BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, pada masa ini terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Keadaan ini memungkinkan remaja cenderung memiliki resiko terhadap terjadinya kenakalan dan kekerasan baik sebagai korban maupun sebagai pelaku dari tindakan kekerasan. Hingga saat ini telah banyak kasus kenakalan yang diperbuat remaja, antara lain membolos, berkelahi, tawuran antar pelajar, bermain games online hingga lupa waktu, pelecehan seksual sampai melakukan bunuh diri. Misalnya Seperti yang terjadi di Sleman Yogyakarta, seorang siswi SMP Piri nekat gantung diri di kamarnya, menurut saksi sebelum kejadian korban sempat terlibat cekcok dengan ibunya dan diduga di sekolah korban selalu diejek oleh teman-temannya (Tribun Jogja, 13 Maret 2013). Dua siswa SMP di wilayah Prambanan terjaring razia kedisiplinan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sleman karena membolos di waktu jam sekolah, pelajar memilih warnet untuk main games online sebagai lokasi favorit membolos (Tribun Jogja, 22 November 2012). Bahkan di wilayah hukum Polresta Yogyakarta, makin marak perkelahian, tawuran dan bahkan ditemukan pelajar yang kedapatan membawa senjata tajam. Berdasarkan data Polresta Yogyakarta angka tindakan pelajar yang mengarah pada perbuatan kriminal pembawa senjata tajam, telah terjadi dua kasus selama dua bulan
terakhir. Sementara perkelahian dan tawuran yang melibatkan pelajar sejak bulan April telah terjadi delapan kasus (Tribun Jogja, 07 Agustus 2012). Selain maraknya perkelahian, tawuran dan membawa senjata tajam, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah semakin meningkat, terjadi 139 kasus pada tahun 2011 sedangkan untuk tahun 2012 ditemukan 36 kasus. Kasus bullying yang terjadi melibatkan kelompok anak yang memiliki power terhadap anak lainnya yang lebih powerless. Banyaknya kasus bullying di sekolah karena adanya pengajakan yang dilakukan oleh senior terhadap junior agar tunduk terhadap perintah. Pengajakan di sini berarti digunakan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas (Tempo.co, 18 September 2012). Perbincangan peneliti dengan siswi SMPN X Depok Sleman Yogyakarta pada 15 Nopember 2012, mendapatkan informasi bahwa di Sekolah tersebut hampir terjadi tawuran antar sekolah, yang disebabkan beberapa hari sebelumnya ada beberapa siswa dari sekolah lain melempar batu ke arah jendela SMPN X hingga mengakibatkan salah satu kaca jendela pecah. Kejadian ini memancing siswa untuk menyerang balik sekolah tempat siswa yang melakukan pelemparan batu tersebut. Permasalahan yang terjadi di SMPN X merupakan salah satu contoh perilaku remaja yang dapat memancing terjadinya tindakan perkelahian dan tawuran antar pelajar. Permasalahan yang belum jelas, namun akibat keinginan mengikuti tindakan yang dilakukan teman-teman dapat membuat remaja tidak berpikir dengan baik sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang salah. Hasil wawancara dengan wakil kepala sekolah SMPN X Depok Sleman Yogyakarta, pada tanggal 4 April 2013, diperoleh informasi bahwa di SMPN tersebut
masih terjadi banyak pelanggaran yang dilakukan siswa mulai dari pelanggaran ringan sampai pelanggaran berat bahkan ada yang telah menjurus tindakan kriminal. Beberapa tindakan siswa antara lain tidak memakai dasi saat berada di sekolah, baju tidak di masukkan, masih ada beberapa siswi yang menggunakan rok terlalu pendek, tidak menjaga kebersihan sekolah dengan membuang sampah sembarangan, bertengkar dengan siswa sekolah lain, terlibat pencurian kendaraan bermotor dan mengkonsumsi minuman beralkohol oplosan di sekolah. Lebih lanjut wakil kepala sekolah mengatakan, perilaku siswa yang sedang marak saat ini adalah bermain games online. Permainan ini mempengaruhi perilaku siswa, karena untuk bermain games online membutuhkan biaya sedangkan siswa berasal dari keluarga kurang mampu keadaan ini membuat siswa melakukan segala cara untuk mendapatkan uang agar dapat bermain games online. Keadaan ini menjadi penyebab seorang siswa kelas VIII terlibat pencurian kendaraan bermotor bersama teman bermainnya. Jenis pelanggaran yang dilakukan siswa berdasarkan lembar catatan kejadian harian siswa yang ada pada guru bimbingan dan konseling terdiri dari terlambat, tidak melaksanakan piket, tidak mengerjakan PR, main kartu remi di kelas, ramai di kelas saat pelajaran, tidak masuk tanpa keterangan, kekerasan (memukul, merampas tas dan helm), merokok, menggunakan hp dalam kelas, kurang disukai teman-temannya, serta tidak memperhatikan guru saat pelajaran di kelas. Masih banyaknya tindakan pelanggaran yang dilakukan siswa di sekolah dan diluar sekolah menjadi gambaran bahwa kecerdasan moral siswa belum berkembang dengan baik. Borba (2001) menyatakan kecerdasan moral adalah kemampuan individu untuk memahami hal yang benar dan yang salah. Kecerdasan ini mencakup
