IV. PERUBAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Setelah Undang-undang kehutanan no. 5 tahun 1967 diubah menjadi Undangundang no. 41 tahun 1999, sistem pengusahaan hutan produksi alam diberikan melalui ijin-ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan kayu dan ijin usaha pemungutan hasil hutan. Disamping itu tujuan pengelolaan hutan produksi yang semula adalah “untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat” (ps 13, ayat 1, UU No. 5/ 1967) berubah menjadi “untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”. Untuk mendapatkan gambaran tentang arah perubahan peraturan di bidang pengelolaan hutan maka dilakukan penelusuran peraturan dengan fokus pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Pertama perlu diketahui tujuan yang akan dicapai, kemudian perlu diketahui kedudukan institusi IUPHHK dalam hirarki institusi kehutanan terutama untuk menjawab kerancuan tentang posisinya sebagai pengelola atau pemanfaat. Selanjutnya
perlu dijawab pula
kedudukan
institusi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di dalam system kehutanan, kejelasan tentang kedudukan KPHP akan memperjelas perannya agar dapat dibedakan dengan peran pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian pembagian peran para pihak tersebut dipetakan berdasarkan tingkatan organisasi mikro, meso
77
dan makro, dan peletakan wewenang dalam konteks kuadran kebijakan untuk mengetahui kecenderungan birokrasi dalam mengatur sistem kehutanan.
4.1. Tujuan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Pada bagian ini dicari jawaban atas pertanyaan apa tujuan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, khususnya hutan produksi sehingga dapat diperoleh gambaran tentang arah perubahan yang diinginkan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dipelajari isi dari pasal-pasal dalam undang-undang yang menyangkut tujuan. Tujuan pemanfaatan hutan ditetapkan dalam pasal (23) UU. 41/1999 yaitu untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam penjelasannya disebut bahwa manfaat optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari, sedangkan makna berkeadilan adalah apabila pemanfaatan dapat disitribusikan secara berkeadilan melalui peran serta masyarakat yang semakin berdaya dan berkembang potensinya. Selanjutnya Pasal 4, menyatakan bahwa seluruh hutan dikuasai oleh negara, penguasaan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Pada pasal 10 disebutkan bahwa tujuan dari pengurusan hutan adalah untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, serbaguna dan lestari. Pengertian tentang manfaat serbaguna yang dimaksudkan oleh undang-undang ini dapat diambil dari paragraph 7 penjelasan umum sebagai berikut :
78
“……Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan bukan kayu, tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan hutan lainnya seperti plasma nutfah dan jassa lingkungan sehingga manfaat hutan lebih optimal”.
Sementara paragraph 8 lebih spesifik menjelaskan optimasi pada hutan produksi sebagai berikut : “Dilihat dari sisi fungsi produksinya, dan keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat”
Inti dari perubahan tersebut terletak pada tiga hal penting, yaitu perubahan dari orientasi kayu menjadi orientasi sumberdaya, manfaat maksimal dan distribusi berkeadilan. Perubahan orientasi diaktualisasikan dengan produksi berbagai macam hasil hutan berupa kayu, non-kayu dan jasa lingkungan melalui optimasi pengelolaan hutan yang menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Sedangkan keadilan yang dimaksudkan adalah distribusi atas manfaat yang diproduksi dari aktivitas pengelolaan hutan. Hal ini perlu mendapat perhatian agar tidak dikaburkan dengan distribusi lahan, atau hak pengelolaan hutan. Dengan demikian tujuan dari perubahan tersebut dapat dicapai melalui optimasi pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat sebesar-besarnya, dan atas hasil produksi yang maksimal ini kemudian dilakukan distribusi secara berkeadilan.
79
4.2. Hirarki Organisasi Kehutanan Bagaimanakah stuktur atau hirarki organisasi kehutanan yang dibangun untuk mencapai tujuan yang dikehendaki ?
Pertanyaan ini akan dijawab dengan
mempelajari isi undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan. Untuk menjawabnya dapat dimulai dengan memperhatikan pasal 4 dimana pemerintah bertindak mewakili negara yang mempunyai wewenang mengatur dan mengurus segala hal yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Wewenang sebagai pengurus diatur pada pasal 10 yaitu bahwa pengurusan hutan meliputi penyelenggaraan (1) perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan, dan (4) pengawasan. Pasal ini menunjukkan hubungan struktur antara pengurusan dengan pengelolaan dimana pengelolaan hutan merupakan bagian pengurusan hutan. Sedangkan tiga kegiatan lainnya tidak bersifat hirarkis karena ketiganya unsur-unsur pendukung bagi penyelenggaraan pengurusan maupun pengelolaan hutan. Selanjutnya pasal 21, menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang dimaksudkan oleh pasal 10 meliputi kegiatan (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, (2) pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan (4) perlindungan dan konservasi alam. Keempat kegiatan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua hal yaitu kegiatan yang berupa proses untuk menghasilkan sesuatu dan kegiatan yang berupa tindakan atas hasil (output) dari proses yang pengelolaan hutan. Termasuk kelompok pertama adalah butir (1), (3) dan (4), sedangkan kelompok kedua adalah pemanfaatan hasil hutan dan kawasan. Dengan demikian terdapat hubungan hirarki antara pengelolaan dengan pemanfaatan. Jika
80
diperhatikan pada pasal 17, dapat diketahui pula bahwa di dalam pengelolaan hutan juga dikenal hirarki yang terdiri dari pengelolaan hutan wilayah provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Kemudian pada pasal 22 dijelaskan bahwa kawasan hutan dibagi kedalam blok-blok dan kemudian dibagi lagi ke dalam petakpetak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaannya, melalui kegiatan tata hutan. Kegiatan tata hutan sendiri dimaksudkan untuk menciptakan prakondisi yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan hutan yang lebih intensif. Untuk memaknai pasal ini pertama perlu diperhatikan penjelasan pasal 17 tentang wilayah unit pengelolaan, yaitu bahwa unit pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) terkecil yang dapat dikelola secara efisien. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa pembagian blok dan petak tersebut dilakukan di dalam unit pengelolaan atau (KPH).
