BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di masa remaja, individu mengalami peningkatan drastis terhadap berbagai fungsi tubuh baik dari segi fisik, sosial, emosional, maupun kognitif dibandingkan pada masa sebelumnya. Adanya perubahan tersebut mulai membangkitkan kesadaran remaja akan dirinya sendiri serta mendorong remaja untuk dapat menunjukkan eksistensi diri di tengah masyarakat. Kesadaran diri yang timbul juga akan membuat remaja mulai memahami berbagai peranan orang dewasa yang terbentang di hadapannya serta apa yang diharapkan lingkungan terhadapnya (Desmita, 2006). Berdasarkan tahap perkembangan psikososial Erikson, remaja berada pada tahap ke5 yaitu identitas lawan kebingungan peran (identity vs role confusion). Pada tahap ini, remaja berusaha untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan dengan dirinya yang kemudian akan diungkapkan melalui penemuan identitas diri. Adanya identitas diri akan membuat remaja memiliki pandangan yang jelas tentang dirinya sendiri, tidak mudah meragukan dirinya sendiri, serta mengenal peranannya dalam masyarakat (Erikson, 1989). Identitas diri dapat diartikan sebagai suatu kesadaran mengenai diri sendiri yang diungkapkan melalui sikap terhadap diri sendiri, hubungan sosial, penentuan karir masa depan, serta pemilihan ideologi hidup (Erikson, 1989). Identitas diri merangkum masa lalu seseorang, memberikan
makna bagi kehidupan saat ini, dan mengarahkan perilaku
individu di masa yang akan datang (Adams & Gullotta, 1989). Identitas diri dapat dicapai melalui serangkaian proses pembentukan identitas diri. Proses pembentukan identitas diri memerlukan waktu yang cukup lama dan tanpa disadari
1
2
telah terjadi selama periode awal kehidupan. Erikson (1968) berpendapat bahwa proses pembentukan identitas diri bermula ketika individu lahir ke dunia dan mengembangkan orientasi psikososial awal yakni rasa percaya lawan rasa curiga (trust vs mistrust) terhadap orang-orang di sekitarnya. Proses ini terus dilanjutkan dengan kegiatan identifikasi pada masa kanak-kanak terhadap orang tua, teman sebaya, guru, bahkan pahlawan super. Ketika mencapai masa remaja, remaja mulai dihadapkan dengan situasi psychosocial moratorium. Psychosocial moratorium merupakan kesenjangan antara rasa aman di masa kanak-kanak dengan otonomi orang dewasa yang dialami remaja sebagai bagian dari eksplorasi identitas. Di dalam kegiatan eksplorasi, remaja berusaha mencari dan menemukan apa saja yang cocok bagi diri mereka. Hal ini dilakukan dengan bereksperimen terhadap berbagai peran, yaitu karir, kencan, agama, dan politik (Newman & Newman, 2012). Eksperimentasi peran juga kerap dikaitkan dengan perubahan gaya berpakaian, gaya berperilaku, perubahan kepribadian, dan lain-lain (Steinberg, 2011). Berbagai hasil yang ditemukan remaja nantinya dapat dicoba, disingkirkan, dirumuskan kembali, maupun digunakan kembali. Oleh karena itu, proses pembuatan keputusan terkait dengan identitas diri pada remaja ini memerlukan waktu yang cukup lama dan disertai beberapa konsekuensi (Scarr, Weinberg & Levin, 1986). Eksperimentasi peran yang dilakukan remaja akan menghasilkan berbagai macam identitas yang mungkin saling bertentangan. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kebingungan identitas. Kondisi kebingungan ini membuat remaja berada di tengah krisis identitas. Krisis identitas merupakan suatu titik balik yaitu ketika remaja merasakan kerentanan tapi di sisi lain kemampuannya menguat (Erikson, 1989). Keadaan krisis identitas mengharuskan remaja untuk membuat komitmen terhadap berbagai pilihan identitas yang tersedia.