kemampuan untuk memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat; mampu mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan; mendengarkan dari berbagai pihak sebelum memberikan penilaian; menerima dan menghargai perbedaan;
bisa
memahami
pilihan
yang
berbeda;
dapat
berempati;
memperjuangkan keadilan; dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain. Ini merupakan sifat-sifat utama yang akan membentuk anak dan remaja menjadi baik hati, berkarakter kuat dan menjadi warga Negara yang baik. Istilah kecerdasan moral digunakan untuk menjelaskan bahwa penalaran moral, perilaku moral dan perasaan moral itu penting di dalam perkembangan moral yang berkaitan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain (Santrock, 2003). Hal ini penting karena masa-masa penuh persoalan seperti sekarang ini orangtua perlu tindak lanjut jika ingin berhasil membuat remaja tidak hanya berpikir, tetapi juga bertindak sesuai dengan norma-norma moralitas; dan karena jika remaja tidak tahu bagaimana harus bertindak, perkembangan moral mereka akan terganggu. Dengan meningkatkan kecerdasan moral remaja, diharapkan mereka tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga diharapkan mampu bertindak benar. Kecerdasan moral menunjukkan fakta bahwa manusia dilahirkan bukan berarti bermoral atau tidak bermoral. Namun manusia harus terus belajar untuk menjadi baik. Belajar untuk menjadi orang baik melibatkan adanya komunikasi, umpan balik, sosialisasi dan pendidikan. Manusia memerlukan kecerdasan untuk melakukan hal yang benar. Kecerdasan moral berarti peduli terhadap kehidupan, manusia dan alam; kesejahteraan, sosial ekonomi dan menghormati orang lain;
terbuka dan jujur dalam berkomunikasi; serta peduli terhadap kebutuhan dasar orang lain (Dinorcia, 2003). Kecerdasan moral merupakan bagian dari kita yang membentuk kompas moral dan memastikan bahwa tujuan kita konsisten dengan kompas moral kita. Kecerdasan moral merupakan bentuk lain dari bakat. Kecerdasan moral merupakan bakat dasar untuk sentuhan dan tindakan moral. Kecerdasan moral mengajak kita untuk membangun nilai moral dan kepercayaan yang akan berkaitan dengan kompas moral. Sebab, hal tersebut merupakan bagian yang kita ketahui adalah benar, kita gunakan hal tersebut untuk memastikan bahwa tujuan dan perilaku selaras dengan kompas moral (Lennick & Kiel 2005). Penyebab merosotnya moralitas sangatlah kompleks, namun terdapat fakta yang tidak dapat dipungkiri seperti lingkungan moral tempat remaja dibesarkan saat ini dapat meracuni kecerdasan moral mereka. Pertama, sejumlah faktor sosial kritis yang membentuk karakter bermoral secara perlahan mulai runtuh, yaitu pengawasan orangtua, teladan perilaku bermoral, pendidikan spiritual dan agama, hubungan akrab dengan orang dewasa, sekolah khusus, norma-norma nasional yang jelas, dukungan masyarakat, stabilitas dan pola asuh yang benar. Kedua, remaja secara terus-menerus menerima masukan dari luar yang bertentangan dengan norma-norma (Borba, 2001). Bagus Takwin, psikolog dari Universitas Indonesia mengatakan kekerasan dan tindakan kriminal yang dilakukan anak dan remaja disebabkan berbagai hal, namun faktor lingkungan yang berasal dari rumah atau sekolah menjadi pengaruh terbesar. Sehingga perlu diberikan sosialisasi di rumah dan sekolah sedini mungkin
