BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hukum Acara Pidana 2.1.1 Pengertian Dan Sifat Hukum Acara Pidana Eksistensi Hukum Acara Pidana sangat diperlukan dan sifatnya esensial dalam rangka penegakan Hukum Pidana Materil. Oleh karena itu, eksistensi Hukum Acara Pidana sangat penting dalam kelangsungan ketentuan Hukum Pidana Materil. Secara tegas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana Materil tidak bersifat memaksa (Dwingend Recht) apabila tanpa adanya dukungan dan proses dari ketentuan Hukum Acara Pidana. J.M. van Bammelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah memberikan definisi tentang hukum acara pidana sebagai berikut1: Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
5.
6. 7.
1
Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs materiaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut; Hakim memberikan putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. Upaya hukum untuk melawan putusan tersebut; Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.
Ramelan.2006. Hukum Acara Pidana (Teori dan Implementasinya). Jakarta: Sumber Ilmu Jaya. hlm. 2.
Bertitik tolak dari definisi tentang hukum pidana, dapat disimpulkan tentang definisi hukum acara pidana yang diberikan oleh Moeljatno adalah2: “Bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan yang menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut”. Bambang Poernomo memberikan definisi atau penjelasan tentang hukum acara pidana. Dikatakan bahwa hukum acara pidana ialah3: “Pengetahuan tentang hukum acara dengan segala bentuk dan menifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara pidana dalam hal terjadi dugaan perbuatan pidanayang diakibatkan oleh pelanggaran hukum pidana”. Hukum pidana dalam arti formil menunjukan bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian perkara pidana4. Dengan demikian hukum acara pidana dalam arti formil membetasi ruang lingkup pada proses penyelesaian perkara pidana yang dimulai dengan tindakan peyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan. Sedangkan hukum acara pidana dalam arti materiil menunjukkan bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian aturan hukum yang berkaitan dengan pembuktian. Fokus perhatiannya adalah pada ketentuan pembuktian, melalui serangkaian sistem pembuktian, pengertiannya serta teori yang mendasarinya, tentang alat-alat bukti dan kekuatannya. Ramelan menyebutkan bahwa hukum acara pidana memiliki sifat hukum publik dapat dikelompokkan sebagai berikut5: 1.
2
Kedudukannya dalam hukum publik adalah sebagai bagian hukum pidana formil yang berfungsi melaksanakan hukum pidana materiil.
Ibid. hlm. 2-3. Ibid. hlm. 3. 4 Syaiful Bakhri. 2009. Hukum Pembuktian Dalam Prakiik Peradilan Pidana. Yogyakarta: Total Media, hlm 3-4. 5 Ramelan. Op. cit. hlm. 5. 3
2.
3.
Hukum acara pidana juga dapat termasuk sebagai bagian hukum administrasi apabila titik beratnya diletakkan pada peraturan mengenai wewenang dan tugas-tugas alat perlengkapan negara yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dalam urusan penegakan hukum dan peradilan. Hukum acara pidana yang bersifat sebagai hukum publik dapat dikelompokkan sebagai hukum tata Negara apabila titik pandangannya diletakkan pada peraturan mengenai susunan dan kekuasaan negara melalui alat perlengkapannya yaitu kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman.
2.1.2 Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana Menurut Bambang Poernomo bahwa tugas dan fungsi hukum acara pidana melalui alat perlengkapannya ialah6: 1.
Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran;
2.
Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat;
3.
Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan;
4.
Melaksanakan keputusan secara adil.
Menurut pedoman pelaksanaan KUHAP (Keputusan Menteri Kehakiman R.I Nomor M.01.PW.07.03. Tahun 1982: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. Bambang Poernomo beranggapan bahwa pedoman pelaksanaan KUHAP tersebut telah menyatukan antara tujuan dan tugas atau fungsi hukum acara pidana. Seharusnya perlu dipertegaskan bahwa tujuan hukum acara pidana dari7: 6
Ibid. hlm. 6.
