BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kumpulan pohon akan membentuk suatu iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luar, sehingga apabila berada di dalam hutan akan merasakan udara yang lebih sejuk dibandingkan udara di luar hutan. Menurut FAO (2015), definisi hutan adalah lahan yang luasnya lebih dari 0,5 Ha dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter, dan penutupan tajuk lebih dari 10 persen atau pohon dapat mencapai ambang batas, tidak termasuk lahan yang sebagian besar pertanian dan pemukiman. Di samping definisi hutan, UU No 41 Tahun 1999 menyebutkan pengertian dari kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan sampai dengan tahun 2014 adalah seluas 126.302.229,98 Ha, sedangkan luas daratan kawasan hutan sampai dengan tahun 2014 adalah seluas 120.981.305,98 Ha (KLHK, 2015). Pengertian dari hutan lindung sering kali tertukar dengan pengertian dari kawasan lindung. Kawasan lindung mempunyai cakupan yang lebih luas daripada
1
hutan lindung dan hutan lindung termasuk dalam kawasan lindung. Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 menyebutkan pengertian dari kawasan lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Menurut pasal 1 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan mempunyai 3 fungsi pokok, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Dari fungsi pokok hutan tersebut hutan ditetapkan menjadi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Salah satu kegiatan pengelolaan hutan menurut UU No 41 Tahun 1999 adalah pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Penataan hutan lindung dilakukan dengan membagi hutan lindung menjadi 3 blok, yaitu blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. Pemanfaatan hutan lindung hanya dapat dilakukan pada blok pemanfaatan. Penataan dan pemanfaatan hutan baik itu hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
2
Ginoga, dkk. (2005) menyatakan bahwa terdapat setidaknya 6 permasalahan dalam kebijakan pengelolaan hutan lindung di Indonesia. Permasalahanpermasalahan tersebut adalah sebagai berikut. 1.
Terdapatnya perbedaan mendasar dalam istilah-istilah pengelolaan hutan lindung pada peraturan perundang-undangan.
2.
Masih adanya dualisme pemerintah dalam mengelola hutan lindung. Di satu sisi pemerintah berupaya untuk melindungi dan melestarikan keberadaan hutan lindung, tetapi di sisi lain membuka kesempatan eksploitasi hutan lindung.
3.
Kebijakan yang diambil pemerintah dalam pengelolaan hutan lindung belum harmonis.
4.
Adanya overlapping kebijakan sehingga membingungkan pelaksana di daerah.
5.
Kurangnya apresiasi pemerintah terhadap fungsi ekologis hutan lindung.
6.
Peraturan yang lebih rendah tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Rumbouw (2011) menyatakan bahwa permasalahan dalam pengelolaan hutan
lindung adalah pembalakan liar dan adanya kebakaran hutan. Pembalakan liar tidak hanya berlokasi pada kawasan hutan produksi tetapi sudah merambah pada hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan salah satunya dapat dilihat pada hutan lindung di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Pada hutan lindung ini terdapat kegiatan operasi produksi panas bumi a.n. PT. Pertamina Geothermal Energy-Chevron Geothermal Indonesia (PT. PGE-CGI).
3
PT. PGE-CGI telah memiliki perjanjian pinjam pakai kawasan hutan seluas 7,5 Ha sesuai dengan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan dengan Kompensasi antara Departemen Kehutanan/Perum Perhutani dengan Pertamina/Amoseas, Nomor la/044.3/III/1996 tanggal 5 Januari 1996. Perjanjian tersebut telah diperpanjang dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 457/Menhut-2/2014 tanggal 7 Mei 2014, dengan masa berlaku izin pinjam pakai kawasan hutan sampai dengan tahun 2043. Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT. PGE-CGI merupakan pertambangan bawah tanah sesuai dengan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Valuasi ekonomi hutan lindung dapat menggambarkan nilai manfaat tidak langsung hutan lindung yang akan hilang apabila dilakukan kegiatan pertambangan. Pemilihan lokasi dilakukan di hutan lindung di Kabupaten Garut karena lokasi relatif lebih mudah dijangkau mengingat keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini.
