BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dengan jumlah penduduk 237.641.326 Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah umat Islam di Indonesia 207.176.162 atau sekitar 87 persen dari populasi.1 Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam 1
Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan pendataan tahun 2010, diakses disitus http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=0000000000&lang=id tanggal 29 September 2012 pk. 10.50 WIB. Menurut situs CIA jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 mencapai 240 Juta, dengan populasi muslim 86 persen, Lihat: The World Factbook, https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html dalam Stijn Cornelis van Huis, Rethinking the Implementation of Child Support Decisions Post-divorce Rights and Access to the Islamic Court in Cianjur, Indonesia. Law, Social Justice & Global Development (An Electronic Law Journal), Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development Faculty of Law Leiden University, the Netherlands, 6th February 2011. hal. 3
1
2
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politikkenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu dapat menjadi bahan telaah penting di masa mendatang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air. Namun setidaknya apa yang akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV. Dari berbagai fakta sejarah yang ada, hukum Islam sudah diterapkan semenjak berdirinya kerajaan Islam di Indonesia. Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama Hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi.2 Sebagai gerbang masuk ke kawasan Nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan 2
Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusikonstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hal. 21.
3
dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai yang terletak di wilayah Aceh Utara.3 Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah Nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Di pulau Jawa hukum Islam mulai berlaku ketika berdiri kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak (tahun 1475 M). Kerajaankerajaan atau kesultanan yang berdiri sesudahnya umumnya juga merupakan
kerajaan
Islam.
Kesultanan-kesultanan
tersebut
–
sebagaimana tercatat dalam sejarah- tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada sekitar
3
Ibid., hal. 61.
4
abad 16 dan 17.4 Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan Nusantara. Ketika Belanda mulai menjajah Nusantara mereka berusaha untuk menerapkan hukum Belanda untuk penduduk pribumi. Namun dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan, yaitu hukum Islam. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. 5 Hukum pidana Islam juga diterapkan pada masa VOC yang dihimpun dalam Kitab Hukum Mugharaer.6 Setelah kekuasaan beralih dari VOC ke pemerintah Belanda, mereka berusaha mengubah sistem hukum Islam menjadi hukum Belanda. Namun lagi-lagi usaha itu gagal dan hukum Islam kembali diberlakukan bagi warga pribumi. Bahkan tahun 1855 pemerintah Belanda 4
mengeluarkan
aturan
bahwa
semua
hakim
wajib
Ibid., hal. 61-62. Ibid., hal. 63-66. 6 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia. Bayumedia Malang 2005. hal. 34 5
5
memberlakukan undang-undang agama (Islam) dalam seluruh tingkat pengadilan. Yang unik dalam aturan itu bahwa hukum Islam juga berlaku bagi orang Islam dan bukan Islam selain bangsa Eropa.7 Perkembangan hukum Islam mulai surut setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1857. Sejak itu hukum Islam mulai dihambat pemberlakuannya sedikit demi sedikit. Hukum Islam dicitrakan buruk, pengadilan agama dikurangi wewenangnya dan dilimpahkan ke pengadilan negeri dan kedudukannya yang dulunya sejajar dengan pengadilan negeri lambat laun berada di bawah pengadilan negeri. Selain itu para ulama yang mempunya pandangan politik berbeda dengan Belanda dikejar-kejar dan ditangkap. Pelajaran agama di sekolahsekolah juga diawasi dengan ketat. Pencitraan buruk dan anggapan hukum Islam lebih rendah dibanding hukum Eropa masih melekat sampai sekarang karena diteruskan oleh pemerintah Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pemerintah memberlakukan hukum Belanda ‘bulat-bulat’. Kurikulum sekolah dan Perguruan Tinggipun sebagian masih meneruskan kurikulum yang dibuat oleh penjajah Belanda. Bahkan sampai sekarang KUHP buatan Belanda yang di Negara asalnya sudah tidak dipakai masih dipakai di Indonesia sebagai ‘kitab suci’ para hakim untuk memutuskan segala perkara pidana dan perdata.
