BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan hutan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Dijelaskan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi
pokok memproduksi
hasil
hutan, hutan lindung sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, serta hutan konservasi sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2008) Selanjutnya hutan konservasi dikelompokkan lagi menjadi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru. Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sementara kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam (Departemen Kehutanan, 2008) Kendati telah ditunjuk sesuai fungsinya, kerusakan kawasan hutan telah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Badan Planologi Kehutanan, sampai akhir tahun 2004 kawasan hutan
1
yang terdegradasi mencapai 59,17 juta hektar. Laju kerusakan hutan antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 diperkirakan mencapai 2,8 juta hektar per tahun. Walaupun kerusakan hutan terjadi juga pada kawasan hutan lindung dan konservasi namun kerusakan pada kawasan hutan produksi terlihat paling signifikan. Hal ini dibuktikan dengan turunnya produksi kayu hutan alam dari 27,56 juta m3 pada tahun 1987 menjadi 5,14 juta m3
pada tahun 2004 dan berkurangnya j um la h Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dan industrinya dari 538 unit pada tahun 1987 menjadi 287 unit pada 2004 (Departemen Kehutanan, 2006). Kerusakan hutan alam tidak hanya menyebabkan berkurangnya produksi kayu namun diiringi penurunan kualitas ekosistem hutan di seluruh Indonesia. Penurunan kualitas ekosistem hutan ditunjukkan oleh menurunnya fungsi dan kemampuan ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan diantaranya berkurangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan menahan laju sedimentasi dan erosi serta hilangnya tumbuhan dan satwa liar endemik dan langka di Indonesia. Untuk menghindari laju penurunan kualitas ekosistem hutan tersebut, pemerintah kemudian mengalihkan perhatian pada pembangunan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, dimana pemerintah telah menetapkan 50 unit taman nasional dengan luas 16,38 juta hektar atau sekitar 65% dari luas seluruh kawasan konservasi di Indonesia, 116 unit taman wisata alam, 18 unit taman hutan raya, 14 unit taman buru, 228 unit cagar alam dan 76 unit suaka margasatwa (Ditjen PHKA, 2008).
2
Berdasarkan klasifikasi kawasan konservasi, taman nasional merupakan model pengelolaan kawasan konservasi yang paling lengkap dan paling maju di Indonesia (Wiratno et. al., 2004). Taman nasional merupakan model pengelolaan kawasan konservasi yang diakibatkan oleh perubahan pokok pengelolaan konservasi dari pendekatan spesies ke pendekatan ekosistem dengan demikian dalam penetapannya dibutuhkan kawasan yang luas. Taman Nasional adalah Kawasan Perlindungan Alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Diakui sejak pembentukannya, taman nasional masih mengadopsi konsep National Park. Kategori kawasan konservasi IUCN (International Union for Conservation of the Nature and Natural Resources) walaupun tidak seluruhnya diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 (Samedi, 2008) memiliki kelemahan
apabila
diterapkan di Indonesia. Konsep kawasan
National
dilindungi
Park
(protected)
yang diterapkan di Amerika sebagai dan
tertutup (closed area) tidak
mungkin diterapkan di Indonesia yang memiliki kurang lebih 2.040 desa yang
berbatasan
langsung
dengan
kawasan
konservasi
(Ditjen
PHKA,2008).
3
Di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah terdapat beberapa komunitas adat yang bermukim di sekitar kawasan penyangga (buffer zone). Diantara komunitas tersebut, terdapat komunitas adat Toro yang secara konsisten menerapkan kearifan tradisional dalam berinterkasi dengan lingkungan alamnya. Berbeda dengan komunitas adat pada umumnya di Indonesia, komunitas adat Toro sejak tahun 2000, secara resmi diberi otonomi oleh TNLL dalam merencanakan dan memantau pemanfaatan sumberdaya alam dalam wilayah adat di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu. Pemberian otonomi tersebut adalah tidak terlepas dari kearifan tradisional yang terdapat pada komunitas adat Toro sebagaimana yang dikemukakan oleh
Fremerey (2002) bahwa penguasaan, distribusi dan
penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Masyarakat sekitar TNLL memiliki beberapa tradisi, adat istiadat dan tatanan nilai-nilai budaya lokal yang dijadikan sebagai penuntun dan patokan
dalam kegiatan hidup sehari-hari, termasuk diantaranya cara
mereka mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan. Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat adalah warisan turun temurun sebagai cara pengelolaan sumber daya hutan. Walaupun sifatnya sangat sederhana, tetapi terbukti telah dapat mengembangkan pengetahuan dan cara-cara yang efektif untuk mempertahankan wilayah dan lingkungannya secara arif.