4
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014 Gambar 1.1 Peta Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan a.n. PT. Pertamina Geothermal Energy-Chevron Geothermal Indonesia
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kawasan hutan menyimpan sumber daya alam yang berada di atas maupun di dalam tanah dan salah satunya adalah bahan tambang. Walaupun berada dalam kawasan hutan, pengelolaan pertambangan dan kehutanan berada di bawah Kementerian yang berbeda sehingga pengaturan mengenai pertambangan di kawasan hutan harus didasarkan pada peraturan dari Kementerian terkait. Untuk dapat melakukan kegiatan pertambangan pada kawasan hutan diperlukan suatu izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). IPPKH ini tidak
5
hanya berlaku untuk pertambangan tetapi juga berlaku untuk semua kegiatan di luar sektor kehutanan yang berada di kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan dapat dilakukan pada Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL). Penggunaan kawasan hutan pada HL hanya boleh dilakukan dengan pola pertambangan bawah tanah dan dilarang mengakibatkan turunnya permukaan tanah, berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, dan terjadinya kerusakan akuifer air tanah. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004, terdapat 13 izin atau perjanjian yang diperbolehkan melakukan pertambangan terbuka pada hutan lindung sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut. Perusahaan ini merupakan perusahaan pemegang izin atau perjanjian yang ditandatangani sebelum Undang-Undang No. 41 Tahun 1999. Berdasarkan amar kedua, pelaksanaan usaha bagi 13 perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan lindung didasarkan pada izin pinjam pakai yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Oleh karena itu, maka ketiga belas izin atau perjanjian tersebut harus mengajukan permohonan IPPKH sesuai ketentuan yang berlaku. Sampai dengan tahun 2015 ketiga belas perusahaan tersebut sebagian besar telah memperoleh IPPKH Operasi Produksi dan sebagian lain masih dalam tahap kegiatan eksplorasi. Manik (2003: 17) menyatakan bahwa pada setiap kegiatan atau proyek pembangunan akan memerlukan lokasi, dan lokasi ini dapat merupakan ekosistem
6
ataupun bagian dari ekosistem. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan akan mengakibatkan dampak atau gangguan terhadap lingkungan. Dampak ini tidak mungkin ditiadakan atau dihilangkan secara total, tetapi dapat diminimalkan dampak negatifnya. Kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan yang berada di dalam kawasan hutan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kerusakan hutan. Angka deforestasi Indonesia tahun 2012-2013 adalah 727.981,2 Ha dan sebesar 41.191,1 Ha berada pada HL. Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan (termasuk perubahan untuk perkebunan, pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain) (KLHK, 2015). Menurunnya fungsi lingkungan menurut Suparmoko dan Maria (2000: 2) karena sifat atau ciri lingkungan alami itu sendiri telah menyebabkan manusia untuk mengeksploitasi secara berlebihan sehingga menurunkan fungsi lingkungan. Sifat yang melekat pada lingkungan yaitu barang publik, kepemilikan bersama atau milik umum, dan eksternalitas. Eksploitasi lingkungan secara berlebihan menurut Manik (2003: 51) banyak dilakukan karena belum diciptakan mekanisme pasar yang membatasinya. Suparmoko dan Maria (2000: 16) menyatakan bahwa untuk memasukkan lingkungan ke dalam berbagai kebijakan ekonomi, maka pemberian harga atau nilai moneter terhadap produk dan jasa lingkungan tersebut sangat diperlukan. Setelah sumberdaya alam diketahui kepemilikan dan penguasaannya secara pasti, maka semua kegiatan ekonomi yang memanfaatkan dan mengurangi volume sumber daya
7
tersebut harus dikenai pungutan atau harga sesuai dengan penggunaannya atau kerusakan yang ditimbulkan (Suparmoko dan Maria, 2000: 19). Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan akan membawa konsekuensi berubahnya kemampuan hutan dalam menyediakan fungsi lindung, produksi dan konservasi. Oleh karena itu, wajar bagi pemerintah untuk mengenakan suatu kompensasi terhadap semua kegiatan yang berada di dalam kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 16 Tahun 2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, pemegang IPPKH harus menyediakan suatu ganti rugi kepada pemerintah berupa lahan kompensasi dan penerimaan negara bukan pajak penggunaan kawasan hutan (PNBP PKH). Lahan kompensasi dikenakan apabila izin pinjam pakai kawasan hutan berada pada provinsi yang luas hutannya kurang dari 30 persen dari luas wilayah. Kompensasi penggunaan kawasan hutan yang berada pada provinsi dengan luas kawasan hutan lebih dari 30 persen dari luas DAS, pulau dan atau provinsi adalah dengan membayar PNBP PKH dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai. Besarnya jenis dan tarif PNBP PKH diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2014. Penambangan di hutan lindung akan mengganggu fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Seiring dengan waktu dan perkembangan perekonomian Indonesia, besarnya
8
tarif PNBP PKH yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 dipandang tidak sesuai dengan kerusakan hutan yang ditimbulkan. Tarif tersebut dianggap tidak lagi memadai sebagai sumber pendapatan negara, sehingga diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2014. Dengan pertimbangan tersebut, maka diharapkan tarif PNBP PKH yang baru dapat mendekati nilai kerusakan hutan dan dapat meningkatkan PNBP PKH sebagai sumber pendapatan negara. Penggunaan kawasan hutan di hutan lindung selain menghasilkan penerimaan negara tidak dapat dipungkiri akan mengakibatkan kerusakan hutan. Fungsi ekologis hutan lindung sudah pasti terkena dampak yang cukup besar. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa PNBP PKH perlu ditingkatkan penerimaannya mengingat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan non kehutanan sangat besar. Perlu dilakukan studi untuk mengetahui nilai kerusakan hutan lindung akibat penggunaan kawasan hutan tersebut dan apakah tarif PNBP PKH telah sesuai dengan nilai kerusakan tersebut.
