1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian penduduk
Indonesia mempunyai pencaharian dibidang pertanian atau bercocok tanam, dimana Agraris (agrarius) berarti persawahan, perladangan, pertanian. Pertanian di Indonesia menghasilkan berbagai macam tumbuhan komoditi ekspor, antara lain padi, jagung, kedelai, sayur-sayuran, cabai, ubi, dan singkong. Disamping itu, Indonesia juga dikenal dengan hasil perkebunannya, antara lain karet (bahan baku ban), kelapa sawit (bahan baku minyak goreng), tembakau (bahan baku obat dan rokok), kapas (bahan baku tekstil), kopi (bahan minuman), dan tebu (bahan baku gula pasir). 1 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani di Indonesia tahun 2013 masih cukup banyak. Sektor pertanian sebanyak 31.705.337 orang, subsektor tanaman pangan 20.399.139 orang, hortikultura 11.950.989 orang, kehutanan 7.249.030 orang dan perkebunan 14.116.465 orang .
2
Sebagai
salah satu pilar ekonomi negara, sektor pertanian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan terutama dari penduduk pedesaan yang masih di bawah garis kemiskinan. Pembangunan ekonomi selalu menjadi salah satu sasaran penting dari pembangunan yang dilaksanakan baik itu ditingkat nasional maupun tingkat 1 Fariz Abeng, Indonesia Negeri Agraris, URL : http://www.academia.edu/5894300/INDONESIA_NEGERI _AGRARIS, diakses tanggal 8 Februari 2015. 2 Indonesiahebat, 2014, 31 Juta penduduk Indonesia Berprofesi Sebagai Petani, http://www.indonesiahebat.org/news/2014/04/31-juta-penduduk-indonesia-berprofesi-petani#.VQ-oLigVqlI, diakses tanggal 3 April 2015
2
regional. Pembangunan ekonomi nasional diarahkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pembangunan ekonomi daerah selalu diarahkan sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki daerah, yang selanjutnya diarahkan menjadi keunggulan kompetitif daerah. Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki daerah yang dilanjutkan menjadi keunggulan kompetitif daerah, pembangunan ekonomi daerah dapat dilaksanakan dan akan menjadi sektor andalan atau basis ekonomi daerah. Untuk daerah Bali sendiri, pertanian adalah faktor utama yang menopang perekonomian Provinsi Bali. Namun, pembangunan yang berkembang pesat terutama di sektor pariwisata, menyebabkan peralihan fungsi lahan pertanian tidak bisa dihindari. Tercatat dari kurun waktu Tahun 2005 hingga 2010, luas lahan sawah di Bali terkikis 5.206 Ha. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Bali, pada 2013 luas lahan pertanian berkurang 460 Ha menjadi 81.116 Ha, dibandingkan dengan 2012 seluas 81.625 Ha. Angka tersebut menunjukkan bahwa lahan pertanian yang ada saat ini hanya sekitar 14% dari luas daratan Pulau Dewata.3 Beralih fungsinya lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian merupakan fenomena yang sering terjadi. Pertumbuhan suatu kota, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan lahan, akan membawa implikasi terhadap semakin pesatnya aktivitas ekonomi di luar bidang pertanian. Sejalan dengan hal tersebut, 3 Feri Kristianto, 2014, ALIH FUNGSI LAHAN : Areal Pertanian Berkurang 400 Ha Per Tahun, http://bali.bisnis.com/m/read/20140629/16/45799/alih-fungsi-lahan-areal-pertanian-berkurang-400-ha-per-tahun, diakses tanggal 3 April 2015
3
semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pola aktivitas manusia yang menuntut ruang (space) untuk bergerak berakibat pada pergeseran perubahan penggunaan lahan. Sesuai dengan keunggulan yang dimiliki, pengembangan perekonomian Kabupaten Badung ditekankan pada sektor pariwisata. Ketimpangan atau tidak seimbangnya pembangunan antar sektor di Kabupaten Badung dimana sektor pertanian yang merupakan sektor primer yang terabaikan. Berbagai aktivitas ekonomi di luar sektor pertanian yang lebih menguntungkan dibandingkan sektor pertanian menyebabkan lahan-lahan pertanian dengan cepat beralih fungsi untuk kegiatan ekonomi lainnya yang berkaitan dengan pariwisata. Penyusutan lahan atau alih fungsi lahanpun tidak terhindarkan, baik itu penyusutan lahan pertanian pada umumnya dan pertanian sawah pada khususnya. Pada dasarnya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) yang mengatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat”. Tanah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dapat dilihat dalam Undang–Undang Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Bahwa Hukum Agraria berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa didasarkan pada Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme Indonesia serta dengan unsur–unsur
4 yang bersandar pada hukum agama.4 Bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar–besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 1 Undang–Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjelaskan bahwa bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Selanjutnya Pasal 3 Undang–Undang No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan: a. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan b. Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan c. Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan d. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani e. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat f. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani g. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak h. Mempertahankan keseimbangan ekologis i. Mewujudkan revitalisasi pertanian. Ketentuan yang mewajibkan Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap lahan pertanian diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No.41
4 Tim New Merah Putih, 2012, Undang–Undang Agraria No.5 Tahun 1960 : Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria, Cet. I, New Merah Putih, Yogyakarta, h. 6.
5
Tahun 2009 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan: a. Pembinaan setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan b. Perlindungan terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Jumlah lahan sawah di Kabupaten Badung pada Tahun 2003 adalah 10.334 Ha, dan jumlah lahan sawah tersebut menyusut menjadi 10.125 Ha pada Tahun 2007. Jadi dalam lima tahun berturut-turut alih fungsi lahan sawah ke lahan bukan sawah seluas 209 Ha.5 Jumlah alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Badung pada Tahun 2009 s.d. 2013 dapat dilihat pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Jumlah Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Badung Dirinci per Kecamatan Tahun 2009 s.d. 2013 (dalam Hektar) No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan Kuta Selatan Kuta Kuta Utara Mengwi Abiansemal Petang Jumlah
2009 0 0 0 0 0 0 0
2010 0 0 10 0 0 0 10
2011 0 0 8 10 24 0 42
2012 0 3 29 7 12 0 51
2013 0 0 38 11 2 0 51
Sumber : Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung. 6 Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk menentukan faktor–faktor apa saja yang terkait dalam menentukan keberhasilan serta strategi hukum pemerintah dalam mempertahankan tanah pertanian di Kabupaten Badung. Oleh karena itu, penelitian ini berjudul tentang “UPAYA 5 Istri Brahmi Witari, 2011, Strategi Mempertahankan Sawah di Kabupaten Badung, Tesis pada Program Pasca Sarjana, h.6 6 Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung. 2014. http://badungkab.bps.go.id/data/publikasi/Bdung%20Dlm%20Angka%202014/badung%20dalam%20angka%202014/files/ search/searchtext.xml. Diakses tanggal 26 Maret 2015.
