1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keahlian khusus yang tidak dikuasai atau kurang dikuasai oleh penegak hukum dapat membantu membuat terhambatnya pengungkapan suatu tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur keahlian khusus yang dituangkan dalam bentuk keterangan ahli dapat disampaikan mulai tahap penyidikan hingga persidangan. Pada tahap pemeriksaan perkara di pengadilan, keterangan ahli bahkan memiliki kekuatan sebagai salah satu alat bukti yang dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Permasalahan yang muncul, keterangan ahli sebagai alat bukti dalam persidangan tidak serta merta dianggap penting karena nilai pembuktiannya yang tidak mengikat hakim. Pada satu sisi, hal itu menimbulkan kesan hakim mengabaikan ahli. Di sisi lain, hakim berhak memiliki pertimbangan yang diyakininya, termasuk dalam mengukur relevansi keterangan ahli dengan perkara serta menilai kapasitas ahli tersebut. Hal tersebut membuat masalah kualifikasi ahli menjadi perdebatan yang kerap muncul dalam pemeriksaan perkara pidana.1 Siapa yang dimaksudkan sebagai ahli dan keahlian seperti apa yang seharusnya dimiliki seorang ahli tidak dijelaskan secara khusus oleh KUHAP. Dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Munir misalnya, 1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Cet. 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 467.
2
jaksa menyatakan keberatan dengan ahli yang diajukan terpidana Rohainil Aini, yaitu flight operation support officer (FOSO) Garuda Indonesia, Amelia Wahyuni. Jaksa Didik Farhan menolak keterangan Amelia dengan alasan keterangannya diberikan berdasarkan pengalaman saja dan tidak berhubungan dengan pendidikan formal. Jaksa menilai Amelia lebih tepat dihadirkan sebagai saksi meringankan daripada sebagai ahli. Menurut Didik, nilai pembuktian keduanya pun berbeda. Keterangan yang disampaikan ahli bisa menjadi alat keterangan bukti, sedangkan keterangan saksi meringankan hanya bernilai sebagai keterangan tambahan dari pihak terdakwa.2 Masalah keterangan ahli juga menimbulkan perdebatan lebih lanjut tentang ilmu pengetahuan apa yang dibutuhkan dalam pemeriksaan perkara pidana. Pada umumnya, ahli yang dimintai keterangan adalah ahli dari disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dikuasai oleh jaksa, penasihat hukum terdakwa, serta hakim. Contohnya, ahli kedokteran/ paramedisan forensik, ahli teknologi informasi, ahli bahasa, ahli geologi dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangannya, banyak pula ahli hukum pidana dihadirkan dalam persidangan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena perkembangan aturan hukum di Indonesia yang beraneka ragam dan digolongkan dalam berbagai lapangan hukum memunculkan pula berbagai spesialisasi keahlian hukum.3 Beberapa ahli hukum dengan spesialisasi tersebut dianggap memiliki kapasitas untuk diajukan sebagai
2
NN,Saksi Ahli Kubu Rohainil Ditolak Jaksa,” http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/01/tgl/21/time/140710/idnews/ 881820/idkanal/10, diakses pada tanggal 24 Maret 2012. 3 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. 8 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 176-177
3
ahli yang keterangannya dapat menjadi alat bukti dalam persidangan perkara pidana. Pihak jaksa selaku penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa mengajukan ahli hukum untuk bersaksi di muka pengadilan dengan tujuan memperkuat dalil-dalil masing-masing. Jaksa mengajukan ahli hukum yang tafsirannya memberi pembenaran akan dakwaan yang disusunnya, sebaliknya dalam KUHAP, tidak terdapat penjelasan khusus mengenai apa yang dimaksud keterangan tambahan serta nilai pembuktiannya. Namun jika mengacu pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Dengan demikian, maka tambahan keterangan saksi dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah selama disampaikan sebagaimana yang disyaratkan KUHP yaitu dengan terlebih dahulu disumpah. Kasus malpraktek merupakan kasus yang sulit untuk diungkap. Malpraktek ini sendiri merupakan kejahatan medis yang berdampak langsung pada pasien. Banyak kasus dugaan malpraktek yang tidak sedikit menimbulkan kematian kepada korbannya (pasien). Pasien yang berobat bukan menjadi sembuh seperti keinginannya, tapi malah menjadi cacat atau meninggal dunia. Malpraktek menjalankan
medis
profesinya
menggambarkan sebagai
seorang
sebagian dokter/
kegagalan paramedis
dalam sehingga
menimbulkan kerugian pada diri orang lain. Harus diakui bahwa kasus malpraktek baik yang disengaja dan karena kelalaian dari para dokter/ paramedis yang dapat sampai terungkap di pengadilan memang sulit.
4
Terkadang akan sangat sulit bagi para pasien yang menjadi korban dugaan tindakan malpraktek untuk melaporkan adanya suatu kasus malpraktek yang diduga telah terjadi pada dirinya. Sedikitnya terdengar kasus-kasus malpraktek di Indonesia adalah disebabkan oleh beberapa faktor berikut : 1. Karena kurangnya kesadaran dari pasien di Indonesia terhadap hakhaknya selaku pasien 2. Karena kecenderungan masyarakat Indonesia untuk bersikap “nrimo” apa adanya 3. Karena kurangnya kepercayaan dari pasien Indonesia terhadap jalannya proses penegakan hukum dan pengadilan 4. Karena relatif kuatnya kedudukan dan keuangan para dokter/ paramedis dan rumah sakit yang membuat pasien pesimis dapat memperjuangkan hak-haknya selaku pasien. 4 Disatu sisi malpraktek merupakan kejahatan yang sulit diungkap dan membutuhkan keahlian khusus seorang ahli, tetapi disisi lain solidaritas profesi di bidang medis justru saling mendukung dan menutupi kesalahan dokter/ paramedis yang dijadikan terdakwa di dalam persidangan. Salah satu kasus malpraktek terhadap anak yang konkrit dan telah diputus ialah kasus Bidan Desi seperti yang dikutip Zanrud TV online sebagai berikut : Padang, Sumbar--Dianggap telah melakukan malpraktek, Bidan Desi Sarli divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Padang. Keputusan ini langsung disambut histeris oleh ratusan bidan, sejawat terdakwa.Begitu juga dengan terdakwa, tak kuasa menahan air mata atas putusan itu.Ratusan bidan ini tak bisa menerima vonis yang dijatuhkan oleh hakim yang diketuai oleh Ninil Eva Yustina.Bahkan salah seorang bidan, menyerukan agar para bidan melakukan mogok praktek.Desi divonis 1 tahun penjara setelah ditetapkan bersalah, karna telah menggunakan obat keras yang seharusnya penggunaanya dengan resep dokter.Rekannya Siska dijatuhkan hukuman 8
4
Bahar azwar, Sang Dokter, Megapion, Bekasi, 2002, hal. 45
5
bulan penjara, sedangkan Titi yang merupakan asisten apoteker, dinyatakan tidak bersalah dan bebas.5 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan alat bukti keterangan ahli dalam Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG. Dengan pendekatan normatif penulis mencoba menelusuri kekuatan alat bukti keterangan ahli pada Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “KEKUATAN
KETERANGAN
MALPRAKTEK
MEDIS
AHLI
(Studi
DALAM terhadap
PEMBUKTIAN Putusan
Pidana
No.536/Pid.B/2010.PN.PDG)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa diperlukan keterangan ahli dalam Putusan Pidana No. 536/Pid.B/2010.PN.PDG ? 2. Bagaimana kekuatan keterangan ahli dalam pembuktian malpraktek medis pada Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui alasan diperlukannya keterangan ahli dalam Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG.
5 Rahmatul Fauza, Divonis 1 Tahun Penjara Ratusan Bidan Histeris, http :// www.zamrudtv.com /filezam/sumbar/mediasumbar.php?module=detailsumbar&id=807&catid=0, diakses pada tanggal 13 Sepember 2011.
6
2. Untuk mengetahui kekuatan keterangan ahli dalam pembuktian malpraktek medis pada Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori dalam hukum acara pidana khususnya mengenai
kekuatan
keterangan ahli dalam pembuktian malpraktek medis pada Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG. b. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pengajaran menambah materi perkuliahan khususnya dalam Mata Kuliah Hukum Acara Pidana. 2. Kegunaan Praktis a. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis. b. Dapat memberikan masukan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh Khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Kegiatan pencegahan kejahatan dan proses perkara pidana menurut hukum, pada umumnya diartikan sebagai penegakan hukum dalam arti sempit yaitu penegakan hukum yang dijalankan oleh petugas dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, manakala timbul dugaan terjadi perbuatan yang potensial maupun perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum pidana dengan segala akibat hukumnya. Secara garis besar hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Di mana proses peradilan pidana sangat erat hubungannya dengan penerapan hukum acara pidana dalam mempertahankan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil merupakan hukum yang memuat petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, serta petunjuk tindak pidananya. Sedangkan hukum pidana formil dinamakan hukum acara pidana yang merupakan aturan-aturan mengenai hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya, dalam hal persangkaan bahwa hukum pidana telah dilanggar. Andi Hamzah menyatakan :
8
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menjelaskan mengenai definisi hukum acara pidana, tetapi hanya definisi mengenai bagian dari hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, penahanan, dan lain-lain dijelaskan dalam Pasal 1 KUHAP. 6 Namun demikian terdapat beberapa definisi pengertian hukum acara pidana menurut para sarjana barat maupun sarjana timur. Di antaranya sebagai berikut :7 a. J. De Bosch Kemper Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan perundangundangan yang mengatur hak negara untuk menghukum bilamana undangundang pidana dilanggar. b. Simon Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat-alat perlengkapannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman. c. Wirjono Prodjodikoro Hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan pemerintah yang berkuasa (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. d. Sudarto Hukum Acara Pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum. 2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana Pada umumnya pengertian tujuan dan tugas atau fungsi hukum acara pidana tidak dicampuradukkan, karena sulitnya menempatkan posisi kedamaian, kebenaran, dan keadilan dalam hukum. Hukum yang mengatur tatanan beracara perkara pidana itu tujuannya diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian.
6 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hal 4 7 Suryono Sutarto, Sari Hukum Acara Pidana, Semarang: Yayasan Cendekia Purna Dharma, 1987, hal 5
9
Pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman pada tahun 1982 memberikan penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut : “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan, demikian pula setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hukum acara pidana mengatur pula pokok-pokok acara pelaksanaan dan pengawasan tersebut”.8 Bambang Poernomo memberikan penjelasan tujuan hukum acara pidana sebagai berikut : Tujuan ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak asasi manusia dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana peraturan hukum acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaannya secara adil.9 Menurut Tanusubroto : Hukum acara pidana mempunyai tujuan mengemban misi mencari kebenaran sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan
8
Andi hamzah, Op.Cit, hal 18 Bambang Poernomo, Pola-Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988, hal 29 9
10
atas perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya. 10 Sementara itu fungsi hukum acara pidana dikemukakan oleh Van Bemmelen seperti yang dikutip dalam bukunya Andi Hamzah sebagai berikut : 1. Mencari dan menemukan kebenaran. 2. Pemberian keputusan oleh hakim. 3. Pelaksanaan keputusan.11 Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Sedangkan menurut Andi Hamzah, bahwa tujuan hukum acara pidana untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara, artinya ada tujuan lain yang menjadi tujuan akhir yang merupakan tujuan dari seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal ini yaitu mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.12 Fungsi hukum pidana melalui alat perlengkapannya adalah : 1. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran; 2. Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat; 3. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan; 4. Melaksanakan keputusan secara adil. Di dalam perkembangan keilmuannya, Bambang Poernomo mengatakan : Hukum acara pidana tidak hanya sekedar menemukan kebenaran dan keadilan dalam hukum, akan tetapi kemampuannya harus sampai kepada segala aspek yang terkandung dalam nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang bersangkutan. Aspek-aspek kebenaran dan keadilan tersebut harus menyentuh hukum untuk kemanusiaan atau hukum berperikemanusiaan. 13
10
Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana (Proses Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), Bogor: Politea, 1987 hal 22 11 Andi Hamzah, Op.Cit hal 9 12 Ibid 13 Bambang Poernomo, Op.Cit hal 30
11
3. Asas-Asas Hukum Acara Pidana a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Asas ini terdapat dalam penjelasan umum butir 3e KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”. Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, merumuskan bahwa: “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan” Yahya Harahap menjabarkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan adalah sebagai berikut: a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. b. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan. c. Demikian juga peletakan atas diferensiasi fungsional, nyata-nyata memberi makna menyederhanakan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan yang bolak-balik, tumpang tindih atau overlapping dan saling bertentangan. 14 Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif, sehingga tidak memberi penderitaan yang berkepanjangan kepada tersangka atau terdakwa disamping kepastian hukum lebih terjamin. Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat, 14
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2000 hal 54
12
diartikan menghindari segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan sampai dengan penerapan keputusan akhir dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat. b. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) Dalam sistem perundang-undangan kita, jaminan yang sama dijumpai dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara tegas merumuskan : “bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Pasal ini merupakan jaminan atau dasar hukum dari suatu asas yang dalam kepustakaan Hukum Acara Pidana dinamakan asas “Presumption of Innocence”, yaitu suatu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Jadi berdasarkan asas ini, seseorang tidak boleh untuk dinyatakan bersalah dengan cara apapun juga sebelum pengadilan menjatuhkan suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap tentang kesalahannya tersebut. Seseorang hanya boleh dituduh atau disangka telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum dan tuduhan serta persangkaan inilah yang harus dibuktikan dalam pemeriksaan di muka persidangan. 15
15
Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung: Amrico, 1989, hal 19
13
c. Oportunitas Menurut asas legalitas, penuntut umum wajib menuntut suatu delik. Asas ini berbeda dengan asas legalitas dalam hukum pidana materiil yang biasa disebut Nullum Crimen Sine Lege yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Menurut asas oportunitas, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.16 Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia, merumuskan bahwa : “Jaksa Agung dapat mengesampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”. Dengan prinsip oportunitas itu jaksa sebagai penuntut umum mempunyai kekuasaan yang amat penting yaitu untuk mengesampingkan suatu perkara pidana yang sudah terang pembuktiannya. Mengingat tujuan dari prinsip ini, yaitu kepentingan negara, maka jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaan. 17 d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP. Pasal 153 ayat (3) KUHAP merumuskan sebagai berikut : “untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Lebih diperluas lagi dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP sebagai berikut:
16
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal 3 17 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung, 1985, hal 22
14
“tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat
(2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”. Pemeriksaan yang dimaksudkan disini adalah pemeriksaan yang dilakukan di dalam sidang pengadilan, pengecualian dari asas ini adalah apabila terdakwanya masih di bawah umur serta apabila kasus yang disidangkan mengenai kesusilaan. e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3a KUHAP. Pasal 4 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut merumuskan bahwa: “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”. 18 f. Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa, dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara, yang diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sistem hakim yang tetap di Indonesia ini mengikuti sistem di negeri Belanda. g. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
18
Andi Hamzah, 2001, Op.Cit, hal 19
15
Hal ini telah menjadi ketentuan universal di Negara-Negara demokrasi dan beradab. Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, diatur tentang bantuan hukum tersebut, di mana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut: 1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan; 2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; 3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan, pada setiap waktu; 4. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara; 5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan; 6. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa.19 h. Asas Akusator (Accusatoir) dan Inkisitor (Inqisitoir) Dalam sistem inkisitor, tersangka merupakan objek utama dalam pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan, pemeriksa selalu berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka.