7
Ibid., hal. 39
6
Fakta sejarah bahwa Hukum Islam pernah sukses diterapkan di Indonesia seolah hendak dihapus dari catatan sejarah. Persis seperti kebijakan pemerintah Penjajah Belanda pada masa Snouck Hurgronje yang ingin mencitrakan buruk hukum Islam kala itu. Pencitraan itu diteruskan sampai sekarang. Hukum Islam dianggap hukum yang kejam dan tidak adil terhadap kaum wanita. Para murid di sekolah tidak pernah tahu bahwa hukum Islam pernah jaya di Indonesia. Hal itu karena kurikulum mengajarkan seperti doktrin penjajah waktu itu bahwa yang berlaku dahulu adalah hukum adat bukan hukum Islam. Pemahaman semacam itu juga terjadi di masyarakat Surakarta. Mereka tidak tahu bahwa hukum Islam pernah berlaku di kerajaankerajan Islam di Indonesia dan Kasunanan Surakarta termasuk diantaranya. Masyarakat menganggap yang berlaku di Kasunanan saat itu adalah hukum adat. Hal itulah yang melatar belakangi penulis untuk mengungkap secara lebih detil sejarah Hukum Islam di Kasunanan Surakarta. Agar masyarakat surakarta dan masyarakat Indonesia umumnya mengetahui bahwa hukum Islam adalah bagian dari sejarah kita, sejarah Surakarta dan sejarah Indonesia selama ratusan tahun. Di Jawa saja Hukum Islam telah berlaku selama lebih dari 350 tahun sejak kerajaan Demak berdiri. Dan perlu diingat bahwa orang Jawa menjadi komunitas paling dominan di Indonesia. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di
7
Indonesia. Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41% dari total populasi.8 Berlakunya hukum Islam di Nusantara (Indonesia) secara keseluruhan lebih lama lagi lebih dari 1200 tahun, dimulai dengan berdirinya kesultanan Islam Samudera Pasai di Aceh (1267 M). Bandingkan dengan umur hukum Barat di Indonesia yang baru sekitar 100 tahun berlaku di Indonesia. Fakta ini menepis anggapan bahwa hukum Islam tidak cocok diterapkan di Indonesia. Namun sebagian besar intelektual Indonesia telah terasuki doktrin Penjajah bahwa yang paling cocok untuk Indonesia adalah hukum Belanda, bukan hukum Islam. Jadi nampaknya pencitraan yang dilakukan penjajah saat itu yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje telah berhasil. Dan pemahaman para intelektual itu telah ditularkan melalui lembagalembaga pendidikan pada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sehingga masyarakat menjadi phobi dan takut dengan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Kasunanan Surakarta sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram Islam telah menggunakan hukum Islam sebagai dasar hukum dalam bermasyarakat dan bernegara. Ideologi dan agama merupakan aspek penting yang tidak dapat dipisahkan dari kerajaan tradisional bahkan dari
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 22 November 2003.
8
setiap negara tradisional dan modern. Dalam kerajaan tradisional, ideologi berfungsi khusus sebagai sesuatu yang datang dari atas untuk masyarakat. Dalam negara modern, ideologi seakan-akan milik seluruh masyarakat dan merupakan seluruh refleksi yang otomatis (contoh; kemenangan regu bulu tangkis melahirkan antusiasme umum secara otomatis atau peperangan menimbulkan semangat nasionalisme di negara-negara modern tanpa perintah dari atas). Ideologi dalam kerajaan tradisional mempunyai aspek mengikat lapisan “bawah” (masyarakat dan golongan-golongannya) dengan lapisan “atas” (raja) dan berkisar pada raja, tahta, dan kraton.10 Kenyataan bahwa hukum Islam telah mengakar di masyarakat juga terlihat dari motivasi perjuangan para pahlawan nasional ketika menghadapi Penjajah. Seorang Letnan Kolonel Belanda pada masa Perang Diponegoro (1825-1830) F.V.A. Ridder de Stuers mengisahkan dalam sebuah buku memoir bahwa tujuan perlawanan orang Jawa terhadap Kumpeni sebenarnya adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang Jawa.11 Hal itu dipertegas kembali dengan adanya pandangan seorang pakar Belanda Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927). Dalam teorinya, yakni Receptio in Complexu, Berg menegaskan bahwa
10
Onghokham. Rakyat dan Negara. Seri Sejarah Sosial No.1, (Jakarta:Grafiti, 1983), hal93-94. Geschiedenis van de Oorlog Op Java,(Amsterdam,1832-1854).Terj. HD Killiaan, dikutip dari Ki Puspasuarso, (Reksa Pustaka:Mangkunegaran,1932).
