BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Aparatur negara yang profesional diharapkan lahir dengan telah diundangkannya UU ASN (Undang-Undang Aparatur Sipil Negara) yang memuat sejumlah hal baru yang diantaranya adalah penegasan status, kedudukan, fungsi, dan peran pegawai ASN, jenis/kelompok jabatan ASN, pengangkatan
dalam
jabatan
berdasarkan
perbandingan
objektif,
kesempatan yang setara antara PNS, anggota TNI/Polri untuk menduduki jabatan di lingkungan sipil/TNI/Polri, dan kewenangan pembinaan dan manajemen ASN. Pemerintahan baru yang terbentuk pasca pemilu 2014 harus segera merealisasikan visi, misi dan janji selama kampanye kedalam program aksi nyata dengan menyusun berbagai kebijakan dan program/kegiatan pembangunan di seluruh sektor. Dengan modal legitimasi/keabsahan yang besar maka pemimpin bangsa yang baru dituntut melakukan komunikasi dengan birokrasi pemerintahan sehingga kepentingan rakyat pemilih dapat dikedepankan. Sebagai sebuah sistem yang sudah tertata maka birokrasi pemerintahan akan bekerja sesuai arahan dari Presiden dan Wakil Presiden, senantiasa secara profesional melaksanakan kebijakan publik, melayani publik, dan menjadi perekat dan pemersatu seluruh komponen bangsa. Sebagai perencana, pelaksana, dan
pengawas
penyelenggaraan
tugas
umum
pemerintahan
dan
pembangunan nasional maka keterlibatan aktif pegawai ASN sangat dibutuhkan. Paradigma
baru
birokrasi
adalah
ASN
merupakan
aparatur
profesional yang kompeten, berorientasi pelayanan publik, dan loyalitas kepada negara dan aturan perundang-undangan. profesionalisme,
UU
ASN
memberlakukan
sistem
Dalam konteks merit
(sistem
1
berdasarkan kompetensi). Artinya, ASN adalah jabatan profesional yang menuntut persaingan dan kompetensi. Jaminan pelaksanaan manajemen pegawai ASN sesuai UU ASN akan memberikan kepastian bagi setiap aparatur ASN atas pola dan pengembangan karier, promosi, mutasi, peniaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, dan penegakan disiplin yang adil (fair). Namun implementasi aturan baru itu masih butuhkan waktu yang cukup lama. Sebab sejumlah turunan UU ASN terlebih dahulu harus dibuat, dan itu tersirat ketika penulis mengamati sejumlah pokok penting dalam UU ASN tersebut. Tak kurang dari 20 perangkat kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) yang menjadi referensi untuk melahirkan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dibutuhkan oleh UU ASN untuk diberlakukan. Kiranya dari saat ini pemerintah daerah sudah harus memperlihatkan sikap tegasnya guna menyiapkan
sumberdaya
manusia
aparaturnya
untuk
menyambut
penerapan UU ASN. Itu demi mewujudkan totalitas reformasi birokrasi di daerah. Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat betapa pentingnya kinerja
Pemerintah
Daerah dalam penyelenggaraan
Pemerintahan
terutama setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 diterapkan. Kinerja yang efektif dari perangkat daerah akan menunjang pencapaian visi dam misi pemerintahan sebagai landasan pembangunan daerah yang melibatkan tiga pilar utama good governance yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Beranjak dari pemikiran inilah, penulis terdorong untuk mengangkat topik ini dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana kinerja Pegawai Pemerintah Daerah untuk mendukung implementasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara,
2
dengan
judul : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, bahwa, Kinerja Pemerintah Daerah mempunyai peranan penting dalam implementasi penerapan
Undang-Undang
Aparatur
Sipil
Negara,
maka
dapat
diidentifikasikan masalah yaitu : 1. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 masih dibutuhkan waktu yang cukup lama, sebab sejumlah turunan UU ASN terlebih dahulu harus dibuat. C. Metode Penulisan Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode observasi atau pengamatan langsung dan metode studi kepustakaan atau studi pustaka. D. Sistematika Penulisan Pada karya tulis ini, akan dijelaskan hasil penelitian dimulai dengan bab pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Dilanjutkan dengan bab II yang berisi tentang tinjauan teoritis yang terdiri dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh ahli. Bab berikutnya penulis membahas secara keseluruhan tentang masalah yang diangkat, yaitu tentang analisis implementasi UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 terhadap kinerja Pegawai Pemerintah Daerah. Bab keempat merupakan penutup dalam karya tulis ini. Pada bagian ini penulis menyampaikan uraian yang sudah disampaikan dan memberikan sejumlah saran.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kinerja Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Kinerja (performance), namun pada prinsipnya adalah sama yaitu hasil pekerjaan yang telah dilakukan oleh seseorang. Karena itu, kinerja sering diartikan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi. Artinya, jika kinerja seseorang optimal, maka dapat dikatakan orang tersebut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan suatu organisasi tempat dimana ia bekerja. Banyak organisasi yang berhasil atau efektif karena ditopang oleh kinerja sumber daya manusia yang berkualitas. Sebaliknya, tidak sedikit organisasi yang gagal karena faktor kinerja sumber daya manusia yang tidak optimal.