Hal yang belum dapat dijelaskan oleh undang-undang adalah dimana
pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dilakukan ? Apakah di wilayah pengelolaan hutan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok atau petak ? Untuk menjawab pertanyaan ini, dipelajari Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Pada pasal 2 (2) disebutkan bahwa “Kegiatan tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dilaksanakan di wilayah hutan dalam bentuk unit atau kesatuan pengelolaan hutan …….”. Berdasarkan ketentuan pasal ini diperoleh pemahaman bahwa pemanfaatan hutan dan kawasan hutan dilakukan di KPH yang secara teknik pemanfaatan ini dilakukan pada petak atau blok di dalam KPH. Penting untuk dipahami pula bahwa tidak dikenal pemanfaatan pada tingkat wilayah kabupaten/kota
81
dan provinsi, outlet pemanfaatan hutan adalah KPH. Pengaturan ini telah mempunyai konsistensi dengan definisi KPH sebagai unit terkecil yang dapat dikelola secara efisien, pengelolaan ini akan menghasilkan produk/manfaat, oleh sebab itu hubunganhubungan yang terkait dengan pemanfaatan dilakukan pada tingkat KPH. Di dalam pasal 28 UU. 41/1999 dijelaskan jenis-jenis pemanfaatan di hutan produksi yang terdiri dari pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, yang diberikan melalui ijin-ijin usaha. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas diketahui bahwa untuk mencapai tujuan telah diatur hirarki organisasi kehutanan yang terdiri dari pengurusan, pengelolaan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok, petak, dan pemanfaatan hutan, pada masing-masing tingkatan mempunyai instrumen-instrumen pendukungnya sendirisendiri. Hubungan hirarki ini disampaikan pada gambar 14. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah wewenang yang diatur dalam hirarki organisasi kehutanan tersebut telah sesuai dengan hirarki makro, meso dan mikro?.
4.2.1 . Hubungan Organisasi Makro-Meso-Mikro Pengelolaan Hutan Alam Produksi
Hubungan organisasi pada berbagai tingkatan Makro-Meso dan Mikro, terindikasi diperkenalkan pada pasal 13 (3) UU. 41/1999, yaitu dengan adanya pengklasifikasian kegiatan inventarisasi tingkat nasional, wilayah, daerah aliran sungai dan tingkat unit pengelolaan.
Hal serupa juga ditunjukkan pada pasal 17, berupa pembentukan
wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan.
82
Dasar Aturan PENGURUSAN Pasal 4, Pasal 10 UU. 41/1999
Hirarki Organisai PENGURUSAN Perencanaan Kehutanan
LitBang, DikLat, Penyuluhan
Pengawasan PENGELOLAAN Pasal 10, pasal 17, pasal 21, pasal 22 UU.41/1999
PENGELOLAAN PROVINSI PENGELOLAAN KAB/KOTA PENGELOLAAN UNIT/KPH Rehabilitasi Reklamasi
Rencana Pengelolaan Tata Hutan
BLOK
PETAK PEMANFAATAN Pasal 28 UU.41/1999 Pasal 2 (2) PP. 34/2002
PEMANFAATAN
IJIN-IJIN USAHA PEMANFAATAN
Gambar 14. Hirarki Organisasi Kehutanan Berdasarkan UU. 41/1999 Aturan ini membagi pengelolaan hutan kedalam tiga tingkatan yang berdasarkan ayat (1) pasal 17 UU.41/1999 menjadi : (1) wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Provinsi adalah seluruh hutan di wilayah provinsi yang dapat dikelola secara lestari.
83
(2)
wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan
dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari; dan (3) Wilayah Pengelolaan Hutan Tingkat Unit Pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara lestari. Dengan demikian berdasarkan klasifikasi Goldman (2000) organisasi yang menangani wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi dan nasional dapat digolongkan sebagai institusi tingkat makro, sedangkan organisasi yang bekerja pada tingkat wilayah kabupaten/kota adalah institusi tingkat meso, dan organisasi yang menangani pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan (KPHP) adalah institusi tingkat mikro. Dihubungkan dengan penjelasan pasal 17 UU.41/1999, ruang lingkup urusan yang ditangani oleh masing-masing wilayah diatur seperti Tabel 11. Tabel 11. Ruang Lingkup Urusan Setiap Tingkatan Wilayah Pengelolaan Hutan Hirarki Makro
Meso
Mikro
Organisasi Pengelola Hutan Wilayah Tingkat Provinsi Pengelola Hutan Wilayah Tingkat Kabupaten/Kota
Pengelola hutan Tingkat Unit Pengelolaan (KPHP)
Ruang Lingkup Seluruh wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten / kota yang ada dalam provinsi Seluruh unit-unit pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya (KPHL, KPHP, KPHK, KPHKM,KPHA, KPDAS) yang ada di dalam wilayah kabupaten / kota Satu unit pengelolaan hutan terkecil yang mempunyai fungsi pokok produksi (KPHP)
Berdasarkan Table 11 telah terdapat pembagian fungsi unit-unit organisasi sesuai dengan peringkat makro-meso dan mikro, dimana kebijakan-kebijakan tingkat mikro diorganisasikan oleh KPHP, meso diorganisasikan oleh Pengelola Wilayah
84
Kabupaten, dan makro oleh Provinsi, dan oleh Menteri Kehutanan.