Kadang-kadang
untuk
mencapai
maksud
tersebut,
pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Tujuan pemeriksaan dalam sistem inkisitor adalah untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Sesuai dengan hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak negara 19
Andi Hamzah, 2001, Op.Cit, hal 21
16
yang beradab dan alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa dan penambahan alat bukti keterangan ahli. Selanjutnya dalam sistem akusator, si tersangka dianggap sebagai suatu subjek, dimana tersangka memperoleh hak dan kesempatan untuk saling mengajukan argumentasi dengan pihak penyidik, yaitu kepolisian atau jaksa penuntut umum sedemikian rupa, sehingga masing-masing mempunyai hak yang sama nilainya.20 Untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian ini, maka para penegak hukum makin dituntut agar menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu pembantu untuk acara pidana seperti kriminalistik, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, psikologi dan lain-lain.21 i. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Pemeriksaan hakim juga dilaksanakan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pemeriksaan perkara pidana antara para saksi yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis, tetapi harus berbicara satu sama lain atau lisan agar dapat memperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. B. Pembuktian Dalam Perkara Pidana 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP) dapat diartikan sebagai: suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan 20 21
Tanusubroto, Op.Cit, hal 25 Andi Hamzah, 2001, Op.Cit, hal 23
17
pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.22 Menurut Bambang Poernomo, pembuktian adalah: “suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi faktafakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana”.23 Menurut Yahya Harahap, pembuktian adalah: “ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran”.24 Mencari sesuatu pembuktian dalam pemecahan permasalahan dapat menyangkut berbagai hal yang menjadi alat ukur dalam menyelenggarakan pekerjaan pembuktian. Adapun alat ukur tersebut antara lain adalah:25 a. Bewijsgronden Yaitu dasar-dasar atau prinsip-prinsip pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan. b. Bewijsmiddelen Yaitu alat-alat pembuktian yang dapat dipergunakan hakim untuk memperoleh gambaran tentang terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau. 22
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1984, hal 77 Bambang Purnomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta, 1990, hal 38 24 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal 22. 25 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal 186 23
18
c. Bewijsvoering Yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan. d. Bewijskracht Yaitu kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. e. Bewijslast Yaitu beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan dimuka sidang pengadilan. 2. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP R. Soesilo menyatakan bahwa, peraturan pembuktian di dalam KUHAP adalah mengenai : 1) Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa). 2) Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara penyumpahan saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa, pemberian alasanalasan pengetahuan pada kesaksian dan lain-lain). 3) Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya keterangan terdakwa itu hanya merupakan bukti yang sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 189 KUHAP).26 Rusli Muhammad menyatakan bahwa : Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di sidang pengadilan. Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal ada 4 (empat) macam sistem atau teori pembuktian. Masing-masing teori ini 26
R.Soesilo, 2002, Hukum Acara Pidana, Bogor, Politeia, hal. 111.
19
memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing sistem pembuktian ini.27 Adapun teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :28 1.
Conviction Intime Conviction intime dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhi putusan. Andi Hamzah menyatakan bahwa : Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.29 2.
Conviction Rasionnee Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian
yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Berbeda dengan sistem conviction intime, dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, keyakinannya itu harus diikuti 27
Log. Cit., hal. 187. Log. Cit, hal. 187. 29 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 252 28
20
dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya itu dan alasan-alasan itupun harus “reasonable“ yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran. Sistem conviction rasionnee masih menggunakan dan mengutamakan keyakinan hakim didalam menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa. Sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari keyakinan hakim semata-mata. Andi Hamzah menyatakan bahwa : Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya ialah pertama berpangkal tolak kepada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan, kemudian yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif. 30 3.
Positief Wettelijk Bewijstheorie Sistem ini adalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut
undang-undang secara positif. Pembuktian menurut sistem ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan
30
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 253.
21
dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti.31 Peradilan pidana terutama pada waktu mengadili perkara yang tidak ringan sudah banyak keberatannya untuk menggunakan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif karena ada kecenderungan dengan mutlak memperlakukan pemeriksaan perkara secara inquisitoir dan apabila sudah dapat pengakuan terdakwa atau keterangan saksi-saksi, wajib diputus terbukti dan dipidana oleh hakim sekalipun dapat dirasakan pengakuan dan keterangan itu bohong sebagai versi buatan.32 4.
Negatief Wettelijk Bewisjtheorie Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang- undang juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). Sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang
secara
negatief
adalah
sistem
yang
menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime, dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang 31
Rusli Muhammad, Op cit., hal.189. Loc cit.
32
22
tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti terpenuhi tetapi hakim tidak memperoleh keyakinan terhadapnya, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya pemidanaan. Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan putusan pidana tetapi putusan bebas. Berkaitan dengan sistem pembuktian maka dalam KUHAP, diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang merumuskan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dalam pembuktian diperlukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kedua syarat ini harus ada dalam setiap pembuktian dan dengan terpenuhinya kedua syarat tersebut, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, sebaliknya jika kedua hal ini tidak terpenuhi berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
23
Berdasarkan penjelasan tersebut, nyatalah bahwa sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) karena kedua syarat yang harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini telah tercermin dalam Pasal 183 KUHAP dan dilengkapi Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang- undang juga menggunakan keyakinan hakim. 3. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP Alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, terdiri dari : a.
Keterangan saksi Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah "orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri". Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti telah diatur dalam Pasal
185 ayat (1) KUHAP ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut : "Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". b.
Keterangan ahli
24
Pengertian umum dari keterangan ahli tercantum dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang merumuskan bahwa : "Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan Pemeriksaan" Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah dari seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP disebutkan : "Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim". c.
Surat Pasal 187 KUHAP memberikan pengertian alat bukti surat sebagai
berikut : Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah; 1)
2)
3)
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal keadaan; Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang secara resmi dari padanya;
25
4)
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain".
Surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. d.
Petunjuk Alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam Pasal 188 KUHAP yang
terdiri dari ayat (1), (2), dan (3). Dalam ayat (1) yang diartikan dengan petunjuk adalah : "Petunjuk ialah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya". e.
Keterangan terdakwa Alat bukti terdakwa didapati pada urutan terakhir dari alat-alat bukti
yang ada dan uraiannya terdapat pada Pasal 189 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Di dalam HIR, alat bukti ini disebut dengan istilah pengakuan terdakwa, dalam KUHAP disebut dengan istilah keterangan terdakwa. Andi Hamzah berpendapat bahwa, keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa hendaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan. 33 4. Alat Bukti Keterangan Ahli 33
Andi Hamzah, Op cit., hal. 273.
26
Keterangan seorang ahli diatur di dalam Pasal 186 KUHAP, yang menyatakan keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. a. Pengertian Keterangan Ahli Pengertian keterangan ahli di atur dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, yaitu : keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Menurut Wiryono Prodjodikoro, perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli adalah “bahwa keterangan saksi mengenai halhal yang dialami oleh saksi itu sendiri (eigen waarneming), sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas dasar keahlian yang dimiliki, yang memberikan keterangan suatu penghargaan (waardering) dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu, seperti hal kematian, maka saksi ahli akan memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian apakah dari keracunan misalnya, atau karena hal yang lainnya”. Kedua keterangan ini oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa sumpah tidak mempunyai kekuatan pembuktian, melainkan hanya dapat dipergunakan untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP). 34 b. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli
34
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal 24
27
Pada pemeriksaan penyidikan, demi kepentingan peradilan, penyidik berwenang mengajukan permintaan seorang ahli dan hal ini ditegaskan dalam Pasal 133 KUHAP. Kalau keterangan ahli bersifat diminta, maka ahli tersebut membuat laporan sesuai yang dikehendaki penyidik. Laporan keterangan ahli dimasukkan dalam Berita Acara Penyidikan. Hal ini diatur dalam Penjelasan Pasal 186 KUHAP. Selanjutnya
alinea
kedua
penjelasan
pasal
186
KUHAP
merumuskan: “Jika hal itu tidak dibenarkan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim”. Dari ketentuan Pasal 133 KUHAP dan dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat melalui prosedur sebagai berikut: a) Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan, dan b) Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang.35 c. Bentuk Keterangan Ahli Keterangan ahli dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu tulisan dalam bentuk laporan dan secara lisan yang diberikan. 36 Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan
35
Yahya harahap, Op.Cit, hal 275-276 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hal 137
36
28
dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan. Keterangan tersebut setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, alat bukti ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah: a) Pada segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Hal ini ditegaskan oleh Penjelasan Pasal 186 alinea
pertama
KUHAP,
yang
merumuskan
bahwa:
“keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”. Bentuk alat bukti keterangan yang seperti inilah yang diatur dalam Pasal 186 KUHAP, yakni laporan yang dibuat oleh seorang ahli atas permintaan penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan. b) Pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat. Alasannya, ketentuan
29
Pasal 187 huruf c KUHAP telah menentukan salah satu diantara alat bukti surat, yakni surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. d. Nilai Kekuatan Pembuktian Yang Melekat Pada Alat Bukti Keterangan Ahli a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, di dalamnya tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hal tersebut terserah kepada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepada alat bukti keterangan ahli. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk harus menerima kebenaran keterangan ahli tersebut. b) Disamping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa di dukung oleh salah satu bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila Pasal 183 KUHAP ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga berlaku bagi keterangan ahli.37 C. Malpraktek Medis 1. Pengertian Malpraktek Medis Pengertian malpraktek tidak dijumpai secara limitatif dalam peraturan perundangan. Menurut Dahlan, Malpraktek berasal dari kata “mal” yang berarti salah dan “praktik” yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga arti harfiyahnya adalah “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Tindakan yang salah di bidang kedokteran disebut malpraktek medik.38 Pengertian yang lain dapat dipahami dari beberapa sumber yaitu: 37
Yahya Harahap, Op.Cit, hal 283-284 Dahlan, Sofyan, 2000, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang, hal 59 38
30
“Malpractice” diartikan sebagai “ Professional mis-conduct on the part of a professional such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist or vetenarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong doing; or illegal or un ethical practice.”39 ("Malpraktek" diartikan sebagai "Professional melakukan salah pada bagian dari profesional seperti dokter, insinyur, pengacara, akuntan, dokter gigi atau vetenarian. Malpraktek mungkin akibat dari ketidaktahuan, kelalaian, atau kurangnya keterampilan atau kesetiaan dalam pelaksanaan tugas profesional; praktek etis atau ilegal atau tidak"; salah sengaja lakukan) What is Malpractice? Iin a general sense malpractice is “bad “practice, a failure to comply with the standard set by the profession. From the stand point of a patient who has sustained in juries, it may cover the range on incident from diagnosis through operation and after treatment. 40 (Apa itu Malpraktek? Iin sebuah malpraktek pengertian umum adalah "buruk" praktek, kegagalan untuk mematuhi standar yang ditetapkan oleh profesi. Dari titik berdiri seorang pasien yang telah dipertahankan dijuri, mungkin mencakup rentang tersebut pada insiden dari diagnosa sampai operasi dan setelah perawatan.) Tanggung Jawab Dokter Disebabkan Luka-Luka Karena Suatu Alat (Injuries From Equipment & Premises). Tuntutan dilakukan tidak terhadap kecerobohan dokter dalam pengobatan tapi dengan tuduhan bahwa doter seharusnya sadar ada kerusakan pada alat yang dipakainya. Contoh : Alat sinar X dokter gigi yang dipasang didinding dengan baut. Dokter tersebut menarik alat sinar X diatas wajah si pasien untuk memotret giginya. Alat tersebut lepas dari dinding dan jatuh diatas wajah pasien dan mengakibatkan luka berat. Kemudian ditentukan bahwa baut itu yang putus, karenanya pasien berhak mendapat ganti rugi. Pengadilan menentukan bahwa dokter gigi seharusnya memeriksa alatalatnya terlebih dahulu.41 Henry Campell Black memberikan definisi malpraktik sebagai berikut: 39
George Coulin, President Bar Association, New York State, 1982. Charles Wendell Carnahan. The Dentist and The Law. Mosby Company, second ed., USA, 1955, page.121-122 41 Charles Wendell Carnahan. The Dentist and The Law. Mosby Company, second ed., USA, 1955, page 117. 40
31
Malpractice is professional misconduct on the part of a professional person such as physician, dentist, vetenarian, malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentionally wrong doing or illegal or unethical practice.42(Malpraktik adalah kesalahan dalam menjalankan profesi seperti dokter, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktik adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau kurangnya ketrampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan profesional, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum ataupun pelanggaran etika.). Veronika Komalawati menyebutkan malpraktik pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajibankewajiban yang harus dilakukan dokter.43 Selanjutnya Hermien Hediati Koeswadji menjelaskan bahwa malpraktik secara harfiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.44 Malpraktek Medis adalah suatu tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis yang tidak sesuai dengan standart tindakan sehingga merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau kesengajaan dalam hukum pidana. Malpraktek medis menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah praktik praktek kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi undang-undang atau kode etik. Malpraktek medis secara terminologi berasal dari bahasa Inggris “medical malpractice” yang berarti suatu tindakan ketidakhati-hatian dari seseorang dalam menjalankan profesinya. Menurut Word Medical Association (1992), malpraktek didefinisikan sebagai: 42
Henry Campell Black, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, 1990, hal..985. D. Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal .87. 44 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 124 43
32
Medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill of negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.45(malpraktek medis melibatkan kegagalan dokter untuk dicocokkan dengan prestasi memperdulikan perawatan kondisi pasien, atau ketiadaan ketrampilan kelalaian dokter di dalam menyediakan kepedulian kepada pasien. Yang mana adalah yang langsung penyebab suatu luka-luka atau kerugian kepada pasien). Namun demikian dalam ukuran dari tingkah laku yang kurang hati-hati itu tidak kita temui dalam hukum melainkan terletak pada ketentuan seorang hakim atau juri. Namun berdasarkan definisi tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur malpraktik: 1. Dokter itu mempunyai kewajiban terhadap pasien. 2. Dokter itu gagal dalam memenuhi kewajibannya terhadap pasien. 3. Sebagai akibat dari kegagalan dokter itu untuk memenuhi kewajibannya, maka sampai terjadi kerugian terhadap pasien. 4. Kegagalan sang dokter untuk memenuhi kewajibannya adalah penyebab langsung dari luka yang timbul.46 Malpraktek medis menurut J. Guwandi meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut: a. b. c.
Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan.47
Dengan demikian di dalam malpraktik medis terkandung unsur-unsur kesalahan yang tidak berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang
45
Tutik, Titik Triwulan dan Febriana, Shita. 2010. Perlindungan Hukum bagi Pasien. Jakarta.Prestasi Pustaka. Hal 43 46 Ibid hal 44 47 J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 24.
33
menimbulkan kerugian baik materiil maupun inmmateriil terhadap pasien. Dalam perkembangannya malpraktik medis harus dibedakan dengan kecelakaan medis (medical mishap, misadventure, accident). Hal ini oleh karena keduanya sepintas tampak sama, walaupun sebenarnya mempunyai unsur yang berbeda sehingga mempengaruhi pertanggungjawaban pidananya.
Dalam
malpraktik medis
(medical malpractice) dokter yang melakukannya telah memenuhi unsur-unsur kesalahan, seperti adanya kesengajaan dan kelalaian, kecerobohan serta tidak melakukan kewajibannya (omissi) sebagaimana ditentukan dalam standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional dalam menangani penyakit pasien, sehingga peristiwa malpraktik dapat dituntut pertanggungjawaban pidana. Sementara itu kecelakaan medis (medical mishap/medical accident) merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, dimaafkan dan tidak dipersalahkan, karena dalam kecelakaan medis dokter sudah bersikap hati-hati, teliti dengan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan timbulnya akibat-akibat pada pasien sesuai dengan standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional, namun kecelakaan (akibat yang tidak diharapkan) timbul juga. Hal ini mengingat setiap tindakan medis sekecil apapun selalu mengandung risiko, dan dalam kecelakaan medis dokter tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya karena risiko yang terjadi merupakan risiko yang ditanggung oleh pasien (inherent risk) seperti reaksi alergik, shock anafilatik, hipersensitif terhadap obat yang sukar diduga sebelumnya yang dapat berakibat fatal seperti kematian, cardilac arrest, kerusakan otak, koma, lumpuh, dan sebagainya.
34
Seorang dokter yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar operasional kedokteran dan standar prosedur tindakan medik berarti telah melakukan kesalahan atau kelalaian, yang selain dapat dituntut secara hukum pidana, juga dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika pasien menderita cacat permanen atau meninggal dunia, sedangkan gugatan secara perdata dapat dilakukan asal pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil.48 Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana bagi seorang dokter yang melakukan perbuatan malpraktik medis, diperlukan pembuktian adanya unsurunsur kesalahan, yang dalam hukum pidana dapat berbentuk kesengajaan dan kelalaian. Perbuatan malpraktik medis yang dilakukan dengan kesengajaan, tidaklah rumit untuk membuktikannya. Definisi kelalaian medis menurut Leenen sebagai kegagalan dokter untuk bekerja menurut norma “medische profesionele standard” yaitu bertindak dengan teliti dan hati-hati menurut ukuran standar medis dari seorang dokter dengan kepandaian rata-rata dari golongan yang sama dengan menggunakan cara yang selaras dalam perbandingan dengan tujuan pengobatan tersebut sehingga seorang dokter dapat disalahkan dengan kelalaian medis apabila dokter menunjukkan kebodohan serius, tingkat kehati-hatian yang sangat rendah dan kasar sehingga sampai menimbulkan cedera atau kematian pada pasien. 49 Hal ini oleh karena seorang dokter disyaratkan mempunyai tingkat kehati-hatian yang harus lebih 48 49
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 43 J. Guwandi, Op cit, hal. 32.