1.2
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai valuasi ekonomi hutan telah banyak dilaksanakan
dengan berbagai metode dan alat analisis. Berdasarkan hasil kajian pustaka, terdapat beberapa penelitian yang mendekati penelitian yang akan dilaksanakan. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada lokasi, objek penelitian, metode yang digunakan dan alat analisis. Yulian, dkk. (2011) melakukan valuasi ekonomi pada Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto di Kalimantan Timur. Metode valuasi yang digunakan adalah
9
pendekatan produktivitas, pendekatan harga pengganti dan pendekatan penilaian kontingensi.
Nilai
ekonomi
total
Tahura
Bukit
Soeharto
adalah
Rp141.390.367.264.492,00 yang terdiri dari nilai ekonomi manfaat langsung (direct use value) Rp128.451.726.127.065,00. Nilai
ekonomi
Rp9.185.441.098.063,79,
manfaat
tidak
langsung
nilai
ekonomi
manfaat
(indirect pilihan
use
value)
(option
value)
Rp141.390.367.264.492,00, serta nilai ekonomi kerusakan sumber daya alam Rp6.827.810.650.719,90. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada lokasi, metode, dan variabel penelitian. Widada dan Darusman (2004) meneliti nilai ekonomi air domestik dan pertanian pada desa-desa di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Nilai ekonomi total air domestik didasarkan pada konsumsi air domestik per kapita yang air domestiknya bersumber dari TNGH, dan nilai ekonomi total air pertanian didasarkan pada luas panen sawah per tahun yang airnya bersumber dari TNGH. Nilai ekonomi air total sebesar Rp6,64 miliar (Rp173.278,47 per Ha), mencakup nilai air domestik sebesar Rp5,22 miliar (Rp136.192,86 per Ha) dan nilai air pertanian sebesar Rp1,42 miliar (Rp37.048,63 per Ha). Nilai tersebut merupakan nilai manfaat TNGH sebagai penyedia air bagi masyarakat disekitar TNGH dan dihitung berdasarkan biaya pengadaan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terdapat pada lokasi, metode dan variabel penelitian. Hasil penelitian Widada dan Darusman (2004) digunakan sebagai data nilai air. Setiawaty (2012) menghitung nilai ekonomi total lingkungan dari pertambangan emas Pongkor. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa nilai total
10
depresiasi sumber daya alam dan lingkungan akibat kegiatan penambangan emas di Pongkor per tahunnya adalah Rp125.488.337.770. Nilai ini mencerminkan bahwa selama 5 tahun pengoperasian pertambangan, telah terjadi penyusutan sumber daya alam dan lingkungan yang merupakan kerugian ataupun dampak negatif dari penambangan tersebut sebesar Rp125.488.337.770 pertahunnya. Muin, dkk. (2015) menganalisis kerugian banjir pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa total kerugian permukiman dan kerugian pertanian untuk banjir 25 tahunan masing-masing mencapai Rp720 dan Rp68 miliar. Kerusakan bangunan rumah menjadi penyumbang tertinggi (yaitu 61%) dari total kerugian sektor permukiman. Darusman (1993) meneliti nilai ekonomi air untuk pertanian dan rumah tangga di sekitar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) pada tahun 1991. Pendugaan biaya air yang digunakan untuk keperluan masing-masing rumah tangga dan petani menggunakan dua macam metode, yaitu metode biaya pengadaan dan metode penilaian kontigensi. Hasil yang didapatkan yaitu bahwa nilai manfaat air yang disediakan TNGGP adalah sebesar Rp4.341 miliar per tahun (Rp280 juta per Ha per tahun). Ginoga, dkk. (2006) meneliti nilai ekonomi air di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cirasea dengan menggunakan metode biaya pengadaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai ekonomi total untuk manfaat hidrologis di Sub DAS Konto DAS Brantas sebesar Rp76.769.512.989,40/tahun dan nilai ekonomi total untuk manfaat hidrologis di Sub DAS Cirasea sebesar Rp37.873.740.832/tahun.