Table 12
menyajikan hubungan antar tingkatan terkait dengan perencanaan, kedudukan dan peran dari masing-masing tingkatan. Tabel 12. Hubungan Organisasi Tingkat Makro-Meso-Mikro Rencana Pengelolaan Hutan berdasarkan Pasal 13 (3) dan 17 (1) UU 41/1999 Hirarki
Makro
Meso
Mikro
Organisasi
Misi 1. Inventarisasi Hutan tingkat Nasional / Provinsi 2. Menyusun Rencana Kehutanan Nasional / Pengurusan Provinsi dan 3. Menetapkan fungsi dan penggunaan kawasan Pengelolaan hutan Tingkat Nasional / Provinsi Hutan 4. Menetapkan dan Mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan Tingkat 5. Menetapkan dan mempertahankan kecukupan Nasional/ penutupan hutan pada DAS atau pulau Provinsi 6. Optimalisasi manfaat, social, lingkungan dan ekonomi tingkat Nasional/Provinsi. 1. Inventarisasi Hutan Tingkat Kabupaten / Kota 2. Menyusun Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten / Kota Pengelolaan 3. Menetapkan fungsi dan penggunaan kawasan Hutan hutan Tingkat Kabupaten Tingkat 4. Menetapkan dan Mempertahankan kecukupan Kabupaten/ luas kawasan hutan Kabupaten Kota 5. Menetapkan dan mempertahankan kecukupan penutupan hutan pada DAS dalam Kabupaten 6. Optimalisasi manfaat, social, lingkungan dan ekonomi tingkat Kabupaten/Kota Wilayah 1. Inventarisasi Hutan tingkat Unit Pengelolaan Tingkat Unit 2. Menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Pengelolaan produksi (KPHP)
Struktur berdasarkan jiwa undang-undang kehutanan tersebut di atas menunjukkan secara jelas batas-batas jurisdiksi pada setiap tingkatan organisasi. Dalam hal ini pelaku pemanfaatan adalah pelaku usaha, sedangkan manajemen hutan dilakukan
85
oleh organisasi KPHP, sedangkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat melaksanakan tugas-tugas pengurusan hutan dan pengelolaan hutan wilayah yang meliputi gabungan unit-unit pengelolaan hutan dengan peruntukan dan fungsi-fungsi pokok, lindung, konservasi, produksi, dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pemerintah tidak berhubungan secara langsung dengan pelaku usaha, hubungan pemerintah dengan pelaku usaha dilakukan melalui organisasi KPHP. Undang-undang kehutanan juga memandatkan kepada pemerintah untuk menjabarkan hal-hal yang diatur dalam undang-undang ke dalam aturan-aturan operasional. Bagaimana pemerintah menata tugas dan wewenangnya akan dijawab dengan mempelajari peraturan pemerintah no 34/2002. Tatanan yang dikehendaki seperti pada Gambar 13 tersebut mulai tidak konsisten pada saat dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah no. 34 tahun 2002. Inkonsistensi ini berawal dari dasar pertimbangan tata hutan dan rencana pengelolaan hutan dan bermuara pada pembagian kewenangan. Pada ayat (4) pasal 22 UU 41/1999, diatur bahwa berdasarkan blok dan petak yang dihasilkan dari kegiatan tata hutan disusun rencana pengelolaan jangka waktu tertentu, pasal ini menunjukkan bahwa rencana pengelolaan hutan adalah perencanaan tingkat mikro, yaitu perencanaan yang berhubungan dengan urusan-urusan individu unit manajemen terkecil (KPHP), karena pembagian blok dan petak hanya dilakukan di KPHP tidak dapat dilakukan di wilayah. Sejalan dengan pasal 4 undang-undang tersebut, maka (2) pasal 2 PP. No 34/2002 menegaskan bahwa kegiatan penyusunan rencana pengelolaan hutan produksi dilaksanakan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Hal ini
dapat digunakan untuk membedakannya dengan perencanaan kehutanan sebagaimana
86
dimaksudkan oleh pasal 20 UU 41/1999, yang dinyatakan “berdasarkan hasil inventarisasi (nasional, wilayah, DAS dan Unit pengelolaan), factor lingkungan, dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan”. Dua pasal tersebut dimaksudkan untuk membedakan rencana tingkat makro-meso dengan rencana tingkat mikro, rencana kehutanan tergolong sebagai rencana tingkat makromeso dan rencana pengelolaan hutan adalah rencana tingkat mikro. Kedudukan rencana pengelolaan hutan pada tingkat mikro diperkuat oleh ayat (3) pasal 14 PP. 34/2002, bahwa rencana pengelolaan hutan memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi pengendalian, pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Jelas bahwa rencana ini berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan individual unit pengelolaan hutan, bukan wilayah pengelolaan hutan kabupaten yang terdiri dari berbagai macam unit-unit pengeloaan (KPHP-KPHP,KPHL,KPHL,dll) Perbedaan ruang lingkup perencanaan tersebut akan memerlukan masukan data dan informasi yang berbeda pula, oleh sebab itu informasi yang digunakan untuk setiap tingkatan institusi akan mempunyai perbedaan jenis dan resolusi data. Pada Tabel 13 disampaikan perbandingan dasar pertimbangan yang digunakan dalam menyusun rencana kehutanan dan rencana pengelolaan hutan menurut UU dan menurut PP. Tabel 13 memberikan indikasi bahwa Peraturan Pemerintah no.34 /2002 telah membaurkan antara rencana kehutanan dengan rencana pengelolaan hutan. Rencana pengelolaan hutan yang dalam undang-undang diposisikan pada tingkat mikro, oleh peraturan pemerintah didistribusikan ke semua tingkatan dari mikro, meso dan makro. Kencenderungan ini menjadi jelas jika diperhatikan ayat (2 a,b,c) pasal 14 PP. No. 34/2002 bahwa wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan
87
didistribusikan
berdasarkan
jangka
waktu
perencanaan
bukan
berdasarkan
pewilayahan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Perencanaan jangka panjang disusun oleh instansi di provinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan, jangka menengah disahkan menteri, dan rencana pengelolaan jangka pendek disahkan oleh gubernur, pengaturan tersebut di sajikan pada table 14 . Tabel 13. Perbandingan Dasar Pertimbangan Penyusunan Rencana Kehutanan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Rencana Kehutanan (1) Rencana Pengelolaan Rencana Pengelolaan Hutan (KPHP) menurut Hutan (KPHP) menurut UU (2) PP (3) Hasil Inventarisasi Hasil Inventarisasi unit Inventarisasi hutan unit Nasional, Wilayah, pengelolaan pengelolaan DAS, Unit pengelolaan Tata Hutan : Ekosistem, Tata hutan : luas, potensi Tipe dan Fungsi hasil hutan, kesesuaian ekosistem Rencana Pemanfaatan Faktor Lingkungan Kondisi lingkungan Faktor Sosial Aspirasi, partisipasi, nilai budaya Masyarakat (1) (2) Sumber : Pasal 20 UU No. 41 tahun 1999; Pasal 22 UU No. 41 tahun 1999 (3) Pasal 13 dan pasal 14(1) PP. No. 34 tahun 2002
Tabel 14. Penyusunan dan Pengesahan Rencana Pengelolaan Tingkat Unit Pengelolaan Nama Rencana Penyusun Pengesah Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Instansi bidang kehutanan Menteri Panjang (20 tahun) tingkat Provinsi Kehutanan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Instansi bidang kehutanan Menteri Menengah (5 tahun) tingkat Provinsi Kehutanan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Instansi bidang kehutanan Gubernur Menengah (1 tahun) Sumber : PP 32/2004 Dijelaskan di dalam butir (a),(b),(c) ayat (2) pasal 14 bahwa rencana pengelolaan hutan jangka panjang memuat rencana kegiatan secara makro tentang pedoman,
88
arahan serta dasar-dasar pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan jangka waktu 20 tahun, rencana jangka menengah memuat rencana yang berisi penjabaran rencana pengelolaan jangka 5 tahun, dan rencana jangka pendek memuat rencana operasional secara detail yang merupakan rencana pengelolaan jangka satu tahun. Di dalam peraturan ini tidak menyebutkan secara jelas siapa yang dimaksud instansi kehutanan yang menyusun rencana pengelolaan jangka satu tahun. Pasal 14 ini bukan saja tidak konsisten dengan Undang-Undang, tetapi juga antara ayat (3) pasal 14 PP.34/2002 yang memposisikan rencana pengelolaan hutan sebagai perencanaan tingkat mikro yang berupa rencana kegiatan operasional, sedangkan ayat (2) memposisikan sebagai perencanaan tingkat makro yang berupa pedoman, arahan dan dasar-dasar pengelolaan hutan. Dapat disimpulkan bahwa peraturan pemerintah tidak memposisikan rencana pengelolaan hutan wilayah provinsi, kabupaten dan KPHP secara tepat. Gubernur dan Menteri yang seharusnya mengurusi pengelolaan keseluruhan unit-unit dengan berbagai fungsi pokok dan peruntukannya secara agregat di seluruh kabupaten/kota dalam provinsi diposisikan untuk mengurusi individu KPHP. Peraturan Menteri Kehutanan no.P. 28/Menhut-II/2006, system perencanaan kehutanan tidak mengenal rencana pengelolaan hutan tingkat wilayah kecuali tingkat unit pengelolaan. Berdasarkan peraturan tersebut, sistem perencanaan kehutanan terdiri dari rencana-rencana kehutanan seperti Tabel 15. Tidak adanya rencana pengelolaan hutan tingkat wilayah membuktikan bahwa PP. No. 34/2002 tidak membedakan antara rencana kehutanan dengan rencana pengelolaan wilayah.