3
Remaja dituntut untuk mengatasi kebingungan akan identitasnya dan sesegera mungkin mengatasi masa krisis identitas. Menurut Erikson (1968), remaja yang berhasil menghadapi krisis identitas atau dalam kata lain menemukan identitas dirinya akan mendapatkan suatu “rasa identitas optimal”. “Rasa identitas optimal” dialami sebagai rasa kesejahteraan psikososial yakni timbulnya rasa aman dan nyaman dalam diri sendiri, suatu kesadaran mengetahui jalan yang ditempuhnya, serta kemampuan untuk menerima diri sendiri dan orang lain. Selain itu, remaja juga akan merasa bahwa dirinya mendapatkan tempat terbaik dalam struktur masyarakat. Namun sebaliknya, remaja yang gagal menghadapi krisis identitas atau tidak bisa menemukan identitas dirinya maka akan mengalami kebingungan peran (role confusion). Menurut Erikson, kebingungan peran dapat membuat remaja menarik diri (self-withdrwal) dari lingkungan sosialnya dan berperilaku menyimpang (delinquent) sehingga dapat membuat remaja memiliki identitas diri yang negatif (Yusuf, 2001). Kebingungan peran menimbulkan perasaan hilang arah, perasaan bersalah, perasaan takut, dan perasaan gagal dalam mencapai nilai-nilai yang ada di lingkungan tempat tinggalnya (Dacey, 1982). Keberhasilan maupun kegagalan remaja dalam menyelesaikan krisis identitas guna membentuk identitas diri tidak dapat dipisahkan dari pengalaman-pengalaman yang dijalani remaja itu sendiri (Calhoun & Acocella, 1990). Salah satu pengalaman yang erat dengan kehidupan remaja adalah pengalaman di masa sekolah. Di sekolah, remaja dapat menjalin relasi pertemanan dan mengenal lingkungan yang lebih luas sehingga dapat berinteraksi dengan individu lain di luar keluarganya. Oleh karena itu selain keluarga, sekolah cukup memiliki andil dalam perkembangan identitas diri remaja. Peran sekolah sebagai
lembaga yang selama ini dipercaya untuk memberikan
pendidikkan formal dapat pula berperan sebagai lembaga yang membantu remaja dalam membentuk identitas diri. Peran sekolah dalam pembentukan identitas diri remaja
4
disalurkan melalui penyediaan berbagai macam kegiatan, salah satunya adalah kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan non-akademik yang terdiri dari perkumpulan penggemar olahraga sejenis, kesenian, dan sebagainya untuk membantu remaja menyelesaikan tugas perkembangannya (Ali & Asrori, 2011). Di Indonesia, kegiatan ekstrakurikuler menjadi bagian pendidikkan formal yang tersedia dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Keberadaan kegiatan ekstrakurikuler telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikkan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 mengenai Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikkan Dasar dan Pendidikkan Menengah. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler pada pendidikkan tinggi juga telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2012 mengenai Pendidikkan Tinggi yaitu pada pasal 14 dan pasal 35 ayat 4. Beberapa
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
kegiatan
ekstrakurikuler
mempengaruhi proses pembentukan identitas diri. Penelitian yang dilakukan oleh Eccles & Barber (1999) mengungkapkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler dapat memfasilitasi kebutuhan perkembangan remaja dalam hal hubungan sosial dan berkontribusi terhadap identitas diri remaja sebagai anggota sekolah yang penting dan berharga. Penelitian lain yang dilakukan oleh Barber, Stone, & Eccles (2003) menjelaskan bahwa kegiatan ekstrakurikuler dapat memberikan wadah bagi remaja untuk bebas mengeksplorasi dan mengekspresikan berbagai pilihan identitas diri. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Eccles & Barber (1999) menjelaskan bahwa dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, remaja dapat menjadi pribadi yang ekspresif dan mampu menyampaikan kepada diri sendiri maupun orang lain bahwa “ini adalah saya yang sebenarnya”, “saya percaya ini yang harus saya lakukan”. Salah satu jenis kegiatan ekstrakurikuler adalah marching band. Marching band merupakan kegiatan kerja sama tim yang memadukan unsur musik, baris-berbaris, gerak
5