11
Dengan volume yang sama, nilai air dengan tarif PDAM (Rp2.083/m3) di DAS Brantas 10,75 kali lebih besar dibandingkan dengan nilai air yang dibayarkan masyarakat. Pada DAS Citarum, nilai air dengan tarif PDAM (Rp2.667/m3) 2,81 kali lebih besar dibandingkan dengan nilai air yang dibayarkan masyarakat pengguna mata air Citarum. Utama (2009) menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hijau sektor kehutanan di Kabupaten Karangasem, Bali. Dari penelitian diketahui bahwa nilai degradasi lingkungan karena kerusakan hutan dari tahun 2004 - 2006 berturutturut yaitu Rp13,03 juta, Rp7,97 juta, dan Rp49,15 juta. Dari tahun 2004 – 2006 nilai kontribusi hijau sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Karangasem berturut-turut dari Rp54,83 juta, Rp75,86 juta, dan negatif Rp46,64 juta. Tanda negatif disini berarti nilai manfaat sektor kehutanan lebih kecil daripada modal alami yang dikorbankan karena terdeplesi dan terdegradasi. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terdapat pada lokasi, metode, dan variabel penelitian. Penelitian untuk menghitung nilai ekonomi air, pengendalian banjir, dan penyerapan karbon di hutan lindung pernah dilakukan oleh Setiawaty (2012). Akan tetapi, belum ditemukan valuasi ekonomi pada hutan lindung di Kabupaten Garut yang terdapat areal izin pinjam pakai kawasan hutan a.n PT. Pertamina Geothermal Energy-Chevron Geothermal Indonesia.
12
1.3
Rumusan Masalah Penggunaan kawasan hutan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan
sehingga mengganggu fungsi hutan lindung. Oleh karena fungsi ini tidak mempunyai harga pasar, maka sulit untuk menentukan besarnya nilai kerusakan yang dialami. Tidak tersedianya harga pasar akan fungsi perlindungan yang dimiliki hutan membuat fungsi-fungsi tersebut tidak banyak diperhatikan, sehingga eksploitasi lingkungan dilakukan secara berlebihan. Oleh karena itu, diperlukan suatu valuasi terhadap fungsi dari hutan lindung sehingga fungsi tersebut mempunyai nilai moneter dan akan menaikkan nilai tawarnya. Sebagai kompensasi atas penggunaan kawasan hutan, pemegang IPPKH akan dikenai PNBP PKH. Setelah diperoleh nilai moneter dari fungsi perlindungan yang dimiliki hutan lindung, maka akan diketahui apakah tarif PNBP PKH telah sesuai dengan nilai kerusakan hutan yang terjadi akibat penggunaan kawasan hutan.
1.4
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Berapa nilai kerusakan hutan akibat penggunaan kawasan hutan?
2.
Apakah nilai kerusakan hutan telah sesuai dengan tarif PNBP PKH?
1.5
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui nilai kerusakan hutan akibat penggunaan kawasan hutan.
2.
Mengetahui kesesuaian nilai kerusakan hutan dengan tarif PNBP PKH.
13
1.6
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan terkait pengelolaan hutan lindung dan penentuan tarif PNBP Penggunaan Kawasan Hutan.
2.
Sebagai bahan referensi bagi penelitian lebih lanjut sehingga valuasi hutan lindung akibat penggunaan kawasan hutan dapat menjadi lebih sempurna.
3.
Sebagai bahan referensi bagi pembaca mengenai nilai kerusakan hutan lindung akibat penggunaan kawasan hutan dan PNBP Penggunaan Kawasan Hutan.
1.7
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab 1
Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. Bab 2 Landasan Teori/kajian pustaka, terdiri dari teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, dan model penelitian/kerangka penelitian. Bab 3 Metode Penelitian, terdiri dari desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, dan metode analisis data. Bab 4 Analisis, terdiri dari deskripsi data dan pembahasan. Bab 5 Simpulan dan Saran, terdiri dari simpulan, implikasi, keterbatasan, dan saran.
14