6
HUKUM
PEMERINTAHAN
KABUPATEN
BADUNG
DALAM
MEMPERTAHANKAN TANAH PERTANIAN DI DAERAH BADUNG” 1.2
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah berdasarkan “Upaya Hukum Pemerintahan
Kabupaten Badung dalam Mempertahankan Tanah Pertanian di Daerah Badung” yaitu : 1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintahan Kabupaten Badung dalam upaya mempertahankan tanah pertanian di daerah Badung? 2. Bagaimanakah tindakan hukum Pemerintah Kabupaten Badung untuk mempertahankan tanah pertanian di daerah Badung? 1.3
Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah dalam penelitian ini terbatas hanya pada faktor-
faktor yang terkait dalam mempertahankan tanah pertanian serta strategi hukum pemerintah Kabupaten Badung untuk mempertahankan tanah pertanian di daerah Badung. Seperti yang kita ketahui, lahan pertanian sekarang ini sudah sangat berkurang di daerah Kabupaten Badung, dimana sektor pariwisata yang memiliki peranan penting dalam perekonomian daerah Badung. Berbagai permasalahan yang timbul di dalam masyarakat merupakan kewajiban pemerintah untuk membuat kebijaksanaan. Dalam masalah ini, kebijaksanaan pemerintah untuk mempertahankan tanah pertanian wajib untuk dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
7
1.4 Orisinalitas Penelitian Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1 skripsi dan 1 Tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan
“Upaya
Hukum
Pemerintahan
Kabupaten
Badung
dalam
Mempertahankan Tanah Pertanian di Daerah Badung”. Adapun judul dari skripsi tersebut yaitu “Analisis faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Demak”, penulis Zaenil Mustopa Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponogoro, Tahun 2011) dengan rumusan masalah: bagaimana perkembangan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian beberapa tahun kebelakang yang terjadi di Kabupaten Demak dan bagaiamana pengaruh peningkatan jumlah penduduk, jumlah industri, serta besarnya PDRB Kabupaten Demak terhadap besarnya alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Demak? Selanjutnya, tesis dengan judul “Strategi Mempertahankan Pertanian Sawah di Kabupaten Badung”, penulis A.A. Istri Brahmi Witara (Mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Tahun 2011) dengan rumusan masalah apakah usahatani pertanian sawah di Kabupaten Badung menguntungkan?, faktor-faktor pendukung apa saja yang terkait dalam menentukan keberhasilan mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung?, rumusan alternatif strategi apakah yang tepat dalam mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung? Dan prioritas strategi
8
apa yang seharusnya dipilih dalam mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung? Berdasarkan penelitian penulis, judul dari penulis ialah “Upaya hukum pemerintah Kabupaten Badung dalam mempertahankan tanah pertanian di daerah Badung” dimana yang sebagai penulis I Putu Arik Sanjaya (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tahun 2015) dengan rumusan masalah apa saja faktor–faktor yang terkait dalam menentukan keberhasilan pemerintahan Kabupaten Badung dalam mempertahankan tanah pertanian di Daerah Badung? Dan bagaimanakah strategi hukum pemerintah Kabupaten Badung dalam mempertahankan tanah pertanian di Daerah Badung ? 1.5
Tujuan Penelitian
a.
Tujuan Umum Setiap penulisan karya ilmiah memiliki tujuan dalam pembuatannya.
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya hukum pemerintahan Kabupaten Badung dalam mempertahankan tanah pertanian di daerah Badung. b.
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian sesuai
permasalahan yang dibuat adalah: 1. Untuk menganalisis faktor–faktor yang menentukan keberhasilan pemerintah dalam mempertahankan tanah pertanian di Kabupaten Badung
9
2. Untuk memahami tindakan hukum Pemerintah dalam mempertahankan tanah pertanian di Kabupaten Badung. 1.6
Manfaat Penelitian
a.
Manfaat Teoritis Penelitian yang bertitik tolak dari meragukan suatu teori tertentu disebut
penelitian verifikatif. Adapun manfaat teoritis dalam penelitian ini antara lain: 1. Untuk dapat memperkaya pengembangan teori ilmu pengetahuan guna menambah pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum pemerintahan 2. Untuk pemahaman dan gambaran tentang hukum 3. Mengembangkan pengetahuan dalam bidang Hukum Agraria khususnya tentang mempertahankan tanah pertanian daerah Badung. b.
Manfaat Praktis Penelitian yang bermanfaat untuk memecahkan masalah-masalah praktis.