35
tinggi dari orang awam, yang disetarakan dengan tingkat kehati-hatian dokter ratarata dan bukan dengan dokter yang terpandai atau terbaik. Dunia profesi selalu terkait dengan norma etik dan hukum. Tindakan yang salah dari dunia profesi (malpraktek) juga dapat dilihat dari sudut pandang etik maupun hukum. Oleh karena itu, malpraktek terbagi menjadi dua kategori, yaitu ethical malpractice dan legal malpractice. Karena etika dan hukum terdapat perbedaan-perbedaan yang menyangkut substansi, otorita, tujuan dan sanksi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan ethical malpractice dan yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice, tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.50 Untuk yuridical malpractice, menurut Dahlan dapat dibagi menjadi 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni: 1. Criminal malpractice Dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Suatu perbuatan dapat dikategorikan criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama, perbuatan tersebut harus merupakan 50
Dahlan, Sofyan, 2000, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang, hal 59
36
perbuatan tercela. Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah. Criminal malpractice merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran dibawah standar.
Hal
ini bisa
berupa
kecerobohan
(reklessness) atau kealpaan (negligence) dan dalam hal ini bisa dikenakan sanksi pidana. Contoh dari criminal malpractice: a. Melakukan tindakan medik yang lege artis b. Melakukan tindakan medik tanpa informed consent c. Lalai meninggalkan gunting dalam perut pasien saat operasi. 2. Civil malpractice Suatu perbuatan dapat dikategorikan civil malpractice apabila dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Dalam kasus civil malpractice, dokter dapat digugat secara perdata untuk membayar ganti rugi apabila dokter wanprestasi (ingkar janji). Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan prinsip ini rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan dokter-dokternya asalkan dokter tersebut sedang menjalankan kewajiban rumah sakit. Contoh dari civil malpractice dokter: a. Tidak melakukan kewajiban yang menjadi kesepakatan dengan pasien. b. Melakukan kewajiban sesuai dengan kesepakatan tetapi terlambat. c. Melakukan kewajiban sesuai dengan kesepakatan tetapi tidak sempurna.
37
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak harus dilakukan. 3. Administrative malpractice Suatu perbuatan dapat dikategorikan administrative malpractice apabila dokter melanggar hukum tata usaha negara. Dalam rangka melaksanakan policy power yang menjadi kewenangannya, pemerintah berhak untuk mengeluarkan berbagai macam peraturan di bidang kesehatan, seperti misalnya persyaratan untuk menjalankan profesi dokter, batas kewenangan dan kewajibannya. Apabila aturan itu dilanggar, maka dokter yang bersangkutan dapat dipersalahkan. Contoh dari administrative malpractice pada dokter: a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa praktik atau ijin b. Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai izin yang dimiliki c. Melakukan praktik kedokteran dengan izin yang kadaluwarsa d. Tidak membuat rekam medik.51 Menurut Walter terdapat banyak definisi tentang kelalaian medis, namun Tom Christoffel memberikan 4 (empat) elemen yang mendasari terjadinya malpraktik medis: a.
A duty Owed Kewajiban dari profesi medis untuk menggunakan segala ilmu penyembuhan pasien, atau setidaknya meringankan penderitaan pasien dengan segala implikasinya dengan kepandaian yang dimiliki oleh profesional sejenis sebagaimana ditentukan dalam standar profesi
51
Dahlan, Sofyan, 2000, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang, hal 60
38
medis. Seorang dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien, harus berdasarkan indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan teliti, cara bekerja harus berdasarkan profesi medis, dan harus ada informed consent.52 Seorang dokter dapat dikatakan lalai jika tidak memenuhi kewajiban yang dituntut sesuai standar medis, dan apabila kelalaiannya mengakibatkan kematian atau cedera pada pasien maka telah terjadi malpraktek medis. b.
A Duty Breached/Dereliction of that Duty/Breach of Standar Care. Seorang dokter dikatakan melakukan penyimpangan/ pelanggaran terhadap kewajibannya jika telah menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi medis, sehingga dokter yang bersangkutan
dapat
dipersalahkan
jawabannya.
Untuk
menentukan
dan
dituntut
ada/tidaknya
pertanggung penyimpangan
kewajiban, harus didasarkan pada fakta-fakta yang meliputi kasusnya dengan bantuan pendapat ahli dan saksi ahli. Seringkali pasien atau keluarganya menganggap bahwa akibat negatif yang timbul adalah sebagai akibat dari kesalahan dokter, hal ini tidak selalu demikian, karena harus dibuktikan dahulu adanya hubungan kausal antara cedera/kematian pasien dengan unsur-unsur kelalaian. c.
52
Harm/Damage
J. Guwandi, Op cit, hal. 44.
39
Adanya hubungan yang erat antara Damage (kerugian) dengan Causation (penyebab) kerugian. Untuk mempersalahkan seorang dokter harus ada hubungan kausal (secara langsung/ adekuat) antar penyebab (tindakan dokter) dengan kerugian (cedera/kematian) pasien, dan harus tidak ada peristiwa atau tindakan sela di antaranya. Dalam hal demikian maka penilaian
fakta-faktanya, yang akan
menentukan ada/tidaknya suatu penyebab yang adekuat yang dapat dijadikan sebagai bukti. Kelalaian (negligent/culpa) yang seringkali mendasari terjadinya malpraktek medis memerlukan pembuktian yang rumit. Namun tidak jarang terjadi seorang dokter melakukan kelalaian dengan begitu jelas, sehingga orang awan pun dapat menilai bahwa telah terjadi kelalaian. Dalam hal ini berlaku asas “Res ipsa Loquitur” yang berarti the “thing speaks for itself” (faktanya sudah berbicara), sehingga pembuktian adalah pembuktian terbalik, dokter harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kelalaian. d.
Direct Causation Tindakan
ini
merupakan
tindakan
langsung
menyebabkan
kerugian/penderitaan pasien, hal ini disebabkan oleh dokter/tenaga medis lainnya yang melalaikan kewajibannya yang seharusnya ia laksanakan.53 2. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana 53
Walter G. Alton Jr., LL.B. Malpractice: A Trial Lawyer’s Advice for Physicians (How to Avoid, How to win), Little, Brown and Company, Boston, hal. 30–32.
40
1) Sistem Pertanggungjawaban Berdasarkan Asas Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Sehubungan dengan hal tersebut berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, asas itu dianut oleh KUHP Indonesia dan juga negara-negara lain, akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia tidak bersalah sama sekali. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, akan tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, dia tidak selalu dapat dipidana. Misalnya dalam KUHP terdapat dalam pasal 48 sampai dengan pasal 51 seperti daya memaksa (overmacht, pasal 48), pembelaan terpaksa (pasal 49), melaksanakan Undang-Undang (pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan (pasal 51) sehingga si pembuat tidak dipidana. Pandangan dualisme juga dianut oleh Moeljatno, berdasarkan pada pandangan dualisme itu Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk dapat dikatakan bahwa seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan harus dipenuhi unsur-unsur berikut: a. Melakukan perbuatan pidana b. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
41
d. Tidak adanya alasan pemaaf.54 Di dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu adalah Pasal 44 KUHP “barangsiapa
melakukan
perbuatan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit tidak dipidana”. Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum b. Kemampuan unuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.55 Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur kesalahan terutama mengenai kemampuan bertanggungjawab dan bentuk-bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan. a. Kesengajaan Dalam memorie van toelichting dijelaskan sengaja berarti dengan sadar dikehendaki dan diketahui melakukan suatu perbuatan yang dilarang.56 Dalam perkembangannya secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus), kesengajaan dengan sadar kepastian, kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). Perkembangan pemikiran dalam teori ini ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan di 54
Moeljatno, Op.Cit, hal 164 Ibid, hal165 56 Ibid, hal 171 55
42
Indonesia. Di dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Dengan demikian, praktik peradilan semacam ini sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa. b. Kealpaan Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan tersebut, ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan suatu perbuatan tersebut. Jadi dalam kealpaan terdakwa kurang memperhatikan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Menurut Moeljatno, “kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan, akan tetapi dasarnya sama yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan kurang mengindahkan larangan sehingga berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. 57 2) Sistem Pertanggungjawaban Pidana Menyimpang Dari Asas Kesalahan Alasan utama menerapkan pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan itu adalah demi perlindungan masyarakat, karena untuk delik57
Ibid, hal 201
43
delik tertentu sangat sulit untuk dibuktikan adanya unsur kesalahan. Ada tiga macam model atau bentuk sistem pertanggungjawaban pidana yang menyimpang
dari
asas
kesalahan,
yaitu
strict
liability
(pertanggungjawaban ketat), vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti), enterprise liability (pertanggungjawaban korporasi). a. Pertanggungjawaban pidana ketat (strict liability) Yaitu pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dimana pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas ini sering diartikan secara singkat dengan istilah “pertanggungjawaban tanpa kesalahan” (liability without faulty). Dari uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability tidak dipersoalkan adanya mens-rea, sehingga dengan demikian tidak diperlukan adanya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsur pokok dalam strict liability crime adalah perbuatan (actus reus). b. Pertanggungjawaban pidana pengganti Vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Orang tersebut harus mempunyai hubungan yaitu hubungan atasan dan bawahan (perawat-dokter) atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup
44
pekerjaannya. Secara singkat model pertanggungjawaban itu sering disebut “pertanggungjawaban pengganti” Jadi perbedaan antara strict liability dan vicarious liability menurut Glanvile William adalah mengenai ada atau tidak adanya actus reus dan mens rea. Strict liability tidak membutuhkan mens rea cukup dengan pekerja tetap dibutuhkan untuk dapat dipertanggungjawabkan majikan atas perbuatan pekerja tersebut.58 Roeslan Saleh dalam bukunya “suatu reorientasi dalam hukum pidana” mengakui adanya various liability sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada umumnya seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Akan tetapi ada yang disebut vicarious liability orang bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Aturan undang-undang lah yang menetapkan siapa-siapa sajakah yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab.59 Secara klasik konsep vicarious liability telah diperluas terhadap suatu situasi dimana pengusaha bertanggungjawab terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaannya. Tanggungjawab yang dipikul oleh majikan itu dapat terjadi satu diantara tiga hal berikut: (1) Peraturan perundang-undangan secara eksplisit menyebutkan pertanggungjawaban secara vicarious (2) Pengadilan telah mengembangkan doktrin pendelegasian dalam kasus pemberian lisensi. Doktrin itu berisi tentang pertanggugjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi harus ada prinsip pendelegasian.
58 59
hal 32
Glanvile William, Criminal Law: The General Part, London, 1961 Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983,
45
(3) Pengadilan dapat menginterpretasikan kata-kata dalam undangundang sehingga tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap sebagai tindakan dari pengusaha. 60 c. Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi Kejahatan korporasi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi dan terhormat. Biasanya kejahatan tersebut dilakukan dalam kaitan dengan pekerjaan. Sisi lain yang menjadi pusat perhatian dalam perkembangan dan perubahan dalam bidang kegiatan sosial ekonomi adalah penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas. Menurut Muladi: “.......kejahatan korporasi dilakukan tanpa kekerasan tetapi selalu disertai kecurangan, penyesatan, manipulasi, akal-akalan atau pengelakan terhadap peraturan. Di samping itu kejahatan korporasi itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang cukup pandai, oleh karena itu pengungkapan terhadap kejahatan yang terkait tidaklah mudah, apalagi jika dikaitkan dengan karateristiknya sebagaimana diuraikan berikut: (1) Kejahatan tersebut sulit dilihat, karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional, dan sistem organisasi yang kompleks. (2) Kejahatan tersebut sangat kompleks, karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial atau keuangan, legal, terorganisasikan, dan melibatkan orang banyak serta berjalan bertahun-tahun. (3) Terjadinya penyebaran tanggungjawab yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi (4) Penyebaran korban sangat luas seperti kolusi dan penipuan (5) Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
60
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, Fontana Press, London, 1995
46
(6) Peraturan yang tidak jelas yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum (7) Sikap mendua status pelaku tindak pidana.61
61
Muladi, “Kejahatan Orang-Orang Terhormat dan Permasalahannya Ditinjau Dari Sudut Penegakan Hukum Pidana”, Makalah Penataran Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1983, hal 5-6
47
BAB III METODE PENELITIAN A.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian yang menggunakan legistis positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup, dan terlepas dari kehidupan masyarakat. 62 B.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah preskriptif yaitu menurut
Peter Mahmud Marzuki63 menyatakan bahwa Ilmu Hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. C.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu yang merupakan data tertulis yang sudah siap untuk digunakan yang
62
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 15. 63 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.16.
48
bersumber dari Peraturan Undang-Undang, buku literatur, doktrin, dokumendokumen yang berkaitan dengan penelitian dalam Putusan Pidana No.536/Pid. B/2010.PN.PDG. D.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan
observasi serta studi kepustakaan atau studi dokumen. Data sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi dari bahan pustaka kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. E.
Metode Penyajian Data Data-data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian teks naratif
yang disusun secara sistematis. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. F.
Analisa Data Data dianalisis secara Normatif kualitatif. Normatif artinya penelitian ini
akan mendasarkan pada peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan kualitatif yaitu dengan menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, kemudian dilakukan pembahasan.
49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Identitas Terdakwa Terdakwa I Nama lengkap
: DS AMD, KEB
Tempat Lahir
: Padang
Umur/ Tanggal lahir
: 24 tahun/ 30 Desember 1985
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kebangsaan/
: Indonesia
kewarganegaraan Tempat Tinggal
: Jl. Kampung Tanjung Rt 05 Rw
04
No.
40
Lubuk
Begalung XX, Kota Padang Agama
: Islam
Pekerjaan
: Bidan
Pendidikan
: Akademi Kebidanan
Terdakwa II Nama lengkap
: CK
Tempat Lahir
: Surantih
Umur/ Tanggal lahir
: 26 tahun/ 05 Januari 1983
Jenis Kelamin
: Perempuan
50
Kebangsaan/
: Indonesia
kewarganegaraan Tempat Tinggal
: Jl.
