BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah pengusaha kecilnya (usaha mikro) mencapai 39,04 juta jiwa. Namun para pengusaha kecil tersebut tidak memiliki akses yang signifikan ke lembaga perbankan, sebagai lembaga permodalan. Lembaga-lembaga perbankan belum bisa menjangkau kebutuhan para pengusaha kecil, terutama di daerah dan pedesaan. Usaha mikro merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam perekonomian, namun sektor ini sulit berkembang. Hal ini disebabkan oleh pengusaha mikro yang umumnya berasal dari masyarakat lapisan bawah nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan dianggap tidak memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal terutama lembaga keuangan konvensional, sehingga menyebabkan laju perkembangannya terhambat. Akibatnya, aksesibilitas dari pengusaha mikro terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka hanya mengandalkan modal terbatas pada apa yang mereka miliki. Tidak jarang pengusaha mikro mengambil jalan pragmatis untuk memenuhi kebutuhan modalnya dengan mencari pinjaman kepada lembaga keuangan informal seperti rentenir yang menjalankan pola kredit yang praktis dan sederhana tanpa proses administrasi yang rumit dan tidak memakan waktu yang lama. Dengan adanya permasalahan seperti itu, maka Baitul maal yang sekarang ini menambah tamwil sebagai fungsinya, sehingga menjadi BMT (Baitul maal wat Tamwil), merupakan salah satu sarana yang penting bagi pengusaha kecil
1
2
tersebut, karena BMT yang juga disebut Balai usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi islam. Berdirinya lembaga syariah sejenis Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di Indonesia merupakan jawaban terhadap tuntutan dan kebutuan kalangan umat Muslim. Kehadiran BMT muncul di saat umat Islam mengharapkan adanya lembaga keuangan yang menggunakan syariah dan bebas dari unsur riba yang diasumsikan haram. Pemerintah mengeluarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang diikuti dengan PP No. 72/1998 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, semakin mendorong percepatan bagi pembentukan lembagalembaga keuangan syariah baik berupa bank maupun nonbank. Implikasi positif dari keluarnya kebijakan pemerintah tersebut adalah berdirinya lembaga-lembaga perbankan syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari'ah (BPRS). Hal yang menggembirakan adalah suburnya beberapa semangat mendirikan lembaga keuangan syariah non bank sejenis BMT di berbagai wilayah di Indonesia. . Keberadaan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai salah satu perintis lembaga keuangan dengan prinsip syariah di Indonesia, dimulai dari ide para aktivis Masjid Salman ITB Bandung yang mendirikan Koperasi Jasa Keahlian Teknosa pada 1980. Koperasi inilah yang menjadi cikal bakal BMT yang berdiri
3
pada tahun 1984. Lembaga keuangan semacam BMT, sesungguhnya sangat diperlukan untuk menjangkau dan mendukung para pengusaha mikro dan kecil di seluruh pelosok Indonesia yang belum dilayani oleh perbankan yang ada saat ini. Sebagai gambaran, usaha kecil mikro terdiri dari sektor formal dan informal, yang menurut data Bappenas mencapai angka hampir 40 juta. Peluang pengembangan BMT di Indonesia sesungguhnya sangat besar, mengingat usaha mikro dengan skala pinjaman di bawah Rp 5 juta adalah segmen pasar yang dapat dilayani dengan efektif oleh lembaga ini. Sementara di sisi lain, keberadaan perbankan yang mampu melayani segmen ini sangat terbatas jumlahnya. Bagian lain dari BMT adalah baitul tamwil atau dalam bahasa Indonesia berarti rumah pembiayaan. Dalam konsep baitul tamwil, pembiayaan dilakukan dengan konsep syariah (bagi hasil). Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep yang telah sering dipraktikkan dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi, terutama di pedesaan. Contohnya, bagi hasil antara pemilik sawah dan penggarap sawah. Kelebihan konsep bagi hasil adalah menyebabkan kedua belah pihak, pengelola BMT dan peminjam saling melakukan kontrol. Di sisi lain pengelola dituntut untuk menghasilkan untung bagi penabung dan pemodal. Produk yang dikeluarkan oleh BMT meliputi produk pembiayaan (mudhorobah, musyarakah), jual beli barang (BBA, murabahah, bai assalam), ijarah (leasing, bai takjiri, musyarakah mutanaqisah), serta pembiayaan untuk sosial (qordhul hasan). Produk tabungan meliputi tabungan mudharabah dan ZIS. Khusus untuk wilayah Bandung Raya jumlah BMT yang tergabung dalam Absindo (Assosiasi BMT se Indonesia) pada tahun 2008 tercatat memiliki
4
18 BMT. Namun dalam hal ini penulis hanya akan meneliti 7 BMT karena hanya BMT yang sudah beroperasi minimal tiga tahun dengan perkembangan tingkat profitabilitas
yang
berbeda-beda.