1. Segi teoritis disejajarkan atau diparerelkan dengan tujuan hukum pada umumnya yaitu hukum untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. 2. Segi praktis (operasionalisasi) adalah untuk mendaptkan suatu kenyataan yang berhasil mengurangi keresahan dalam masyarakat berupa aksi sosial yang bersifat rasional dan konstruktif didasarkan kebenaran dan keadilan hukum. Tujuan hukum acara pidana sebagaimana pandangan Andi Hamzah yaitu8: “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yakni kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat dijadikan terdawa dalam suatu pelanggaran hukum. Dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan terbukti atau tidaknya dakwaan yang dapat dipersalahkan” Menurut Achmad Ali hukum acara pidana bertujuan untuk9: "melindungi kepentingan publik, sehingga salah satu pihak dalam perkara pidana adalah jaksa dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum berhadapan dengan terdakwa. Tugasnya adalah membuktikan unsur-unsur delik pidana yang didakwakannya atas diri terdakwa". Menurut Doktrin (pendapat para ahli hukum) bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: 1.
Mencari dan Menemukan Kebenaran. Menurut buku pedoman pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan terhadap suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna
7
Ibid. Syaiful Bakhri. Op. cit. hlm. 4-5. 9 Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kqjian Filsofis Dan Sosiologis). Gunung Agung Tbk. hlm. 313. 8
Jakarta: PT. Toko
menetukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 2.
Memperoleh Putusan Hakim. Hal ini berkaitan dengan Asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion of Innosence) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo UU No. 4 Tahun 2004 Jo UU No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman. Artinya adalah untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak haruslah melalui suatu proses penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan. Dengan kata lain, hanya putusan Hakimlah yang bisa menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak.
3.
Melaksanakan Putusan Hakim. Setelah seseorang dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman berdasarkan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut haruslah dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 huruf a, pejabat yang diberi wewenang untuk melaksanakan putusan pengadilan (Hakim) adalah Jaksa.
2.1.3 Asas-Asas Hukum Acara Pidana Asas hukum merupakan unsur yang sangat penting dan pokok dari suatu peraturan hukum. Satjipto Raharjo menyebutnya sebagai "jantung" peraturan hukum, karena10: 1.
Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas hukum tersebut.
2.
Asas hukum layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis
10
Ramelan. Op. cit. hlm. 7.
kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Sejalan dengan pendangan diatas Bambang Poernomo menjelaskan pengertian tentang asas-asas hukum acara pidana yang menyatakan
bahwa11:
Asas-asas hukum acara pidana lebih memperhatikan nilai-nilai dasar yang bersifat abstrak untuk mengatur hubungan hukum dengan harkat keluhuran martabat manusia secara mendalam yang menjiwai aturan hukum dan penyelenggaraannya. Asas-asas hukum acara pidana berbeda pengertiannya dengan dasar-dasar pokok pikiran hukum acara pidana. Pengertian dasar-dasar pokok hukum acara pidana adalah lebih memperhatikan pada norma terpenting untuk penyelenggaraan aturan hukum acara pidana dengan maksud memberikan batasan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam proses perkara pidana. Asas-asas hukum acara pidana di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut12: 1.
Asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion Of Innosence) terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di depan sidang pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang
telah
memperoleh
kekuatan
hukum
tetap (Inkracht van Gewijsde). 2.
Asas adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang di muka hukum dengan tanpa perlakuan yang berbeda (Equality Before The Law).
3.
Asas
adanya
penagkapan,
penahanan, penggeledahan
dan penyitaan hams
berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi oleh Undang-undang dan hanya menurut cara yang diatur oleh undang-undang. 4.
Asas kepada seseorang yang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya ataupun penerapan hukum wajib diberi ganti kerugian dan rehabiitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau kelalaiannya
11 12
Ibid Ibid hlm. 8-13
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar
maka
akan dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administratif. 5.
Peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan.
6.
Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan adanya kehadiran terdakwa. Pengecualian
terhadap asas ini adalah dalam perkara/tindak pidana tertentu yang
membolehkan pemeriksaan tanpa dihadiri oleh terdakwa (In Absensia), misalnya pemeriksaan terdakwa dalam tindak pidana korupsi (Pasal 38 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 7.
Asas Oportunitas dan Dominus Litis dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum (Pasal 35 butir c UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan R.I).
8.
Asas pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditentukan Undang-undang dan ancaman batal demi hukum apabila tidak dilaksanakan demikian.
9.