Parak Keluek No. 5
Kelurahan
Pasang,
Kecamatan
Pauh,
Kota
Padang Agama
: Islam
Pekerjaan
: Asisten Apoteker
Pendidikan
: Akademi Farmasi
Terdakwa III Nama lengkap
: SM AMD., KEB
Tempat Lahir
: Padang
Umur/ Tanggal lahir
: 23 tahun/ 13 Januari 1986
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kebangsaan/
: Indonesia
kewarganegaraan Tempat Tinggal
: Jl. Koto Panjang No. 31 Rt. 5 Rw. 1 Kelurahan Batung, Lubuk
Begalung,
Padang. Agama
: Islam
Pekerjaan
: Bidan
Pendidikan
: Akademi Kebidanan
Kota
51
2. Duduk Perkara Pada hari Sabtu tanggal 03 Januari 2009 sekira jam 13.00 WIB s/d 20.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2009, bertempat di Klinik FITRIA Jl. By Pass KM.6 Simpang Pisang, Kecamatan Kuranji Padang atau setidak-tidaknya disalah satu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Padang : dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu, perbuatan mana dilakukan mereka terdakwa. Awalnya terdakwa I yang bertugas di klinik FITRIA kedatangan seorang pasien yang bernama Chori Hariyani atau disebut sebagai Chori yang dalam keadaan hamil dan ingin mencek kandungannya dan ingin melahirkan di Klinik ini, dan disaat inilah terdakwa I DS mempunyai obat perangsang merk Gastrul, adapun obat Gastrul ini dikeluarkan sekira bulan Januari oleh terdakwa II CK yang sebagai asisten Apoteker di Klinik FITRIA tersebut selanjutnya terdakwa I memberikan obat ini kepada Chori sebanyak 2 butir dengan cara penggunaannya dimakan 1/2 tablet setiap 6 jam dan setelah obat tersebut dimakan ternyata Chori mengalami sakit perut lalu pada hari Minggu tanggal 04 Januari 2009 suaminya Chori bernama Yopi Andridinata atau Yopi dan Asnimar pergi lagi ke Poliklinik Bersalin FITRIA di Jl. By Pass Pisang Padang, sesampainya di klinik itu Chori tersebut masuk ke dalam
52
ruang Bersalin dan terdakwa I DS dibantu terdakwa III SM mempersiapkan semua alat-alat, seperti infus dan memberitahukan keadaan Chori kepada keluarganya serta selalu mendampingi pasien namun keadaan pembukaan mulut rahim Chori lengkap kepala bayi keluar masuk namun Terdakwa I DS dan Terdakwa III SM tetap berusaha namun bayi tetap belum lahir, lalu terdakwa I dan Terdakwa III melaporkan permasalahan ini kepada dr jaga yaitu dr. Rafki Ismail, setelah itu terdakwa I DS menanyakan kepada keluarga Chori mau dirujuk kemana, lalu Asnimar sedang memikirkan soal Asuransi sehingga akhirnya dengan persetujuan Asnimar dan suaminya korban Chori, oleh karena bayi itu masih belum juga lahir maka dilakukan rujuk ke Rumah Sakit MARNAINI ASRI di J1. M. Hatta No.59 Padang, selanjutnya persalinan itu dibantu dengan jalan operasi dilakukan oleh dr. Hariadi.SPOG, maka bayi tersebut lahir namun nafasnya agak sesak lalu dibantu dengan pernafasan buatan hal ini disebabkan karena gawat janin yang mana penyebabnya karena proses masa kehamilan yang telah lewat waktu dan tali pusatnya terpelintir, terjepit hal ini dilihat dari kulit bayi yang sembab, kapala masih tinggi, air ketuban warna hijau, kulit keriput, kuku bayi panjang, bayi ini hidup selama lebih kurang 15 menit setelah dilahirkan namun akhirnya meninggal dunia. 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan penuntut umum bersifat alternatif antara lain :
53
a. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan jo Pasal 55 ayat (1) ke le KUHP b. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 361 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP 4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum 1. Menyatakan terdakwa I, terdakwa II dan terdakwa III terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama dengan sengaja melakukan Tindakan Medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 (1) dan (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I, terdakwa II dan terdakwa III dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp.5.000.000,(lima juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan 3. Menyatakan baranga bukti berupa : -
1 (satu) butir obat merk Gastrul;
Dirampas untuk dimusnahkan :
54
-
1 (satu) lembar surat keterangan Kelahiran No. Reg 2042/SC/RSUA/I/2009 tanggal 12 Januari 2009 dari RSU Mariani Asri;
-
1
(satu)
lembar
surat
keterangan
meninggal
dunia
No.1167/SKM-RSA/I/2009 tanggal 21 Januari 2009 dari RSU Mariani Asri; Dikembalikan kepada saksi Qory Handayani 4. Menetapkan supaya para terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) 5. Alat Bukti Keterangan Ahli 1) ROSDA MARTA - Bahwa saksi adalah ahli dalam bidang kebidanan ; - Bahwa pada saat pasien yang sedang hamil datang ke tempat saksi, maka saksi akan memeriksa usia kehamilan apakah sudah cukup atau tidak, jika memang usia kehamilannya sudah cukup, maka saksi akan periksa tensinya pasien, kemudian periksa dalam, pintu rahim sudah terbuka atau belum dan mulut vagina pasien diperiksa juga dengan menggunakan tangan; - Bahwa bidan hanya dapat menangani pasien jika pasien melahirkan secara normal; - Bahwa pembukaan pintu rahim pasien dalam proses melahirkan tidak bisa ditentukan waktunya;
55
- Bahwa bidan bisa menentukan/menganalisa pasien bisa melahirkan normal atau tidak yaitu awalnya ditanya pada pasien tersebut mengenai riwayat kelahiran yang terdahulu, kemudian ukuran/berat badan bayi dalam kandungan, jika normal maka bidan bisa menangani pasien tersebut: - Bahwa bidan boleh memberikan obat dan vitamin; - Bahwa saksi mengetahui ada klasifikasi obat-obatan; - Bahwa setahu saksi, bidan boleh memberikan obat Gastrul tanpa resep dokter; - Bahwa Pasien tidak boleh diberikan obat Gastrul, jika pasien pada proses kelahiran pertamanya tidak dengan proses normal; - Bahwa cara pemakaian obat merk Gastrul adalah boleh diminum di rumah dan di rumah sakit, dengan aturan pakai yaitu tiap 6 (enam) jam; - Bahwa jika bidan berhasil menangani persalinan maka ada honornya; - Bahwa jika bidan tidak berhasil menangani persalinan tidak dapat honor tambahan: - Bahwa cara menentukan ukuran pinggul pasien biasanya dengan melihat tinggi pasien, jika tinggi pasien kurang dari 150 cm, biasanya pinggulnya sempit dan akan susah untuk
56
melahirkan secara normal karena kepala bayi bisa saja tidak turun: - Bahwa dilihat dari postur tubuh saksi Chori bisa melahirkan secara normal: - Bahwa setahu saksi pasien yang tidak bisa melahirkan secara normal, tidak boleh diberikan obat merk Gastrul: - Bahwa Obat merk Gastrul tidak satu-satunya cara untuk mempercepat persalinan. bisa juga diberikan obat lain yaitu Vitamin B.1; - Bahwa keadaan bayi dalam persalinan normal adalah letak ubun-ubun kepala di bagian depan; - Bahwa setahu saksi, vacum adalah bukan persalinan secara normal; - Bahwa setahu saksi, bidan tidak boleh melakukan proses persalinan selain persalinan secara normal; - Bahwa setahu saksi waktu yang diperlukan untuk proses persalinan rnulai dari awal pembukaan pintu rahim sampai dengan pembukaan pintu rahim lengkap adalah 1-2 jam; - Bahwa setelah pembukaan pintu rahim lengkap, waktu yang diperlukan untuk persalinan yang normal adalah kira-kira 1 (satu) jam;
57
- Bahwa bidan boleh memberikan obat Gastrul, jika pasien memungkinkan melahirkan secara normal dan diberikan sehari sebelum persalinan; - Bahwa setahu saksi pasien yang akan melahirkan tersebut tidak bisa dihalangi untuk mengejan; - Bahwa "obat merk Gastrul tersebut baru ada sekitar 3 (tiga) tahunan ini dan diberikan kepada pasien dalam keadaan pasien yang masa hamilnya yang telah lewat dan mulut rahim/servik belum terbuka maka si pasien atas resep dokter meminum obat merk Gastrul tersebut dan juga dalam keadaan pasien yang pendarahan setelah melahirkan maka diberikan obat tersebut atas resep dokter agar pendarahan yang dalam pasien berhenti"; - Bahwa setiap Klinik Bersalin harus ada dokter jaga dan setiap Rumah Sakit /Klinik memberikan obat harus sesuai/atas izin dokter; - Bahwa cara menentukkan ukuran pinggul pasien sempit atau tidak adalah dilihat dari tinggi badan, ada pengukurannya dan ada alatnya juga dan diukur dari tulang kemaluan ke tulang pinggul belakang; - Bahwa dapat dikatakan kepala bayi sudah turun jika sudah ada pembukaan pintu rahim saat pemeriksaan;
58
- Bahwa bayi dilahirkan secara di vacum disebabkan oleh pinggul yang sempit dan bisa juga karena ibu bayi merasa sudah kelelahan; - Bahwa Obat merk Gastrul berfungsi untuk menghentikan pendarahan dan untuk pembukaan rahim; 2) Drs. M. SUHENDRI. Apt. M. FARM - Bahwa saksi mempunyai keahlian di bidang obat-obatan; - Bahwa saksi adalah Apoteker dan PNS di Balai POM Profinsi Sumbar Bidang Penyidikan; - Bahwa klasifikasi/jenis-jenis obat yang saksi ketahui adalah: Obat bebas adalah: ada logo bulat warna hijau; Obat bebas terbatas: ada logo bulat warna biru; Obat keras/obat daftar G: ada logo lingkaran merah dan ada huruf K; Narkotika: dengan logo lingkaran bulat warna putih dengan garis tepi bewarna
hijau
tanda
+
berwarna
merah
ditengahnya; Obat Generik: dengan logo bulat tanpa garis tepi, bergarisgaris dengan tulisan GENERIK berwarna hijau pada bagian tengahnya; - Bahwa pembagian obat tersebut di atas sesuai izin yang dikeluarkan oleh Balai POM RI; - Bahwa Obat bebas dan obat bebas terbatas boleh dibeli oleh
59
masyarakat secara bebas sedangkan obat keras dan Narkotika harus menggunakan resep dokter; - Bahwa jenis obat keras boleh dikeluarkan tanpa resep dokter, tetapi harus dengan lembaran Permintaan Obat dari Bidan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan; - Bahwa saksi kenal dengan obat Merk Gastrul (merk dagang); - Bahwa obat merk Gastrul adalah obat keras
yang
mengandung Misoprostol; - Bahwa obat merk Gastrul terdaftar dalam izin register sebagai obat maag tetapi mempunyai efek samping menimbulkan kontraksi pada rahim; - Bahwa Obat keras tidak bisa diperjualbelikan secara bebas dan pengambilannya harus dengan resep dokter; - Bahwa Obat merk Gastrul tidak boleh diberikan oleh Bidan karena obat merk Gastrul terdaftar sebagai obat maag dan tidak terdapat dalam lampiran II Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, yang terdapat dalam Lampiran II tersebut adalah Uteritonika; - Bahwa setahu saksi, Obat merk Gastrul jika diberikan pada ibu hamil tidak membahayakan janinnya, namun obat merk
60
Gastrul adalah obat Maag jadi tidak boleh digunakan untuk yang lain; - Bahwa saksi tidak mengetahui bahwa obat merk Gastrul sering diberikan oleh dokter dan bidan kepada pasien; - Bahwa bidan boleh menyediakan obat-obatan sesuai lampiran II
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor:
900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan; - Bahwa Resep dokter adalah permintaan tertulis dari dokter kepada Apotik; - Bahwa Bidan tidak boleh memberikan obat yang bukan wewenangnya tanpa resep dokter; - Bahwa Apotik tidak bisa mengeluarkan obat keras tanpa ada resep dokter; - Bahwa Obat merk Gastrul tidak termasuk permintaan obat yang merupakan wewenang bidan; - Bahwa Apoteker berfungsi untuk menilai suatu resep dan asisten apoteker berfungsi untuk membantu apoteker; - Bahwa Asisten apoteker boleh mengeluarkan obat dari apotik jika ada pelimpahan tugas dari apoteker; - Bahwa Obat yang mengandung Uterotonika termasuk ke dalam obat keras; - Bahwa Obat merk Gastrul yang mengandung Misoprostol
61
tidak sejenis dengan Uterotonika, namun efek samping obat merk gastrul sama dengan fungsi Uterotonika dan Obat Gastrul berupa tablet sedangkan Uterotonika berupa cairan untuk injeksi/suntik: - Bahwa Brosur mengenai Obat merk gastrul yang terlampir di Berita Acara Penyidik adalah berdasarkan Balai POM: - Bahwa dalam Brosur obat merk gastrul dicantumkan "Peringatan dan Perhatian" yang diantaranya berbunyi: "Misoprostol tidak boleh digunakan oleh wanita hamil, Misoprostol adalah penyebab keguguran. Keguguran yang disebabkan oleh Misoprostol boleh jadi tidak tuntas sehingga menyebabkan pendarahan yang dapat berbahaya, rawat inap, pendarahan, kemandulan atau kematian ibu atau janin"; - Bahwa setahu saksi belum ada penelitian yang dilakukan atau yang membenarkan pemberian obat merk Gastrul untuk ibu hamil tua dengan tujuan untuk membuka pintu rahim atau dengan kata lain belum teruji secara Klinis sehingga saksi tidak tahu apakah obat merk Gastrul boleh atau tidak diberikan pada ibu hamil tua; - Bahwa kegunaan obat jenis Uterotonika adalah untuk merangsang Uterus; - Bahwa Isi/format dari lampiran resep dokter adalah nama dokter, tempat praktek, nama obat, nama pasien dan alamat
62
pasien; 3) Dr. DESMIAWARTI, Sp.Og - Bahwa Saksi adalah Dokter Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan; - Bahwa Obat merk gastrul adalah obat dengan bahan dasar Misoprostol dan kegunaan obat merk gastrul adalah obat untuk mengobati tukak lambung; - Bahwa Sebagian dokter ada menggunakan obat merk gastrul untuk merangsang persalinan: - Bahwa Obat merk Gastrul (Misoprostol) juga digunakan untuk mengobati pendarahan pasca persalinan, mengeluarkan janin yang sudah meninggal dan mengobati pendarahan pasca persalinan dan diberikan pada ibu hamil yang sudah lewat waktu (42 minggu), pecah ketuban dan ibu hamil yang sudah memasuki fase persalinan ; - Bahwa Obat merk gastrul boleh dipakai dan diambil efek sampingnya untuk menimbulkan kontraksi rahim dalam keadaan tertentu yang merupakan salah satu pilihan sebagaimana anjuran dari Depkes RI yang tertuang dalam Standar prosedur penanganan pasien; - Bahwa Ibu hamil yang usia kandungannya sudah 39 minggu bisa diberikan obat merk gastrul jika diperkirakan sudah waktu melahirkan;
63
- Bahwa Obat merk Gastrul bisa diberikan untuk kehamilan saksi Chori; - Bahwa Pemberian obat merk Gastrul tidak ada menimbulkan efek samping pada janin. - Bahwa dalam fase persalinan dimulai dengan pembukaan pintu rahim 1cm s/d 10 cm (lengkap); - Bahwa jika pembukaan belum ada, akan tetapi ketuban sudah pecah, maka proses observasinya selama 6 jam; - Bahwa Obat merk Gastrul termasuk obat keras (daftar G) dan sepengetahuan
saksi
sejak
tahun
2010,
jika
bidan
memberikan obat keras harus sepengetahuan dokter, namun sebelum tahun 2010 saksi tidak tahu dan sesuai kewenangan dari tiap-tiap Rumah Sakit; - Bahwa Patograf adalah alat untuk memantau persalinan; - Bahwa Jangka waktu setelah pembukaan pintu rahim lengkap, bayi belum juga lahir maka ditunggu dalam waktu 1 s/d 3 jam selama janin dan ibu dalam keadaan baik (tidak ada tanda-tanda infeksi); - Bahwa Tanda-tanda infeksi adalah suhu badan ibu 39 derajat Celcius, detak jantung bayi 160 kali/menit, air ketuban bau dan berwarna hijau; - Bahwa Yang menyebabkan kulit kepala bayi sembab/kaput adalah adanya hambatan mekanik terhadap bayi karena
64
panggul sempit jika dibandingkan dengan berat badan janin; - Bahwa Obat merk gastrul boleh diberikan untuk ibu hamil karena di dalam brosur tentang obat merk Gastrul tidak dicantumkan bahwa obat Gastrul tidak dibolehkan untuk ibu hamil cukup bulan; - Bahwa Saksi pernah memberikan obat jenis misoprostol pada pasien; - Bahwa Obat merk Gastrul ada terdaftar di Balai POM; - Bahwa Hasil dari Patograf tersebut adalah jam 16.00 Wib, saksi Chori mengalami pembukaan lengkap dengan kontraksi yang kuat; - Bahwa saksi tidak mengerti hasil pemeriksaan USG saksi Chori, karena tidak begitu jelas; - Bahwa obat merk Gastrul adalah nama merk dagangnya dan Misoprostol adalah nama generiknya; - Bahwa Tanda-tanda kehamilan lewat bulan adalah melihat indeks cairan ketuban dan warna cairan ketuban; - Bahwa Angka kematian bayi yang lahir lewat waktu adalah 25 %: - Bahwa Obat jenis Uteronika adalah obat yang menimbulkan kontraksi dan obat Misoprostol adalah obat yang diambil efek sampingnya yaitu untuk kontraksi rahim. 4) GUSTAVIANOF
65
- Bahwa Saksi adalah ahli di bidang Hukum Kesehatan; - Bahwa Obat merk gastrul adalah obat untuk sakit maag/tukak lambung dan efek sampingnya sama dengan uterotonika yaitu untuk menimbulkan kontraksi rahim; - Bahwa
berdasarkan
lampiran
II
Keputusan
Menteri
Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, bidan berhak memberikan obat keras diantaranya Uterotonika; - Bahwa berdasarkan brosurnya obat merk Gastrul adalah obat keras dan harus menggunakan resep dokter tetapi dalam Kepmenkes Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, bidan boleh mengeluarkan obat keras melalui Surat permintaan obat; - Bahwa Bidan tidak boleh mengeluarkan resep tetapi boleh mengeluarkan Lembaran Permintaan Obat sebagaimana Formulir VI lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan; - Bahwa Saksi tidak mengetahui mengenai jenis/klasifikasi obat-obatan; - Bahwa Jika ada resep ditulis nama dan ditulis dengan resep dokter, maksudnya resep tersebut hanya boleh dikeluarkan oleh dokter;
66
- Bahwa jika apoteker tidak ada maka asisten apoteker boleh mengeluarkan obat sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 679 Tahun 2003 tentang Registrasi Asisten Apoteker Pasal 8 Bab III; - Bahwa saksi tidak tahu apakah yang dimaksud dengan resep dokter. 6. Putusan Pengadilan 6.1.Pertimbangan Hakim Para Terdakwa dihadapkan ke depan persidangan oleh Penuntut Umum atas dasar dakwaan yang berbentuk alternatif, yaitu kesatu melanggar Pasal 80 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan jo Pasal 55 ayat (1) ke le KUHP atau kedua melanggar Pasal 361 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP. Karena dakwaan Penuntut Umum berbentuk alternatif (alternative accusation) maka Majelis Hakim akan terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan alternatif Kesatu yaitu melanggar Pasal 80 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan jo Pasal 55 ayat (1) ke le KUHP Terhadap dakwaan Kesatu ini Majelis Hakim berpendapat bahwa Penuntut Umum dalam dakwaan alternatif Kesatu telah mendakwa Para Terdakwa dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, akan tetapi pada saat perkara ini di sidangkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tersebut telah dirubah dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
67
Perubahan yang prinsip sekali dalam Undang-Undang yang baru ini adalah di mana tindak pidana yang didakwakan kepada para terdakwa dalam dakwaan alternatif Kesatu yaitu melanggar Pasal 80 ayat (1) UndangUndang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dalam Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perbuatan yang diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tersebut bukan lagi merupakan tindak pidana. Maka sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP yang menyatakan, "jikalau Undang-Undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan,
maka
kepada
tersangka
dikenakan
ketentuan
yang
menguntungkan baginya". R. Susilo, dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya, Tentang pengertian ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa tersebut menjelaskan, "bila ada kejadian seseorang telah berbuat yang melanggar Undang-Undang, sedangkan sebelum peristiwa itu diputuskan oleh hakim, kemudian UndangUndang itu diubah sedemikian rupa sehingga perbuatan yang semacam itu tidak dilarang lagi, maka orang itu tidak dihukum. Bukankah di sini Undang-Undang yang baru yang lebih menguntungkan kepada terdakwa, sehingga Undang-Undang itulah yang dipakai. Terhadap dakwaan alternative Kesatu Penuntut Umum yaitu melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak dapat diterapkan oleh karenanya , "Penuntutan Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima".