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan masukan kepada pemerintah daerah Kabupaten Badung
dalam
rangka
menerapkan
suatu
kebijakan
dalam
mempertahankan tanah pertanian 2. Untuk dapat dipakai sebagai acuan bagi para praktisi hukum maupun masyarakat di Kabupaten Badung terkait dengan kebijaksanaan pemerintah 1.7
Landasan Teoritis Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dengan teori–teori, konsep-
konsep maupun pandangan–pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai
10
landasan pemikiran penelitian. Pandangan–pandangan teoritis dimaksud dijadikan dasar dalam mengkaji permasalahan dalam skripsi, seperti berikut ini: 1.7.1. Negara Hukum Untuk memahami masalah pelaksanaan dan penerapan ketentuan tentang peraturan peruntukan lahan untuk pertanian yang setiap tahun mengalami pengurangan, maka diperlukan pemahaman tentang konsep negara hukum, karena konsep negara hukum menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum. Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedman “a legal system in actual is a complex in which structure, substance and culture interact” terdiri dari 3 komponen yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). 7 Konsep negara hukum juga menjunjung tinggi perlindungan hak–hak rakyat, termasuk hak–hak rakyat atas sumber daya agraria, dengan tujuan terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya dihubungkan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dengan demikian Negara
Indonesia
adalah
sebuah
negara
yang
menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan atas prinsip–prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Hal ini berarti kekuasaan negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam UUD 1945. Negara hukum sebagai paham liberal
7 Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York, h. 4.
11
berubah ke paham negara kemakmuran (welvaarstaat) dipelopori oleh F. J. Sthal. Menurut F. J. Sthal ada 4 unsur Negara hukum yaitu : 1. Adanya pengakuan hak asasi manusia 2. Adanya pemisahan kekuasaan 3. Pemerintahan harus didasarkan atas asas legalitas atau undang–undang 4. Adanya peradilan administrasi, yang mengadili sengketa administrasi antara penguasa dan penduduk. 1.7.2 Teori Kewenangan Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan
(Hukum
Administrasi),
karena
pemerintahan
baru
dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.8 Menurut S. F. Marbun, menyebutkan wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang itu dapat mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan mendapat kekuasaan
8 Boemiya Helmy, 2010, Sumber Kewenangan : Atribusi, Delegasi dan Mandat, URL: https://boeyberusahasabar.wordpress.com/2013/12/10/sumber kewenangan-atribusi-delegasi-dan-mandat/, diakses tanggal 10 Februari 2015.
12
hukum (rechtskracht). Pengertian wewenang itu sendiri akan berkaitan dengan kekuasaan. 9 1.7.3 Konsep Perundang–Undangan Undang–undang adalah ketentuan–ketentuan yang disusun oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh DPR dan unsur–unsur terkait, aturan–aturan yang dibuat penguasa untuk dipatuhi masyarakat dan hukum. Undang–Undang 1945 merupakan konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, negara mengatasi segala paham, golongan, kelompok dan perseorangan serta menghendaki persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek dan dimensi kehidupan sosial. Istilah perundang–undangan (Legislation, wetgeving, atau Gesetzgebung) dalam beberapa kepustakaan mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda. Dalam kamus umum yang berlaku, istilah legislation dapat diartikan dengan perundangperundangan dan pembuatan undang–undang. 10 Istilah Wetgeving diterjemahkan dengan pengertian membentuk undang–undang, dan keseluruhan daripada Undang-Undang Negara,11 sedangkan istilah Gesetzgebung diterjemahkan dengan pengertian perundang–undangan.12 Menurut UU No.12 Tahun 2011 menyebutkan tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan di Indonesia. Adapun tata urutan perundang– undangan yang dimaksud adalah: a. UUD 1945
9
S.F Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
h. 154. 10
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, 1987, Kamus Inggris-Indonesia, Cet, XV, PT Gramedia, Jakarta, h. 353. S. Wojowasito, 1985, Kamus Umum belanda-Indonesia, PT Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta, h. 802. 12 Adolf Heiken, SJ., 1992, Kamus Jerman-Indonesia, Cet. III, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 202. 11
13
b. Ketetapan MPR c. UU/Perppu d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah Provinsi f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota13 1.7.4 Peraturan Daerah Peraturan Daerah adalah salah satu produk peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah, baik Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kewenangan daerah dalam membentuk Peraturan Daerah secara legalitas ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan secara teknis diatur lebih lanjut dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dalam pengetahuan
pembentukan dan
daerah
pemahaman
tidaklah
yang
cukup
mudah
karena
terutama
memerlukan
tentang
teknik