Asas bahwa setiap orang yang tersangkut perkara pidana wajib memperoleh bantuan hukum
dan
didampingi
oleh penasihat hukum dari tingkat penyidikan sampai
peradilan. 10. Asas akusator (accusatoir) dan inkusitoir (inquisitoir). Dalam penyidikan diterpakan asas inquisitoir artinya pemeriksaan dilakukan adalah
tidak
dimuka
umum. Tersangka
objek pemeriksaan yang dapat dijerat dengan tindakan-tindakan yang
diperbolehkan menurut hukum acara, seperti penahanan, penyitaan, pencegahan keluar negeri. Sedangkan dalam pemeriksaan sidang pengadilan diterapkan asas accusatoir yaitu terdakwa dipandang sebagai subjek pemeriksaan, sebagai pihak yang disangka
berlawanan dengan pihak penuntut umum yang mendakwa, kedua belah pihak diberi hak dan kewajiban yang sama oleh hukum acara. 11. Asas pemeriksaan Hakim di sidang pengadilan secara langsung dan lisan dalam Bahasa Indonesia yang dimengerti para saksi dan terdakwa. 12. Asas pelaksanaan Putusan pengadilan oleh Jaksa dan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 2.2
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
2.2.1 Pengertian dan Fungsi Sistem Peradilan Pidana Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan sampai pemeriksaan di sidang pengadilan, atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Sistem peradilan pidana disebut juga sebagai "criminal justice system" yang dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan13. Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum.
13
Yesmil Anwar dan Adang. 2011. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya Padjadjaran. hlm. 33.
Menurut Soebekti yang dimaksud dengan sistem adalah14: Suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun melalui suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai tujuan. Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interfence (interaksi, interkoneksi dan interpendensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat: ekonomi, politik, pendidikan dan tekhnologi serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system). Barda Nawawi Arief mengartikan sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penegakan hukum pidana15. Oleh karena itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Pada dasarnya hukum pidana merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan kedalam penegakan hukum in concrecto. Mardjono Reksodipoetra menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana (criminal juctice system) adalah16: “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Menanggulangi usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana”. Menurut Romli Atmasasmita istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Dalam peradilan pidana sistem yang dimaksud mempunyai ciri, sebagai berikut17:
14
Rusli Muhammad. 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta: UII Press. hlm. 13. Heri Tahir. 2010. Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. hlm. 9. 16 Ibid. hlm. 9-10. 17 Yesmil Anwar dan Adang. Op. cit. hlm. 34-35 15
1. 2. 3. 4.
Titik berat pada koordinasi dan singkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan). Pengawasan da n pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk menetapkan the administration justice.
Pada prinsipnya fungsi sistem peradilan pidana adalah sebagai berikut18: 1.
2.
Fungsi preventif yaitu sistem peradilan pidana dijadikan sebagai lembaga pengawasan sosial dalam upaya mencegah terjadinya suatu kejahatan. Fungsi ini dapat diwujudkan dalam bekerjanya sistem peradilan pidana dan upaya-upaya lainnya yang mendukung upaya pencegahan kejahatan. Fungsi represif yaitu sistem peradilan pidana sebagai lembaga penindakan untuk menyelenggarakan suatu peradilan terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana.
Menurut Muladi sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda, yaitu satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu (crime containment system), sementara dilain pihak hukum peradilan pidana juga berfungsi untuk
pencegahan
sekunder (secondary prevention) yakni mengurangi kejahatan
dikalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan melalui proses deteksi, pemidanaan, dan pelaksanaan pidana19. Remington dan Ohlin mengemukakan mengenai sistem peradilan pidana yaitu20: Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administratif peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial, pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efesien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
18
Rusli Muhammad. Op. cit. hlm. 10. Heri Tahir. Op. cit. hlm. 10. 20 Yesmil Anwar dan Adang. Op. cit. hlm. 35. 19
Mardjono Reksodipoetra, memberikan batasan terhadap sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan21. Beranjak dari definisi tersebut maka tujuan dari sistem peradilan pidana adalah: 1. 2. 3.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan, Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya lagi atau melakukan kejahatan yang lain.
Sistem peradilan pidana ini pada umumnya dikenal ada tiga bentuk pendekatan, yaitu22: 1.
2.
3.