68
Majelis Hakim kemudian mempertimbangkan dakwaan alternative Kedua yaitu melanggar Pasal 361 Jo pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: a. Unsur Barang Siapa; b. Unsur karena Kelalaiannya menyebabkan matinya orang; c. Dilakukan dalam pelaksanaan dari suatu jabatan atau pekerjaan; d. Dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu. Ad.1. Unsur Barang Siapa Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur "Barang Siapa" tersebut diatas adalah menunjukkan kepada siapa orangnya yang harus bertanggung jawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa orangnya yang harus dijadikan terdakwa dalam perkara ini. Tegasnya, kata "barang siapa" menurut Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Buku II Edisi Revisi Tahun 2008, Halaman 208 dari Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah AGUNG RI Nomor: 1398 K / Pid / 1994 tanggal 30 Juni 1995 terminologi kata "barang siapa" atau "HIJ" sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa/dader. Dengan demikian oleh karena itu perkataan "barang siapa" secara historis kronologis manusia sebagai subyek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas Undang-Undang menentukan lain.
69
Berdasarkan keterangan para saksi di depan persidangan, keterangan para terdakwa, barang bukti, Surat Perintah Penyidikan, Surat Dakwaan dan Tuntutan Pidana Jaksa Penuntut Umum, serta Nota Pembelaan Penasihat Hukum para Terdakwa di depan persidangan dan pembenaran para terdakwa terhadap pemeriksaan identitas mereka pada sidang pertama sebagaimana termaktub dalam Berita Acara Sidang dalam perkara ini dan pembenaran para saksi yang dihadapkan di depan persidangan membenarkan bahwa yang sedang diadili di depan persidangan Pengadilan Negeri Padang, yaitu terdakwa I, terdakwa II dan terdakwa III yang diajukan kedalam persidangan, sehingga Majelis Hakim berpendirian unsur "barang siapa" telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Menurut R. Soesilo dalam Buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, bahwa yang dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan, ahli obat, sopir, kusir doka, masinis, dll yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka mengabaikan (melalaikan) peraturanperaturan atau keharusan keharusan dalam pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati. Kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan yang termasuk di dalamnya adalah bidan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Ada ditentukan "Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi". Kemudian
70
dalam penjelasan pasal tersebut ditentukan bahwa "Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak”. Berdasarkan keterangan Terdakwa I saksi Asnimar pernah datang ke rumah Terdakwa sebanyak 4 (empat) kali untuk meminta uang ganti rugi dan pernah juga menemui Bidan Afniwati sebagai perantara terdakwa dengan saksi Asnimar untuk meminta uang, namun keterangan tersebut dibantah oleh saksi Asnimar. Fakta tersebut merupakan salah satu bentuk mediasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, namun oleh karena upaya tersebut tidak berhasil maka korban melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib sehingga pemakaian ketentuan Pasal 361 KUHP penerapan asas hukum pidana yang bersifat Ultimum Remidium. Terdakwa didakwa dengan dakwaan alternative. Kedua yaitu melanggar Pasal 361 KUHP yang mana elemen kelalaian (culpa) disini dimaksudkan sebagaimana pendapat dari doktrin dalam buku Rammelink, bahwa dari memorie van toelichting pada intinya culpa mencakup kurang cermat berpikir, kurang pengetahuan atau bertindak kurang terarah. Dengan kata lain, tidak atau kurang menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang tersebut padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.
71
Kelalaian dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dibandingkan dengan kelalaian dalam Pasal 361 KUHP maka sifat kelalaiannya tidaklah identik in casu tidak ada asas lex specialist derogat lex generali karena Undang-Undang tersebut berlainan. Untuk melihat apakah adanya kelalaian pada Para Terdakwa untuk itu Majelis Hakim akan mempertimbangan kelalaian dari perbuatan para Terdakwa yang mencakup 2 hal yaitu: a. Dalam hal pemberian obat merk gastrul dan b. Dalam hal penanganan persalinan; Dalam Hal Pemberian Obat Merk Gastrul ; Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Bahwa pada tanggal 3 Januari 2009 ketika saksi Chori datang untuk memeriksakan rutin kandungannya yang menurut hasil USG berusia 39 minggu di klinik Fitria. Dengan alasan untuk mempercepat kelahiran, Terdakwa I dan III memberi obat merk Gastrul kepada saksi Chori dengan cara saksi Chori dikasih resep dan ditebus di Apotik Klinik Fitria pada hari itu juga dan yang menandatangani resep tersebut adalah terdakwa I tanpa berkonsultasi dengan dokter kandungan. Berdasarkan keterangan saksi Dra. Rosmaida Ginting serta ahli Drs. M. Suhendri. Apt. M.FARM, bahwa Obat merk Gastrul adalah obat keras yang mengandung Misoprostol yang terdaftar dalam izin register sebagai obat maag tetapi mempunyai efek samping
72
menimbulkan kontraksi pada rahim, dan sebagai obat keras tidak bisa diperjualbelikan secara bebas dan pengambilannya harus dengan resep dokter. Terdakwa II mengetahui Obat merk Gastrul merupakan obat keras dan termasuk ke dalam obat daftar G dan seharusnya dengan resep dokter, namun Terdakwa II tetap mengeluarkan obat merk Gastrul tersebut, walaupun hanya dengan kertas permintaan obat dari Terdakwa I dan III karena peraturan yang berlaku di Klinik Fitria aturan interen membolehkan hal tersebut dan sewaktu mengeluarkan obat merk Gastrul tersebut tidak berkonsultasi dengan Apoteker. Bahwa berdasarkan keterangan ahli Drs. M. Suhendri. Apt. M.FARM Obat merk Gastrul tidak boleh diberikan oleh Bidan, karena obat merk Gastrul terdaftar sebagai obat maag dan tidak terdapat dalam lampiran II Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, yang terdapat dalam Lampiran II tersebut adalah Uterotonika, akan tetapi Obat Gastrul jika diberikan pada ibu hamil tidak membahayakan janinnya. Berdasarkan keterangan ahli Rosda Marta maupun saksi Dra. Rosmaida Ginting, bahwa bidan boleh memberikan obat Gastrul tanpa resep dokter. Berdasarkan keterangan ahli dr. Desmiawarti, Sp.Og sebagian dokter (termasuk ahli) ada yang menggunakan obat merk Gastrul, yang termasuk obat keras.
73
Sejak tahun 2010, jika bidan memberikan obat keras harus sepengetahuan dokter kandungan. Obat merk Gastrul boleh dipakai dan diambil efek sampingnya untuk menimbulkan kontraksi rahim dalam keadaan tertentu yang merupakan salah satu pilihan sebagaimana anjuran dari Depkes RI yang tertuang dalam Standar prosedur penanganan pasien dan ibu hamil yang usia kandungannya sudah 39 minggu bisa diberikan obat gastrul jika diperkirakan sudah waktu melahirkan disamping itu pemberian obat merk Gastrul tidak ada menimbulkan efek samping pada janin. Berdasarkan keterangan ahli Gustavianof bahwa, Obat merk Gastrul adalah obat untuk sakit maag/tukak lambung dan efek sampingnya sama dengan Uterotonika yaitu untuk menimbulkan kontraksi rahim dan Berdasarkan lampiran II Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, bidan berhak memberikan obat keras diantaranya Uterotonika. Berdasarkan hal tersebut di atas Terdakwa adalah seorang bidan yang seharusnya tidak boleh membuat resep untuk obat merk Gastrul yang tergolong obat keras kepada saksi Chori, akan tetapi hal tersebut ternyata
dalam
praktek baik dokter
maupun
bidan banyak
menggunakan obat merk Gastrul tersebut dalam proses persalinan karena obat merk Gastrul mempunyai efek samping yang sama dengan Uterotonika yaitu untuk menimbulkan kontraksi rahim.
74
Demikian juga halnya yang dilakukan oleh Terdakwa II sebagai seorang asisten apoteker dalam memberikan obat terutama obat keras seharusnya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada apoteker. Terdakwa sebagaimana tersebut diatas adalah merupakan suatu kelalaian akan tetapi kelalaian tersebut tidak menimbulkan akibat yang fatal yakni matinya orang karena berdasarkan keterangan ahli Drs. M. Suhendri. Apt. M.FARM dan dr. Desmiawarti, Spog, bahwa pemberian obat merk Gastrul tidak ada menimbulkan efek samping pada janin apalagi usia kandungan saksi Chori telah mencapai 39 minggu. Dengan demikian maka perbuatan Terdakwa I, III
dan
Terdakwa II dapat dikategorikan suatu kelalaian, akan tetapi hal tersebut tidak mengakibatkan matinya orang sehingga kelalaian dalam pemberian obat merk Gastrul terhadap saksi Chori tidak dapat dikatakan sebagai kelalaian yang menyebabkan matinya orang. Dalam Hal Penanganan Persalinan; Berdasarkan fakta di persidangan bahwa saksi Chori mengalami pecah ketuban pada tanggal 4 Januari 2009 jam 12.00 WIB, warnanya bening, lalu saksi langsung di bawa ke Klinik dan sampai pada jam 12.30 WIB kemudian langsung di tangani oleh terdakwa I dengan diberi infus pada pukul 13.30 WIB. Setelah itu ditinggal oleh Terdakwa I. Terdakwa I datang lagi jam 15.00 WIB bersama Terdakwa III dan pada jam 16.00 WIB sudah pembukaan pintu rahim sepuluh,
75
selanjutnya Terdakwa I bersama Terdakwa III langsung menangani saksi untuk melahirkan yaitu saksi Chori di suruh mengejan, namun sampai 2 (dua) jam tidak berhasil sehingga saksi Chori kelelahan. Pada sekitar jam 17.00 WIB terdakwa I berkonsultasi dengan saksi dr Rafki Ismail yang merupakan dokter umum di klinik Fitria, mengenai keadaan saksi Chori yang sedang ditanganinya, bahwa keadaan pasien akan melahirkan namun kondisinya dengan pembukaan pintu rahim lengkap tetapi belum juga dapat melahirkan, kemudian saksi Rafki Ismail langsung ikut membantu saksi Chori melakukan persalinan selama 15 menit, namun tidak ada kemajuan dan segera saksi memutuskan untuk merujuk pasien ke Rumah Sakit pada jam 18.00 WIB. Sesampai di Rumah Sakit Asri saksi Chori menunggu sekitar 2 (dua) jam dan baru ditangani dokter pada sekitar kurang lebih pukul 20.00 WIB dr. Hariadi datang, selanjutnya saksi Chori langsung di Operasi dan saksi Chori melahirkan sekira pukul 20.30 WIB dan kemudian bayinya meninggal pada pukul 20.45 WIB. Berdasarkan keterangan saksi dr. Hariadi, Sp.Og pada saat saksi menangani proses persalinan pada pasien saksi Chori terjadi persalinan yang macet, saksi Chori juga dalam keadaan lemah dan lelah, kepala bayi sudah mengkerut, denyut jantung tidak baik lagi dan karena ingin menyelamatkan bayi dan anak, maka atas persetujuan keluarga saksi Chori, maka operasi dilakukan, kemudian pada saat
76
bayi lahir jantungnya ada tetapi tidak bernafas lagi dan 15 (lima belas) menit, setelah itu meninggal dikarenakan kekurangan oksigen. Pemberian antibiotik pada saksi Chori setelah 1 (satu) jam berada di Rumah Sakit Asri dan Saksi melakukan operasi terhadap saksi Chori dari kurang lebih pukul 19.50 WIB sampai dengan kurang lebih pukul 20.15 WIB. Standar menangani pasien dan menentukan pasien bisa melahirkan normal atau tidak yaitu disesuaikan berat badan janin (bayi) yang ada di dalam kandungan dengan besar pinggul pasien yang akan dilewati dan setahu saksi dengan ukuran pinggul saksi Chori sempit sehingga sulit untuk melahirkan bayi secara normal dengan berat 3500 gram. Pada saat saksi menangani proses persalinan pembukaan pintu rahim sudah lengkap, namun kepala bawah bayi dalam kandungan masih di dasar pinggul dan warna air ketuban saksi Chori berwarna hijau, biasanya karena infeksi dan rawat janin, sedangkan setahu saksi warna air ketuban pasien yang normal adalah warna bening, putih seperti susu. Saksi Chori terkena infeksi karena persalinan berjalan lama, macet dan saksi Chori sudah kelelahan. Standar menangani pasien dan menentukan pasien bisa melahirkan normal atau tidak yaitu disesuaikan berat badan janin (bayi) yang ada di dalam kandungan dengan besar pinggul pasien yang akan dilewati. Seharusnya yang dilakukan adalah jika dalam 2 (dua) jam letak bayi saksi Chori dalam
77
kandungannya juga tidak maju maka seharusnya sudah diambil tindakan selanjutnya sewaktu kala 2 (2 jam), namun kenyataannya dibiarkan saja lebih dari 2 (dua) jam dan seharusnya ditangani dengan cepat jika terjadi kendala dalam melakukan proses persalinan secara normal. Terhadap bayi dalam kandungan jika penanganannya dilakukan lebih dari 2 (dua) jam, pengaruh secara langsung tidak ada, akan tetapi kalau lebih dari 6 (enam) jam akan terjadi infeksi. Berdasarkan keterangan ahli dr. Desmiawarti, Sp.Og bahwa dalam proses kelahiran, jika pembukaan belum ada akan tetapi ketuban sudah pecah proses observasi selama 6 jam, akan tetapi jika jangka waktu setelah pembukaan pintu rahim lengkap, bayi belum juga lahir maka ditunggu dalam waktu 1 s/d 3 jam selama janin dan ibu dalam keadaan baik (tidak ada tanda-tanda infeksi). Hasil dari Patograf tersebut adalah jam 16.00 WIB, saksi Chori mengalami pembukaan lengkap dengan kontraksi yang kuat. Tanda-tanda infeksi adalah suhu badan ibu 39 derajat Celcius, detak jantung bayi 160 kali/menit, air ketuban bau dan berwarna hijau. Berdasarkan fakta tersebut di atas bahwa Terdakwa I dan Terdakwa III telah berusaha menangani persalinan saksi Chori sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Klinik Bersalin dimana mereka bekerja dan telah pula sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam standar penanganan persalinan.