Berikut
tabel
perkembangan
tingkat
profitabilitas BMT. Tabel 1.1 Data Perkembangan Tingkat Profitabilitas BMT No.
Nama BMT
Tingkat Profitabilitas Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
1.
BMT Barrah
0,957
0,900
0,337
2.
BMT Dana Ukhuwah
2,739
2,583
2,777
3.
BMT Bina Ummat
0,423
0,372
0,498
4.
BMT Sumber Rahayu
2,134
7,074
1,265
5.
BMT Wahana Mandiri
8,372
10,647
0,916
6.
BMT Nurul Ummah
0,402
0,722
0,250
7.
BMT Mughni Madani
0,431
0,518
0,422
Seperti halnya perusahaan atau masyarakat, tujuan akhir dari pemberian pembiayaan ini adalah untuk memperoleh keuntungan agar bisa mempertahankan kelangsungan usaha. Begitu pula dengan BMT, selain untuk menyalurkan dana dari masyarakat juga untuk menjaga kelangsungan usahanya. Tujuan dari adanya penyediaan pembiayaan adalah untuk meningkatkan profitabilitas, menjaga kesehatan dan kepercayaan dari nasabah. Membidik sektor tertentu dalam pembiayaan untuk meraih laba bukan hal baru dalam dunia bisnis keuangan. Pasalnya, jika strategi pembiayaan suatu lembaga keuangan tidak dilakukan secara spesifik akan berdampak negatif pada kinerja lembaga tersebut. Bukannya meraih untung, lembaga itu malah bisa membukukan kerugian yang bisa mengakibatkan gulung tikar.
5
Profitabilitas
dapat
diartikan
sebagai
kemampun
BMT
dalam
menghasilkan laba/surplus sesuai dengan nilai asset yang dimiliki. Laba adalah sesuatu yang sangat didambakan dunia usaha termasuk BMT. Rumus untuk menentukan kesehatan Profitabilitas menurut ROA (Return On Asset) adalah sebagai berikut. ROA =
Laba Sebelum Pajak × 100 % Total Aktiva
Tabel 1.2 Kriteria Tingkat Profitabilitas ROA Keterangan
No. 1.
<1%
Profitabilitas sangat rendah
2.
1 % - 1,9 %
Profitabilitas kurang
3.
2%-3%
Profitabilitas sedang
4.