Berbicara tentang kinerja maka akan berhadapan pada penilaian sikap atau sesuatu yang telah dicapai atau prestasi yang ditunjukkan. Menurut Simanjuntak (2005:1) pengertian “Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu”.
Dari definisi-definisi tersebut dapat diartikan bahwa kinerja merupakan suatu
proses
untuk
pencapaian
hasil
pelaksanaan
suatu
4
kegiatan/program/kebijaksanaan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas dari seorang pegawai secara individu maupun dari sebuah unit kerja secara berkelompok sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing untuk mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi tersebut yang pelaksanaannya sesuai dengan perencanaan strategis organisasi yang telah ditetapkan.
B. Pengukuran Kinerja Berhubungan dengan konsep kinerja, Rummler dan Brache dalam Sudarmanto (2009:7) mengemukakan ada 3 (tiga) level kinerja, yaitu :
1. Kinerja Organisasi; merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi 2. Kinerja proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses ini dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan manajemen proses. 3. Kinerja individu/pekerjaan; merupakan pencapaian atau efektivitas pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan manajemen pekerjaan, serta karakteristik individu.
Menurut Dwiyanto (2008:47) mengatakan bahwa “penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya”. Sedangkan menurut Moeheriono (2009:61) pengukuran kinerja mempunyai pengertian “suatu proses penilaian
5
tentang kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran dalam pengelolaan sumber daya manusia untuk menghasilkan barang dan jasa, termasuk informasi atas efisiensi dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan organisasi”.
Indikator kinerja birokrasi sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu, tetapi harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Kenyataan bahwa birokrasi publik memiliki stakeholders yang banyak dan memilikii kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi birokrasi publik di mata para stakeholders
juga
berbeda-beda.
Dwiyanto
(2008:50-51)
menjelaskan
beberapa indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu :
1. Produktivitas, tidak hanya mengukur tingkat efisien, tetapi juga mengukur efektivitas pelayanan. 2. Kualitas pelayanan, yaitu cenderung menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik, kualitas layanan relatif sangat tinggi maka bisa menjadi satuan ukuran kinerja yang mudah dan murah. 3. Responsivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun
agenda
dan
prioritas
pelayanan,
dan
6
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi. 4. Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun yang implisit. 5. Akuntabilitas, yaitu menunjukkan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi tunduk pada para pemimpin yang telah dipilihnya. Menurut Faustino dalam Mangkunegara (2006:41) : “Adapun syarat utama untuk melakukan penilaian kinerja yang efektif adalah adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan adanya obyektivitas dalam proses evaluasi”. Pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting untuk dapat memperbaiki pelaksanaan kerja yang dapat dicapai. Untuk menjadi efektif, maka standar-standar kinerja tersebut harus dikaitkan dengan hasil yang diinginkan dari masing-masing pekerjaan melalui penilaian kinerja. Dalam pandangan Sedarmayanti (2007:198) mengatakan penilaian kinerja penting peranannya karena sebagai alat untuk : 1. Memastikan pemahaman pelaksana akan ukuran yang digunakan untuk mencapai kinerja. 2. Memastikan tercapainya rencana kinerja yang telah disepakati. 3. Memantau
dan
mengevaluasi
pelaksanaan
kinerja
dan
membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja. 4. Memberi penghargaan dan hukuman yang objektif atas kinerja pelaksana yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang disepakati. 5. Menjadi alat komunikasi antar karyawan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi. 6. Mengidentifikasikan apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi.