78
Fakta yang ada adalah saksi Chori mengalami pembukaan lengkap sebagaimana tertera dalam Patograf pada jam 16.00 WIB dan selanjutnya telah diupayakan penanganan persalinan, akan tetapi tidak berhasil dan pada jam 17.00 WIB terjadi persalinan macet, yang selanjutnya ditangani oleh dr. Rafky Ismail hingga akhirnya pada jam 18.00 WIB saksi Chori dirujuk ke rumah sakit Asri, akan tetapi perjalanan ke rumah sakit Asri membutuhkan waktu terlebih lagi sesampainya di RS ASRI penanganan lanjutan yang seharusnya, tidak segera diperoleh oleh saksi Chori sehingga baru pada sekitar kurang lebih sekitar jam 20.00 WIB saksi Chori berhasil dioperasi dan melahirkan pada jam 20.30 WIB. Ahli dr. Desmiawarti, Sp.Og menerangkan bahwa Jangka waktu setelah pembukaan pintu rahim lengkap, bayi belum juga lahir maka ditunggu dalam waktu 1 s/d 3 jam selama janin dan ibu dalam keadaan baik (tidak ada tanda-tanda infeksi). Hal tersebut sesuai dengan keterangan saksi dr Hariadi, Sp.Og., dimana seharusnya yang dilakukan adalah jika dalam 2 (dua) jam letak bayi saksi Chori dalam kandungannya juga tidak maju maka seharusnya
sudah diambil
tindakan selanjutnya sewaktu kala 2 (2 jam). Berdasarkan status pasien di Klinik pada saat itu suhu tubuh saksi Chori adalah 36 derajat Celcius, akan tetapi pada saat setelah jam 18.00 Wib hingga saksi Chori melahirkan tidak ada status pasien yang menunjukkan suhu tubuh dari saksi Chori maupun detak jantung
79
janinnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah terhadap saksi Chori ada tanda tanda infeksi, bahwa suhu badan ibu 39 derajat Celcius dan detak jantung bayi 160 kali/menit, akan tetapi yang ada adalah berdasarkan keterangan dr Hariadi, Sp.Og., yang ketika itu menangani persalinan saksi Chori, bahwa air ketuban saksi Chori bau dan berwarna hijau, sehingga keterangan saksi dr Hariadi, Sp.Og bahwa saksi Chori terkena infeksi adalah beralasan. Berdasarkan uraian diatas bahwa disitu terlihat ketidakcermatan Terdakwa I dan Terdakwa III dalam menghitung waktu dari saat pembukaan pintu rahim lengkap, kemudian terjadi persalinan macet pada jam 17.00 WIB, hingga saat Saksi Chori melahirkan di Rumah Sakit Asri dan akhirnya bayinya meninggal dunia. Seharusnya Terdakwa I dan Terdakwa III dapat menduga duga kemungkinankemungkinan atau hal-hal yang akan terjadi jika pasien terlambat ditangani, serta dapat memperhitungkan waktu mengenai tindakan selanjutnya apakah si pasien dapat segera mendapatkan penanganan lanjutan atau tidak, agar supaya tidak menimbulkan akibat yang fatal bagi keselamatan ibu dan janinnya seperti apakah dokter yang akan menangani persalinan sudah ada, ruang operasi sudah siap dan lainnya. Pada saat diketahui persalinan macet seharusnya Terdakwa I dan Terdakwa III dapat berpikir cepat tentang jika persalinan tidak berhasil, kemana pasien akan dirujuk yang terbaik bagi pasien, siapa
80
dokter
yang
akan
menangani
seharusnya
dihubungi
atau
dikonsultasikan terlebih dahulu, sambil kepada pasien juga diberikan advise
terbaik
untuk
memperkecil
terlambatnya
penanganan
persalinan. Walaupun pada saat ditanya tentang riwayat kelahiran pertamanya saksi Chori mengatakan normal, seharusnya Terdakwa I dan Terdakwa III melakukan pemeriksaan sesuai dengan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya sebagai seorang bidan mengenai panggul saksi Chori dihubungkan dengan berat bayi yang akan dilahirkan, mengingat hal tersebut untuk mengetahui apakah saksi Chori dapat melahirkan dengan normal atau tidak. Ternyata saksi Chori pada proses persalinan pertamanya dilakukan dengan vacum dan hasil pemeriksaan dr Hariadi,Sp.Og adalah dengan ukuran pinggul saksi Chori sempit sehingga sulit untuk melahirkan bayi secara normal dengan berat 3500 gram. Bagi seorang ibu yang akan melahirkan pilihannya adalah hidup atau mati, yang terpenting adalah keselamatan bayi dan dirinya, sehingga baginya tidak ada pilihan tentang tindakan apa yang dilakukan terhadap dirinya karena dia tidak mengerti akan ketentuan maupun prosedur penanganan medis dan serta akan dirujuk kemana untuk penanganan selanjutnya untuk dalam persalinan yang penting bayi dan dirinya selamat. Untuk itulah diperlukan kecermatan, kehati-hatian serta ketanggapan dari orang yang menolong persalinannya, karena jika orang
yang
diharapkan
kurang
tanggap
dan
kurang
dapat
81
memperhitungkan waktu yang tepat maka akibatnya adalah fatal yang mana yang terjadi dalam hal ini adalah kematian si bayi. Chori adalah pasien dan telah memeriksakan kehamilannya secara rutin di Klinik Bersalin sedangkan di Klinik Bersalin tenaga medis yang menangani persalinan adalah bidan dan tidak ada dokter spesialis kandungan, dengan demikian sejak awal saksi Chori telah menyebabkan sepenuhnya penanganan persalinannya kepada Klinik Bersalin Fitria dan sudah seharusnya Klinik Bersalin Fitria bertanggung jawab penuh terhadap persalinan saksi Chori termasuk mengupayakan keselamatan bayi dan ibunya. Terdakwa I dan Terdakwa III sebagai bidan pada Klinik Bersalin selain dituntut bekerja secara profesional juga diperlukan kecermatan dalam berfikir dan kehati-hatian dan mampu berfikir kedepan in casu yang dalam ilmu hukum disebut harus adanya penduga duga dan penghati-hatian. Kenyataannnya berdasarkan surat keterangan meninggal dunia No.1167/SKM-RSA/I/2009 tanggal 21 Januari 2009 dari RSU Mariani Asri, bayi saksi Chori dinyatakan meninggal dunia. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka untuk Terdakwa I dan Terdakwa III unsur karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang telah terpenuhi. Sedangkan Terdakwa II tidak ikut berperan dalam proses penanganan persalinan saksi Chori, maka untuk Terdakwa II unsur karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang tidak terpenuhi. Oleh
82
karena itu Terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan serta harus dibebaskan dari dakwaan alternative Kedua. 6.2.Disenting Opinion Disenting Opinion adalah perbedaan pendapat para hakim yang terjadi dalam persidangan. Terdapat Disenting Opinion dari Hakim Anggota I Yoserizal, SH., dengan pendapatnya bahwa, terhadap dakwaan alternatif kedua yaitu melanggar Pasal 361 KUHP kami berpendapat dakwaan tersebut juga tidak dapat diterapkan kepada terdakwa, dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Pasal 361 KUHP merumuskan bahwa, jika kejahatan yang diterangkan dalam bab dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan. Pasal 361 KUHP ini terletak pada bab XXI Tentang Mengakibatkan Orang Mati Atau Luka Karena Salahnya. Dengan demikian kejahatan yang diatur dalam Pasal 361 KUHP ini adalah kejahatan kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam jabatan atau pekerjaan, yang dalam perkara a quo adalah pekerjaan atau jabatan dalam hal ini adalah tenaga kesehatan yaitu bidan dan asisten apoteker ; b. Bahwa dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sebagai Undang-Undang Khusus yang mengatur
83
Tentang Kesehatan telah ditentukan tindak pidana yang dapat didakwakan kepada seorang tenaga kesehatan yaitu Pasal 190 s/d Pasal 201 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 190 sampai dengan Pasal 201 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini tidak ada Pasal yang mengatur ancaman pidana bagi tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dalam profesinya. c. Bahwa khusus tentang tenaga kesehatan yang diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya sudah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditentukan, "dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi". Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut dijelaskan, "mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak. Dengan demikian ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menutup pintu masuk dituntutnya secara pidana tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dalam melakukan
84
jabatannya, karena sesuai Pasal 29 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terlebih dahulu harus diselesaikan melalui mediasi. Pintu masuk tersebut semakin tertutup dengan tidak adanya kelalaian tenaga kesehatan dalam profesinya" tersebut disebutkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. d. Dengan demikian terdapat pertentangan antara 2 (dua) ketentuan Undang-Undang, yaitu KUHP (dalam hal ini Pasal 361) dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Di satu sisi Pasal 361 KUHP sebagai ketentuan pidana umum menyatakan kelalaian dalam pekerjaan atau jabatan (dalam hal ini termasuk petugas kesehatan) dalam profesinya merupakan tindak pidana, sementara di sisi lain Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang merupakan Undang-Undang khusus di bidang kesehatan, menyatakan hal tersebut harus diselesaikan melalui mediasi, dan tidak dicantumkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Kesehatan (bandingkan dengan Pasal 190 s/d 201 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kelalaian tidak termasuk di dalamnya). 6.3.Amar Putusan a. Menyatakan
Penuntutan
Penuntut
Umum
dalam
Dakwaan
Alternatif Kesatu tidak dapat diterima; b. Menyatakan terdakwa I dan terdakwa III terbukti secara sah dan
85
meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
"karena
kelalaiannya menyebabkan matinya orang yang dilakukan dalam pelaksanaan sesuatu jabatan atau pekerjaan secara bersama-sama; c. Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing masing, untuk Terdakwa I selama 1 (satu) Tahun dan Terdakwa III selama 8 (delapan) bulan; d. Menyatakan Terdakwa II tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam Dakwaan Alternatif Kedua; e. Membebaskan Terdakwa II dari Dakwaan Alternatif Kedua; f. Memulihkan hak Terdakwa II dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; g. Menetapkan barang bukti berupa : 1) 1 (satu) butir obat merk Gastrul; 2) 1 (satu) lembar surat keterangan Kelahiran No. Reg 2042/SC/RSUA/I/2009 tanggal 12 Januari 2009 dari RSU Mariani Asri; 3) 1
(satu)
lembar
surat
keterangan
meninggal
dunia
No.1167/SKM-RSA/I/2009 tanggal 21 Januari 2009 dari RSU Mariani Asri; 4) Dikembalikan kepada saksi Chori Handayani; h. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa I dan Terdakwa III masing-masing sebesar Rp . 2000,- (dua ribu rupiah) ;
86
B. Pembahasan 1. Alasan Diperlukannya Keterangan Ahli Dalam Mengungkap Malpraktik Medis Pada Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG. Hal terpenting di dalam hukum acara pidana adalah pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana yang merupakan hukum pidana formal yakni untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan tentang pembuktian sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa terdakwa dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang.
Pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP) dapat diartikan sebagai: suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar
87
tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.64 Menurut Bambang Poernomo, pembuktian adalah: “suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi faktafakta yang terang dalam hubungannya dengan perkara pidana”.65 Menurut Yahya Harahap, pembuktian adalah: “ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran”. 66 Dengan
demikian
pengertian
membuktikan
sesuatu
berarti
menunjukan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indera serta mengutarakan hal tersebut dan berfikir secara logika. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat esensial dalam upaya penemuan kebenaran materiil suatu perkara pidana, sehingga dalam proses pembuktian perkara di pengadilan diperlukan alat bukti dan barang bukti yang benarbenar dapat membuat terang suatu tindak pidana yang disangkakannya. Rusli Muhammad menyatakan bahwa : Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di sidang pengadilan. Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal ada 4 (empat) macam sistem atau teori pembuktian. Masing-masing teori ini
64
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1984, hal 77 Bambang Purnomo, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku, Yogyakarta, 1990, hal 38 66 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal 22. 65
88
memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing sistem pembuktian ini.67 Adapun teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :68 5.
Conviction Intime Conviction intime dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim. Artinya jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhi putusan. Andi Hamzah menyatakan bahwa : Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.69 6.
Conviction Rasionnee Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian
yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Berbeda dengan sistem conviction intime, dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, keyakinannya itu harus diikuti 67
Log. Cit., hal. 187. Log. Cit, hal. 187. 69 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 252 68
89
dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya itu dan alasan-alasan itupun harus “reasonable“ yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran. Sistem conviction rasionnee masih menggunakan dan mengutamakan keyakinan hakim didalam menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa. Sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari keyakinan hakim semata-mata. Andi Hamzah menyatakan bahwa : Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya ialah pertama berpangkal tolak kepada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan, kemudian yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif. 70 7.
Positief Wettelijk Bewijstheorie Sistem ini adalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut
undang-undang secara positif. Pembuktian menurut sistem ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan
70
Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 253.
90
dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti.71 Peradilan pidana terutama pada waktu mengadili perkara yang tidak ringan sudah banyak keberatannya untuk menggunakan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif karena ada kecenderungan dengan mutlak memperlakukan pemeriksaan perkara secara inquisitoir dan apabila sudah dapat pengakuan terdakwa atau keterangan saksi-saksi, wajib diputus terbukti dan dipidana oleh hakim sekalipun dapat dirasakan pengakuan dan keterangan itu bohong sebagai versi buatan.72 8.
Negatief Wettelijk Bewisjtheorie Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang- undang juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). Sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang
secara
negatief
adalah
sistem
yang
menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime, dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang 71
Rusli Muhammad, Op cit., hal.189. Loc cit.
72
91
tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti terpenuhi tetapi hakim tidak memperoleh keyakinan terhadapnya, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya pemidanaan. Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan putusan pidana tetapi putusan bebas. Berkaitan dengan sistem pembuktian maka dalam KUHAP, diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang merumuskan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dalam pembuktian diperlukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Kedua syarat ini harus ada dalam setiap pembuktian dan dengan terpenuhinya kedua syarat tersebut, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, sebaliknya jika kedua hal ini tidak terpenuhi berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
92
Berdasarkan penjelasan tersebut, nyatalah bahwa sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) karena kedua syarat yang harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini telah tercermin dalam Pasal 183 KUHAP dan dilengkapi Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang- undang juga menggunakan keyakinan hakim. Mengenai alat bukti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP salah satunya adalah alat bukti keterangan ahli. Alat bukti ini memiliki kekuatan pembuktian sama seperti alat bukti lainnya sepanjang diberikan menurut tata cara yang diatur dalam perundang-undangan. Pada
Putusan
Pidana
No.536/Pid.B/2010.PN.PDG
saksi
ahli
dihadirkan oleh kedua belah pihak baik Jaksa Penuntut Umum maupun dari pihak Penasihat Hukum Terdakwa. Keterangan ahli memiliki fungsi yang penting dalam membuktikan suatu tindakan malpraktik. Kasus Malpraktik yang ditujukan kepada para terdakwa sebenarnya merupakan suatu rumusan Pasal 361 KUHP mengenai kelalaian. Undang-Undang tidak memberi definisi apakah kelalaian itu. Hanya memorie penjelasan (memori van toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu di pandang lebih ringan di banding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik
93
semu (quasidelict) sehingga di adakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan kebutulan kata Hazewinkel-suringa di kenal pula di Negara-negara anglo-saxon yang di sebut per infortunium the killing occurred accidently. Dalam memorie jawaban pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan
berarti
mempergunakan
kemampuannya
yang
ia
harus
mempergunakan.73 Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan tersebut, ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan suatu perbuatan tersebut. Jadi dalam kealpaan terdakwa kurang memperhatikan larangan sehingga tidak berhatihati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Pertama, kealpaan terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Yang kedua misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada). Vos mengeritik pembagian Van Hamel mengenai culpa (schuld) ini dengan mengatakan bahwa tidak ada batas yang tegas antara kedua bagian tersebut. Ketidak hati-hatian itu sering timbul karena kurang melihat kedepan. Oleh karena itu Vos membuat pembagian juga yaitu kalau
73
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 125
94
Van Hamel membedakan dua jenis culpa maka Vos membedakan dua unsur (element) culpa itu. Yang pertama ialah terdakwa dapat melihat ke depan yang akan terjadi. Yang kedua ketidak hati-hatian (tidak dapat di pertanggungjawabkan) perbuatan yang di lakukan (atau pengabdian) atau dengan kata lain harus ada perbuatan yang tidak boleh atau dengan tidak cara demikian di lakukan. Mengenai kekurang hati-hatian Vos mengatakan ada beberapa perbuatan yang dapat melihat kedepan akibat tetapi bukan culpa. Contoh dokter yang melakukan operasi berbahaya di lakukan menurut keahliannya yang dapat melihat kedepan adanya kemungkinan kematian, tetapi bukanlah culpa. Di sini perbuatan tersebut masih dapat di pertanggungjawabkan. Jadi untuk di pandang sebagai culpa, masih harus ada unsur kedua, yaitu pembuat berbuat sesuatu yang lain dari pada yang seharusnya ia lakukan. Maksud Vos ialah masih ada unsur kedua, yaitu kurang hati-hati.74 Sering di pandang suatu bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan untuk di ancam dengan pidana, cukup di cari sarana lain dari pada pidana. Di situ benar-benar pidana itu di pandang sebagai obat terakhir (ultimatum remedium). Delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu
delik
kelalaian (culpa)
yang menimbulkan akibat (culpose
gevolgsmisdrijven) dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri.