89
Tabel 15. Jenis-jenis Rencana Kehutanan dalam Sistem Perencanaan Kehutanan Kabupaten/Kota Unit Pengelolaan RP jangka panjang Kabupaten / kota RP jangka Menegah Kabupaten /kota, / Renstra SKPD RP jangka Tahun- RP jangka Tahun- RP jangka Tahunan Nasional / an Provinsi / an Kabupaten/ Renja KL/ RKA- Renja SKPD/ kota, / Renja KL RKA-SKPD SKPD/ RKASKPD
Rencana Pengelolaan
Rencana Pembangunan
Nasional RP jangka panjang Nasional RP jangka Menengah Nasional / Renstra KL
-
Provinsi RP jangka panjang Provinsi RP jangka Menegah Provinsi / Renstra SKPD
-
-
Rencana Pengelolaan KPHL, KPHP, KPHK
Apabila dicermati lebih lanjut tentang ketentuan perencanaan, tidak nampak adanya arahan perubahan orientasi pengelolaaan hutan. Indikasinya bahwa dokumen tersebut tidak menyinggung target produksi selain kayu, tidak terdapat pilihan teknologi pengelolaan hutan multi produk, dan tidak ada indikasi upaya dan langkahlangkah untuk melakukan optimasi.
Terdapat indikasi yang kuat bahwa visi
perubahan yang dikehendaki undang-undang belum diterjemahkan dengan baik kedalam aturan pelaksanaan tentang perencanaan pengelolaan hutan. Selanjutnya, bagaimanakah pengaturan penempatan tugas dan wewenang pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan pada tataran hirarki makro, meso dan mikro berdasarkan peraturan menteri, akan disampaikan berikut ini.
Hasil
identifikasi peraturan Menteri Kehutanan antara tahun 1999 sampai dengan 2008
90
yang terdapat pada lampiran 4, dan peletakan posisi kewenangannya pada Lampiran 5. Pada prinsipnya penempatan yang terbaik adalah apabila wewenang tersebut ditempatkan sesuai dengan urusan, mandat atau kepentingan langsungnya. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa urusan-urusan yang
bersifat
individual KPHP atau bisnis adalah merupakan urusan tingkat mikro, sedangkan urusan yang mencakupi kepentingan kelompok KPHP-KPHP atau kelompok bisnis dan tatanan yang berlaku lokal (wilayah) merupakan urusan tingkat meso, dan urusan yang menyangkut kepentingan antar kabupaten atau diatasnya dan tatanan yang bersifat umum dan berlaku nasional adalah urusan tingkat makro. Para pelaku usaha dan pengelola KPHP adalah pemangku kewenangan tingkat mikro, sedangkan Bupati adalah pemangku tingkat meso, Gubernur dan Menteri adalah pemangku tingkat makro. Dengan mengidentifikasi substansi yang diatur oleh peraturan Menteri dan penempatan kewenangannya maka dapat dipetakan kepatutan peletakannya. Jenis urusan dijadikan sebagai axis dan letak kewenangan sebagai ordinat dengan satuan skala (1) mikro, (2) meso dan (1) makro, maka peletakan yang paling patut adalah apabila berada pada garis pantas yaitu koordinat (1,1), (2,2) dan (3,3). Apabila nilai ordinat lebih tinggi dari axis maka kewenangan tersebut diletakkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang sepantasnya, dan bila ordinatnya lebih rendah dari axis, maka wewenang tersebut ditempatkan lebih rendah dari yang sepantasnya. Gambar 15 menginformasikan bahwa 44 % aspek yang diatur melalui peraturan menteri kehutanan telah diposisikan pada tingkat makro, meso dan mikro secara tepat. Sejumlah 56 % menempatkan urusan pada tataran yang lebih tinggi dari yang seharusnya, dan tidak ada yang ditempatkan pada tataran yang lebih rendah. Sebagian
91
terbesar urusan-urusan diangkat ke peringkat yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan adanya bias kebijakan yang berorientasi pada pengumpulan kekuatan birokrasi. Perilaku ini sejalan dengan pendapat Osborn dan Plastrik (2001), bahwa birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya dengan membuat peraturan yang diciptakan
GUBERNUR (MAKRO)
16,18,19,57,60
BUPATI (MESO)
4,5,6,7,15,16, 17, 20, 21,22,23,24,25, 36,37,39,40,44, 46,49,55,61,62, 63,64
18,18,19,51,60
KPH (MIKRO)
KEWENANGAN
MENTERI (MAKRO)
untuk memperkuat kekuasaan.
3
KPH PERMEN HUT
33,34,335,39,40, 53
39,40,42
1,8,9,10,11,12,13 ,14,15,26,27,28, 29,30,31,32,33, 34,35,38,39,40,4 1,42,43,44,45,47, 50,52,54,56,58, 59
2,42,44,48
44
LINTAS KPH
LINTAS KAB
LINTAS PROV
URUSAN
Gambar 15. Distribusi Posisi Penempatan Kewenangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan antar tahun 2000-2008 Ijin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang berisi hubungan kontraktual antara pemerintah dengan pelaku usaha sebagaimana telah dibahas dalam hubungan makro-meso-mikro, terindikasi adanya penempatan kewenangan yang tidak tepat. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan kontraktual dalam
92
kaitannya dengan konteks makro-mikro, berikut ini dilakukan pendalaman atas substansi pengaturan kontrak IUPHHK. Peraturan Pemerintah no. 34/2002 mengatur 8 kewenangan yang berhubungan dengan pelaksanaan IUPHHK, seperti pada Tabel 15. Pertama berdasarkan pasal (14) pada setiap unit pengelolaan disusun rencana pengelolaan hutan. Rencana ini merupakan urusan individu unit manajemen (KPHP) yang sesungguhnya berupa perencanaan tingkat mikro, namun demikian wewenang penyusunan dan pengesahan dokumen ini diatur berdasarkan waktu jangkauan rencana tersebut. Rencana tahunan disusun oleh aparat Bupati dan disahkan oleh Gubernur, sedangkan yang berjangka 5 tahun dan 20 tahun disusun oleh aparat provinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan. Apabila diperhatikan tentang hirarkhi makro-mikro, urusan-urusan individual seperti ini dapat diserahkan kepada pengelola KPHP, sedangkan Bupati, Gubernur dan Menteri Kehutanan dapat khusus menangani kebijakan publik. Kedua adalah kriteria pengelolaan hutan secara lestari dan kriteria potensi hutan, berdasarkan pasal (15) pemanfaatan hutan harus dilaksanakan dengan berpedoman pada kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari dan berdasarkan pada pasal 29 (3) pemanfaatan hutan dilakukan berdasarkan pada kriteria potensi hutan alam, keduanya diterbitkan oleh menteri kehutanan. Kirteria dan indikator ini merupakan norma yang mengatur kepentingan bersama, oleh karenanya merupakan urusan publik yang harus diterbitkan oleh institusi publik.