11
9
untuk
orang
Islam
berlaku
penyimpangan-penyimpangan
hukum dalam
Islam,
sekalipun
pelaksanaannya.
terdapat
Berg
ingin
mengatakan bahwa hukum Islam telah berlaku secara keseluruhan untuk umat Islam di Nusantara. Pada masa sebelumnya di zaman Kumpeni telah diakui
berlakunya
hukum
perdata
Islam
(Civiele
wetten
der
Mohammedaansche). Ketika itu terkenal dengan nama Resolusi der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760, berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut Islam untuk dipergunakan pada pengadilan Kumpeni untuk orang Indonesia dan dikenal dengan Compendium Freijer.12 Meski fakta dan data sudah jelas, namun masih ada pihak-pihak yang berusaha mengaburkannya. Snouck Hurgronje dan C. van Vollenhoven kemudian mencetuskan teori Receptie. Teori Receptie adalah teori yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia sejak dahulu bukan hukum Islam tetapi hukum adat yang di dalamnya terdapat unsur keislaman karena tumbuh dalam masyarakat yang beragama Islam. Kemudian mereka mengusulkan kepada Kumpeni untuk memberlakukan teori tersebut di seluruh wilayah jajahan. Keduanya berusaha keras untuk mempengaruhi kesadaran rakyat Indonesia bahwa yang berlaku saat itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum adat, yakni hukum yang berakar pada kesadaran hukum 12
Arso Sastroatmodjo danWasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975) hal.11.
10
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat tertib dan damai. Menurut teori Receptie, hukum Islam yang berlaku di masyarakat karena telah diterima (diresapi) oleh hukum adat. Kasunanan Surakarta secara formal merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan. Berlakunya beberapa jenis peradilan yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunan gelar sayidin panatagama (artinya pemimpin dan sekaligus sebagai pengatur urusan agama) oleh Sunan, dan berdirinya masjid Agung di lingkungan keraton. Di samping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat islami, seperti upacara Garebeg yang dipandang sebagai upacara besar. Kasunanan Surakarta mengenal tiga macam upacara Garebeg, yaitu Garebeg Pasa, pelaksanaannya bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri; Garebeg Besar, diselenggarakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha; dan Garebeg Mulud, untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Garebeg Mulud, juga dikenal dengan sebutan Sekaten, merupakan garebeg terbesar di antara dua garebeg lainnya sehingga pelaksanaannya sangat agung dan meriah. Ciri-ciri seperti ini merupakan tanda penguat bahwa kasunanan Surakarta memang sebuah kerajaan Islam.
11
Meskipun nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton kasunanan Surakarta, pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat islam sinkretik. Berbagai kepercayaan pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagamaan masyarakat kraton. Sifat sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses islamisasi pedalaman Jawa itu sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan syari’ah, namun lebih banyak bercampur dengan sufisme atau mistik Islam. Gambaran sifat sinkretik yang lebih mementingkan sufisme atau tasawuf dalam masyarakat keraton Surakarta dapat dilihat dari sikap hidup mereka dalam menghayati agama. Bagi masyarakat keraton, ajaran syari’ah dalam Islam barulah dianggap sebagai titik awal untuk menuju taraf pemahaman tentang keilahian yang lebih tinggi. Syari’ah agama memang dijalankan masyarakat keraton. Namun, hal ini tidak dipandang sebagai tujuan akhir karena ada tujuan lain yang ingin direngkuhnya. Munculnya
ajaran
tentang
manunggaling
kawulo
gusti
dan
kecenderungan masyarakat keraton untuk menghayati keagamaan yang hanya ada dalam dunia batin, sehingga sering meninggalkan aspek
12
syari’ah agama yang dianutnya, merupakan bukti sikap keagamaan sinkretik tersebut. Namun demikian, adakalanya sikap keagamaan masyarakat keraton yang cenderung sinkretik berubah ke sikap lebih orotodok (murni) yang menekankan pada hukum syari’ah. Ketika Sunan Pakubuwono
IV
(1788-1820)
memerintah
Kasunanan
Surakarta,