Pendekatan normatif; pendekatan ini memandang bahwa keempat aparatur penegak hukum sebagai institusi pelaksanaan perundang-undangan yang berlaku, sehingga keempat aparatur penegak hukum tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengakan hukum semata-mata. Pendekatan administratif; pendekatan ini memandang bahwa keempat penegak hukum sebagai suatu organisasi manejemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, sistem yang digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial; pendekatan ini memandang keempat aparatur penegak hukum ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparat penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.
2.2.2 Asas-Asas Dalam Sistem Peradilan Pidana Adapun asas-asas yang menjadi landasan dalam mekanisme atau bekerjanya sistem peradilan pidana adalah sebagai berikut23: 1.
Asas Legalitas (Legality Principle) Yaitu asas yang mendasari beroprasinya sistem peradilan pidana dan sebagai jaminan bahwa sistem peradilan pidana tidak akan bekerja tanpa landasan hukum tertulis. Asas ini berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai
21
Ibid. Ibid. hlm. 38-39. 23 Rusli Muhammad. Op. cit. hlm. 13. 22
kepentingan tata tertib hukum. Dengan asas ini sistem peradilan pidana hanya dapat menyentuh dan mengelindingkan suatu perkara jika terdapat aturan-aturan hukum yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilanggar. 2.
Asas Kelayakan atau Kegunaan (Expediency Principle) Yaitu asas yang menghendaki bahwa dalam beroprasinya sistem peradilan pidana meseimbangkan antara hasil yang diharapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Bekerjanya sistem peradilan pidana dimulai dengan memperhitungkan bahwa apakah yang dilakukan itu sebuah aktivitas yang layak dan berguna untuk dilakukan sehingga terkesan lebih memberikan kemanfaatan ketimbang kerugian.
3.
Asas Prioritas (Priority Principle) Yaitu asas yang menghendaki sistem peradilan pidana mempertimbangkan aktivitasaktivitas yang perlu didahulukan, misalnya menyelesaikan perkara-perkara yang dinilai membahayakan masyarakat atau yang menjadi kebutuhan yang mendesak. Asas ini didasarkan pada semakin beratnya sistem peradilan pidana, sementara kondisi kejahatan cenderung semakin meninggi. Prioritas disini tidak hanya berkaitan dengan pelbagai kategori tindak pidana, tetapi bisa juga pelbagai tindak pidana dalam kategori yang sama dan juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan kepada pelaku.
4.
Asas Proporsionalitas (Proporsionality Principle) Yaitu asas yang menghendaki agar sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum pidana hendaknya mendasarkan pada proporsional antara kepantingan masyarakat, kepantingan negara, dan kepantingan pelaku tindak pidana dan kepantingan korban. Dengan asas ini maka sistem peradilan pidana bukan sekedar menjalankan dan
melaksanakan hukum melainkan seberapa jauh penerapan hukum cukup beralasan dan memenuhi sasaran-sasaran yang dinginkan. 5.
Asas Subsidair (Subsidairity Principle) Yaitu asas yang menerangkan bahwa penerapan hukum pidana yang utama dalam menanggulangi kejahatan tapi hanya merupakan alternative second. Dengan asas ini berarti sistem peradilan pidana dapat berbuat menerapkan hukum pidana jika hal itu sudah tidak ada pilihan lain, namun jika masih ada sarana lainnya yang dapat digunakan menanggulangi kejahatan maka sarana hukum pidana sedapat mungkin dihindari.
6.