>3%
Profitabilitas tinggi
Sumber : Buku PINBUK Lukman Dendawijaya (2005 : 23) mengatakan bahwa: Kegiatan perkreditan merupakan rangkaian kegiatan bank umum. Hal ini didasarkan pada kenyataan sebagai berikut: (1) Perkreditan merupakan kegiatan / aktivitas yang terbesar dari perbankan. (2) Besarnya angka pos kredit yang diberikan dalam neraca (pada sisi aktiva) merupakan angka yang terbesar dalam neraca bank. (3) penghasilan terbesar bank diperoleh dari bunga/bagi hasil, provisi, komisi, commitment fee, appraisal fee, supervision fee, dan lain-lain yang diterima sebagai akibat dari pemberian kredit bank. (4) resiko terbesar yang dipikul oleh bank berasal dari kegiatan kredit. Struktur finansiil/modal mencerminkan cara bagaimana aktiva-aktiva perusahaan dibelanjai, dengan demikian struktur finansiil mencerminkan pula
6
perimbangan, baik dalam artian absolut maupun dalam artian relatif antara keseluruhan modal asing (baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang) dengan jumlah modal sendiri. Menurut
Bambang
Riyanto
(2001:22)
“Struktur
modal
ialah
pembelanjaan permanen di mana mencerminkan perimbangan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri.” Modal BMT dapat berasal dari modal sendiri dan pinjaman pihak ketiga. Kedua jenis modal tersebut memberi peran yang besar dalam pencapaian tujuan, akan tetapi kedua jenis modal tersebut memiliki resiko yang berbeda. Modal pinjaman memiliki beban tetap berupa bunga, dan berarti akan mengurangi laba yang diperoleh. Memilih antara modal sendiri dan modal pinjaman sebenarnya tidak ditentukan hanya dari tingkat bunga modal pinjaman, karena ada faktor lain yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah kesempatan untuk memperoleh modal tersebut. Bunga/bagi hasil kredit yang diperoleh bank merupakan pendapatan yang dapat meningkatkan profitabilitas. Profitabilitas sangat penting bagi bank karena merupakan kriteria penilaian yang secara luas dianggap paling tepat untuk dipakai sebagai pengukur tentang hasil pelaksanaan operasi bank. Dengan demikian adanya tingkat profitabilitas yang tinggi maka kelangsungan usaha bank akan terjaga dengan baik. Berdasarkan data tingkat profitabilitas di atas bahwa masih banyak BMT yang memiliki tingkat profitabilitas masih rendah sehingga permasalahan tersebut perlu segera dikaji dan dicari alternatif pemecahannya serta perlu keseriusan dari
7
berbagai pihak untuk menangani masalah tersebut sehingga dapat memberi iklim yang kondusif bagi perkembangan BMT di kemudian hari. Berdasarkan latar belakang
yang telah dikemukakan di atas, serta
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengembalian Kredit dan Struktur Modal terhadap Tingkat Profitabilitas Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Se-Bandung Raya “.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan pokok penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana
pengaruh
tingkat
pengembalian
kredit
terhadap
tingkat
profitabilitas BMT ? 2. Bagaimana pengaruh struktur modal terhadap tingkat profitabilitas BMT ? 3. Bagaimana pengaruh pengembalian kredit dan struktur modal terhadap tingkat profitabilitas BMT?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1
Maksud Penelitian Dengan mengacu kepada masalah yang dikemukakan di atas, maka
penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis data dan informasi mengenai tingkat pengembalian kredit dan struktur modal serta bagaimana pengaruhnya terhadap tingkat profitabilitas BMT.
8
1.3.2
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat pengembalian kredit terhadap tingkat profitabilitas BMT 2. Untuk mengetahui pengaruh struktur modal terhadap tingkat profitabilitas BMT. 3. Untuk mengetahui pengaruh pengembalian kredit dan struktur modal secara bersama-sama terhadap tingkat Profitabilitas BMT.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat yang diharapkan dapat tercapai setelah melaksanakan penelitian ini antara lain: 1. Kegunaan teoritis, yaitu hasil penelitian ini dapat berguna sebagai salah satu bahan referensi untuk pengembangan kajian terhadap profitabilitas pada umumnya, serta secara khusus bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi ini untuk memahami variabel-variabel yang mempengaruhi profitabilitas BMT. 2. Kegunaan praktis, yaitu hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan bagi pihak manajemen BMT dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pencapaian tingkat profitabilitas.
9
1.5 Kerangka Pemikiran Lukman Dendawijaya (2003: 17) menyatakan bahwa: Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil .
Dalam prinsip syariah kredit biasa disebut pembiayaan. Kinerja BMT sendiri banyak didasarkan pada Bank dengan prinsip syariah namun berbadan hukum koperasi dan masih menggunakan prinsip-prinsip koperasi syariah. Kegiatan pembiayaan merupakan rangkaian kegiatan BMT. Hal ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang diungkapkan oleh Lukman Dendawijaya (2005 : 23) bahwa “(i) Perkreditan merupakan aktivitas yang terbesar dari perbankan. (ii) Besarnya angka pos kredit yang diberikan dalam neraca (pada sisi aktiva) merupakan angka yang terbesar dalam neraca bank. (iii) Penghasilan terbesar bank diperoleh dari bunga, provisi, komisi, commitment fee, appraisal fee, supervision fee, dan lain-lain yang diterima sebagai akibat dari pemberian kredit bank. (iv) Risiko terbesar yang dipikul oleh bank berasal dari kegiatan kredit”. Pembiayaan menjadi sumber pendapatan dan keuntungan BMT yang terbesar. Di samping itu, pembiayaan juga merupakan jenis kegiatan yang sering menjadi penyebab utama BMT menghadapi masalah besar. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa stabilitas usaha BMT sangat dipengaruhi oleh keberhasilan BMT mengelola pembiayaan. Seperti dikatakan oleh Siswanto Sutojo (1997 : 1) Bahwa usaha “Bank yang berhasil mengelola kreditnya akan berkembang, sedangkan usaha bank yang selalu dirongrong kredit bermasalah akan mundur”.