7
7. Membantu memahami proses kegiatan organisasi. 8. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif. 9. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan. 10. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
Penilaian kinerja adalah salah satu tahapan penting dalam siklus pengembangan sumber daya manusia, baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Penilaian kinerja merupakan proses pengukuran terhadap tingkat penyelesaian tugas-tugas yang dilakukan oleh pegawai selama masa tertentu dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan karakteristik tugas tersebut. Melalui penilaian kinerja akan diketahui sejauh mana perkembangan pegawai/aparat dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk menunjang kinerja organisasi.
Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu pegawai dengan pegawai lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Walaupun pegawai-pegawai bekerja pada tempat yang sama namun produktifitas mereka tidaklah sama.
Sudarmanto (2009:30)
mengatakan : Perbedaan-perbedaan kinerja ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain misalnya motivasi kerja, kepuasan kerja, desain pekerjaan, komitmen, kepemimpinan, partisipasi, fungsi-fungsi manajemen, kejelasan arah karier, kompetensi, budaya organisasi, sistem penghargaan, dan mungkin masih banyak lagi dari berbagai hasil penelitian yang sebelumnya – yang mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja individu.
8
Faktor
yang
mempengaruhi
pencapaian
kinerja
adalah
faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Seperti yang telah diungkapkan oleh Keith Davis dalam Mangkunegara (2000:67) : Human Performance
=
ability x motivation
Motivation
= attitude x situation
Ability
=
knowledge x skill
Penjelasan yang dikutip menurut pandangan Mangkunegara (2012:1314) : 1. Faktor kemampuan (ability) Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality. Artinya pimpinan dan pegawai yang memiliki IQ dan skill yang memadai, maka akan lebih mudah untuk mencapai kinerja yang maksimal. 2. Faktor motivasi (motivation) Motivasi merupakan suatu sikap dalam menghadapi situasi kerja di lingkungan organisasinya. Mereka yang memberikan respon positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud antara lain hubungan kerja, fasilitas
kerja,
iklim
kerja,
kebijakan
pimpinan,
pola
kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. C. Standard Operating Procedures (SOP) Untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu, suatu organisasi akan menjalankan sebuah kegiatan yang didukung dengan sejumlah keputusan tertentu. Jadi, untuk mewujudkan tujuan yang sama, tiap anggota organisasi
9
terikat pada prosedur tertentu yang harus diikuti dan dipatuhi. Menurut Tambunan (2013:3) SOP pada dasarnya adalah: pedoman yang berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu organisasi yang dugunakan untuk memastikan bahwa setiap keputusan, langkah, atau tindakan, dan penggunaan fasilitas pemrosesan yang dilaksanakan oleh orang-orang di dalam suatu organisasi, telah berjalan secara efektif, konsisten, standar, dan sistematis. SOP yang efektif mensyaratkan organisasi memiliki visi dan misi yang jelas. Visi dan misi adalah pemandu utama ke arah mana organisasi akan dibawa. Namun, SOP yang efektif sebaiknya disusun apabila visi dan misi organisasi telah jelas dinyatakan. D. Umpan Balik Pelaksanaan kinerja dalam proses pencapaian tujuan organisasi perlu dimonitor dan dikendalikan, untuk dapat mengetahui secara lebih dini apabila terjadi penyimpangan dari rencana. Untuk keperluan tersebut, diperlukan adanya umpan balik dari proses pelaksanaan sehingga pemimpin dapat membuat pertimbangan dan langkah yang diperlukan untuk mengoreksi penyimpangan agar tujuan organisasi tetap dapat dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan. Wibowo (2012:165) mendefinisikan umpan balik sebagai “informasi tentang
perilaku
masa
lalu,
disampaikan
sekarang,
yang
mungkin
memengaruhi perilaku di waktu yang akan datang”. Pandangan lain dari Kreitner dan Kinicki (2001:273) bahwa umpan balik adalah merupakan informasi obyektif tentang kinerja individual atau kolektif. Kinerja setiap orang dimonitor, didata, dan dilaporkan kepada atasan sebagai umpan balik. Dari pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, umpan balik adalah informasi tentang proses pelaksanaan kinerja baik individu, kelompok, maupun organisasi dalam mencapai tujuannya. Wibowo (2012:166) mengatakan : Umpan balik pada tingkat organisasi berkenaan dengan monitoring apakah terjadi deviasi antara rencana dengan pelaksanaan dan memprediksi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila terjadi deviasi, perlu ditetapkan tindakan yang harus dilakukan untuk mengoreksinya sehingga tujuan tetap dapat dicapai.