perubahan sikap keagamaan ini juga terjadi. Sunan Pakubuwono IV memang dikenal sebagai raja yang alim (menguasai ilmu agama) dan taat menjalankan perintah agama sehingga mendapat julukan Ratu ableg wali mukmin. Sikap keagamaan yang dihayati oleh seorang raja kemudian berpengaruh pada sikap keagamaan masyarakat keraton lainnya. Suasana perubahan sikap keagamaan di keraton Surakarta tampak dengan jelas pada karya sastra yang lahir saat itu, seperti Serat Centini, Serat Cabolek, dan Serat Wulang reh. Ketiga serat tersebut memang dapat memberikan gambaran mengenai realitas sejarah awal abad XIX (bangsawan dan priyayi) dalam menghayati ajaran agamanya Penulisan tentang pemberlakuan hukum Islam ini juga diilhami oleh pendapat yang keliru tentang relevansi dari hukum Islam itu sendiri. Di dalam masyarakat modern yang mengaku berperadaban tinggi, masih memperdebatkan relevansi hukuman mati dengan dalih Hak Azasi Manusia (HAM). Banyak pidana ‘kelas berat’ yang hanya berakhir dengan
13
hukuman penjara, dengan harapan kelak dapat bertaubat. Namun dalam kenyataannya angka kejahatan makin meroket. Islam dalam hal hukum berbeda pandangan dengan hukum positif. Syari’at Islam mengacu pada lima hal, yaitu menjaga agama (din), harta (maal), jiwa (nafs), akal (aql), dan keturunan (nasl). Menjaga agama adalah jaminan terhadap hak dan kemerdekaan untuk beragama sebagai pedoman dan bimbingan hidup. Menjaga harta dimaksudkan untuk mencegah terjadinya praktek kedzaliman antar sesama. Hukum potong tangan bagi pencuri hanya dilakukan jika sudah mencapai nisab (jumlah minimal harta yang dikenai potong tangan) adalah salah satu bentuk penjagaan Islam terhadap harta. Memelihara jiwa manusia dengan diberlakukannya qishas untuk menjaga jiwa manusia dari kematian dan kesia-siaan. Menjaga akal adalah karena akal merupakan karunia dari Allah Ta’ala yang membedakan manusia dari makhluk yang lainnya untuk membedakan antara kebaikan dengan kejahatan. Misalnya, pelarangan minum miras, narkoba, judi pornografi dan sebagainya adalah bentuk penjagaan terhadap
akal.
Untuk
menjaga
keturunan
dengan
menjamin
berlangsungnya proses regenerasi secara sah dan sehat. Tanpa aturan ini masyarakat akan kacau sebagaimana hancurnya masyarakat Barat yang menjadikan seks bebas sebagai hal yang lumrah. Dalam kaitannya dengan hukum qishas menurut pendapat banyak ulama, bertaubat lebih
14
dianjurkan daripada menghadap ke pengadilan untuk menerima hukuman.13 Tampaknya kajian tentang Syari’at Islam dan eksistensinya di Kasunanan Surakarta sangat penting untuk diteliti. Karena dengan melihat keberadaannya pada masa lampau akan memberikan banyak pengalaman kepada generasi sekarang dan yang akan datang dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Selain itu masyarakat di Jawa umumnya masih paternalistik, yang menganggap apa-apa yang datang dari keraton adalah baik. Oleh karena itulah banyak yang meniru adat dan kebiasaan keraton. Untuk itu penulis ingin memaparkan pada masyarakat bahwa ada satu sisi yang jarang menjadi perhatian dan seyognyanya lebih patut ditiru yaitu pelaksanaan hukum Islam di Keraton Kasunanan Surakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana pelaksanaan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV? 2. Sejauh mana ruang lingkup penerapan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV?
13
Nurchalis, Sabili:Sejarah Emas Muslim Indonesia, N0.9-111-XI, hal. 154-156.
15
3. Apa faktor yang menghambat penerapan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk hal-hal sebagai berikut: 1. Mengetahui detail pelaksanaan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV. 2. Mengetahui ruang lingkup penerapan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV 3. Mengetahui Faktor-faktor yang menghambat pemberlakuan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV.
D. Manfaat Penelitian Penelitian tentang penerapan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa PB IV diharapkan memberi manfaat dan kontribusi positif bagi ummat Islam dan masyarakat pada umumnya. Manfaat tersebut sekurang-kurangnya meliputi dua aspek, yaitu: 1. Manfaat Teoritis (sumbangan teoritis) a. Memberi kontribusi pemikiran dalam kajian ilmu Peradaban Islam Indonesia, khususnya di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada mata kuliah Peradaban Islam Indonesia di program studi Magister Pemikiran Islam.