74
Ibid., hal. 126
95
Perbedaan antara keduanya sangat mudah di pahami, yaitu bagi kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat itu maka terciptalah delik kelalaian (culpa), sedangkan bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat, dengan kelalaian atau kekurang hati-hatian itu sendiri sudah di ancam dengan pidana. Bidan sebagai orang yang memiliki ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam memberikan pelayanan medis/mengobati pasien atau orang yang terluka, apabila dalam memberikan pelayanan medis/pengobatan membuat orang lain menjadi luka, cacat, atau meninggal tentunya dapat dikenai hukuman pidana. Pasal 359 KUHP, menyatakan bahwa :
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Pengaturan mengenai kelalaian juga diatur dalam Pasal 361 KUHP yang menyatakan bahwa : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan. Berdasarkan kedua Pasal yang saling berkaitan tersebut dapat diketahui bahwa, barangsiapa merujuk pada seseorang, kemudian karena karena salahnya menunjuk pada sikap kealpaan atau kekurang hati-hatian dan menyebabkan matinya orang merupakan objek dari perbuatan. Dalam hal ini maka pembuktian malpraktik bidan terbagi menjadi dua yakni uraian yuridis dan uraian deskriptif medis.
96
Kesalahan dan kealpaan yakni kekurang hati-hatian dalam praktik bidan sangat sulit untuk ditentukan, apabila hanya didasarkan pada uraian yuridis. Hal ini karena masyarakat umum belum mengerti mengenai ilmu di bidang kesehatan, begitu pula hakim, Jaksa maupun Pengacara. Sehingga untuk merumuskan suatu perbuatan tersebut apakah masuk unsur-unsur kealpaan, maka dibutuhkan keterangan ahli. Dalam kasus malpraktik bidan, saksi Ahli Rosda Marta menyatakan bahwa, bidan boleh memberikan obat Gastrul tetapi dalam hal-hal tertentu. Obat Gastrul mempunyai efek samping menimbulkan kontraksi pada rahim. Obat Gastrul merupakan Obat keras tidak bisa diperjualbelikan secara bebas dan pengambilannya harus dengan resep dokter. Obat merk Gastrul tidak boleh diberikan oleh seorang Bidan karena obat merk Gastrul terdaftar sebagai obat maag dan tidak terdapat dalam lampiran II Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VI1/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, yang terdapat dalam Lampiran II tersebut adalah Uterotonik. Obat Gastrul jika diberikan pada ibu hamil tidak membahayakan janinnya, namun obat merk Gastrul adalah obat Maag jadi tidak boleh digunakan untuk yang lain dan setahu saksi belum ada penelitian yang dilakukan atau yang membenarkan pemberian obat merk Gastrul untuk ibu hamil tua dengan tujuan untuk membuka pintu rahim atau dengan kata lain belum teruji secara Klinis sehingga saksi tidak tahu apakah obat merk Gastrul boleh atau tidak diberikan pada ibu hamil tua.
97
Keterangan ahli tersebut justru berbeda dengan keterangan ahli dr. Desmiawarti, Sp.Og bahwa, sebagian dokter ada menggunakan obat merk gastrul untuk merangsang persalinan selain itu Obat merk Gastrul (Misoprostol) juga digunakan untuk mengobati pendarahan pasca persalinan, mengeluarkan janin yang sudah meninggal dan mengobati pendarahan pasca persalinan dan diberikan pada ibu hamil yang sudah lewat waktu (42 minggu), pecah ketuban dan ibu hamil yang sudah memasuki fase persalinan. Obat merk gastrul boleh dipakai dan diambil efek sampingnya untuk menimbulkan kontraksi rahim dalam keadaan tertentu yang merupakan salah satu pilihan sebagaimana anjuran dari Depkes RI yang tertuang dalam Standar prosedur penanganan pasien. Dalam hal ini terjadi beberapa pertentangan antara boleh atau tidaknya dipergunakannya obat gastrul. Ibu hamil yang usia kandungannya sudah 39 minggu bisa diberikan obat merk gastrul jika diperkirakan sudah waktu melahirkan. Pemberian obat merk Gastrul tidak ada menimbulkan efek samping pada janin. Obat merk Gastrul termasuk obat keras (daftar G) dan sepengetahuan ahli sejak tahun 2010, jika bidan memberikan obat keras harus sepengetahuan dokter, namun sebelum tahun 2010 saksi tidak tahu dan sesuai kewenangan dari tiap-tiap Rumah Sakit.
Dalam proses kelahiran jika pembukaan belum ada, akan tetapi ketuban sudah pecah, maka proses observasi selama 6 (enam) jam. Jika Jangka waktu setelah pembukaan pintu rahim lengkap, bayi belum juga lahir maka ditunggu dalam waktu 1 s/d 3 jam selama janin dan ibu dalam keadaan baik (tidak ada tanda-tanda infeksi) sedangkan menurut Menurut
98
saksi Rafki Ismail, menurut ketentuan kebidanan standar waktu normal dari pembukaan pintu rahim lengkap sampai melahirkan adalah sekitar 1,5 sampai 2 jam, sedangkan menurut Bidan Cicik waktu yang dibutuhkan untuk melahirkan secara normal sejak pembukaan lengkap adalah sekitar 90 menit. Hasil dari Patograf tersebut adalah jam 16.00 Wib, saksi Chori mengalami pembukaan lengkap dengan kontraksi yang kuat. Tanda-tanda infeksi adalah suhu badan ibu 39 derajat Celcius, detak jantung bayi 160 kali/menit, air ketuban bau dan berwarna hijau. Berdasarkan keterangan ahli didapatkan bahwa, yang menyebabkan kulit kepala bayi sembab/kaput adalah adanya hambatan mekanik terhadap bayi karena panggul sempit jika dibandingkan dengan berat badan janin. Gustavianof dalam hal ini dijadikan saksi ahli yang meringankan dan diajukan oleh penasihat hukum terdakwa. Berdasarkan lampiran II Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, bidan berhak memberikan obat keras diantaranya Uterotonika, Berdasarkan brosurnya obat merk Gastrul adalah obat keras dan harus menggunakan resep dokter tetapi dalam Kepmenkes Nomor 900/ Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, bidan boleh mengeluarkan obat keras melalui Surat permintaan obat. Bidan tidak boleh mengeluarkan resep tetapi boleh mengeluarkan Lembaran Permintaan Obat sebagaimana Formulir VI lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/
99
Menkes/SK/VII/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan. Seorang ahli dalam memberikan keterangannya hanya berdasarkan kepada keahliannya dan pengetahuannya. Keterangan ahli bukanlah menafsirkan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam beberapa kasus korupsi ahli hukum memberikan keterangan sebagai ahli tetapi pada kenyataannya keterangan ahli tersebut dengan cara melakukan penafsiran hukum. Keterangan ahli ekonomi dan ahli hukum tentang adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi ditafsirkan berbeda dan kadang bertolak belakang satu dengan lainnya. Berdasarkan Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG keterangan ahli diadopsi dalam memberikan pertimbangan hakim yakni pada poin pemberian obat Gastrul dan penanganan persalinan. Pada penggunaan obat misalnya, bagaimana kewenangan bidan untuk memberikan obat, kemudian apakah obat gastrul patut diberikan kepada ibu yang akan melahirkan. Hal ini haruslah di uji secara akademis dan praktis artinya, bagaimana akibat secara teoritis seorang ibu hamil diberikan obat gastrul. 2. Kekuatan Keterangan Ahli Dalam Pembuktian Malpraktek Medis Pada Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG.
Berdasarkan peranannya dapat dideskripsikan bahwa, keterangan saksi ahli sangat diperlukan guna mengungkap ada tidaknya suatu kesalahan dalam malpraktek medis.
100
Keterangan seorang ahli diatur di dalam Pasal 186 KUHAP, yang menyatakan keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Pengertian keterangan ahli di atur dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP, yaitu : keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari pasal itu bisa dilihat bahwa saksi ahli adalah orang yang memiliki “keahlian khusus”, sedangkan siapa yang dikategorikan memiliki “keahlian khusus”, KUHAP tidak memberikan definisi. Bila ketentuan itu dihubungkan dengan Pasal 133 KUHAP akan tampak salah satu jenis orang yang dianggap memiliki keahlian khusus. Mereka adalah ahli kedokteran kehakiman untuk menangani korban mati, luka atau keracunan. Dalam penjelasan pasal itu, yang diberikan ahli kedokteran kehakiman itu disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan dokter bukan ahli kehakiman disebut keterangan. Dari penafsiran pasal-pasal diatas perihal keterangan ahli, KUHAP memberikan perbedaan kategori ahli secara umum sebagaimana diatur dalam pasal 1angka 28 dan Pasal 120 KUHAP seperti ahli jiwa, akuntan, ahli mesin, ahli pertambangan, dan sebagainya. Kedua, ahli kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah mayat dan forensik (Pasal 133 KUHAP).75 Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila 75
Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011, hal 94
101
keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu. Pada prinsipnya, alat bukti keterangan ahli sama dengan alat bukti saksi yaitu harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Salah satu dalam KUHAP yang menjelaskan tentang syarat ahli adalah pasal 179 KUHAP. 1. Syarat formil Mereka yang memberikan keterangan sebagai ahli sebelum memberikan keterangannya harus mengucapkan sumpah atau janji 2. Syarat materiil Ahli yang memberikan keterangannya sebagai ahli harus memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarbenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Pasal ini menjelaskan yang membedakan ahli dengan saksi hanyalah pada syarat materiil saja yaitu untuk menjadi saksi syarat materiil yang harus dipenuhi adalah seorang saksi memberikan keterangan tentang suatu perkara sesuai yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP sedangkan syarat materiil bagi seorang ahli yaitu memberikan keterangan dengan sebaikbaiknya dan sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya, hal ini dirumuskan dalam Pasal 179 KUHAP. Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksisaksi. Mereka dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya (Pasal 120 ayat (1) KUHAP). Maksud dan tujuan
102
pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli. KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya
keahlian
yang dapat memberikan keterangan sehingga
pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak pidana korupsi. Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Dalam praktek pengajuan ahli di persidangan dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau penasehat hukumnya. Jaksa Penuntut Umum mengajukan saksi ahli sesuai dengan apa yang terdapat dalam Berita Acara Penyidikan atau bisa juga mengajukan ahli di persidangan setelah melihat jalannya dan perkembangan perkara di persidangan. Begitu juga penasehat hukum dapat juga mengajukan ahli untuk menjadi terangnya perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Kadangkala ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan penasehat hukumnya dalam materi yang sama tetapi keterangan berbeda, dalam konteks ini tinggal hakim yang
103
menentukan seseorang itu ahli dan bobot keterangan dari ahli itu, sehingga ada persesuaian keterangan dengan alat bukti lain. Hal yang harus dihindari dalam pengajuan saksi ahli adalah keinginan dari pihak yang meminta kehadiran saksi ahli untuk memberi beda penafsiran terhadap satu peristiwa hukum yang jelas-jelas secara nyata telah dipahami oleh seorang sarjana hukum (dalam hal ini adalah hakim, jaksa, dan penasihat hukum). Sebab jika ini tujuan utamanya, sebenarnya keterangan yang diberikan itu tidak masuk dalam keterangan saksi biasa yang mungkin bisa meringankan terdakwa.76 Pengertian malpraktek tidak dijumpai secara limitatif dalam peraturan perundangan. Menurut Dahlan, Malpraktek berasal dari kata “mal” yang berarti salah dan “praktik” yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga arti harfiyahnya adalah “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Tindakan yang salah di bidang kedokteran disebut malpraktek medik. 77 Veronika Komalawati menyebutkan malpraktik pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.78 Selanjutnya Hermien Hediati Koeswadji menjelaskan bahwa malpraktik secara harfiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.79 Malpraktek Medis adalah suatu tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis yang tidak sesuai dengan standart tindakan sehingga 76
Hibnu Nugroho, Op.Cit, hal 95 Dahlan, Sofyan, 2000, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang, hal 59 78 D. Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal .87. 79 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 124 77
104
merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau kesengajaan dalam hukum pidana. Malpraktek medis menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah praktik praktek kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi undang-undang atau kode etik. Dengan demikian di dalam malpraktik medis terkandung unsur-unsur kesalahan yang tidak berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun inmmateriil terhadap pasien. Dalam perkembangannya malpraktik medis harus dibedakan dengan kecelakaan medis (medical mishap, misadventure, accident). Hal ini oleh karena keduanya sepintas tampak sama, walaupun sebenarnya mempunyai unsur
yang
berbeda
sehingga
mempengaruhi
pertanggungjawaban
pidananya. Dalam malpraktik medis (medical malpractice) dokter
yang
melakukannya telah memenuhi unsur-unsur kesalahan, seperti adanya kesengajaan
dan
kelalaian,
kecerobohan
serta
tidak
melakukan
kewajibannya (omissi) sebagaimana ditentukan dalam standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional dalam menangani penyakit pasien, sehingga peristiwa malpraktik dapat dituntut pertanggungjawaban pidana. Sementara itu kecelakaan medis (medical mishap/medical accident) merupakan sesuatu
yang dapat dimengerti,
dimaafkan dan tidak
dipersalahkan, karena dalam kecelakaan medis dokter sudah bersikap hatihati, teliti dengan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan timbulnya
105
akibat-akibat pada pasien sesuai dengan standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional, namun kecelakaan (akibat yang tidak diharapkan) timbul juga. Hal ini mengingat setiap tindakan medis sekecil apapun selalu mengandung risiko, dan dalam kecelakaan medis dokter tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya karena risiko yang terjadi merupakan risiko yang ditanggung oleh pasien (inherent risk) seperti reaksi alergik, shock anafilatik, hipersensitif terhadap obat yang sukar diduga sebelumnya yang dapat berakibat fatal seperti kematian, cardilac arrest, kerusakan otak, koma, lumpuh, dan sebagainya. Definisi kelalaian medis menurut Leenen sebagai kegagalan dokter untuk bekerja menurut norma “medische profesionele standard” yaitu bertindak dengan teliti dan hati-hati menurut ukuran standar medis dari seorang dokter dengan kepandaian rata-rata dari golongan yang sama dengan menggunakan cara yang selaras dalam perbandingan dengan tujuan pengobatan tersebut sehingga seorang dokter dapat disalahkan dengan kelalaian medis apabila dokter menunjukkan kebodohan serius, tingkat kehati-hatian yang sangat rendah dan kasar sehingga sampai menimbulkan cedera atau kematian pada pasien. 80 Hal ini oleh karena seorang dokter disyaratkan mempunyai tingkat kehati-hatian yang harus lebih tinggi dari orang awam, yang disetarakan dengan tingkat kehati-hatian dokter rata-rata dan bukan dengan dokter yang terpandai atau terbaik.
80
J. Guwandi, Op cit, hal. 32.
106
Menurut Walter terdapat banyak definisi tentang kelalaian medis, namun Tom Christoffel memberikan 4 (empat) elemen yang mendasari terjadinya malpraktik medis: e. A duty Owed Kewajiban dari profesi medis untuk menggunakan segala ilmu penyembuhan pasien, atau setidaknya meringankan penderitaan pasien dengan segala implikasinya dengan kepandaian yang dimiliki oleh profesional sejenis sebagaimana ditentukan dalam standar profesi medis. Seorang dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien, harus berdasarkan indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan teliti, cara bekerja harus berdasarkan profesi medis, dan harus ada informed consent.81 Seorang dokter dapat dikatakan lalai jika tidak memenuhi kewajiban yang dituntut sesuai standar medis, dan apabila kelalaiannya mengakibatkan kematian atau cedera pada pasien maka telah terjadi malpraktek medis. f. A Duty Breached/Dereliction of that Duty/Breach of Standar Care. Seorang dokter dikatakan melakukan penyimpangan/ pelanggaran terhadap kewajibannya jika telah menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi medis, sehingga dokter yang
81
bersangkutan
dapat
dipersalahkan
jawabannya.