10
Umpan balik yang baik akan menginspirasi organisasi untuk melakukan koreksi atas usaha yang telah dilakukannya ketika usaha tersebut belum mencapai hasil yang maksimal. Sebaliknya, apabila telah mencapai hasil yang maksimal, peranan umpan balik adalah untuk memacu prestasi menjadi lebih baik lagi hingga batasan yang paling maksimal. Umpan balik dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja dimasa yang akan datang, sehingga harus diberikan dalam bentuk dan cara yang benar. Umpan balik yang disampaikan tersebut diharapkan akan memberikan dampak yang positif. Ken Lawson (2005:98) mengemukakan beberapa ciri umpan balik yang efektif : 1. Constructive (konstruktif) 2. Relates exclusively to work (menghubungkan pada pekerjaan secara eksklusif) 3. Assesses performance, not personality (menilai kinerja, bukan kepribadian) 4. Specific (spesifik) 5. Accounts for perceptual differences (memperhitungkan perbedaan persepsi) 6. Objectives (objektif)
11
BAB III PEMBAHASAN
A. Analisis Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam berlakunya aturan tersebut, maka tidak dikenal lagi istilah tenaga honorer di Indonesia. Regulasi yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Januari 2014, pada pasal 1 ayat 1 disebutkan : "Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK)yang bekerja pada instansi pemerintah".
Yang selanjutnya disebutkan bahwa : "Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan."
Pemerintah perlu berhati-hati dan bekerja keras, agar amanat yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) bisa diterapkan secara menyeluruh mulai Januari 2016.
12
Hasil kajian divisi riset kebijakan publik Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) memperlihatkan, UU ASN memiliki mandat untuk membuat 19 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres), 1 Keputusan Presiden (Kepres), 1 Peraturan Menteri (Permen), 1 Keputusan Menteri (Kepmen), dan 1 Peraturan Komisi Aparatur Sipil Negara (Per-KASN) Beberapa hal yang perlu dikaji lebih mendalam dari UU ASN ini. Misalnya, pada pasal 9 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang ditetapkan pimpinan instansi pemerintah, dan Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Kebebasan dari pengaruh dan intervensi politik ini tentu termasuk juga dari pimpinan instansi pemerintah sebagai Pegawai ASN. Sayangnya, persoalan intervensi ini tidak dimasukan dalam bagian penjelasan Pasal 9. Sehingga, menjadi tidak jelas, bagaimana cara memastikan dan jaminan apa yang dapat menjadi panduan untuk membebaskan Pegawai ASN dari pengaruh
dan
intervensi
politik
Pemerintah harus mengeluarkan panduan yang dengan tegas memastikan dan menjamin bahwa tidak akan ada intervensi terebut. Panduan tersebut harus dibuat dalam kerangka kerja KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) maupun dalam kerangka kerja Pegawai ASN dalam kegiatan sehari-hari
B. Sistem Merit Pegawai Pada bagian penjelasan Bab Umum dijelaskan bahwa yang dimaksud Sistem Merit adalah perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan
13
promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Sedangkan di Pasal 1 ayat (22), dijelaskan bahwa Sistem Merit adalah kebijakan
dan
manajemen ASN
yang
berdasarkan
pada
kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Jika dijelaskan secara singkat, pada bagian penjelasan UU ASN Sistem Merit adalah mekanisme perbandingan, sedangkan di batang tubuh UU ASN, Sistem Merit adalah Kebijakan dan Manajemen. Tidak ada penjelasan lebih lanjut secara operasional tentang Sistem Merit yang diberikan kepada Peraturan Pemerintah atau Peraturan KASN.