4
Kearifan tradisional pada masyarakat adat Toro adalah juga merupakan refleksi dari pandangan-pandangan hidup yang ada pada mereka. Misalnya konsep pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhan sehari-hari sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga keseimbangan dan keserasian hubungannya dengan alam. Atau pemanfaatan sumber daya alam itu dimungkinkan tetapi harus melalui mekanisme yang ketat yang dikontrol oleh lembaga adat melalui ―Tondo Ngata“ yang bertanggung jawab dalam menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya hutan di wilayah adat Toro. Pelibatan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, dalam pengelolaan hutan merupakan implikasi dari pergeseran paradigma pembangunan kehutanan dari berbasis negara menjadi berbasis masyarakat. Pergeseran orientasi tersebut mengemuka dalam konteks perkembangan sistem global yang dilatari oleh keprihatinan terhadap paradigma pembangunan kehutanan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan aspek ekologi dan sosial, sehingga menimbulkan krisis multidimensi, seperti kemiskinan, banjir, erosi, tanah longsor, turunnya produktivitas lahan, pemanasan global, dan lain sebagainya. Perubahan dan pergeseran paradigma pola pengelolaan sumberdaya hutan ini telah memberi peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan diharapkan akan memberikan jaminan keberlanjutan fungsi ekologi, produksi, dan fungsi
5
sosial melalui konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan, karena masyarakat lokal memiliki sejumlah pengetahuan atau kearifan lokal sebagai hasil pembelajaran dan pengalaman berinterkasi dengan lingkungan alaminya dalam jangka waktu yang panjang (Sunaryo dan Joshi, 2003; Nugraha dan Murtijo, 2005). Sejumlah penelitian tentang keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah dilakukan, seperti halnya oleh Khotim (2003), tentang partisipasi masyarakat dalam mewujudkan model pengelolaan hutan desa, Zunariyah (2003) meneliti tentang analisis ekonomi dan finansial pengelolaan hutan desa di Kabupaten Kulon Progo, DIY, dan menyimpulkan bahwa masyarakat melalui kemampuan tradisional mereka telah mampu mengelola sumberdaya hutan yang memberikan kontribusi selain terhadap mata pencaharian mereka, juga berdampak pada perbaikan lingkungan. Bahkan mereka telah berhasil merubah lahan-lahan yang dulunya kritis menjadi lahan-lahan produktif. Juga dilaporkan oleh Kusworo (2000), keberhasilan penduduk lokal membangun hutan Damar secara lestari melalui pola Agroforestry 50.000 ha di Pesisir Krui Lampung dan juga masyarakat adat telah berhasil menjaga hutan alam di Lampung Barat. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim (2001) yang mengkaji
tentang
aspek
kelembagaan
yang
menunjang
kelestarian
sumberdaya hutan Suku Kajang di SulawesI Selatan melalui kearifan lokal ―Pasang‖.
Demikian
juga
Uluk
dkk
(2001)
melaporkan
tentang
ketergantungan masyarakat Dayak terhadap hutan dengan kearifan lokal
6
―Tana’ Ulen‖ dan Zakaria (1994) melaporkan hasil pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, sedangkan Suku Hatam di Pegunungan Arfak Manokwari dengan kearifan lokal “Igya Ser Hanjop” telah sukses mempertahankan kondisi sumberdaya hutan melalui kearifan lokal yang mereka telah dikembangkan dari generasi ke generasi. Keberhasilan masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari adalah tidak terlepas dari cara pandang mereka terhadap eksistensi sumberdaya hutan itu sendiri. Menurut Zakaria (1994), masyarakat lokal memiliki kearifan lingkungan yang bercorak kosmis-magis
(religio-magis)
berpandangan
bahwa
manusia
adalah
sebahagian dari alam lingkungan itu sendiri. Manusia tidak terpisah dan berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan komponen lingkungan yang lain. Dengan demikian tidak ada pemilah-milahan antara manusia dengan alam, tidak ada batasan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Segala yang ada di alam semesta berbaur menjadi satu, bersangkut-paut, jalin-menjalin, dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena manusia senantiasa menjalin dengan semua komponen yang ada di alam semesta. Penelitian Golar (2006) tentang adaptasi sosio-kultural komunitas adat Toro dalam mempertahankan keletarian hutan yang secara spesifik mengkaji kelembagaan adat Toro dalam pengelolaan hutan dengan melakukan komparasi antara pengelolaan hutan sebelum dan sesudah revitalisasi kelembagaan adat.