Asas Kesamaan di depan Hukum (Equality Before The Law) Yaitu
asas yang
menerapkan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama dimuka hukum, tidak ada pilih kasih semuanya mendapat perlakuan dan hak yang sama. Dengan asas ini sistem peradilan
pidana
selalu
mengedepankan
kesamaan
sehingga
siapapun
dan
bagaimanapun kondisi setiap subyek hukum yang menghendaki pelayanan dalam penyelesaian permasalahan hukum harus dipandang sama dengan perlakuan yang sama pula, harus menghindari diskriminatif dengan mengutamakan yang beruang atau yang berkuasa
tidak mendahulukan dan sementara mengabaikan atau
meninggalkan yang tidak atau kurang mampu. 2.3
Hak-Hak Tersangka Atau Terdakwa Wetboek van Strafvordering Belanda tidak membedakan istilah tersangka dengan terdakwa
dengan kata lain tidak memakai istilah beklaagde dan verdacthe. Tetapi hanya memakai satu istilah untuk kedua macam pengertian itu, yakni istilah verdacthe. Namun demikian, dibedakan pengertian veedacthe sebelum penuntutan dan sesudah penuntutan, dan pengertian verdacthe
sebelum penuntutan pararel dengan pengertian tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia24. Sebelum menguraikan mengenai hak tersangka, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hak. Istilah hak dalam bahasa Inggris adalah “Right” yang dalam Black Law Dictinoray diartikan sebagai25: “Justice, ethical correctnees, or consnance with the rules of law or the principles of morals. In a narrwer signification, an interest or title in an object of property; a just and legal claim to hold, use or enjoy it, or to convey or donate it, as he may plese”. Artinya: Hak berarti keadilan, kebenaran secara etika atau seuai dengan kepastian hukum atau dengan prinsip moral yang membentuk sifat keadilan pada semua hukum yang berlaku. Hak dalam arti yang lebih sempit adalah kepentingan atau hak kepemilikan atas suatu objek, hak yang benar dan syah untuk memiliki, menggunakan, atau menikamatinya, atau mengalihkannya sebagai yang ia inginkan. Dalam hukum acara pidana, pemeriksaan terhadap tersangka maupun terhadap saksi itu dimaksudkan untuk menemukan kebenaran dalam peristiwa pidana yang bersangkutan. Oleh karena itu ditentukan dalam Pasal 117 KUHAP keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Kedudukan tersangka dalam KUHAP ada dua kedudukan yakni26: pertama, “Accusatoir berasal dari kata menuduh, dalam sistem ini seseorang tersangka yaitu pihak yang didakwa sebagai suatu subjek berhadaphadapan dengan pihak lain yang mendakwa yaitu kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak mempunyai hak yang sama nilainya dan hakim berada diatas kedua belah pihak itu, kedua, “Inquisitoir” arti kata harus diperiksa ujudnya berhubung dengan
24
Yesmil Anwar dan Adang. Op. cit. hlm. 254. Ibid. hlm. 254-255. 26 Ibid. 25
suatu pendakwaan yang sedikit banyak telah diyakini kebenarannya oleh pendakwa melalui sumber-sumber pengetahuan diluar tersangka. Untuk mengingat arti dari pada tersangka dan terdakwa, perlu diperhatikan kembali pengertian yang dirumuskan pada Pasal 1 butir 14 dan 15, yang menjelaskan: a.
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
b.
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili disidang pengadilan.
Dari penjelasan diatas, baik tersangka maupun terdakwa adalah orang yang diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti atau keadaan yang nyata atau fakta, oleh karena itu orang tersebut27: 1. 2. 3.
Harus diselidiki, disidik, dan diperiksa oleh penyidik; Harus dituntut dan diperiksa dimuka sidang pengadilan oleh penuntut umum dan hakim; Jika perlu terhadap tersangka atau terdakwa dapat dilakukan tindakan upaya paksa, berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan benda sesuai dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang.
Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 dan Pasal-Pasal lainnya. Hak-hak itu meliputi berikut ini: a.
Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), (3) KUHAP).
b.
Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang di dakwakan (Pasal 51 butir a dan b KUHP).
c.
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (Pasal 52).
27
Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 330.
d.
Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat 1).
e.
Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP). Ini berarti bahwa, oleh karena hanya merupakan hak, mendapatkan bantuan hukum masih
tergantung
mempergunakan
kepada
kemauan
tersangka
hak tersebut, tapi bisa juga
atau
terdakwa.
Dia
dapat
tidak mempergunakan hak itu.
Konsekuensinya, tanpa didampingi oleh penasehat hukum, tidak menghalangi jalannya pemeriksaan
tersangka atau terdakwa. Lain halnya
jika kualitas
mendapatkan
bantuan hukum itu bersifat wajib. Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum akan menempatkan setiap tingkat pemeriksaan tidak bisa dilaksanakn apabila tersangka atau terdakwa
tidak didampingi oleh penasehat hukum. Lebih-lebih lagi pada tingkat
penyidikan keikutsertaan seorang penasehat hukum hanya bersifat fakulatif dan pasif sebagai dikatakan 115 KUHAP, (1) dalam hal penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan; (2) dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, penasehat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak mendengar
pemeriksaan
terhadap tersangka. Jadi, kedudukan dan kehadirannya
mengikuti jalannya pemeriksaan tidak lebih sebagai penonton. Namun demikian, pengaruh
kehadiran seorang penasehat hukum tetap ada, sebab kehadiran seorang
penasehat hukumakan memberikan kehati-hatian bagi penyidik dalam melakukan pemeriksaan. f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya.
g.