Untuk
menentukan
J. Guwandi, Op cit, hal. 44.
dan
dituntut
ada/tidaknya
pertanggung penyimpangan
107
kewajiban, harus didasarkan pada fakta-fakta yang meliputi kasusnya dengan bantuan pendapat ahli dan saksi ahli. Seringkali pasien atau keluarganya menganggap bahwa akibat negatif yang timbul adalah sebagai akibat dari kesalahan dokter, hal ini tidak selalu demikian, karena harus dibuktikan dahulu adanya hubungan kausal antara cedera/kematian pasien dengan unsur-unsur kelalaian. g. Harm/Damage Adanya hubungan yang erat antara Damage (kerugian) dengan Causation (penyebab) kerugian. Untuk mempersalahkan seorang dokter harus ada hubungan kausal (secara langsung/ adekuat) antar penyebab (tindakan dokter) dengan kerugian (cedera/kematian) pasien, dan harus tidak ada peristiwa atau tindakan sela di antaranya. Dalam hal demikian maka penilaian
fakta-faktanya, yang akan
menentukan ada/tidaknya suatu penyebab yang adekuat yang dapat dijadikan sebagai bukti. Kelalaian (negligent/culpa) yang seringkali mendasari terjadinya malpraktek medis memerlukan pembuktian yang rumit. Namun tidak jarang terjadi seorang dokter melakukan kelalaian dengan begitu jelas, sehingga orang awan pun dapat menilai bahwa telah terjadi kelalaian. Dalam hal ini berlaku asas “Res ipsa Loquitur” yang berarti the “thing speaks for itself” (faktanya sudah berbicara), sehingga pembuktian adalah pembuktian terbalik, dokter harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kelalaian.
108
h. Direct Causation Tindakan
ini
merupakan
tindakan
langsung
menyebabkan
kerugian/penderitaan pasien, hal ini disebabkan oleh dokter/tenaga medis lainnya yang melalaikan kewajibannya yang seharusnya ia laksanakan.82 Berdasarkan hal tersebut seharusnya pada saat terdakwa menangani proses persalinan dengan pembukaan pintu rahim sudah lengkap, namun kepala bawah bayi dalam kandungan masih di dasar pinggul dan warna air ketuban korban berwarna hijau, terdakwa I dan III harus dapat mempertimbangkan bahwa dalam hal tersebut akan menimbulkan resiko infeksi dan rawat janin. Korban terkena infeksi karena persalinan berjalan lama, macet dan karena korban sudah kelelahan. Standar menangani pasien dan menentukan pasien bisa melahirkan normal atau tidak yaitu disesuaikan berat badan janin (bayi) yang ada di dalam kandungan dengan besar pinggul pasien yang akan dilewati. Seharusnya yang dilakukan adalah jika dalam 2 (dua) jam letak bayi korban dalam kandunganya juga tidak maju maka seharusnya sudah diambil tindakan selanjutnya. Tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan persidangan terdakwa I dan II membiarkan saja proses tersebut terjadi, sehingga mengakibatkan resiko berupa infeksi. Berdasarkan keterangan ahli dr. Desmiawarti, Sp.Og misalnya diketahui bahwa, dalam proses kelahiran, jika pembukaan belum ada akan 82
Walter G. Alton Jr., LL.B. Malpractice: A Trial Lawyer’s Advice for Physicians (How to Avoid, How to win), Little, Brown and Company, Boston, hal. 30–32.
109
tetapi ketuban sudah pecah proses observasi selama 6 jam, akan tetapi jika jangka waktu setelah pembukaan pintu rahim lengkap, bayi belum juga lahir maka ditunggu dalam waktu 1 s/d 3 jam selama janin dan ibu dalam keadaan baik (tidak ada tanda-tanda infeksi). Hasil dari Patograf tersebut adalah jam 16.00 WIB, saksi Chori mengalami pembukaan lengkap dengan kontraksi yang kuat. Tanda-tanda infeksi adalah suhu badan ibu 39 derajat Celcius, detak jantung bayi 160 kali/menit, air ketuban bau dan berwarna hijau. Berdasarkan fakta tersebut di atas bahwa Terdakwa I dan Terdakwa III telah berusaha menangani persalinan saksi Chori sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Klinik Bersalin dimana mereka bekerja dan telah pula sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam standar penanganan persalinan. Selanjutnya dikatakan perbedaan antara malpraktek murni dengan kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya :83 Pada malpraktek, tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk menimbulkan akibat. Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya. Dalam hal ini tentunya Terdakwa sebagai bidan sudah mengetahui resiko yang akan dialami oleh korban
83
Loc cit
110
tetapi, justru terdakwa I dan III melakukan rujukan kerumah sakit dan tidak melakukan tindakan antisipasi terhadap luka pasien. Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi, yang mampu hidup, dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar.84 Persalinan adalah pengeluaran produk konsepsi yang dapat hidup melalui jalan lahir biasa. 85 Persalinan terjadi dengan beberapa proses yaitu : a. Kala I Dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur dan meningkat (frekuensi dan kekuatannya), hingga serviks membuka lengkap (10 cm). Kala I terbagi atas dua fase, yaitu: 1) Fase laten : dimulai sejak awal kontraksi, yang menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks secara bertahap. Berlangsung hingga serviks membuka 3 cm dan berlangsung hampir atau hingga 8 jam. 2) Fase aktif : dibagi dalam 3 fase, yaitu: a) Fase akselerasi, dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4 cm. b) Fase dilatasi maksimal, dalam waktu 2 jam pembukaan serviks berlangsung sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm. 3) Fase deselerasi, pembukaan serviks menjadi lambat, dalam waktu 2 jam pembukaan dari 9 cm menjadi 10 cm (lengkap). b. Kala II Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm), dan berakhir dengan lahirnya bayi. Tanda pasti kala II ( kala pengeluaran bayi), ditentukan dengan pemeriksaan dalam. c. Kala III Dimulai segera setelah bayi lahir dan berakhir dengan lahirnya plasenta serta selaput ketuban yang berlagsung tidak lebih dari 30 menit. d. Kala IV Dimulai setelah lahirnya plasenta sampai 2 jam post partum.86 Menurut Prawirohardjo, tanda-tanda persalinan adalah terjadinya his persalinan yang mempunyai tanda-tanda seperti, pinggang terasa sakit, yang menjalar ke depan, sifatnya teratur, intervalnya makin pendek dan kekuatannya makin besar. Pengeluaran lendir bercampur darah melalui 84
Sarwono Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, hal. 180 Rustam Mochtar, 1998, Sinopsis Obstetri, EGC, Jakarta, hal. 94 86 Sarwono Prawirohardjo, Op cit., hal. 182. 85
111
vagina (Bloody Show). Dengan his permulaan, terjadi perubahan pada serviks yang menimbulkan pendataran dan pembukaan, lendir pada kanalis servikalis lepas, kapiler pembuluh darah pecah, yang menjadikan perdarahan sedikit. Pengeluaran cairan, keluar banyaknya cairan dari jalan lahir. Ini terjadi akibat pecahnya ketuban atau selaput ketuban robek. Sebagian besar ketuban baru pecah menjelang pembukaan lengkap tetapi kadang-kadang ketuban pecah pada pembukaan kecil. Dengan pecahnya ketuban diharapkan persalinan berlangsung dalam waktu 24 jam. Persalinan yang tidak normal atau diluar perkiraan persalinan harus dilakukan tindakan medis yang cepat. Hal ini dikarenakan penanganan medis tersebut harus ditujukan untuk mendapatkan target yang sebaikbaiknya yaitu keselamatan ibu dan bayi. Ketika terjadi kesulitan bagi ibu untuk mengeluarkan anaknya dalam rahim maka dokter/ bidan dapat menginduksi proses kelahiran bayi dengan beberapa cara. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman atau sakit, lakukan latihan pernafasan yang akan membantu mengatasinya. Proses induksi bisa berlangsung cukup cepat tapi bisa juga butuh waktu satu dua hari barulah terjadi proses melahirkan. Catatan di bawah ini akan menjelaskan lebih jauh lagi tentang cara-cara induksi : 1) Jangkauan selaput (Membrane sweep) – Cara ini sangat mirip dengan pemeriksaan dalam. Bidan atau dokter Ibu akan merentangkan mulut rahim dengan jari agar proses kelahiran terjadi. Jika berhasil, proses kelahiran bisa terjadi dalam 24-48 jam. Tapi jangan panik bila tidak berhasil. Karena dokter atau bidan pasti akan membantu yang terbaik. Memecah ketuban – ketuban Ibu dipecah dengan alat menyerupai jarum rajut untuk mendorong kontraksi.
112
2) Prostaglandin – Hormon yang menstimulasi proses kelahiran. Dapat digunakan sebagai jeli atau semacam spiral yang diletakkan di leher mulut rahim. 3) Oksitosin – Biasanya dimasukkan lewat selang infus. Hormon ini dapat mendorong terjadinya beberapa kontraksi yang kuat. Biasanya dilakukan bersama dengan pemecahan ketuban Ibu.87 Berdasarkan hasil penelitian bahwa, melalui keterangan ahli terungkap adanya ketidakcermatan Terdakwa I dan Terdakwa III dalam menghitung waktu dari saat pembukaan pintu rahim lengkap, kemudian terjadi persalinan macet pada jam 17.00 WIB, hingga saat Saksi Chori melahirkan di Rumah Sakit Asri dan akhirnya bayinya meninggal dunia. Seharusnya Terdakwa I dan Terdakwa III dapat menduga duga kemungkinankemungkinan atau hal-hal yang akan terjadi jika pasien terlambat ditangani, serta dapat memperhitungkan waktu mengenai tindakan selanjutnya apakah si pasien dapat segera mendapatkan penanganan lanjutan atau tidak, agar supaya tidak menimbulkan akibat yang fatal bagi keselamatan ibu dan janinnya seperti apakah dokter yang akan menangani persalinan sudah ada, ruang operasi sudah siap dan lainnya. Berdasarkan Keterangan ahli, terlihat bahwa terdakwa I dan terdakwa III tidak melakukan upaya yang terbaik bagi pasien sehingga mengakibatkan kematian pada bayi pasien. Dalam hal ini perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa III tidak dapat dikategorikan kecelakaan medis yang dapat dimaafkan seperti yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Walaupun unsur malpraktek yang lebih
87
Kartiwa Hadi Nuryanto, Induksi Persalinan, http://www.clubnutricia.co.id/pregnancy/ labour_and_birth /article/ what_if_i_have_to_be_induced, diakses pada tanggal 24 Juni 2012.
113
diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan terpenuhi, namun karena adanya pembaharuan Undang-Undang Kesehatan, setidaknya malpraktik yang dilakukan terdakwa I dan Terdakwa III lebih mengarah pada Pasal 361 ayat 1e KUHP. Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah dari seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP disebutkan : "Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim". Keterangan ahli diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim dan juga keterangan ahli itu diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, baik itu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik maupun pemeriksaan yang dilakukan di pengadilan. Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli :
114
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (Vrij Bewijs kracht) Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah pada penilaian hukum. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. b. Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai oleh alat bukti lain.88 Keterangan ahli dalam Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG. memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas (Vrij Bewijs kracht). Dalam keterangan ahli tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, sehingga penggunaan keterangan ahli terserah pada penilaian hukum hakim dalam persidangan. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli. Keterangan ahli dalam Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG. memang hanya memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas (Vrij Bewijs kracht). Tetapi memiliki peran yang besar dalam mengungkap ada tidaknya kesalahan-kesalahan prosedur, kode etik dan tindakan medis lainnya pada persalinan.
88
Yahya Harahap, Op cit., hal. 283-284
115
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil uraian yang telah dibahas dalam BAB IV maka dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut : 1. Alasan diperlukannya keterangan ahli dalam pembuktian malpraktek medis pada putusan pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG adalah: a. Untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, dalam hal ini kewenangan bidan dalam memberikan obat Gastrul b. Diperlukan untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim dalam hal pemberian obat Gastrul dan penanganan persalinan. c. Untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sebenarbenarnya. 2. Kekuatan alat bukti keterangan ahli dalam malpraktek medis terhadap Putusan Pidana No.536/Pid.B/2010.PN.PDG, adalah: a.
Salah satu alat bukti yang sah, karena telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil
b.
Alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, tidak mengikat seorang hakim
untuk
keyakinannya
memakainya
apabila
bertentangan
dengan
116
c.
Keterangan ahli bernilai sama dengan alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP
d.
Keterangan ahli diberikan oleh ahli yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang diperiksa.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Perlu adanya kesatuan persepsi dan pengaturan mengenai persalinan yang aman baik yang dilakukan oleh dokter kandungan dan juga bidan mengingat terdapat perbedaan seorang ahli dalam masalah prosedur persalinan. 2. Dilakukan pengaturan dan penindakan yang tegas bagi bidan yang memberikan obat diluar kewenangannya. 3. Hendaknya baik Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan/atau Terdakwa atau Penasehat Hukumnya mengajukan
saksi ahli di persidangan terkait
dengan kasus-kasus yang bersifat khusus yang pembuktiannya diluar jangkauan Pengetahuan Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan/atau Terdakwa atau Penasehat Hukumnya agar bermanfaat bagi terbuktinya pemenuhan unsur-unsur tindak pidana, sehingga hakim memperoleh suatu keyakinan dan dapat memutus secara objektif dan adil.
117
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur: Bahar azwar. 2002. Sang Dokter. Megapion. Bekasi. Charles Wendell Carnahan. 1995. The Dentist and The Law. Mosby Company. second ed.. USA. Dahlan, Sofyan, 2000, Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang. _____________, 2000, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang. Garner, Bryan A. 2004. Ed. Black’s Law Dictionary. Eight Edition. West Publising o, St. Paul. George Coulin. 1982. President Bar Association. New York State. Guwandi, J. 2004. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. Hamzah, Andi. 1984. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia. Jakarta ____________. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta Harahap, M.Yahya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta ________________. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Cet.4. Sinar Grafika. Jakarta. Henry Campell Black. 1990. Black’s Law Dictionary. St Paul Minn. Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cet. 8 Balai Pustaka. Jakarta. Koeswadji, Hermien Hadiati. 1989. Hukum Kedokteran. Citra Aditya Bakti. Bandung.
118
Komalawati, D. Veronika. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Citra Aditya Bakti. Bandung Nugroho, Hibnu. 2011. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana. Yogyakarta. _____________ dan I Ketut Murtika. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan Di Indonesia. Bina Aksara. Jakarta. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia Prodjodikoro, R. Wirjono. 1985. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur Bandung. Bandung. Purnomo, Bambang. 1990. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku. Yogyakarta. Siregar, Bismar. 1983. Hukum Acara Pidana, Cet. 1. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soesilo, R. 2002. Hukum Acara Pidana. Bogor. Politeia. Statsky, William. 1985. Legal Thesaurus/ Dictionary. West Publising Co, St. Paul Supriadi, Wila Chandrawila. 2001. Hukum Kedokteran. Mandar Maju. Bandung. Tanusubroto, S. 1989. Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana. Cet. 2. Armico. Bandung.
119
Tutik, Titik Triwulan dan Febriana Shita. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Prestasi Pustaka. Jakarta. Walter G. Alton Jr.. LL.B. Malpractice: A Trial Lawyer’s Advice for Physicians (How to Avoid. How to win). Little. Brown and Company. Boston. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) _______, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 900/Menkes/SK/VI1/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 679 Tahun 2003 tentang Registrasi Asisten Apoteker C. Kamus: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Cet. 1. Balai Pustaka. Jakarta. D. Internet: Rahmatul Fauza. Divonis 1 Tahun Penjara Ratusan Bidan Histeris. http :// www.zamrudtv.com/filezam/sumbar/mediasumbar.php?module=detail sumbar&id=807&catid=0. diakses pada tanggal 13 Sepember 2011. NN.
Saksi Ahli Kubu Rohainil Ditolak Jaksa.” http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/01/ tgl/21/time/140710/idnews/881820/idkanal/10. diakses pada tanggal 24 Maret 2012.