93
Tabel 16. Peta Hubungan Institusi Makro-Meso-Mikro PP.34/02 (IUPHHK) Substansi
Rencana Pengelolaan Hutan tingkat unit (1) Kriteria Potensi Hutan Alam (2) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (3) Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu/komoditas (4) Pelengan ijin (5) Membuat Rencana Usaha (6) Menyetujui rencana usaha (7) Perpanjangan ijin usaha (8)
Tingkat urusan Letak Kewenangan Individual Lintas Lintas Lintas Bisnis KPHP Kab Prov Bisnis Bupati Gubernur Menteri
z
z
z
z
z
z
z
z z z
z
z
z
z z
z
z
z
z
z
Ketiga, pasal 29 (6) menyatakan bahwa mengatur lebih lanjut tentang usaha pemanfaatan hasil hutan, apabila diperhatikan penjelasan pasal 28 yang menyatakan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada dasarnya hanya diberikan untuk menebang kayu, dengan berbagai kewajiban. Menebang adalah kegiatan memanen hasil pengelolaan hutan, yaitu aktifitas mengambil manfaat yang merupakan aktivitas tingkat mikro dan mencakupi wilayah individual KPHP. Dalam hal ini pihak yang paling relevan untuk berhubungan dengan pelaku usaha adalah pengelola KPHP. Namun peraturan pemerintah ini menempatkan kewenangan mengatur hubungan transaksi individual atas hasil pengelolaan hutan pada Menteri. Sebagai lembaga publik Menteri lebih tepat mengatur norma-norma usaha pemanfaatan hutan yang bersifat umum melalui kebijakan publik daripada melakukan transaksi bisnis.
94
Keempat, pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai ijin dapat disederhanakan sebagai sebuah kontrak jual beli hasil hutan, dimana metode pembayarannya dilakukan dengan kombinasi tunai dan nontunai. Pembayaran tunai dalam bentuk iuran, dana reboisasi dan provisi sumberdaya hutan, sedangkan bentuk pembayaran non-tunai berupa pelaksanaan kewajibankewajiban non moneter. Transaksi ini juga merupakan transaksi individual, hanya melibatkan satu KPHP dengan pembeli, bukan lintas KPHP dan tidak tergolong sebagai kebijakan publik. Namun peraturan mengatur bahwa transaksi dilakukan dengan melibatkan rekomendasi Bupati dan Gubernur serta dilakukan oleh Menteri Kehutanan, sedangkan pengelola hutan tidak diberikan peran sama sekali (pasal 42). Kelima pelelangan ijin, pasal 43 dan pasal 44 mengatur bahwa Menteri mengatur lebih lanjut tentang pelelangan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan. Aturan pelelangan ini dapat merupakan kebijakan publik (kebijakan makro) apabila mengatur tentang tata-cara dan norma-norma yang berlaku umum. Namun apabila diperhatikan pada pasal 44 dan praktek yang berlaku, menteri bukan hanya mengatur kebijakan publik, melainkan juga bertindak sebagai pelaku kegiatan lelang (“menjual”) ijin usaha pada setiap satuan areal hutan. Transaksi ijin usaha ini merupakan transaksi individual yang melibatkan satu satuan areal hutan dengan satu orang / perusahaan pemenang. Ke enam membuat rencana usaha, adalah sebuah kegiatan tingkat mikro yang dilakukan oleh individu perusahaan. Peraturan pemerintah mengatur bahwa setiap perusahaan berkewajiban menyusun rencana usahanya masing-masing. Ke tujuh menyetujui rencana usaha, rencana usaha yang merupakan aktivitas individual perusahaan tersebut namun diatur hingga harus mendapat persetujuan
95
Menteri Kehutanan (pasal 47, ayat 4). Dalam hal ini sebuah aktivitas individual tingkat mikro, namun persetujuannya dilakukan oleh institusi publik tingkat nasional. Ini bukan saja tidak berada dalam satu tingkat yang sama, namun juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan rentang kendali pihak yang memberi persetujuan, kemampuan pengawasan dan pengendaliannya harus sangat kuat mengingat bahwa aktivitas individual dikendalikan langsung oleh pemerintah nasional. Situasi ini berpotensi menimbulkan Princaple-Agent Problem, apabila hubungan kerja disertai dengan syarat-syarat berupa kewajiban tertentu dan pemberi kewajiban (Principal) tidak mampu mengendalikan dan mengawasi pelaksanaannya, maka pihak penerima
kewajiban (Agent) akan berusaha mencapai tujuannya
meskipun tindakannya merugikan pemberi kewajiban (Pindyck dan Rubinfels, 2001). Ke delapan perpanjangan ijin usaha, seperti halnya pemberian ijin usaha, perpanjangan ijin usaha juga merupakan hubungan transaksi individual tentang pemanfaatan hasil produksi dari aktivitas pengelolaan hutan, oleh karena itu merupakan kegiatan tingkat mikro, namun peraturan menempatkan kewenangan transaksi ini berada di Menteri yang merupakan institusi tingkat makro. Kecenderungan pemerintah dalam mengatur hubungan makro-mikro disajikan pada gambar 16 peta peletakan kewenangan urusan makro-mikro yang terkait dengan dengan IUPHHK
MENTERI (MAKRO)
1, 3,4,5,7,8
GUBERNUR (MAKRO)
4
BUPATI (MESO)
4
KPH (MIKRO)
KEWENANGAN
96
6
PP. 34 /2002
IUPHHK (MIKRO)
2
LINTAS KPH LINTAS KAB (MESO) (MAKRO) TINGKAT URUSAN
LINTAS PROV (MAKRO)
Gambar 16. Peta Peletakan Kewenangan berdasarkan PP. 34/2002