tentang tidak patutnya tindak kekerasan dan tindakan melawan hukum (Seputar Indonesia, 18 Februari 2012). Tantangan semakin besar karena pengaruh buruk tersebut muncul dari berbagai sumber yang mudah di dapat seperti televisi, film, video permainan, musik pop dan iklan memberikan pengaruh buruk bagi moral anak dan remaja, karena menyodorkan sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran dan pengagungan kekerasan. Hal-hal buruk di dunia internet seperti pornografi, penyiksaan, pemujaan setan, pedofilia dan begitu banyak situs-situs penghasut yang mengajarkan kebencian. Bahkan hasil riset menemukan bahwa anak-anak yang terus-menerus melihat acara televisi bermuatan kekerasan cenderung kurang peka terhadap anak lain yang perlu pertolongan sehingga cara terbaik mengajarkan perilaku bermoral kepada anak adalah memberi contoh yang baik (Borba, 2001). Begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar, keadaan ini perlu mendapat perhatian yang lebih dari orangtua, guru, masyarakat dan pemerintah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sebaiknya tidak hanya fokus terhadap pengembangan aspek akademis saja, namun idealnya pendidikan mampu mendukung perkembangan remaja secara utuh dan seimbang yang meliputi fisik, psikologis, sosial dan religius. Jika remaja memiliki dasar fondasi nilai moral yang kuat maka untuk kedepannya remaja akan kokoh menghadapi berbagai rintangan kehidupan. Remaja tidak mudah goyah dengan ajakan teman-temannya untuk berbuat hal-hal yang tidak baik. Remaja memiliki pegangan hidup yang akan mengantarkannya menjadi seseorang yang memiliki pribadi yang tangguh yang mampu membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kalangan remaja memiliki kecenderungan melakukan perbuatan yang mengarah pada tindakan kriminal dan melanggar hukum. Banyaknya kasus-kasus kekerasan seperti perkelahian, tawuran, membawa senjata tajam dan bullying yang dilakukan oleh para remaja sebagai bentuk perilaku yang tak bermoral. Hurlock (2005) menyatakan perilaku tak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Bagi remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalan hidupnya. Pedoman atau petunjuk ini dibutuhkan juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini (Sarwono, 2002). Moral menurut Sunarto dan Hartono (2008) adalah kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Sedangkan Hadiwardoyo (2010) menyatakan Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik disebut sebagai orang yang tidak bermoral atau orang yang kurang bermoral. Moral disamakan dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Kecerdasan moral anak dan remaja dapat berkembang dengan baik dengan adanya pembelajaran. Orangtua dapat menjadi model yang akan mengajarkan kebajikan, kebiasaan dan keyakinan yang kuat tentang pendidikan moral yang akan memperkuat kecerdasan moral anak dan remaja. Hurlock (2005) menyatakan
kecerdasan moral dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia. Cara orangtua mengasuh anak merupakan hal yang pokok karena mempunyai ayah dan ibu yang memiliki kasih sayang, mau menerima anak dalam kondisi apapun merupakan syarat yang paling utama dalam perkembangan kata hati yang baik (Monks, Knoers, & Haditono, 1994). Damon (1999) menyatakan bagi sebagian besar anak, orangtua merupakan sumber bimbingan moral. Model otoritatif menetapkan aturan dan batasan keluarga dengan tegas, namun juga mendorong anak untuk berdiskusi dan komunikasi untuk menjelaskan sesuatu. Model permisif menghindari aturan seluruhnya sedangkan model otoriter mematuhi aturan seluruhnya tanpa terkecuali. Model permisif dan otoriter menghasilkan remaja yang memiliki kontrol diri dan tanggung jawab sosial yang rendah. Keluarga adalah suatu bentuk lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak. Oleh karena itu keluarga merupakan dasar bagi seorang anak untuk mengenal dan berinteraksi dengan dunia lingkungan sekitar yang akan dihadapinya. Keluarga juga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan stempel dan fondasi primer bagi perkembangan anak (Kartono, 1995). Gunarsa (1982) menyatakan bahwa lingkungan rumah dan lingkungan sosial adalah sumber bagi anak untuk mempelajari segala hal, untuk memasukkan tingkah laku yang baru, sehingga menjadi tingkah laku yang dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan. Selanjutnya orangtua berkewajiban mempersiapkan anak agar dapat menghadapi setiap tantangan lingkungan tersebut melalui pola asuh yang diberikan pada anak. Pola asuh orangtua sangat berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam menjalin interaksi sosial dengan orang lain. Jika anak terbiasa melakuakan interaksi