Wajib mendapatkan bantuan hukum yang ditunjuk oleh pejabat bagi yang diancam hukuman mati, atau lima belas tahun, atau bagi yang tidak mampu diancam lima tahun atau lebih, dengan biaya cuma-cuma (Pasal 56).
h.
Hak tersangka atau tedakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat 2).
i.
Hak untuk menghubungi dokter bagi yang ditahan (Pasal 58).
j.
Hak untuk diberitahu keluarganya atau orang lain yang serumah (Pasal 59 dan 60).
k.
Hak untuk dikunjungi sanak keluarga, untuk kepentingan pekerjaan atau keluarga (Pasal 61).
l.
Hak untuk berhubungan surat menyurat dengan penasehat hukumnya (Pasal 62).
m. Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63). n.
Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan (a de charge) (Pasal 65).
o.
Hak untuk minta banding, kecuali putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 67).
p.
Hak untuk menuntut kerugian (Pasal 68).
q.
Hak untuk ingkar terhadap hakim yang mengadili (Pasal 27 (1) UU Pokok Kekuasaan Hakim).
r.
Hak keberatan atau penahanan atau j enis penahanan.
s.
Hak keberatan atas perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat 7).
Sebagai suatu kesimpulan dari yang terurai diatas ialah baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan sidang pengadilan telah berlaku asas akusator (accusatoir). Asas akusator telah dianut pada pemeriksaan pendahuluan ialah adanya jaminan yang luas terutama dalam hal bantuan hukum. Dari sejak pemeriksaan dimulai, tersangka sudah
dapat meminta bantuan hukum bahkan pembicaraan tersangka dan penasehat hukumnya tidak didengar atau disaksikan oleh penyidik atau penuntut umum. Kecualiannya ialah kalau tersangka didakwakan melakukan delik terhadap keamanan negara. Jadi sama dengan di negeri Belanda. Oleh karena itu di Indonesia pun menganut asas akusator terbatas (gematigd accusatoir). Keluasan dalam hal mendapat bantuan hukum nyata pula pada ketentuan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dapat disaksikan oleh penasehat hukumnya. 2.4
Pengertian Dan Konsep Bantuan Hukum Untuk membuat suatu definisi yang berkaitan dengan hukum bukanlah hal sesuatu yang
mudah, mengingat hukum itu sangat komplek permasalahannya dan banyak seginya, walaupun demikian definisi tetap ada dalam hukum, hal ini diperlukan untuk membatasi suatu pengertian tertentu. Bantuan hukum dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. Menurut Adnan Buyung28, upaya ini mempunyai tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum, aspek pengawasan pemndidikan masyarakat agar aturan-aturan itu dihayati. Bantuan hukum dimaksudkan sebagai pemberian jasa hukum kepada mereka yang mampu membayar prestasi maupun kepada mereka yang tidak mampu dengan secara cuma-cuma, tidak dipungut bayaran dalam menghadapi suatu proses perkara pidana. Bantuan hukum ini dilaksanakan oleh orang yang memiliki profesi advokat. Istilah bantuan hukum boleh dikatakan masih merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Masyarakat baru mengenal dan mendengarnya disekitar tahun tujuh puluhan. Aliran lembaga bantuan hukum yang berkembang di negara kita pada hakikatnya tidak luput dari arus perkembangan bantuan hukum yang terdapat pada negara-negara yang sudah maju. Di dunia 28
Yemsil Anwar dan Adang. Op. cit. hlm. 245.
barat pada umumnya pengertian bantuan hukum mempunyai ciri dalam istilah yang berbeda, seperti yang dilihat dibawah ini29: a.
Legal aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasusu atau perkara: - Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma. - Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin. - Motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan hak asasi rakyat kecil yang tak punyai dan buta hukum.
b.