7
Fremerey
(2002)
tentang
local
communities
as
learning
organizations yang mengkaji potensi pengetahuan masyarakat adat yang memungkinkan untuk mengembangkan model
pembelajaran secara
organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara lestari. B.
Keaslian Penelitian Kajian-kajian tersebut di atas menunjukkan bahwa penelitian yang
spesifik tentang bagaimana implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan pada pembangunan kawasan penyangga belum dilakukan. Konsep penelitian diarahkan untuk mengamati implementasi kearifan lokal dalam pegelolaan kawasan penyangga yang melestarikan fungsi-fungsi hutan, yaitu kelestarian fungsi ekologi, produksi, dan kelestarian fungsi sosial, serta merumuskan model pengelolaan sumber daya hutan berdasarkan kondisi ekologis wilayah hutan adat dan kearifan lokal masyarakat adat Toro untuk mendukung kelestarian ekosistem kawasan penyangga TNLL yang akan datang. Spesifikasi atau keaslian lain dari penelitian ini dapat dilihat dari model analisis yang digunakan. Penelitian terdahulu belum memasukkan teknik analisis sistem dinamis yang melihat secara keseluruhan hubungan sub sistem satu sama lain dan fungsi ekologi, produksi dan sosial sekalipun dalam membuat interpretasi dan eksplanasi tetap saja analisis kualitatif karena sangan disadari bahwa untuk memahami makna dari hubunganhubungan sosial yang diamati, pendekatan kualitatif sosial budaya merupakan suatu keharusan.
8
Tabel 1 Perbandingan Beberapa Penelitian Terdahulu di Toro No.
Peneliti
Judul
Tahun
Tujuan
1.
Golar (Disertasi)
Strategi Adaptasi Masyarakat Adat Toro
2006
1.Menjelaskan wujud revitalisasi kelembagaan adat. 2.Menjelaskan performansi kelembagaan adat yang direvitalisasi 3.Menjelaskan implikasi revitalisasi kelembagaan adat terhadap kelestarian sumberdaya hutan
2.
Shohibuddin ( Tesis )
Artikulasi Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sebagai Proses Reproduksi Budaya
2003
1. Memberikan deskripsi etnografis atas aspek-aspek terpenting dari sistem sosio-kultural masyarakat Toro 2.Mengkaji dinamika sistem sosial budaya suatu masyarakat yang tercipta dari perjumpaan dengan jenis pengetahuan lain seperti wacana konservasi alam dan otonomi daerah 3.Menelaah signifikansi dari dinamika sosiokultural
9
C. Rumusan Masalah Kementrian Kehutanan, sebagai otoritas pengelola hutan di Indonesia, selalu terus berupaya untuk menghasilkan suatu strategi model pengelolaan kawasan hutan yang bisa memberikan keseimbangan fungsi ekologi, produksi dan sosisal. Berbagai aturan tentang hutan dan kehutanan telah banyak dikeluarkan, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri dan sebagainya; yang semuanya bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi hutan. Namun demikian laju kerusakan hutan di Indonesia tetap tinggi. Kebijakan pengelolaan kawasan hutan yang memandang hutan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan menjadi bagian bagi masyarakatnya belum tersurat dengan jelas. Pembagian kawasan hutan, pemisahan hutan dengan masyarakat, dan disentralisasi kehutanan masih menjadi landasan dalam pengelolaan kawasan hutan saat ini. Kerusakan hutan dan lingkungan di Indonesia saat ini sudah berada pada taraf yang cukup mengkhawatirkan. Laju degradsi hutan yang mencapai 2,2 juta hektar pertahun (FWI, 2008), cadangan tegakan di lapangan terus menurun, konflik dengan masyarakat terus meningkat (Simon, 2007), yang diikuti dengan rutinitas banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, serangan hama dan kekeringan, merupakan indikasi ketidak tepatan pengelolaan hutan dan lingkungan. Konsep pengelolaan kawasan hutan yang dimotori oleh pemerintah ternyata belum memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan ekosistm hutannya sendiri.
