BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Seperti yang terdapat pada Gambar 1.1, dari 110.804.042 penduduk Indonesia yang bekerja, sebanyak 41% bekerja di bidang pertanian, 26% bekerja di bagian perdagangan, 18% bekerja di bagian jasa kemasyarakatan, 15% di bagian industri dan 7% di bagian konstruksi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, lapangan pekerjaan hingga 2014 tidak mengalami perubahan, dimana Sektor Pertanian, Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan, dan Sektor Industri secara berurutan menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia (BPS, 2014).
Gambar 1.1 Jumlah Tenaga Kerja Penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014)
1
Pertanian di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian, yakni tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan hortikultura. Tanaman hortikultura merupakan produk yang memiliki karakteristik masa jual yang terbatas dan dikenal dengan perishable product, sehingga masa jual sangat dibatasi oleh masa pemakaian dari produk itu sendiri. Perishable product adalah semua jenis produk yang mengalami perubahan secara fisik yang dapat mempengaruhi umur hidupnya dan menjadi kadaluarsa ketika nilai ekonomisnya turun pada saat tiba di konsumen (Scudder, 2009) Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan permintaan produk pertanian berkualitas di Indonesia karena semakin berkembangnya pasar ritel modern (Natawidjaya et al. 2012). Melalui pasar inilah semakin meningkat jumlah produk segar seperti sayur dan buah-buahan dipasarkan. Dengan adanya pasar ritel modern dan murahnya harga impor produk pangan segar, maka semakin meningkat pula impor sayur dan buah-buahan yang masuk ke Indonesia. Pasar ini juga membentuk kerjasama dengan pedagang pemasok, pedagang pengepul, dan petani untuk memasok produk segar tertentu. Ini menunjukkan adanya kesempatan bagi petani atau produsen untuk memasok sayur atau buahbuahan segar ke pasar tersebut selama mereka dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Peran logistik menjadi penting dalam memenuhi pasar - pasar ritel tersebut, seperti pengelolaan inventori, sistem informasi, pergudangan dan transportasi. Diantara sektor logistik tersebut, tingginya biaya transportasi dan kondisi infrastruktur yang masih minim merupakan faktor penghambat dalam peningkatan daya saing produk hortikultura di Indonesia (Fizzanty et al. 2012). Biaya transportasi yang tinggi salah satunya disebabkan oleh sistem supply chain yang tidak efisien yang dikarenakan panjangnya aliran supply chain yang terdapat dalam pemasaran produk pertanian. Kondisi infrastruktur juga mempengaruhi biaya distribusi, karena infrastruktur yang rusak mengakibatkan jumlah produk yang rusak semakin meningkat saat diangkut dari produsen ke 2
konsumen. Semakin banyak produk yang rusak akan semakin tinggi biaya logistik karena jumlah produk yang tidak dapat dijual semakin banyak. Permasalahan tersebut adalah permasalahan logistik yang semakin berdampak terutama pada produk yang bersifat perishable seperti komoditas hortikultura. Kondisi di atas didukung dari hasil studi Bank Dunia yang menunjukkan kinerja logistik atau LPI (Logistic Performance Index) beberapa negara termasuk Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2007, Indonesia berada pada peringkat 43, kemudian pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi peringkat 75, pada tahun 2012 mulai membaik yaitu di peringkat 59, dan peringkat ke 53 pada tahun 2014. Dari Gambar 1.2, kondisi logistik Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura di peringkat ke 5 dunia, kemudian Malaysia di peringkat ke 25, disusul Thailand dan Vietnam di peringkat 35 dan 48.