yang baik dengan anggota keluarga, maka anak tidak mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain dan remaja akan berperilaku baik di sekolah. Pola asuh merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan orangtua dalam mengasuh anak (Santrock, 2002). Terdapat berbagai bentuk pola asuh yang diterapkan oleh keluarga dan masing-masing pola asuh tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan anak. Baumrind (dalam Santrock, 2003) menyatakan pola asuh secara psikologis merupakan strategi orang tua dalam membesarkan anak, yang terbagi dalam beberapa bentuk pola asuh yaitu otoritarian, otoritatif dan permisif. Pola asuh otoritatif mendorong anak untuk bebas tetapi orangtua tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan remaja. Adanya komunikasi yang terjadi timbal balik antara anak dan orangtua, anak memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya dan orangtua bersifat hangat serta memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak. Pola asuh otoritatif memiliki ciri-ciri di mana orangtua memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak, anak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, namun orangtua tetap memberikan batasan dan pengawasan pada anak, adanya komunikasi serta diskusi yang dilakukan membuat anak memiliki kebebasan untuk mengutarakan keinginan dan pemikiran mereka, orangtua memberikan penjelasan terhadap aturan-aturan yang diterapkan. Pola asuh otoritatif mengajak anak untuk berpikir sehingga keadaan ini diperkirakan dapat menstimulasi kecerdasan moral anak. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa pola asuh otoritatif dapat mempengaruhi kecerdasan moral seperti hasil penelitian Pratiwi (2010) menunjukkan
kecerdasan moral anak yang mendapat gaya pengasuhan authoritative lebih tinggi dibandingkan dengan gaya pengasuhan authoritarian, permissive, dan uninvolved atau neglectful. Hal itu dikarenakan orangtua dapat terlibat langsung dengan anak dengan memberikan perhatian, kasih sayang, mengajak anak untuk bicara, namun tetap memberikan aturan dan alasan yang jelas. Sedangkan Nurhayani (2007) menunjukkan bahwa melalui pola asuh otoritatif anak berinteligensi tinggi belajar memahami sendiri batasan-batasan moral yang harus dipegangnya tanpa merasa dikekang. Pengasuhan otoritatif membantunya menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri serta mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri sehingga berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Hasil penelitian Farid (2011) menunjukkan remaja yang memperoleh pola pengasuhan orangtua otoritatif menjadikan orangtua sebagai model pembelajaran kompetensi sosial. Pola hubungan otoritatif menumbuhkan remaja memiliki kehangatan, cinta kasih, toleransi dan tanggung jawab dalam interkasi sosial. Sedangkan Qudsyi dan Gusniarti (2007) menyatakan ada hubungan antara keberfungsian keluarga dengan penalaran moral pada anak usia akhir, hal ini karenakan adanya sikap dan komunikasi yang terbuka di antara anggota keluarga sehingga terjadi penanaman nilai-nilai moral. Selain itu latar belakang pendidikan ibu juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penalaran moral yang dimiliki anak, semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik penalaran moral anak, hal ini disebabkan adanya komunikasi dan keterbukaan yang dilakukan ibu terhadap anak (Gupta & Puja, 2010). Walker dan Hennig (1999) menemukan tiga hal yang penting yaitu interaksi orangtua, fungsi ego dan penalaran moral mampu memprediksi perkembangan moral