Legal assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid. Pada legal assistance disamping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat, yang memberi bantuan baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi, maupun pemberian bantuan kepada rakyat yamg miskin dengan cara cuma-cuma.
c.
Legal service, kata ini dapat diterjemahkan dengan perkataan "pelayanan hukum". Pada umumnya kebanyakan orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna legal service dibandingkan dengan konsep legal aid an legal asistance, karena pada konsep legal service terkandung makna dan tujuan: - Member bantuan kepada anggota masyarakat
yang dioprasionalnya bertujuan
menghapuskan kenyatan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian
29
Yahya Harahap. Op. cit. hlm. 344.
jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan. - Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin. - Menegakkan hukum dan penghormatan
kepada hak
yang diberikan hukum
kepada setiap orang, legal service ini di dalam oprasionalnya lebih cenderung untuk
menyelesaikan
setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara
perdamaian. Yang dimaksud dengan advokat menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, adalah orang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 23 Tahun 2003, yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Konsep bantuan hukum di Indonesia, sejalan dengan perkembangan kegiatan bantuan hukum yang dilakuakn oleh para penasehat hukum. Suatu pandangan kritis terhadap konsepkonsep bantuan hukum yang kini dikembangkan di Indonesia banyak dikemukakan oleh kalangan hukum, baik oleh teoritis ataupun para praktisi hukum. Membicarakan mengenai konsep bantuan hukum kita tidak akan pernah lepas dari fenomena hukum itu sendiri. Maka konsep bantuan hukum, disini adalah termasuk konsep yang moderen yang akan menghantarkan kita terhadap suatu penglihatan bahwa hukum itu bukan hanya menrupakan sarana dan
pengendalian atau kontrol sosial, melainkan dari itu hukum dapat dijadikan sebagai sarana perubahan dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal di atas, maka ikhwal tentang bantuan hukum tidak dapat kita pandang sebelah mata yang hanya bertumpu pada peraturan perundangan belaka, tetapi harus kita lihat realitas sosialnya dari bantuan hukum itu. Ada tiga konsep bantuan hukum yang dimaksud, yaitu30: 1.
Konsep Bantuan Hukum Tradisional.
Adalah pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual, sifat dari bantuan hukum yang fasif dan cara pendekatannya sangat formal legal. Konsep ini juga berarti dalam melihat segala permasalahan hukum dari kaum miskin semata-mata dari sudut hukum yang berlaku, yang disebut oleh Selnick adalah konsep yang normatif. Orientasi dari konsep ini adalah untuk menegakkan keadilan untuk si miskin menurut hukum yang berlaku, yang didasarkan atas semangat untuk mendapat pengaruh dalam masyarakat. Pada dasarnya konsep ini adalah pemberian bantuan hukum terhadap kaum miskin yang tidak mampu dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan. Dalam arti melihat segala sebagai permasalahan hukum kaum miskin semata-mata dari sudut pandang hukum yang berlaku konsep ini merupakan konsep yang sudah lama, yang menitik beratkan terhadap kasus-kasus yang menurut hukum harus mendapat pembelaan. Pandangan ini mendapat kritikan yang tegas, karena penekanan konsep bantuan hukum ini lebih menekankan kepada hukumnya itu sendiri. Hukum yang selalu diandalkan netral, sama rasa hal ini menimbulkan permasalahan yang sering hukum itu tidak memberikan keadilan dan sering kali hukum itu memihak kepada mereka yang berpunya.
30
Yesmil Anwar dan Adang. Op. cit. hlm.251.
2.
Konsep Bantuan Hukum Konstitusional.
Adalah bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha dan tujuan yang lebih luas, seperti meyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subjek hukum, penegakan dan pengembangan niali-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum. Sifat dan jenis dari bantuan hukum ini adalah lebih aktif artinya bantuan hukum ini diberikan terhadap kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif. 3.
Konsep Bantuan Hukum Struktural.