tari, dan irama (Hermawan, 2015). Marching band biasa dikenal memiliki pemain dalam kuantitas yang cukup banyak, keseragaman kostum, hingga peralatan musik yang beraneka ragam mulai dari alat musik tiup hingga alat musik pukul. Kehadiran marching band dapat menjadi salah satu wadah alternatif bagi remaja untuk menyalurkan kreativitas (khususnya dalam musik) dan mengembangkan diri. Marching band tidak hanya memiliki manfaat dari segi musikalitas saja, namun marching band juga memiliki manfaat dalam mendukung pembentukan identitas diri remaja. Heselton (2011) menilai bahwa marching band dapat menjadi ruang bagi remaja untuk membentuk identitas diri melalui sikap penghargaan terhadap diri sendiri atas pencapaian yang didapatkan melalui keikutsertaan remaja dalam kegiatan yang membutuhkan kerjasama tim dan menonjolkan gambaran diri yang positif. Penelitian yang mengaitkan identitas diri dan marching band juga telah dilakukan oleh Dagaz (2012). Hasil penelitian menjalaskan bahwa marching band dapat mendukung pembentukan identitas diri remaja. Penelitian ini mengungkapkan bahwa marching band dapat menawarkan stabilitas bagi masa perkembangan identitas remaja karena keterikatan antar anggota satu dengan yang lainnya dapat memberikan dukungan sosial yang kuat. Di dalam setiap pertunjukkannya, marching band sangat menampilkan general effect yang melibatkan kerja sama antara pemain musik dan pemain tarian. Pertunjukkan marching band sangat memperhitungkan detil kebutuhan musik dan kebutuhan koreografi. Hal ini tentunya membutuhkan waktu ekstra untuk menampilkan suatu pagelaran yang rapi dan indah. Oleh karena itu marching band dikenal memiliki latihan yang cukup menyita waktu para pemainnya. Tuntutan kekompakkan dan keseragaman yang ditujukan kepada puluhan bahkan ratusan pemain sangat membutuhkan usaha yang keras dengan waktu latihan yang intensif. Adanya hal ini tentunya dapat berdampak bagi diri individu yang mengikutinya.
6
Wawancara pendahuluan peneliti lakukan kepada seorang remaja yang berstatus mahasiswa. Hal ini peneliti lakukan untuk melihat gambaran identitas diri yang dimiliki mahasiswa yang mengikuti marching band. Dikatakan oleh mahasiswa tersebut bahwa kegiatan marching band yang diikutinya cukup menyita waktu sehingga mempengaruhi hubungannya dengan keluarga dan juga teman-teman di luar marching band. Selain memiliki perubahan pada hubungan dengan keluarga dan teman, nilai akademisnya juga turun. “Yaa..apa ya kaya pulang, waktu di rumah atau di kosan gitu lebih sebentar daripada di luar rumah, terus kaya waktu mainnya lebih sedikit, quality time sama temen-temen kampus lebih sedikit gitu, ya itu sih yang aku rasain sejauh ini, terus kaya ya enggak bisa dipungkirilah ketinggalan pelajaran, udah pasti lah itu soalnya kan latihan marching menyita waktu banget lumayan banyak.” (WP. 59-63).
Penurunan kualitas hubungan dengan teman dan keluarga serta penurunan pencapaian akademis berdampak pada pembentukan identitas diri individu. Hal ini mengingat identitas sosial (hubungan dengan keluarga dan teman sebaya) dan identitas akademis menjadi bagian dari aspek yang menyusun identitas diri (Santrock, 2012). Selanjutnya, peneliti mencoba mencari tahu mengenai pengenalan mahasiswa tersebut terhadap dirinya, akan tetapi ia masih belum dapat mendefinisikan dirinya sendiri dan juga belum dapat menggambarkan dengan jelas rencana di masa depan. “Emm..aku itu orangnya gimana yaa.. emm.. bebas, kan orang lain yang nilai ya mbak.” (WP. 7-8) “Kalau kelebihan dan kekuranganmu apa sih?” “Aduh ini pertanyaan susah ini mbak.” (WP. 10) “Kenapa susah?” “Aku juga gak tau soalnya kan kalau misalkan kelebihan itu takutnya dibilang sombong gitu kalau ngomongin kelebihan.” (WP. 12-13) “... soalnya pokoknya setelah lulus paling nyari kerjaan dulu gitu mbak. Mau dapat penghasilan dulu lah intinya gitu.” (WP. 19-20) “.. baru kepikiran sekarang ini baru mau kerja di tempat yang berhubungan sama jurusanku gitu.” (WP. 31-33) “Ada beberapa tempat yang targetnya gitu, cuma pastinya belum tau, belum bisa nentuin, mungkin nanti setelah semester 5-6 kan ada kaya pengarahan gitu kaya seminar segala macem mungkin disitu bisa buat mutusinnya.” (WP. 35-37)