Gambar 1.2. Logistic Performance Index Beberapa Negara di Asia Tenggara (The World Bank, 2014)
3
Kondisi logistik yang lemah akan berdampak pada rendahnya daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional, terutama untuk produk hortikultura. Produk hortikultura yang memiliki karakteristik mudah rusak, akan sangat dipengaruhi oleh kondisi logistik tersebut. Hal ini akan berpengaruh pada jadwal pengiriman, kualitas, dan harga produk ditingkat konsumen. Oleh karena itu, pengelolaan logistik merupakan bagian dari pengelolaan supply chain, sehingga keberhasilan logistik akan ditentukan oleh pengelolaan supply chain itu sendiri. Supply chain management merupakan sekumpulan metode dan pendekatan guna meningkatkan integritas dan efisiensi antara supplier, manufaktur, gudang dan toko sehingga barang dagangan dapat diproduksi dan didistribusikan kepada konsumen dengan akurat baik dari sisi jumlah, lokasi maupun waktunya (Levi et al. 2007) Menurut Chopra and Meindl (2007), dalam supply chain management ada 3 hal yang harus dikelola dengan baik. Seperti yang terdapat pada Gambar 1.3, diantaranya: Product, Information, Finances
Manufacturer
Distributor
Retailer
Customer
Product, Information, Finances
Gambar 1.3. Tahapan supply chain produk dari bagian hulu ke bagian hilir
4
1. Aliran produk, merupakan gambaran aliran yang bersifat searah dan diawali dari produsen atau petani dengan melewati beberapa rantai yang akan diterima oleh pengguna atau konsumen akhir. 2. Aliran dana, merupakan gambaran aliran uang atau modal dari konsumen sebagai pembeli selanjutnya mengalir pada rantai yang akhirnya akan sampai ke produsen untuk digunakan kembali sebagai biaya produksi. 3. Aliran informasi, terdiri dari 2 jenis aliran informasi yaitu dari hulu ke hilir atau sebaliknya. Pricing (penentuan harga) dalam supply chain merupakan salah satu keputusan yang penting bagi suatu usaha atau bisnis. Harga yang ditetapkan harus dapat memenuhi semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh keuntungan. Penetapan harga yang terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan akan menurun namun jika penetapan harga yang terlalu rendah akan mengurangi keuntunga yang diperoleh. Salah satu prinsip dalam penentuan harga yaitu menitik beratkan pada kemauan pembeli untuk harga yang telah ditentukan dengan jumlah yang cukup untuk menutup biaya pengeluaran dan menghasilkan profit yang tinggi. Dalam
penelitian
ini,
dilakukan
analisis
terhadap
biaya
yang
mempengaruhi perbedaan harga dalam setiap aliran supply chain produk hortikultura sehingga dapat diketahui seberapa besar persentase profit yang didapat dan biaya (cost) yang dikeluarkan pada tahapan supply chain dari bagian hulu (upstream) dan hilir (downstream) produk.
1.2. Rumusan Masalah Dengan adanya perbedaan harga yang cukup signifikan pada suatu produk dari produsen hingga konsumen akhir setelah melalui tahapan supply chain, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis profit dan tingkat resiko pada setiap tahapan supply chain.
5
1.3. Asumsi dan Batasan Masalah Dalam penelitian ini terdapat beberapa asumsi dan batasan, antara lain: 1. Penelitian ini dilakukan pada jenis produk buah-buahan hasil perkebunan (hortikultura). 2. Produk pertanian selalu mengalami fluktuasi harga yang disebabkan periode musim panen dan jumlah permintaan, sehingga daftar harga produk dilakukan pada waktu penelitian dari bulan Mei sampai Juli 2014. 3. Penelitian dilakukan di beberapa toko buah, supermarket, pasar induk buah, pengecer, pedagang pengumpul, dan petani di daerah Yogyakarta.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui pada tahapan supply chain mana yang memiliki profit tertinggi dalam proses supply chain hortikultura khususnya buah-buahan. 2. Mengetahui tahapan supply chain mana yang memiliki tingkat resiko yang tinggi dan tahapan yang memiliki tingkat resiko yang rendah dalam proses supply chain hortikultura khususnya buah-buahan.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah mengetahui aliran supply chain produk hortikultura secara umum dan mengetahui tahapan supply chain mana yang paling dominan dengan resiko yang rendah dan keuntungan yang tinggi.
6