Adalah kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju kearah struktural yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan pelaksanaanya dapat menjamin persamaan kedudukan baik dilapangan hukum atau politik. Konsep bantuan hukum struktural ini erat kaitannya dengan kemiskinan struktural. Dalam konsep ini, segala aktivitas dari pemberian bantuan hukum adalah semat-mata untuk membela kepntingan masyarakat atau hak hukum masyarakat yang tidak mampu dalam proses peradilan. Bantuan hukum ini untuk membantu masyarakat dalam menumbuhkan pentingnya. Dari masing-masing mengenai konsep bantuan hukum di atas, memiliki latar belakang tersendiri. Konsep bantuan hukum tradisional memiliki latar belakang: sistem hukum kita menunjang sistem bantuan tradisional yang individual, dan masih belum dimungkinkan suatu bantuan hukum kolektif dalam hukum acara kita dalam class action seperti halnya di Amerika Serikat. Sedangkan latar belakang bantuan hukum konstitusional adalah: usaha untuk mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi
manusia. Sifat dari jenis bantuan hukum ini lebih bersifat aktif. Dan konsep bantuan hukum struktural dilatarbelakangi oleh31: a.
Mengubah orientasi bantuan hukum dari kekotaan, menjadi pedesaan;
b.
Membuat sifat bantuan hukum menjadi lebih aktif;
c.
Mendayagunakan lebih banyak pendekatan-pendekatan luar hukum;
d.
Mengadakan kerja sama yang lebih banyak dari lembaga-lembaga sosial lainnya;
e.
Menjadikan lembaga bantuan hukum sebagai gerakan yang mmelibatkan partisipasi rakyat banyak.;
2.5
f.
Mengutamakan kasus-kasus yang sifatnya struktural; dan,
g.
Mempercepat terciptanya hukum yang responsif (responsife law).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Menurut Soerjono Soekanto arti penegakan hukum adalah sebagai berikut32: Keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun kenyataan di indonesia kecendrungannya adalah demikian. Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses
untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan33. Keinginan hukum adalah pikiran badan pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukm dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan hukum.
31
Ibid. hlm. 252. Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 3. 33 Satjipto Rahardjo. 1986. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru, Bandung, hlm. 24-25. 32
Suharto menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah34: "suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum dalam masyarakat". Penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi upaya-upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtra. Apabila hukum ditegakan, maka kepastian, rasa aman, tentram ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Dengan demikian banyak banyak yag terkait dengan masalah penegakan hukum dan jika kita amati unsur-unsur dalam sistem akan dijumpai sejumlah faktor yang mempengaruhi, seperti subtansi peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia, fasilitas pendukung dan budaya hukum. Pengamatan yang
lebih bersifat akademis, memang diperlukan, akan tetapi praktik
dilapangan menunjukan masalah ini sangat kompleks. Untuk mewujudkan gagasan penegakan hukum yang telah disinyalir diatas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Friedman (Achmad Ali, 2009:204) faktor-faktor tersebut antara lain adalah35: 1. Faktor Struktur Hukum (Legal Structure). 2. Faktor Subtansi Hukum (Legal Substance). 3. Faktor Budaya Hukum (Legal Culture). Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu, misalnya ada pasangan nilai ketertiban dengan
34 35
R. Abdussalam. 1997. Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri. Gagas Mitra Catur Gemilang. hlm. 18. Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Perqdilfin (Judicialprudence). Jakarta: Prenada Media Group, hlm. 204.
nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan kepentingan pribadi, dan lain sebagainya. Penegakan
hukum
bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundang-undangan,
walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian. Selain itu kecenderungan
yang
kuat untuk mengartikan penegakan hukum
sebagai pelaksanaan
keputusan-keputusan hakim. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dari suatu penegakan hukum adalah sabagai berikut36: 1.
2.6
Faktor hukumnya sendiri, yaitu yang diartikan sebagai suatu peraturan perundangundangan; 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kerangka Pikir Proses
pelaksanaan
penelitian
ini
merupakan
suatu rangkaian
pemikiran yang
diarahkan secara sistematis sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kerangka konseptual dalam penelitian hukum ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:
36
Soerjono Soekanto. Op cit hlm. 8.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
Pasal 56 KUHAP
Penerapan Pasal 56 KUHAP Dalam Persidangan
1. Tindak pidana yang diancam 5 ( lima ) tahun atau lebih 2. Hak terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum 3. Sebagai perlindungan HAM khususnya terdakwa
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
1. Struktur Hukum 2. Subtansi Hukum 3. Kultur Hukum
Terwujudnya Penegakan Hukum