Penggambaran tujuan yang kurang jelas oleh mahasiswa tersebut disebabkan oleh pemilihan jurusan kuliah yang bukan murni keinginan individu itu sendiri. Mahasiswa
7
tersebut hanya sekedar ikut-ikutan teman untuk mendaftar jurusan tertentu. Ia pun merasa „tercebur‟ ke dalam jurusan kuliahnya saat ini. “... soalnya kan daftar itu ikut-ikutan doang, maksudnya jurusan ini gitu, jurusan ini cuma sekedar daftar ya mungkin istilah orang-orang kaya kecebur gitu di jurusan ini tapi ya aku nikmatin aja soalnya udah terlanjur masuk situ kan.” (WP. 24-26)
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diketahui bahwa masih terdapat remaja yang mengikuti marching band yang masih mengalami kebingungan akan dirinya dan juga kurang memiliki perencanaan terhadap hal penting dalam hidupnya. Sedangkan pengenalan terhadap diri sendiri menurut Erikson merupakan salah satu ciri pencapaian identitas diri. Erikson menjelaskan bahwa remaja akhir yang masih mengalami kebingungan akan dirinya akan rentan mengalami bahaya perkembangan psikososial yang dapat menghambat kedewasaan individu secara psikologis (Papalia, Old & Feldman, 2004). Sebelumnya, penelitian tentang identitas diri telah cukup banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Isnannisa (2015) mengenai pembentukan identitas diri pada mahasiswa yang pernah menjalani akselerasi. Selain itu ada juga penelitian Rimadhani (2016) yang membahas tentang pembentukan identitas diri pada remaja yang orangtuanya bercerai. Selanjutnya juga ada penelitian yang dilakukan oleh Hadori (2010) mengenai pembentukan identitas santri di pondok pesantren. Sebelumnya juga telah ada studi etnografi yang mengaitkan identitas diri dengan marching band yang dilakukan Dagaz (2012). Namun demikian, penelitian tersebut dilakukan pada remaja SMA sedangkan peneliti sangat ingin meneliti pembentukan identitas diri pada mahasiswa. Adanya uraian sebelumnya yang menunjukkan bahwa masih terdapat mahasiswa yang mengikuti marching band yang masih mengalami kebingungan akan dirinya juga semakin membuat peneliti ingin meneliti mengenai pembentukan identitas diri pada mahasiswa yang mengikuti marching band. Perbedaan antara teori yang
8
ada dengan keadaan lapangan membuat peneliti semakin ingin menggali bagaimana sebenarnya pembentukan identitas diri pada mahasiswa yang mengikuti marching band. Penelitian ini akan mengambil responden yaitu mahasiswa yang merupakan remaja akhir dengan usia 19-22 tahun. Penelitian ini juga akan difokuskan pada pembentukan identitas diri pada mahasiswa yang mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Marching Band Universitas Gadjah Mada. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : Bagaimana proses pembentukan identitas diri pada mahasiswa yang mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Marching Band Universitas Gadjah Mada ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami proses pembentukan identitas diri pada mahasiswa yang mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Marching Band Universitas Gadjah Mada
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat luas terkait dengan pembentukan identitas diri pada mahasiswa. Adapun manfaat teoritis dan manfaat praktis dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang psikologi perkembangan, khususnya mengenai pembentukan identitas diri. Di samping itu, penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan referensi bagi para peneliti
9
yang akan melakukan penelitian terkait pembentukan identitas diri, khususnya pada mahasiswa yang masih dalam kategori remaja.
2. Manfaat Praktis a. Melalui hasil penelitian ini mahasiswa diharapkan dapat mengenali diri serta menyadari identitas dirinya dan mengetahui gambaran identitas dirinya ketika mengikuti suatu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). b. Selain memberikan manfaat bagi mahasiswa, penelitian ini juga diharapkan memberikan informasi kepada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk terus menjaga dan mengembangkan kegiatan yang mendukung pembentukan identitas diri mahasiswa.