Pada gambar 16 terlihat bahwa dua urusan yang kewenangannya telah ditempatkan sesuai dengan hirarkinya, yaitu urusan tentang kriteria potensi hutan yang merupakan urusan bersama dan kewenangannya diberikan kepada institusi publik tingkat makro (Menteri), dan urusan tentang penyusunan rencana kerja yang merupakan kegiatan tingkat mikro dan kewenangannya telah ditempatkan di tingkat mikro (perusahaan IUPHHK). Sebagian besar kewenangan urusan-urusan tingkat mikro diambil alih secara langsung oleh Menteri, dan terdapat satu urusan yang melibatkan Bupati dan Gubernur dalam bentuk pemberian rekomendasi pada proses pelelangan ijin.
97
Dalam perkembangannya PP. No. 34/2002 ini telah diubah menjadi PP. No. 6/2007, dimana peran pemerintah telah diperjelas dalam menetapkan KPHP, disamping itu organisasi KPHP telah dielaborasi, namun demikian perubahan ini tidak mengubah struktur kewenangan yang berkaitan dengan perijinan. Secara umum PP. 34/2002 dan PP. 6/2007 tidak membuat perubahan yang signifikan, perbandingan kedua peraturan pemerintah tersebut disajikan pada Tabel 17. Dengan substansi pengaturan seperti pada kedua Peraturan Pemerintah tersebut, KPHP yang sebenarnya dapat diperankan sebagai pengelola menjadi tidak jelas kedudukannya. Berdasarkan klasifikasi Schlager dan Ostorm (1992), dalam kedudukannya sebagai pengelola, KPHP seharusnya mempunyai hak access and withdrawl, management dan hak exclusion. Namun aturan tersebut mencabut hak exclusion dengan mengambil wewenang membuat hubungan-hubungan transaksional atas hasil-hasil yang diproduksi melalui aktivitas pengelolaan hutan, baik hasil hutan yang berupa barang maupun jasa. Kewenangan ini ditempatkan sebagai wewenang Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri. Demikian pula halnya dengan hak management, dimana wewenang menentukan pilihan teknologi berada pada Menteri. Sementara itu PP. 6/2007 telah memberikan wewenang kepada pengelola KPHP untuk menyetujui/mengesahkan Rencana Karya Tahunan, wewenang ini merupakan bentuk hak withdrawal yaitu menentukan hak-hak memanen hasil. Dengan struktur seperti itu, kedudukan pengelola KPHP tidak berbeda dengan perusahaan IUPHHK yang hanya memiliki hak access and withdrawl, sementara PP. 6/2007 meskipun telah mengelaborasi tugas dan tanggung jawab pengelola KPHP lebih rinci, namun pengaturan ini sesungguhnya tidak mengubah kedudukannya.
98
Tabel 17. Perbandingan Pengaturan KPHP menurut PP 34/2002 dan PP 6/2007
No
PP 34 / 2002
Organisasi 1 Kesatuan pengelolaan tingkat unit adalah kesatuan pengelolaan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari
PP 6 /2007 Kesatuan pengelolaan hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan dalam wilayah yang dikelolanya KPH, bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN Kehutanan Direksi BUMN membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH
Kewenangan
Menyelenggarakan pengelolaan hutan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam
Penetapan Organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP lintas provinsi oleh Menteri, KPHL dan KPHP lintas Kab oleh Gubernur, KPHL dan KPHP didalam Kab oleh Bupati Menyelenggarakan pengelolaan hutan : tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untukdiimplementasikan Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penga-wasan serta pengendalian Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya
99
Pengelola KPHP tidak dapat dimintakan akuntabilitas atas tugasnya sebagai pengelola hutan produksi karena batasan hak properti yang tidak lengkap. KPH diposisikan sebagai pekerja pelaksana instruksi pemilik. Penjelasan tentang KPH yang dipimpin oleh seorang kepala sebagai penanggung jawab, dan
KKPH
diposisikan sebagai bagian dari sebuah BUMN yang berada di bawah direksi. KPH tidak diposisikan sebagai sebuah entitas yang mandiri. Disamping itu PP. No. 6/2007 telah hanya mengatur tugas dan wewenang teknis kepala kesatuan pengelolaan hutan. Meskipun tugas-tugas pengelola telah dielaborasikan dengan lebih jelas oleh peraruran terbaru, tetapi kewenangan yang menyangkut perijinan masih belum diberikan. Ketiadaan wewenang pengelola KPHP untuk mengatur hubungan transaksional dengan pengguna atau pemanfaat multi produk yang dihasilkannya berpotensi menimbulkan masalah, yang akan berpengaruh terhadap aktivitas pengelolaan hutan itu sendiri. Dari sisi pandang Osborn dan Plastrik (2001), Scott (2008) dan Jepperson (1992), perilaku pemerintah (birokrasi) telah menggunakan peraturan untuk memperkuat kekuasaannya
(perversi kekuasaan) dan sebagai
indikasi adanya resistensi terhadap perubahan. Potensi perversi terindikasi dengan menempatkan pengelola KPH di bawah kendali direksi BUMN, oleh sebab itu KPH mengandung resiko
lebih besar terkooptasi oleh pihak-pihak yang berkuasa
dibandingkan dengan menjadikannya sebagai entitas yang mandiri.