10
Perencanaan
pengelolaan
lingkungan
alam
tanpa
mau
mempertimbangkan karakteristik budaya setempat yang telah terintegrasi dengan alam menyebabkan kesalahan dan kegagalan laten dipastikan akan terjadi. Hal inilah yang kemudian ditegaskan Taledo (dalam Rahayu, 1997) bahwa dalam negara yang masyarakat pedesaannya menunjukkan cirri keseragaman budaya yang kuat, sulit merancang kebijakan konservasi tanpa mempertimbangkan aspek budaya yang mengandung kearifan lokal karena telah terbentuk dan terjalin hubungan erat dari masa prasejarah alam dan budaya. Berdasarkan observasi, kearifan local bukan hanya berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik antara manusia tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara sesama penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun (Keraf, 2005). Dengan menempatkan komunitas masyarakat Toro sebagai suatu sistem, akan diperoleh informasi dan hubungan antara komponen-komponen di dalamnya dalam pengelolaan kawasan penyangga. Konsep pengelolaan kawasan penyangga oleh masyarakat Toro dengan segala aturannya diharapkan bisa memperkaya kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan di TNLL dalam rangka merumskan model pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan penyangga yang mengedepankan keseimbangan fungsi ekologi, produksi dan sosial.
11
Hal inilah yang akan diangkat dalam disertasi ini dengan memahami atau mendeskripsikan kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, memahami secara mendalam pengetahuan atau kearifan lokal masyarakat Adat Toro dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
dan model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga
TNLL yang lestari. Model pengelolaan kawasan penyangga oleh masyarakat Toro dengan segala aturannya diharapkan bisa memperkaya kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan di TNLL dalam rangka merumuskan model pengelolaan kawasan penyangga yang mengedepankan keseimbangan fungsi ekologi, produksi dan sosial. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL oleh masyarakat adat desa Toro? 2. Pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan dan kearifan lokal dengan nilai-nilat adat masyarakat Toro dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL? 3. Bagaimana konsep pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL yang seharusnya ? 4. Bagaimana merumuskan model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga?
12
D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Memahami model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL oleh masyarakat adat Desa Toro. 2. Memahami pengetahuan dan kearifan lokal dengan nilai-nilai adat masyarakat Toro dalam pegelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 3. Memahami konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 4. Mengonstruksi model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan konsep pengelolaan hutan di kawasan penyangga yaitu : 1.
Sebagai bahan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga.
2.
Sebagai bahan rujukan kepada para peneliti dalam melakukan penelitian lanjutan tentang pengelolaan sumber daya hutan di kawasan penyangga
3.
Diharapkan melalui penelitian ini diperoleh bahan masukan yang penting bagi para pengambil kebijakan pembuat perencanaan pembangunan di daerah sehubungan dengan strategi pengelolaan sumber daya hutan agar tercapai pengelolaan hutan lestari dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
13
D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Memahami model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL oleh masyarakat adat Desa Toro. 2. Memahami pengetahuan dan kearifan lokal dengan nilai-nilai adat masyarakat Toro dalam pegelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 3. Memahami konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 4. Mengonstruksi model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga TNLL.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan konsep pengelolaan hutan di kawasan penyangga yaitu : 1. Sebagai bahan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan penyangga. 2. Sebagai bahan rujukan kepada para peneliti dalam melakukan penelitian lanjutan tentang pengelolaan sumber daya hutan di kawasan penyangga 3. Diharapkan melalui penelitian ini diperoleh bahan masukan yang penting bagi para pengambil kebijakan pembuat perencanaan pembangunan di daerah sehubungan dengan strategi pengelolaan sumber daya hutan agar tercapai pengelolaan hutan lestari dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
13