16
b. Mengisi kekurangan pengkajian mengenai penerapan hukum Islam di Indonesia dan Jawa, khususnya di Kasunanan Surakarta. c. Memberikan
kontribusi
pemikiran
bagi
para
pendakwah
(penyeru), ulama dan para aktifis formalisasi hukum Islam di Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ide-ide yang berkaitan dengan penerapan Syari’at Islam di Indonesia. b. Bagi Kasunanan Surakarta sebagai bahan introspeksi dan evaluasi sekaligus mendapatkan masukan-masukan ilmiyah. c. Bagi para ulama, da’i dan tokoh Islam sebagai bahan ibrah, untuk menentukan strategi dakwah, serta bahan evaluasi dan kajian agar tidak mengulang kesalahan di masa lalu dalam usaha perjuangan menegakkan hukum Islam. d. Bagi umat Islam secara umum, agar lebih mengenal hukum Islam, bahwa hukum Islam pernah sukses diterapkan di Indonesia dan Surakarta khususnya sehingga tidak mudah dibodohi oleh kajian sejarah dan informasi media yang menyatakan bahwa hukum Islam tidak cocok untuk Jawa dan Indonesia pada umumnya.
17
E. Kajian Pustaka Beberapa penelitian yang berhubungan dengan obyek penelitian ini akan penulis paparkan di bawah ini. Sebuah desertasi yang ditulis oleh Darsiti Suratman, yang sudah diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Taman Siswa Yogyakarta 1989 dengan judul Kehidupan Keraton Surakarta 1830-1939. Dalam desertasi tersebut ditampilkan berbagai aspek kehidupan istana, aspek fisik, ekonomi, sosial, politik dan kultural. Selain itu juga membahas komunitas kraton dalam berbagai dimensi baik struktur, pola-pola maupun prosesprosesnya. Diungkapkan bahwa kehidupan di keraton surakarta masih diliputi suasana mitologis, magis, misterius dan mistis, kaya akan simbolisme yang dimanifestasikan dalam berbagai upacara dan kesenian. Penelitian tentang sistem pemerintahan pernah dilakukan oleh B.R.N. Nugroho Imam Santoso dari Fakultas Sastra Jurusan sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Perubahan Sistem Pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta Pasca Proklamasi (Masa Pakubuwono XII). Dalam penelitian tersebut peneliti menitik beratkan pada sistem politik dan pemerintahan pada masa Pakubuwono XII. Penelitian yang terfokus pada hukum Islam dilakukan oleh Wahyu Purwiyastuti dari Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berjudul Sejarah Peradilan Surakarta 1903-1947. Hasil penelitian menunjukkan
18
terjadinya kontrol yang sangat ketat oleh penguasa kolonial Belanda terhadap sistem peradilan di keraton Kasunanan Surakarta dan berlangsung dalam proses yang sangat lama. Hal ini terjadi karena peradilan dan hukum merupakan lapisan yang kaya untuk digali serta di dalamnya mencatat struktur negara dan mengggambarkan pembagian keuntungan politik, sosial, dan ekonomi. Runtuhnya peradilan keraton disebabkan kondisi fisik maupun non fisik sistem peradilan keraton yang semakin rapuh, serta berkembangnya gerakan anti swapraja yang menolak feodalisme. Penelitian lain tentang hukum Islam dilakukan oleh Sugiarti dari Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang berjudul, Pengadilan Surambi di Kasunanan Surakarta pasca Palihan Nagari (2004). Dari penelitian itu penulis menyimpulkan bahwa, semua pengadilan Kasunanan Surakarta menggunakan hukum Islam sebagai dasar hukumnya. Sehingga pengadilan Surambi sebagai pengadilan agama menempati posisi tertinggi dan menjadi pengadilan banding bagi pengadilan-pengadilan lainnya. Dalam hal ini peneliti hanya meneliti pengadilan surambi saja. Padahal ada empat jenis lembaga pengadilan di Kasunanan Surakarta, yaitu pengadilan Balemangu, pengadilan Kadipaten Anom, pengadilan Pradata, dan pengadilan Surambi.
