BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu
tuntutan yang harus dipenuhi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas tempat tumbuh dan teknik silvikultur yang dikembangkan. Salah satu faktor tolok ukur produktivitas adalah pertumbuhan. Pertumbuhan yang baik dipengaruhi oleh kualitas tempat tumbuh yang baik. Program rehabilitasi hutan Dipterocarpa bekas tebangan dengan teknik silvikultur intensif bertujuan untuk mengubah kondisi hutan yang kurang prospektif menjadi hutan prospektif, sehat dan lestari. Hutan yang prospektif adalah hutan yang produktivitasnya dan kualitas produknya tinggi dan dikelola secara efisien, sehingga sebanyak mungkin kegiatan dicurahkan untuk memperoleh produktivitas yang tinggi dan mengupayakan agar produktivitas dan kualitas produknya meningkat dari rotasi ke rotasi berikutnya. Salah satu jenis yang digunakan dalam pembangunan hutan tanaman di luar Jawa adalah meranti. Tanaman ini merupakan jenis dengan pertumbuhan sedang, tetapi mampu mencapai standar 400 m³/ha/30 tahun. Di samping itu sebaran alami sangat luas hampir semua lokasi ada spesies meranti (Soekotjo, 2009). Meranti merupakan salah satu jenis dari Sub Family Dipterocarpaceae asli Kalimantan yang dikenal dengan nama meranti merah (red meranti). Di hutan
1
2
alam jenis ini dapat mencapai diameter 100 cm dengan tinggi batang bebas cabang 30 m. Kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti kayu lapis (plywood), kayu gergajian (sawtimber) dan bahan bangunan. Hasil pengamatan
pertumbuhan
tanaman
meranti
merah
di
berbagai
tempat
menunjukkan adanya variasi pertumbuhan baik tinggi maupun diameter. Di Samboja tanaman Shorea leprosula umur 10 tahun mempunyai rerata diameter 23,8 cm dengan diameter tertinggi mencapai 26,7 cm. Selanjutnya di Malinau tanaman umur 30 tahun rerata diameternya adalah 35,6 cm dengan diameter tertinggi mencapai 54,1 cm. Penanaman jenis ini dalam skala besar belum banyak dilakukan, untuk itu potensial hutan tanaman khususnya meranti merah perlu ditingkatkan guna menunjang industri perkayuan. Disamping itu dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cepat dan pasaran kayu yang sudah terkenal maka prospek penanaman meranti cukup cerah dan cukup menjanjikan ( Anonim., 2002). Di PT.Sarpatim telah mencoba membandingkan pertumbuhan dari buah meranti (S.leprosula) yang jatuh pada bulan Maret 2005 sebagian tertinggal di bawah pohon induk dan sebagian besar dipungut untuk disemaikan di persemaian. Setelah tanaman di lapangan berumur 5 bulan, tinggi tanaman (hasil persemaian) dibanding dengan tinggi wildling (semai dari cabutan yang buahnya juga berasal dari panen raya buah meranti yang sama yaitu bulan Maret 2005) hasilnya sangat berbeda jauh yaitu wildling masih setinggi 15 cm, sedangkan yang dibawa ke persemaian terlebih dahulu tingginya >15 cm. Perbedaan pertumbuhan ini karena perbedaan manipulasi lingkungan, sungguhpun diakui bahwa ada juga kontribusi
3
faktor genetik (Soekotjo, 2009). Contoh lain ditunjukkan oleh akibat pembukaan tajuk di PT.Sari Bumi Kusuma pada tanaman spesies target (S. leprosula) berumur 3 tahun yang terbuka dibandingkan dengan yang masih agak ternaung beda pertumbuhan diameternya bisa mencapai 20%-30%. Baik akibat pembukaan tajuk maupun pemeliharaan lain, semuanya itu termasuk kelompok manipulasi lingkungan (Wijaya, 2006). Semai yang digunakan dalam penelitian umurnya kurang lebih satu tahun akan tetapi tinggi rata-rata kurang dari 50 cm dan diameter rata-rata kurang dari 5 mm. Menurut Mansur (2010) tinggi bibit yang dapat ditanam di lapangan jika telah mencapai 30-50 cm dengan diameter minimal 5 mm. Manipulasi pada persemaian bertujuan agar pertumbuhan bibit meningkat dan memperoleh lingkungan yang optimal untuk tumbuhnya, sehingga bibit memiliki vigor yang cukup baik dan siap untuk ditanam di lapangan. Bibit yang demikian akan cepat menyesuaikan dengan kondisi lapangan sehingga dapat tumbuh dengan cepat. Untuk familia Dipterocarpaceae terutama jenis S. leprosula dengan tinggi bibit kurang dari 60 cm diduga belum kuat jika akan ditanam di hutan alam karena akan sulit untuk menghadapi persaingan dengan tumbuhan bawah. Untuk itu diperlukan suatu kajian tentang manipulasi lingkungan yaitu pengaruh naungan dan pemupukan pada semai S. leprosula untuk mempercepat dan meningkatkan pertumbuhan semai tersebut. Selain itu meranti merupakan jenis gap opportunist sehingga pada tingkat semai memerlukan naungan dan pupuk perlu diberikan karena semai setelah disapih memerlukan unsur hara untuk pertumbuhannya. Salah satu jenis pupuk yang baik untuk digunakan dalam memacu pertumbuhan
4
adalah NPK. Pupuk ini termasuk salah satu jenis pupuk yang lengkap, karena mengandung unsur hara N, P, dan K yang merupakan unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman (Herdiana dkk,, 2007).
1.2.
Permasalahan Bibit siap tanam di lapangan haruslah memiliki kriteria yang baik, yaitu dengan tinggi antara 30-50 cm dan diameter minimal sebersar 5 mm. Oleh sebab itu perlu adanya upaya untuk memacu pertumbuhan bibit dari familia Dipterocarpaceae yang akan di tanam di lapangan melalui pemberian naungan dan pemupukan NPK dengan berbagai dosis agar kondisi bibit baik tinggi dan diameternya maksimum sehingga bibit mampu bertahan dari adanya persaingan saat ditanam di lapangan terutama di hutan alam.
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh dosis pupuk terhadap pertambahan tinggi dan diameter semai S. leprosula. 2. Mengetahui pengaruh naungan terhadap pertambahan tinggi dan diameter semai S. leprosula. 3. Mengetahui pengaruh interaksi antara dosis pupuk dan naungan terhadap pertambahan tinggi dan diameter semai S. leprosula.
5
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengetahui perlakuan naungan yang tepat untuk pertumbuhan semai meranti (S. leprosula) dan dosis pupuk NPK yang sesuai untuk kebutuhan semai S. leprosula umur satu tahun akan tetapi memiliki pertumbuhan tinggi dan diameter yang kurang optimal. Informasi tersebut dapat digunakan untuk pengembangan semai meranti skala operasional.