C. Hamonisasi UU dan Sistem Informasi ASN Dengan disahkannya UU ASN ini, maka Undang-Undang nomor 43 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Pokok Kepegawaian) dinyatakan tidak berlaku lagi atau dicabut.
Meskipun
UU
Pokok
Kepegawaian
dicabut,
namun
peraturan
pelaksanaan UU tersebut masih dinyatakan berlaku, dengan catatan, sepanjang tidak bertentangan dan diganti berdasarkan pada UU ASN.
Pernyataan ini menuntut adanya harmonisasi antara peraturan pelaksanaan UU Pokok Kepegawaian terhadap UU ASN. Mana peraturan yang sesuai dan mana peraturan yang bertentangan. Tindakan harmonisasi ini sangat mendesak, mengingat waktu Pemerintah untuk membuat peraturan
14
pelaksanaan UU ASN hanya 2 tahun. Perlu diperhatikan oleh Pemerintah, tindakan harmonisasi terkadang tidak menjadi prioritas atau terkendala proses interdep (antar departemen di pemerintahan). Pemerintah juga harus berhatihati dengan ketatnya jadwal pelaksanaan Sistem Informasi ASN yang berdasarkan pasal 133 UU ASN harus dilaksanakan secara nasional paling lama tahun 2015. Jika yang dimaksud bulan Desember 2015 sebagai batas akhir, maka diperlukan kerja ekstra keras dari Pemerintah untuk mewujudkan dan melaksanakan sistem informasi ASN.
D. Pengaruh UU ASN Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Menilik UU yang akhirnya disahkan, sejumlah hal patut diapresiasi karena memang memberikan nuansa baru yang lebih baik dalam sistem manajemen SDM aparatur di Indonesia. Beberapa perubahan signifikan dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, UU ASN memberikan koridor yang cukup baik dalam pengaturan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelolaan pegawai pemerintah non-PNS alias honorer telah menjadi masalah yang mengemuka sejak awal Kabinet Indonesia Bersatu I. Setelahnya, banyak pula instansi yang merekrut pegawai kontrak dengan mekanisme yang terkesan mengada-ada (seperti seakanakan dari perusahaan alih daya/outsourcing atau dengan manuver melalui manipulasi anggaran untuk membayarkan honornya) untuk mengakali ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Penegasan aturan soal PPPK ini merupakan jalan keluar yang patut diapresiasi, karena ini akan memisahkan PPPK dari ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan karena UU ASN akan menjadi lex specialis dari masalah ini.
15
Kedua, secara filosofis UU ASN hanya mengenal eselonisasi hingga tingkat ke-2, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi. Meskipun demikian, secara implisit, eselonisasi tetap dipertahankan dalam nama Jabatan
Administrasi.
Jabatan
Administrasi
terdiri
atas
administrator
(ekuivalen dengan eselon III dalam sistem sebelumnya), pengawas (ekuivalen dengan eselon IV dalam sistem sebelumnya), dan pelaksana (ekuivalen dengan eselon V dan fungsional umum dalam sistem sebelumnya).
Pesan implisit ini membuka ruang penafsiran yang sangat luas dan berpotensi ambigu. Misalnya, seluruh jabatan eselon III memang akan dialihkan sebagai administrator. Jika demikian, bagaimana dengan wacana pengalihan jabatan eselon III di sejumlah instansi yang sebetulnya berkarakteristik fungsional. Hal ini baru akan terjawab dalam peraturan pemerintah (PP) yang menjadi pelaksana UU ini nantinya.
