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Sukmanti hanya menggunakan satu variabel bebas yaitu
keharmonisan
keluarga sedangkan peneliti menggunakan dua variabel yaitu keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya serta hasilnya adalah ada hubungan positif antara keharmonisan keluarga dan konsep diri siswa kelas II di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kejobong Purbalingga dengan analisis Rhitung = 0,672 > Rtabel = 0,301. Dilihat dari tempat penelitian, Sukmanti menggunakan daerah Kejobong Purbalingga sedangkan peneliti menggunakan daerah Denpasar Bali. Dari segi subjek, peneliti menggunakan subjek SMP sedangkan Sukmanti menggunakan subjek SMA.
14
Pada penelitian keempat, Fiandari Nor Afiah dan Santi Esterlita Purnamasari (2007) yang berjudul Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga Dengan Sikap Terhadap Seks Pranikah Pada Remaja berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Afiah menggunakan satu variabel bebas yaitu
keharmonisankeluarga sedangkan peneliti menggunakan dua
variabel yaitu keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya dan variabel terikat sikap terhadap seks pranikah namun peneliti menggunakan variabel konsep diri pada remaja. Hasilnya adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara keharmonisan keluarga dan sikap terhadap seks pranikah pada remaja. Dilihat dari tempat penelitian, Fiandari menggunakan daerah Yogyakarta sedangkan penulis menggunakan daerah Denpasar Bali. Dari segi subjek, peneliti menggunakan subjek SMP sedangkan Fiandari menggunakan subjek mahasiswa. Dari segi teknik analisis data, Fiandari menggunakan teknik analisis Person Product Moment sedangkan peneliti menggunakan analisis Regresi. Pada penelitian kelima yang berjudul Kontribusi Penerimaan Teman Sebaya Terhadap Pengungkapan Diri Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Masaran Tahun Pelajaran 2013/2014 oleh Rahmawati pada tahun 2013 berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Rahmawati menggunakan satu variabel bebas yaitu kontribusi penerimaan teman sebaya sedangkan peneliti menggunakan dua variabel yaitu keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya dan variabel terikat pengungkapan diri namun peneliti menggunakan variabel konsep diri pada remaja. Hasilnya adalah variabel penerimaan teman sebaya memberikan kontribusi terhadap pengungkapan diri siswa sebesar 9,3%.. Dilihat dari tempat penelitian, Rahmawati menggunakan daerah Masaran Surakarta sedangkan penulis menggunakan daerah Denpasar Bali. Dari segi teknik analisis data, Rahmawati menggunakan teknik analisis T-tes satu variabel sedangkan peneliti menggunakan analisis Regresi.
15
Pada penelitian keenam dengan judul Hubungan Antara Penerimaan Kelompok Teman Sebaya Dengan Prestasi Akademik Mahasiswa Pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta oleh Ati Sumiati dan Chairunnissa pada tahun 2010 berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Sumiati dan Chairunnissa menggunakan satu variabel bebas yaitu penerimaan kelompok teman sebaya sedangkan peneliti menggunakan dua variabel yaitu keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya dan variabel terikat prestasi akademik namun peneliti menggunakan variabel konsep diri pada remaja. Hasilnya adalah ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penerimaan kelompok teman sebaya dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta. Dilihat dari tempat penelitian, Sumiati dan Chairunnissa menggunakan daerah Jakarta sedangkan peneliti menggunakan daerah Denpasar Bali. Dari segi subjek, peneliti menggunakan subjek SMP sedangkan Sumiati dan Chairunnissa menggunakan subjek mahasiswa. Dari segi teknik analisis data, Sumiati dan Chairunnissa menggunakan teknik analisis Person Product Moment sedangkan peneliti menggunakan analisis Regresi. Oleh karena itu, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi yang sifatnya konstruktif (membangun).