10
Bagian terbesar pekerjaan bank adalah kegiatan yang berhubungan dengan lalu-lintas uang dari dan ke dalam masyarakat. Perkreditan merupakan bagian yang paling essensial bagi pekerjaan bank. Di samping mencari laba dan memelihara pertumbuhan, Dijelaskan oleh Komaruddin Sastradipoera (2001 : 5) Bahwa “Bank bertujuan untuk melayani para nasabah dengan memberikan kredit dan pelayanan dalam lalu-lintas pembayaran dan peredaran uang tersebut”. Adanya suatu pemberian kredit maka akan disertai dengan pengembalian kredit. Pada saat bank memberikan kredit maka pihak yang menerima kredit (debitur) harus mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam pemberian kredit tidak terlepas dari suatu tingkat risiko tertentu, suatu bank dalam mengambil keputusan atas layak tidaknya individu atau badan usaha menerima kredit atau kesalahan dalam menetapkan besarnya kredit yang diberikan yang akan berakibat tidak tertagihnya kredit yang telah diberikan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal tersebut maka bank harus memiliki cara dan dasar analisis kredit yang baik. Besar kecilnya suatu risiko pinjaman yang diberikan oleh bank tergantung hasil analisis yang dilakukan. Seperti yang dikemukakan oleh Kashmir (2002 : 104) mengenai faktor 5 C dan 7 P dalam menilai risiko kredit. Faktor 5 C yang terdiri dari (i) Character, (ii) Capacity, (iii) Capital, (iv) Collateral, dan (v) Condition. Kemudian metode analisis 7 P yang terdiri dari (i) Personality, (ii) Party, (iii) Perpose, (iv) Prospect, (v) Payment, (vi) Profitability, dan (vii) Protection
11
Dengan memperhatikan 5 C dan 7 P di atas maka dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk memperoleh keyakinan tentang kemampuan nasabah/ calon debitur untuk mengembalikan kredit atau pinjaman berikut bunganya. Thomas Suyatno, et al. (2007 : 86) mengemukakan bahwa “Pengembalian kredit adalah dipenuhinya semua kewajiban utang nasabah terhadap bank yang berakibat hapusnya ikatan perjanjian kredit”. Dalam pengembalian kredit semua kewajiban pengembalian kredit harus diselesaikan sesuai dengan waktu pelunasan dimana pelunasannya meliputi utang pokok, utang bunga, denda-denda (jika ada), dan biaya administrasi lainnya. Sedangkan mengenai penggolongan kredit Dahlan Siamat (2004: 174) mengemukakan bahwa Berdasarkan kolektibilitasnya pengembalian kredit dikompokkan ke dalam 5 golongan yaitu kredit lancar, kredit dalam perhatian khusus, kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet BMT sebagai badan usaha koperasi sama dengan badan usaha lainnya, yaitu sama-sama berorientasi laba dan membutuhkan modal. Koperasi sebagai wadah demokrasi ekonomi dan sosial harus menjalankan usahanya. Oleh karena itu kehadiran modal dalam koperasi ibarat pembuluh darah yang mensuplay darah (modal) bagi kegiatan-kegiatan lainnya dalam koperasi. Neti Budiwati dan Lizza Suzanti (2007 :30) Menyatakan bahwa pengertian modal dapat dibedakan atas pengertian sempit dan laus. Dalam arti sempit, modal diartikan sebagai uang atau sejumlah dana untuk membiayai suatu usaha atau kegiatan. Dalam arti laus, modal diartikan sebagai segala sesuatu (benda modal : uang, alat, benda-benda, jasa) yang dapat digunakan untuk menghasilkan lebih lanjut. Dengan demikian modal dalam koperasi pada hakekatnya tidak bebeda dengan pengertian modal secara umum, yaitu sebagai faktor produksi. Namun demikian, modal dalam koperasi memiliki sumber, sifat dan kedudukan yang khas diabndingkan denngan modal badan usaha lainnya. Untuk mencapai tujuan
12