Ketiga, UU ini memberi pengakuan dan tanggung jawab kehormatan kepada pejabat tinggi (high rank officials) di birokrasi, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Pada dasarnya, ini merupakan manifestasi dari gagasan senior executive service (SES) yang dulu diperkenalkan RUU ASN versi awal. SES merupakan praktik yang lazim di negara-negara yang telah menganut New Public Management (NPM).
Pada umumnya, setiap SES akan memiliki tanggung jawab yang tinggi karena dia akan menjadi penghubung antara birokrasi dengan politisi, panutan (role model) bagi birokrat, dan penasihat utama (senior advisor) bagi pejabat politik. Dengan tanggung jawab itu, umumnya SES akan menerima tunjangan tambahan, pendidikan dan pelatihan khusus, dan tentunya sanksi yang lebih berat apabila melanggar. Namun demikian, dalam UU ASN, tidak
16
ada penjelasan terkait ketiga hal tersebut bagi pemangku JPT. Tanpa adanya penjelasan ini, sebenarnya JPT tidak dapat dikategorikan sebagai praktik SES.
Keempat, UU ASN mengatur tentang kelembagaan dalam manajemen SDM aparatur. Hal ini patut diapresiasi karena potensi tumpang-tindih kewenangan antara menteri di bidang pendayagunaan aparatur negara (sebut saja Menpan J) dan menteri di bidang dalam negeri (sebut saja Mendagri J) sudah dapat diminimasi, bahkan mungkin hilang.
Kewenangan penuh berada pada Menpan, karena UU ini sekaligus menghapuskan Bab V “Kepegawaian” dari UU Nomor 32 Tahun 2004. Pengaturan kewenangan juga terdapat antara Kementerian PANRB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan sebuah komisi yang akan dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pengaturan ini sudah cukup rapi, meskipun potensi tumpang-tindih masih bisa terjadi terutama antara Kemenpanrb dengan BKN (Pasal 26 dan Pasal 48 huruf e). Hal ini sangat mungkin terjadi apabila kedua instansi tidak bekerja sama dalam pelaksanaan tugas tersebut.
Kelima, UU ini menjadi dasar pembentukan KASN. Bagi sebagian orang, ini mungkin dianggap sebagai titik lemah UU ASN, namun bagi saya pribadi, pembentukan KASN adalah manifestasi dari praktik governance di bidang pendayagunaan aparatur negara. Prinsip dasar dari governance adalah perluasan pelaksana pemerintahan dari pemerintah kepada aktor lain di negara, yaitu masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta.
17
Di Indonesia, hal ini terejawantahkan dalam bentuk Lembaga Non Struktural (LNS). Saya sadar bahwa sejumlah LNS tidak berfungsi secara efektif dan cenderung mengakibatkan inefisiensi anggaran negara, namun saya pikir tidak untuk KASN. PNS adalah unsur yang penting dalam penyelenggaraan
negara,
bahkan
seringkali
PNS
lebih
berkuasa
dibandingkan pejabat politik karena memiliki budaya organisasi dan pengalaman yang lebih dibandingkan sebagian pejabat politik.
Oleh karena itu, tidak jarang pejabat politik (misalnya menteri atau kepala daerah) gagal menjalankan organisasinya karena tidak memiliki PNS yang berkualitas baik. Apabila seluruh proses terkait manajemen PNS diserahkan hanya kepada PNS (Kemenpanrb, BKN, LAN), maka terdapat potensi “saling melindungi” yang berakibat tidak efektifnya manajemen PNS tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan KASN yang keanggotannya dapat diisi oleh PNS maupun non-PNS.
Namun
demikian,
tentunya
dibutuhkan
pengaturan
yang
lebih
komprehensif agar KASN dapat berfungsi efektif. Hal ini terkait dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki KASN, salah satunya mengawasi proses pengisian JPT. Dengan perkiraan jumlah eselon I dan II (setara JPT) di Indonesia yang per Agustus 2013 mencapai 15.726 jabatan (3.318 pegawai instansi pusat dan sisanya pegawai pemerintah daerah), mekanisme pengawasan seperti apa yang dapat dibangun oleh KASN untuk memastikan pengisian jabatan ini berjalan efektif.