anak. Orangtua yang memiliki pendapat yang keras, bermusuhan, kritis, menentang serta kurang memiliki perasaan akan menghalangi anak memiliki pemahaman moral yang lebih matang, sebaliknya orangtua yang efektif adalah lebih berpusat pada anak dan menjadi pegangan dalam perkembangan anak dengan mendengarkan pendapat anak, menggambarkan penalaran anak dengan pertanyaan yang tepat, memberikan dukungan emosi dan perhatian akan meningkatkan penalaran moral anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Kuczynski dan Lollis (dalam Santrock, 2007b) bahwa orangtua yang otoritatif lebih cenderung melibatkan anak dalam kegiatan memberi dan menerima secara verbal dan memperbolehkan anak mengutarakan pandangan mereka. Jenis diskusi keluarga ini membantu anak memahami hubungan sosial dan apa yang dibutuhkan untuk menjadi orang yang kompeten secara sosial. Azhar dan Putri (2009) menunjukkan bahwa remaja yang mengalami penyimpangan dalam pengasuhan (deviasi mothering) cenderung tidak memiliki kecerdasan moral yang baik. Hal ini disebabkan oleh ketidakhadiran orang tua secara emosional terutama peran ibu, ketiadaan keterlibatan ayah, kekerasan di usia balita, faktor lingkungan dan faktor usia. Santrock (2007a) menjelaskan ketika anak mendapat perlakuan yang salah dari orang tua, maka anak akan menunjukkan perilaku kurang percaya diri dalam bersosialisasi ketika dewasa, kurang mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan teman sebaya, cenderung menjadi agresif terhadap teman sebaya atau menghindari interaksi dengan teman sebaya. Anak-anak yang menghadapi masalah akademis, saat dewasa akan menunjukkan kekerasan terhadap orang dewasa lainnya yaitu kekasih dan pasangan dalam perkawinan, penyalahgunaan obat, kecemasan dan depresi.
Selain faktor pola asuh orangtua, konformitas teman sebaya juga diduga memiliki pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan moral remaja. Salah satu fungsi teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Bagi remaja hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya. Condry et al (dalam Santrock, 2003) menyatakan selama satu minggu, remaja muda laki-laki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada waktu dengan orangtuanya. Santrock (2003) menyatakan bahwa teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Pada banyak remaja, bagaimana mereka di pandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun, agar mereka dapat dimasukkan sebagai anggota kelompok teman sebaya. Untuk mereka, dikucilkan berarti stress, frustasi dan kesedihan. Keadaan ini mendorong remaja untuk melakukan hal-hal yang sama dengan teman-temannya. Adanya pergaulan dengan teman sebaya tidak menutup kemungkinan bahwa teman sebaya dapat memberi pengaruh negatif. Yusuf (2008) mengatakan bahwa teman sebaya mempunyai peranan penting bagi remaja. Remaja sering menempatkan teman sebaya dalam posisi prioritas apabila dibandingkan dengan orangtua atau guru dalam menyatakan kesetiaannya. Hal ini dilakukan agar remaja merasa di terima dalam lingkungan teman sebayanya. Salah satu bentuk pengaruh sosial yang dapat menimbulkan kenakalan adalah bentuk konformitas yang negatif. Myers (2005) menyatakan konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan agar sesuai dengan orang lain. Konformitas muncul ketika seseorang meniru sikap atau tingkah laku orang lain
dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. Konformitas terhadap teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif. Namun adanya konformitas yang kuat terhadap teman sebaya dapat menyebabkan remaja cenderung melakukan hal-hal yang negatif seperti menggunakan bahasa yang asalasalan, mencuri, coret mencoret dan mempermainkan orangtua dan guru (Santrock, 2003). Myers (2005) menyatakan konformitas terjadi agar seseorang diterima dan menghindari penolakan serta untuk memperoleh informasi. Konformitas membuat seseorang mengikuti perilaku dan sikap orang lain tanpa pertimbangan. Remaja yang melakukan konformitas adalah remaja yang tidak menggunakan pertimbangan kognitif karena dilandasi perasaan takut akan adanya penolakan membuat remaja mengikuti sikap dan perilaku teman sebaya serta adanya keragu-raguan mengenai mana yang benar atau tepat membuat remaja bergantung dengan teman sebaya sebagai sumber informasi. Keadaan ini membuat kognisi remaja tidak berkembang, sehingga kecerdasan moral remaja tidak terstimulasi dengan baik. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa konformitas dapat memberikan dampak yang negatif terhadap perilaku remaja seperti hasil penelitian Nusa (2010) menunjukkan adanya fenomena konformitas negatif yang tampak dalam keterlibatan siswa pada sikap dan perilaku negatif. Siswa mudah terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai positif seperti pencurian, merokok, minum minuman keras dan sebagainya. Fenomena konformitas negatif tampak dalam sikap