19
Jadi dalam penelitian di atas penulis hanya meneliti sebagian saja dari hukum islam di surakarta sehingga belum bisa disimpulkan sebagai hukum Islam yang utuh karena yang diteliti pengadilan surambi saja. Penelitian lainnya dengan judul yang hampir sama, Pengadilan Surambi di Yogyakarta (studi historis tentang pengadilan agama di Yogyakarta tahun 1755-1882). Dilakukan oleh Zarkasji Abdul Salam dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hanya tempat penelitian yang berbeda, yakni dilakukan di kasultanan Jogjakarta. Dari beberapa penelitian di atas, dan berbagai penelitian lain mengenai Kasunanan Surakarta, belum ada yang secara khusus meneliti secara utuh penerapan hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV.
F. Kerangka Teori 1. Hukum Islam Secara Istilah Hukum Islam adalah tata aturan yang Allah syari’atkan buat hamba-Nya untuk diikuti. Hukum Islam sering pula disebut Syari’at Islam. Hukum Islam bersumber dari Al Qur’an dan sunnah. Kemudian Ijma’ (kesepakatan) para shahabat (bila satu urusan tidak ada ketentuan dalam Al Qur’an maupun Sunnah). Setelah itu adalah Ijtihad. Dan yang termasuk ijtihad antara lain qiyas dan qarinah (tanda-tada).9
9
Hasby Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukuk Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. hal. 32
20
Secara global hukum Islam terbagi menjadi dua bagian yaitu : Pertama: fiqih ibadah yang meliputi aturan tentang shalat, pusa, zakat, haji, nadzar dan ibadah lainnya yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah Ta’ala. Sumber hukum Islam pertama adalah Al Qur’an kemudian dijelaskan oleh sunnah Rasul, yang berupa: ucapan, perbuatan, atau ketetepan Nabi dan kemudian diformulasikan oleh fuqoha’ (ahli fikih) ke dalam kitab fikih. Dalam hukum ini umat Islam harus menerima sepenuh hati dan berusaha melaksanakan sekuat tenaga. Kedua : fiqih muamalah, adalah hukum Islam yang mengatur hubungan sesama manusia, seperi: perjanjian, sanksi hukum, dan aturan lainnya agar terwujud keadilan dan ketertiban, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.10 Abdul Wahab Khalaf11 merinci hukum Islam bagian yang kedua ini menjadi: Hukum Keluarga (ahwal asy-Syakhsiyah), Hukum Sipil (al-ahkam al-madaniyah), Hukum Pidana (al-ahkam al-jinayah), Hukum Acara (alahkam al-murafa’at), Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al dusturiyah), Hukum Internasional (al-ahkam al-duwaliyah), Hukum Ekonomi (alahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah).
10
Yesmil Anwan & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo Jakarta, 2008. hal. 104 11 Abdul Wahab al-khalaf, ‘lm Usul al-Fiqh. Maktabah ad-da’wak al-islamiyah Syabab Al-Azhar: Jakarta, 1990. hal. 96 dalam Yesmil Anwan & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo Jakarta, 2008. hal. 104-105
21
Hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah diyakini umat Islam sebagai hukum yang sempurna dan tetap, tidak bisa diubahubah. Dan suatu saat pasti diakui dan dianut seluruh manusia. Sesuai pandangan ini banyak lembaga legislatif di berbagai negara tidak dapat mengubah hukum tersebut, namun hanya mengatur detail dan modalitas yang belum diatur oleh syari’ah. Dengan latar belakang itu banyak dari pemikir barat beranggapan hukum Islam tidak fleksibel dan sudah tidak cocok lagi diterapkan di zaman modern karena menggunakan sumber-sumber yang telah berusia ribuan tahun. Namun kenyataannya hukum Islam bisa menjadi sistem aturan yang luar biasa fleksibel dalam segala keadaan bila pengadilan atau otoritas yang menafsirkan dan menerapkannya berupaya mencapai fleksibilitas.12 Fokus dari penelitian ini adalah bagian kedua, yaitu fiqih muamalah. Penulis lebih memfokuskan pada hukum muamalah karena umumnya dari masa kerajaan Islam sampai masa kolonial hal-hal yang berkaitan dengan hukum peribadatan dibebaskan, namum untuk hukum muamalah selalu dibatasi dan ingin dikontrol secara ketat, terutama pada masa kolonial. Hal ini menyebabkan praktek pengamalan peribadatan cenderung stabil dan praktek pengamalan hukum muamalah berubah sesuai kebijakan penguasa pada setiap masa. 12
Michael Bogdan, Comparative Law (Pengantar Perbandingan Hukum), diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Derta Sri Widowati. Nusa Media Bandung 2010
22
Fiqih muamalah yang akan diteliti mengenai praktek pelaksanaan hukum di Pengadilan dan aturan kebijakan (regulasi) yang diputuskan oleh raja (sunan) sebagai pemimpin tertinggi Kasunanan. 2. Kasunanan Surakarta Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari Kartasura. Kasunanan Kartasura merupakan kelanjutan dari Kasultanan Mataram. Kesultanan Mataram berdiri pada tahun 1588 M dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, yang disebut wilayah Vorstenlanden. Kasunanan Surakarta merupakan daerah yang lahannya berupa tanah agraris, dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan di sebelah barat, utara, dan timur. Kasunaan Surakarta, yang meliputi Pajang dan Sukawati menurut Staatsblad 1847, No. 30, dibagi menjadi enam Kabupaten Polisi. Kemudian atas desakan Residen Surakarta, Keuchenius, maka sejak tahun 1873 Kabupaten Polisi dibagi lagi menjadi beberapa daerah yang disebut distrik.13
13
Pangreh Pradja Bond, 1938.