Apabila 15.000-an jabatan ini dapat dipastikan terisi oleh orang-orang yang berkualitas dan berintegritas, maka sebetulnya ini bukan angka yang tinggi, karena mereka ini nantinya akan memimpin sekitar puluhan ribu PNS di
18
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah. Tentu ini merupakan pengungkit yang luar biasa bagi perbaikan birokrasi Indonesia. Inilah yang kiranya patut menjadi perhatian lebih lanjut, agar KASN tidak bernasib sama dengan sejumlah PNS lain yang seakan sia-sia.
Keenam,
UU
ASN
secara
eksplisit
menyebutkan
bentuk
pengembangan karier PNS dengan pemberian kesempatan praktik kerja di instansi lain termasuk perusahaan swasta paling lama selama satu tahun (Pasal 70 ayat 5 dan 6). Ketentuan ini terdapat pada gagasan reform leaders academy yang dicetuskan oleh Philia Wibowo, partner McKinsey Indonesia yang juga salah seorang anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional. Dalam penjelasan ayat 6, disebutkan pula bahwa pemerintah dapat membuka kesempatan kepada pegawai swasta untuk menduduki jabatan ASN sesuai persyaratan kompetensi paling lama satu tahun. Ini merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Saya cukup terkejut membaca adanya ketentuan ini dalam versi akhir RUU ASN. Namun demikian, pengaturan tentang “dapat” ini harus disusun dengan seksama agar tidak menjadi sia-sia karena di lapangan nanti pelaksana menganggap hal tersebut tidak dibutuhkan.
Ketujuh, UU ASN membuka peluang diberhentikannya PNS atas alasan kinerja (Pasal 77 ayat 6). Hal ini tentu patut diapresiasi karena memberikan nuansa baru dalam birokrasi terutama dalam hal penilaian kinerja PNS. Namun demikian, patut dinanti bagaimana pengaturan lanjutannya dalam PP yang diamanatkan kemudian. Kedelapan, atas penilaian kinerja PNS tersebut juga akan diberikan tunjangan kinerja (Pasal
19
80 ayat 3). Kedua hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi birokrasi untuk membangun sistem manajemen kinerja yang komprehensif.
Kedelapan, UU ASN menjadikan pengisian JPT terbuka secara nasional. JPT sendiri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu JPT utama (yang kini ekuivalen dengan Kepala LPNK), JPT madya (yang kini ekuivalen dengan eselon I), dan JPT pratama (yang kini ekuivalen dengan eselon II).
Pengisian JPT utama dan madya dilakukan secara nasional. Artinya, setiap PNS yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan akan dapat melamar pada lowongan JPT yang dibuka pada setiap instansi. Sebagai contoh, seorang PNS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melamar sebagai
Sekretaris
Daerah
Provinsi
X.
Ketentuan
lain
adalah
dimungkinkannya pengisian JPT utama dan madya dari kalangan non-PNS atas persetujuan Presiden (Pasal 109 ayat 1). Seluruh proses pengisian JPT dilakukan melalui tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi dengan anggota tim seleksi terdiri dari internal dan eksternal instansi.
Namun demikian, gagasan yang cukup baik ini menimbulkan ambivalensi ketika disebutkan dalam Pasal 111 bahwa aturan ini “dikecualikan bagi instansi pemerintah yang telah menerapkan sistem merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN”.
Pengecualian ini dapat dilihat dari kacamata positif maupun negatif. Dari sisi positif, ini memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian di instansi untuk mengembangkan sistem manajemen SDM aparaturnya sendiri, atau dalam istilah populernya let the manager manages. Namun demikian, pengecualian ini juga akan memunculkan ambivalensi manakala instansi yang
20
dikatakan sudah menerapkan “sistem merit” ini tidak ingin membuka diri kepada PNS dari instansi lain.
Dualisme ini dapat mengarah pada kesia-siaan karena nantinya instansi akan cenderung melakukan penutupan diri tersebut dengan bungkus “sistem merit” yang izinnya dapat diperpanjang layaknya SIM (Surat Izin Mengemudi, atau dalam hal ini mungkin lebih tepat sebagai Surat Izin Merit). Pengecualian ini juga sejatinya menunjukkan bahwa dalam birokrasi pemerintah masih terdapat ego sektoral, karena saya dapat menangkap instansi mana yang akan mengajukan pengecualian ini nantinya.