mendiamkan kesalahan teman dan melindungi teman yang melakukan pelanggaran dan kejahatan. Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menunjukkan tekanan teman sebaya, konformitas teman sebaya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku beresiko seperti penggunaan narkoba, kenakalan dan kinerja sekolah yang buruk. Begitu juga dengan Mawardah (2012) menyatakan konformitas peer group memiliki pengaruh terhadap kecenderungan remaja menjadi pelaku cyberbullying. Semakin besar konformitas remaja terhadap teman sebayanya maka semakin besar kecenderungan remaja untuk menjadi pelaku cyberbullying. Mantiri dan Andriani (2012) menyatakan Konformitas terhadap teman sebaya berpengaruh besar terhadap kecenderungan remaja melakukan kenakalan, hal ini disebabkan keinginan untuk konform dengan teman-teman yang memiliki status sosial yang lebih tinggi sebagai bentuk penghargaan dan adanya kebersamaan (kolektifitas) untuk melakukan sesuatu bersama. Sedangkan hasil penelitian Indria dan Nindyati (2007) menunjukkan walaupun remaja perlu melakukan konformitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun tingkat konformitas yang tinggi dapat membuat remaja tidak percaya diri dengan keunikan dirinya, kurang imajinatif dalam menciptakan hal-hal baru, serta mudah dipengaruhi orang lain. Konformitas terhadap teman sebaya sering membuat remaja ikut terlibat di dalam tindakan yang menyimpang akibat adanya tekanan yang dirasakan remaja untuk sama dengan teman yang lain membuat remaja sulit menolak. Kedaan ini jika dibiarkan begitu saja dapat menghambat perkembangan kecerdasan moral remaja,
karena adanya perasaan takut ditolak dan dikucilkan teman membuat remaja mengikuti apa yang dilakukan dan diperbuat teman. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa perkembangan kecerdasan moral remaja perlu diperhatikan agar mereka memiliki kecerdasan moral yang baik sehingga nantinya mampu membedakan perilaku yang benar dan salah. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan moral remaja. Atas dasar inilah peneliti ingin meneliti tentang hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja. Peneliti menduga terdapat keterkaitan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka secara umum permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: Apakah ada hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja? C. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan perumusan masalah yang ada, tujuan penelitian ini adalah : Mengetahui hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah Kecerdasan moral merupakan kemampuan seseorang untuk membedakan hal yang baik dan salah. Kecerdasan moral akan menjadi landasan bagi seseorang
dalam berpikir dan bertindak. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya untuk mengkaji faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap kecerdasan moral remaja mengingat usia remaja merupakan tahapan penting dalam perkembangan untuk menyiapkan diri secara optimal dalam mencapai usia dewasa. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris terkait dengan kecerdasan moral khususnya pada remaja dan menambah perbendaharaan hasil-hasil penelitian di bidang pendidikan dan perkembangan pada umumnya serta menjadi stimulus pengembangan penelitian kecerdasan moral berikutnya. Oleh karena itulah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait untuk mengembangkan kecerdasan moral melalui faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses perkembangannya. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang perkembangan moral, pola asuh orang tua dan teman sebaya yang ditemukan, antara lain: 1. Pratiwi (2010) melakukan penelitian tentang Kecerdasan Moral Anak Usia PraSekolah Etnis Cina berusia 4-6 tahun ditinjau dari Gaya Pengasuhan OrangTua. Subjek penelitian 67 siswa TK di Semarang. Menggunakan instrument kecerdasan moral yang terdiri dari tujuh gambar dan skala gaya pengasuhan orangtua serta data dokumentasi untuk mengetahui jenis kelamin siswa. Analisis menggunakan Anava Dua Jalur. Hasil menunjukan kecerdasan moral anak yang mendapat gaya pengasuhan authoritative lebih tinggi dibandingkan dengan gaya pengasuhan authoritarian, permissive, dan uninvolved atau neglectful.