23
G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Historis. Menurut Nugroho Notosusanto Metode Historis adalah kumpulan prinsip-prinsip atau aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan untuk penulisan sejarah, menilai secara kritis dan menyajikan suatu sintesa dalam bentuk tulisan.14 Sejalan dengan pendapat Winarno Surakhmad, bahwa Metode Historis adalah sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejolak, peristiwa ataupun gagasan yang timbul pada masa lampau untuk menentukan generalisasi yang berguna untuk memahami kegiatankegiatan sejarah.15 Metode historis akan digunakan untuk mengetahui relitas penerapan hukum Islam di Keraton Kasunanan Surakarta, termasuk berbagai masalah atau kendala yang dihadapi sehingga saat ini jejak hukum Islam tersebut seakan terkubur begitu dalam. Setelah data dikumpulkan, baik dari hasil dokumen dan studi pustaka.
Selanjutnya
data-data
tersebut
dianalisa
dengan
membandingkan terlebih dahulu dengan teori-teori untuk digunakan dalam penarikan kesimpulan. Dalam menganalisa data yang telah 14
Nugroho Notosusanto,Masalah Penelitian Sejarah; Suatu Pengalaman, (Jakarta: Yayasan Indayu, 1978), hal.1 15 Winarno Surakhmad,Pengantar Penelitian (Dasar, Metode, dan Teknik), (Bandung: Tarsito, 1994), hal.132
24
terkumpul peneliti menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu suatu analisa yang didasarkan pada hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis dalam situasi tertentu. Dari analisa tersebut akan dihasilkan suatu analisa yang bersifat analitis. Sedanngkan jenis penelitian yang penulis pilih adalah penelitian pustaka (Library Research). Karena penelitian ini bersifat penelitian pustaka, maka metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki adalah dengan jalan menggali/mengeksplorasi dari dokumen dan literatur yang ada.
H. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah mengetahui isi dari tulisan ini akan disajikan sistematika penulisan secara singkat. Penelitian yang berjudul Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada Masa Pakubuwono IV ini meliputi empat bab. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan di bawah ini. Bab I Pendahuluan latar belakang, perumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Sistem Hukum Islam dan Perbandingannya dengan Sistem Hukum Lainnya, berisi gambaran umum hukum Islam, perbandingan
25
sistem hukum di dunia, ruang lingkup hukum Islam, kewenangan dalam hukum Islam dan sejarah legislasi dalam hukum Islam. Bab III Sejarah Pakubuwono IV dan Kasunanan Surakarta, berisi tentang biografi PB IV dan sejarah awal mula terbentuknya Kasunanan Surakarta, birokrasi tradisional dan elit birokrasi agama di Kasunanan Surakarta. Serta kehidupan sosial agama di kasunanan Surakarta. Bab IV Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta. Berisi tentang: berbagai detail penerapan hukum Islam di Kasunanan Surakarta dan kualitas penerapannya. Di dalamnya termasuk aspek apa saja yang diatur dengan hukum Islam dan berbagai Faktor penghambat Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta. Dari data yang tersajikan penulis akan berusaha menganalisa data yang ada. Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan saran. Dan di bagian akhir yang merupakan bagian pertanggungjawaban sumber dan penelitian dalam tesis ini, maka penulis menyertakan daftar pustaka.