Oleh karena itu, pengecualian sebaiknya terbatas pada detail mekanismenya semata, tapi tidak boleh menutup kesempatan yang dimiliki setiap pegawai di penjuru NKRI untuk menduduki JPT. Jangan sampai fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa menjadi pudar dengan pengecualian atas nama “sistem merit”, karena sistem merit tidak berarti menutup kemungkinan pegawai daerah menduduki JPT di pusat dan sebaliknya.
Kesembilan, UU ASN memperkenalkan sistem kontrak pada JPT, yang berlaku per lima tahun. Hal ini mirip dengan yang dilakukan Australia, yaitu jabatan secretary di setiap kementerian hanya dapat diisi selama lima tahun dan selanjutnya harus dipilih kembali. Dengan demikian, diharapkan terjadi penyegaran dan tidak ada “pengkaplingan” jabatan oleh seseorang atau sekelompok orang. Bahkan, pemangku JPT yang gagal memenuhi target kinerja selama 1 tahun akan diberi kesempatan 6 bulan untuk ditinjau ulang. Artinya, kinerja kembali menjadi kata kunci dalam manajemen SDM aparatur.
21
Tentu saja hal ini masih harus dipersenjatai dengan peraturan pelaksananya nanti.
Sembilan butir tersebut kiranya yang patut menjadi perhatian karena memberikan nuansa baru dalam manajemen SDM aparatur. Sebenarnya masih ada sejumlah hal lain seperti pensiun, korps pegawai, dan lain-lain, namun tidak terlalu signifikan dibandingkan kesepuluh hal di atas. Bagaimanapun, UU ASN merupakan UU yang cukup fleksibel karena sebagian besar ketentuan di dalamnya bersifat multiinterpretasi. Oleh karena itu, dibutuhkan kontrol publik yang ketat dalam proses penyusunan peraturan pelaksana dari UU ASN (yang dalam perhitungan sederhana saya terdapat 3 Perpres, 19 PP, dan 1 Permenpan, dengan jumlah PP bisa saja lebih tergantung pemisahan materinya). Kontrol ini diperlukan agar semangat perubahan dari UU ASN tidak kempis di tengah jalan karena interpretasi konservatif dari peraturan pelaksananya kelak. Hanya dengan demikianlah UU ASN dapat benar-benar mengantarkan kita pada era baru manajemen SDM aparatur Indonesia.
22
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah mengetahui sejauh mana analisis implementasi UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terhadap kinerja Pemerintah Daerah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kinerja Pemerintah Daerah setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara masih perlu ditingkatkan lagi. Hal ini disebabkan oleh UU ASN memiliki mandat untuk membuat 19 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres), 1 Keputusan Presiden (Kepres), 1 Peraturan Menteri (Permen), 1 Keputusan Menteri (Kepmen), dan 1 Peraturan Komisi Aparatur Sipil Negara (Per-KASN) Pemerintah hanya punya waktu kurang dari dua tahun untuk menyiapkan seluruh regulasi turunan dari UU
ASN
sehingga
Pemerintah
Daerah
masih
belum
dapat
mengimplementasikan secara total mandat dari UU Nomor 5 Tahun 2014 ini.
B. Saran 1. Tuntutan kepada pegawai ASN untuk bekerja secara profesional harus didukung juga dengan implementasi UU ASN secara konsisten oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Konsistensi implementasi UU ASN merupakan bukti komitmen pemerintahan baru
23
dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan menegaskan netralitas birokrasi
pemerintahan
daerah
terhadap
pengaruh
politik
atas
keterpilihan para wakil rakyat/anggota legislatif, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta jauh dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. 2. Kiranya dari saat ini pemerintah daerah sudah harus memperlihatkan sikap tegasnya guna menyiapkan sumberdaya manusia aparaturnya untuk menyambut penerapan UU ASN. Itu demi mewujudkan totalitas reformasi birokrasi di daerah.
24
25