2. Pranoto (2010) melakukan penelitian tentang Hubungan antara Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dengan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia PraSekolah berusia 4-6 tahun. Hasil menunjukan ada hubungan positif antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan perkembangan kecerdasan moral anak. Semakin tinggi tingkat keterlibatan ayah dalam pengasuhan maka semakin tinggi tingkat perkembangan kecerdasan moral anak. 3. Rahimi, Irani, dan Noruzi (2011) penelitian tentang efek kecerdasan moral pada karyawan terhadap keberhasilan pekerjaan di 13 lokasi Universitas Azad Islam. Peserta 322 karyawan di Universitas Azad Islam Iran. Hasil menunjukkan kecerdasan moral merupakan salah satu faktor penting yang dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam sebuah organisasi. 4. Ahyani (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui metode dongeng dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak yang mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral melalui metode dongeng memiliki tingkat kecerdasan moral yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral melalui metode dongeng. 5. Purnomo (2008) penelitian hubungan makna kerja, kepemimpinan diri dan kecerdasan moral dalam kerja terhadap perilaku kewargaan organisasi. Subyek penelitian terdiri dari 34 orang yang bekerja pada BMT Al-Ikhlas. Menggunakan analisis regresi. Hasil menyimpulkan bahwa secara bersama-sama hubungan antara makna kerja, kepemimpinan diri dan kecerdasan moral dalam kerja berpengaruh terhadap perilaku kewargaan organisasi.
6. Tirri, Nokelainen, dan Mahkonen (2009) melakukan penelitian hubungan antara morality dan religiusitas dengan inteligensi, study kasus pada remaja yang cerdas dalam bidang matematika. Peserta berjumlah 20 siswa SMA di Finlandia berusia 16-17 tahun. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara penalaran moral dengan inteligensi. Pada IQ di atas rata-rata memiliki hubungan positif dengan pemahaman religiusitas. 7. Muslimin (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan penalaran moral siswa kelas 2 dan kelas 3 yang bersekolah di SMP IT, MTs dan SLTPU di Yogykarta, berjumlah 67 siswa. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan penalaran moral antara siswa yang bersekolah di SLTP IT, MTs dan SLTPU. 8. Douglas (2011) melakukan penelitian tentang hubungan antara pola pengasuhan orang tua, dimensi pengasuhan dan prestasi akademik siswa. Peserta terdiri dari 51 siswa berprestasi. Hasil penelitian menunjukkan pengasuhan authoritative memberikan pengaruh yang baik terhadap prestasi akademik siswa Kaukasia. 9. Walker dan Hennig (1999) perspektif teori dari psikologi moral berkaitan dengan orangtua di dalam perkembangan moral anak dan kontek keluarga berkaitan dengn teori perkembangan kognitif. Peserta terdiri dari 80 keluarga (ibu, ayah dan anak), anak-anak berasal dari kelas 1, 4, 7 dan 10. Menggunakan Kohlberg’s Moral Judgment Interview. Hasil menunjukkan interaksi orangtua, fungsi ego dan penalaran moral mampu memprediksi perkembangan moral anak. Orangtua yang memiliki pendapat yang keras, bermusuhan, kritis, menentang serta kurang memiliki perasaan akan menghalangi anak memiliki pemahaman moral yang lebih matang, sebaliknya orangtua yang efektif adalah lebih berpusat pada anak dan mendengarkan pendapat anak, memberikan dukungan emosi dan perhatian akan
meningkatkan penalaran moral anak. Serta pentingnya faktor afektif dalam mensosialisasi moral yang efektif dan pentingnya menggunakan dilemma moral dari kehidupan nyata yang berfokus pada persoalan anak. 10. Nyarko (2012) melakukan penelitian untuk melihat hubungan orang tua dengan remaja dan pengaruh teman sebaya terhadap harga diri remaja. Peserta terdiri dari 100 siswa remaja berusia 15 dan 18 tahun dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif antara remaja dan teman sebaya terhadap harga diri remaja. Tidak ditemukan hubungan antara orangtua dan harga diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan penelitian yang akan dilakukan dengan judul “Hubungan antara pola asuh otoritatif orangtua dan konformitas teman sebaya dengan kecerdasan moral remaja” memiliki perbedaan dengan penelitian di atas, yaitu subjek penelitian siswa SMPN berusia 12-15 tahun, alat ukur skala kecerdasan moral, skala pola asuh otoritatif orangtua dan skala konformitas teman sebaya.