pembentukannya, sehingga Peraturan daerah yang dibentuk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang dimaksud Peraturan daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan daerah dibuat oleh pemerintah daerah dalam rangka untuk menjalankan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 14 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan. 14 Zarkasi, Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan http://download.portalgaruda.org/article.php?article=11867&val=873, Diakses tanggal 10 Februari 2015. 13
Perundang–undangan,
URL:
14
1.7.5 Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan kewenangan suatu daerah untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan di daerahnya. Secara teoritis, kata kunci dalam otonomi berarti juga desentralisasi, sedangkan dalam pengertian yuridis-praktis berarti peningkatan daerah Tingkat II. 15 Dengan otonomi daerah, diharapkan daerah mampu mengembangkan seluruh potensi daerahnya sehingga akan terjadi keseimbangan kesejahteraan masyarakat di seluruh lapisan. Konsep pemikiran tentang otonomi daerah, mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya mengandung makna bahwa daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Agar otonomi daerah tersebut dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu, pemerintah wajib untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisiensi dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan asas umum pemerintahan, ada beberapa hal yang menjadi urusan pemerintahan daerah meliputi:
15
h.33
HAW. Widjaja, 1995, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Cet. II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
15
1. Bidang legislasi berdasarkan atas prakarsa sendiri membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah meliputi peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota. 2. Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggungjawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan 3. Perencanaan APBD yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. 16 1.8
Metode Penelitian Untuk memenuhi kriteria ilmiah, penyusunan skripsi ini memerlukan
metode–metode penelitian tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini untuk memenuhi syarat sebagai suatu penelitian empiris yang dapat dipertanggungjawabkan adalah: a. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian secara hukum empiris. Penelitian hukum empiris mengkaji permasalahan yang diangkat dengan menganalisa masalah yang dikaitkan dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku dan teori–teori yang sudah ada. Penelitian hukum empiris memiliki istilah lain yang digunakan dalam ilmu hukum yaitu penelitian hukum sosiologis dan disebut juga dengan penelitian lapangan. Penelitian sosiologis ini bertitik tolak dari data primer, yaitu data yang di dapat langsung dari masyarakat sebagai
16
Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, di Indonesia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, h.8
16
sumber data pertama dengan melalui penelitian lapangan. Perolehan data primer dari penelitian lapangan dapat dilakukan baik dengan metode pengamatan (Observasi), wawancara ataupun penyebaran kuisioner.17 b. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk mencari jawabannya. Penelitian– penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum adalah : 1) Pendekatan Fakta (The Fact Approach) Pendekatan masalah yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas. 2) Pendekatan Undang–undang (Statute Approach) Dilakukan dengan menelaah semua undang–undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 3) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan–pandangan dan doktrin– doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pemahaman akan pandangan–pandangan dan doktrin–doktrin tersebut merupakan sandaran untuk membangun argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. 18
17 18
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, h.13. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Cet. VI, Preanada Media Group, Jakarta, H. 93
17
Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis pendekatan berdasarkan sudut sifatnya. Menurut sudut sifatnya, penelitian hukum empiris ini dibedakan menjadi tiga, antara lain : 1. Penelitian yang bersifat eksploratis (penjajakan atau penjelajahan) adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui, sehingga penelitian ini dapat disebut sebagai penelitian penjelajahan yang bersifat dasar sekali. 2. Penelitian yang bersifat deksriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu, biasanya dalam penelitian ini peneliti sudah mendapatkan/mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti. 3. Penelitian yang bersifat ekspalanatoris adalah suatu penelitian untuk memerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau hipotesa–hipotesa serta terhadap hasil–hasil penelitian yang ada.19 Dalam skripsi ini, sifat penelitian yang dipakai adalah empiris deskriptif. Dimana tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Selain itu untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara teori–teori ataupun asas-asas yang terdapat dalam kebijaksanaan
19
Suratman dan Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Alfabeta, Bandung, h. 47.