manajemen keuangan, maka koperasi harus bekerja berdasarkan prinsip ekonomi yang rasional, yaitu efektif, efisien, dan produktif serta berpegang pada prinsipprinsip koperasi dan ciri khasnya (self help). Struktur permodalan dalam koperasi terbagi menjadi dua yaitu permodalan dari dalam koperasi dan permodalan dari luar koperasi. Permodalan dari dalam koperasi terbagi menjadi dua yaitu permodalan intern dan permodalan intensif. Sedangkan permodalan dari luar koperasi terdiri dari permodalan sendiri dan permodalan asing. Masalah permodalan dalam BMT menjadi bagian dari tugas pengurus. Pengurus memikul tugas bagaimana dapat menjalankan BMT dengan cara memperoleh dana yang tidak merugikan BMT, dan menggunakannya seefektif dan seefisien mungkin. Hal ini merupakan wujud dari tujuan manajemen keuangan BMT yaitu memaksimalkan laba (SHU) yang pada akhirnya dapat memaksimalkan kesejahteraan anggota. Pecking Order Theory mengatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang berasal dari internal dari pada eksternal perusahaan. Penggunaan dana internal lebih didahulukan dibandingkan dengan penggunaan dana yang bersumber dari eksternal. Urut-urutan yang dikemukakan oleh teori ini dalam hal pendanaan adalah pertama laba ditahan diikuti dengan penggunaan hutang dan yang terakhir adalah penerbitan ekuitas baru (Myers, 1984 dalam Arief Susetyo, 2006). Pemilihan urutan pendataan ini menunjukkan bahwa pendanaan ini didasarkan dari tingkat cost of fund dari sumber-sumber tersebut yang juga berkaitan dengan tingkat resiko suatu investasi.
13
Sedangkan (Wald 1999 dalam Arief Susetyo, 2006 ) mengatakan bahwa struktur modal berhubungan dengan tingkat long term debt / asset ratio, resiko perusahaan, profitabilitas, firm size & growth. Keputusan pendanaan keuangan perusahaan akan sangat menentukan kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas operasinya dan juga akan berpengaruh meningkatkan
terhadap leverage
resiko maka
perusahaan
itu
sendiri.
Jika
perusahaan
perusahaan
ini
dengan
sendirinya
akan
meningkatkan resiko keuangan perusahaan. Dan sebaliknya perusahaan harus memperhatikan masalah pajak, karena sebagian ahli berpendapat bahwa penggunaan modal yang berlebihan akan menurunkan tingkat profitabilitas. Untuk itu sebagian manajer tidak sepenuhnya mendanai perusahaannya dengan modal tetapi juga disertai penggunaan dana melalui hutang baik itu hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang karena terkait dengan sifat penggunaan dari hutang tersebut yaitu bersifat mengurangi pajak. Untuk menilai tingkat profitabilitas bank digunakan analisis profitabilitas, dimana analisis profitabilitas ini untuk memberikan bukti pendukung mengenai kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dan sejauhmana keefektifan pengelolaan bank tersebut. Menurut Mudrajad Kuncoro (dalam Ani Maryani, 2006 : 9) “Tujuan analisis profitabilitas adalah untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan.” Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui analisis profitabilitas, manajemen dapat mengetahui kecenderungan perusahaan dalam mendapakan keuntungan baik dari pendapatan, efisiensi penggunaan asset maupun modal.
14
Untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat profitabilitas suatu perusahaan (bank) menurut Lukman Dendawijaya (2005:118) dapat diukur dengan rasiorasio seperti Return on assets, Return on equity, Rasio biaya operasional, dan Net profit margin. Digunakannya Return on Assets dalam menilai profitabilitas juga dikuatkan oleh pendapat Lukman Dendawijaya (2005: 118) yang mengatakan bahwa: Rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset. Hal senada diungkapkan oleh Dahlan Siamat (2004:102) yang menyatakan bahwa Rasio ROA memberikan informasi seberapa efisien suatu bank dalam melakukan kegiatan usahanya, karena rasio ini mengindikasikan berapa besar keuntungan dapat diperoleh rata-rata terhadap setiap rupiah asetnya.
Nilai ROA mengukur keseluruhan efektifitas bank dalam menghasilkan profit dengan aset yang tersedia atau dengan kata lain mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba dari aset yang dimilikinya. Semakin tinggi nilai ROA yang dicapai maka semakin baik bank tersebut dalam menghasilkan profit. Seperti halnya lembaga keuangan
pada umumnya, faktor profit
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan usaha perbankan. Program layanan kredit merupakan faktor yang sangat besar yang dapat mempengaruhi tingkat profitabilitas, sehingga bank mengamankan usahanya untuk mencapai tingkat profitabilitas yang optimum. Pengembalian kredit diharapkan dapat meningkatkan tingkat profitabilitas bank itu sendiri karena salah satu pendapatan yang diperoleh bank adalah dari pengembalian kredit yang
15
disalurkan, dimana kredit tersebut dapat menghasilkan bunga. Oleh karena itu pengelolaan dana untuk kredit harus dikelola dengan baik agar pengembalian kredit yang diharapkan oleh pihak bank terhadap debitur dapat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Sebagaimana diungkapkan oleh S. Munawir (2004 : 33) bahwa ...bagi para kreditur yang terpenting adalah faktor profitabilitas, karena profitabilitas ini merupakan jaminan yang utama bagi para kreditur tersebut dengan tanpa mengabaikan faktor-faktor lainnya. Betapapun besarnya likuiditas dan solvabilitas suatu perusahaan, kalau perusahaan tersebut tidak mampu menggunakan modalnya secara efisien atau tidak mampu memperoleh laba yang besar, maka perusahaan tersebut pada akhirnya akan mengalami kesulitan keuangan dalam mengembalikan utang-utangnya. Menurut Komaruddin Sastradipoera (2004: 270) Dalam bisnis perbankan, laba adalah jumlah yang tersisa setelah biaya tetap dan biaya variabel dikurangkan dari penerimaan bank; kelebihan pendapatan (income) di atas pengeluaran (expenditure) bank. Bisnis perbankan mengejar marjin laba yang merupakan selisih antara harga jual jasa dengan biaya produksi jasa dan biaya penjualannya. Dalam kaitan ini, setiap manajemen bank perlu memperhatikan rasio laba terhadap nilai bersih. Profitabilitas bisnis perbankan adalah kesanggupan bisnis perbankan untuk memperoleh laba berdasarkan investasi yang dilakukannya”. Profitabilitas bisnis perbankan yang tinggi akan menguntungkan bank, karena (i) Dapat menarik calon investor untuk menanamkan modal atau cadangannya dengan membeli saham yang diterbitkan bank. Dengan modal itu bisnis perbankan dapat memperbesar dayanya untuk melayani nasabah. Sebaliknya, profitabilitas yang rendah akan menyulitkan penjualan saham, atau mendorong para pesero yang ada bahkan menjual kembali sahamnya sehingga karenanya kurs saham akan tertekan di bursa efek.(ii) Dapat menambah cadangan bisnis perbankan sehingga kredibilitas nasabah terhadap bank itu pun akan bertambah besar. Sebaliknya,
16
profitabilitas yang rendah akan menurunkan kredibilitas nasabah terhadap manajemen bisnis perbankan. Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka paradigma penelitiannya adalah sebagai berikut : Tingkat pengembalian kredit (X1) Tingkat Profitabilitas (Y)
Struktur modal (X2)
Gambar 1.1 Paradigma Penelitian
1.6 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian, kebenarannya harus diuji secara empiris. Menurut Suharsimi Arikunto (1998:67). Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data terkumpul. Berdasarkan permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : a. Terdapat pengaruh positif
antara pengembalian kredit dengan tingkat
profitabilitas BMT se- Bandung Raya. b. Terdapat pengaruh positif antara struktur modal dengan tingkat profitabilitas BMT se- Bandung Raya. c. Pengembalian kredit dan struktur modal secara simultan berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas BMT se-Bandung Raya.