18
pemerintah dalam mempertahankan tanah pertanian yang saat ini semakin berkurang.20 c. Sumber Data Pada umumnya, data dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan bahan pustaka. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat disebut dengan data primer (data dasar) dan data yang diperoleh dari bahan pustaka disebut data sekunder. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, data yang didapatkan bersumber dari data berikut : 1. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber utama. Adapun sumber utama dari penelitian ini adalah data dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung dan BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan) Badung. 2. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang bersumber dari penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan yang dimaksud antara lain: dokumen–dokumen resmi, buku–buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan yang menunjang dan berkaitan dengan penelitian serta untuk menyempurnakan data yang di dapat dari lapangan.
20
Amirudin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Grafindo Persada Jakarta, h. 25.
19
Untuk sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sumber bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Adapun ketiga bahan hukum yang dimaksud adalah: 1) Bahan Hukum Primer merupakan bahan–bahan hukum yang mengikat (perundang–undangan). 2) Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan yang bersumber dari buku– buku atau literatur–literatur hukum, jurnal–jurnal hukum, karya tulis hukum serta internet. 3) Bahan Hukum Tertier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia. d. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data–data praktis, dapat digunakan tiga cara dalam pengumpulan data, antara lain : 1) Teknik Studi Dokumen Dalam pengumpulan data, teknik studi dokumen menggunakan sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian, dengan cara membaca dan mencatat kembali data yang kemudian dikelompokan secara sistematis. Data yang diperoleh merupakan data yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
20
2) Penelitian Lapangan Penelitian lapangan merupakan penelitian yang dilakukan secara langsung dilapangan untuk mendapatkan data primer (basic data primary data). Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data primer dilakukan pada Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung dan BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan) Badung. 3) Daftar Pertanyaan (Questionnaire) Daftar Pertanyaan (Questionnaire) merupakan cara pengumpulan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang disampaikan secara tertulis kepada pihak yang berkopeten untuk mendapatkan data sesuai dengan penelitian yang diambil penulis yaitu tentang mempertahankan tanah pertanian yang semakin berkurang di daerah Kabupaten Badung. Daftar pertanyaan (Questionnaire) bersifat tertutup, tidak memberikan kesempatan kepada responden untuk menjawab secara bebas menurut pengertian, logika dan gaya bahasa sendiri. 4) Wawancara (interview) Wawancara (interview) merupakan situasi peran antar pribadi dengan bertatap muka (face to face), ketika seseorang yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden.21
21
Amirudin dan Zainal Asikin, op. cit, h. 82.
21
e. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data lapangan dan hasil pengumpulan data siap dipakai untuk dianalisis. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian dan pencurahan data secara optimal. 22 Setelah semua data atau bahan hukum terkumpul, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan teori yang relevan sesuai dengan permasalahan dengan menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya dengan tetap bertumpu pada isinya. Pengolahan dan penyajian data secara kualitatif merupakan data yang terkumpul tidak berupa angka–angka yang dapat dilakukan pengukuran, data tersebut sukar diukur dengan angka, hubungan antara variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan (observasi). 23 Selanjutnya hasil yang diperoleh disajikan secara analisis deskriptif kualitatif merupakan penggambaran secara lengkap tentang aspek–aspek yang bersangkut paut dengan masalah, kemudian disimpulkan untuk menjawab permasalahan secara umum dan sistematis.
22 23
Amirudin dan Zainal Asikin, op. cit, h. 25. Suratman dan Philips Dillah, op. cit, h. 145.