4.2.2. Organisasi Kehutanan dan Kuadran Kebijakan Undang-undang telah mengatur hirarkhi institusi kehutanan kedalam pengurusan hutan sebagai organisasi makro, pengelolaan wilayah sebagai organisasi makro dan
100
mezo, pengelolaan tingkat unit dan pemanfaatan hutan sebagai organisasi mikro. Selanjutnya perlu diketahui apakah pengaturan ini juga telah memilah kedudukannya dalam kuadran kebijakan, sehingga dapat diketahui kesesuaian pengaturan tugastugas pemerintah dengan wewenang publik. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hubungan pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan diawali dari pasal 10 UU. 41/1999, bahwa wewenang pengurusan hutan meliputi penyelenggaraan : (1) perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan (4) pengawasan. Ketiga aspek, kecuali pengelolaan hutan, dapat mempunyai cakupan nasional (makro), karena pengelolaan hutan berdasarkan pembentukan wilayah menurut pasal 17 terdiri dari pengelolaan wilayah provinsi, kabupaten/kota dan pengelolaan unit manajemen. Pengelolaan hutan diatur dalam pasal 21, meliputi kegiatan : (1) tata hutan dan rencana pengelolaan hutan, (2) pemanfaatan dan penggunaan kawasan, (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan, (4) perlindungan hutan dan konservasi alam. Pada pasal 22 dinyatakan bahwa tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang optimal dan lestari, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan adalah aktivitas alokasi sumberdaya manajemen secara intensif untuk menghasilkan hutan berkualitas tinggi. Tata hutan sendiri merupakan kegiatan pembagian blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan. Sedangkan di dalam setiap blok dibuat petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Pasal 21 dan 22 ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan pengelolaan hutan disini adalah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan, bukan pengelolaan wilayah kabupaten dan provinsi.
101
Pembagian blok dan petak tidak mungkin dilakukan di tingkat wilayah kabupaten maupun provinsi, karenanya hirarki pengelolaan hutan adalah pengelolaan provinsi, kabupaten/kota, unit pengelolaan, blok dan terendah adalah petak. Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan hasil produksi pengelolaan hutan, oleh sebab itu kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan di dalam unit manajemen. Berdasarkan kepada pasal-pasal tersebut diatas dan pasal-pasal dalam bab pemanfaatan menurut UU 41/1999 wewenang pengurusan, pengelolaan, dan pemanfaatan disampaikan pada Tabel 18. Pada pasal 10, termasuk dalam pengurusan hutan adalah LIBANG, DIKLAT dan penyuluhan, serta pengawasan. Kegiatankegiatan tersebut tidak termasuk yang diatur dalam pengelolaan dan pemanfaatan, oleh karenanya merupakan bagian dari pengurusan hutan. Selain itu kegiatan tersebut merupakan kegiatan pendukung bagi seluruh sistem kehutanan. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan hutan, meskipun pengaturannya berada dalam pasal yang sama dengan pengurusan hutan, namun jika dilihat dari segi ruang lingkup kegiatannya yang berada di dalam unit pengelolaan, dan kegunaan dari hasil inventarisasi adalah untuk kepentingan pengelolaan tingkat unit, maka kegiatan inventarisasi tingkat unit dapat dianggap sebagai bagian dari pengelolaan hutan. Sementara itu perijinan-perijinan pemanfaatan, adalah pengaturan hubungan transaksional tentang hasil-hasil pengelolaan, maka posisinya berada pada pemanfaatan.
102
Tabel 18. Daftar Kewenangan Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Menurut Undang-Undang 41/1999. Peng- Penge- Peman No Kewenangan urusan lolaan -faatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Inventarisasi hutan tingkat nasional Inventarisasi hutan tingkat wilayah Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan Pengukuhan kawasan hutan Penatagunaan kawasan hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan Penyusunan rencana kehutanan nasional Penyusunan rencana kehutanan provinsi Penyusunan rencana kehutanan kabupaten/kota Penyusunan rencana kehutanan daerah aliran sungai Penyusunan rencana kehutanan unit pengelolaan Pembagian blok berdasar ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan Pembagian petak berdasar intensitas dan efisiensi pengelolaan Penyusunan rencana pengelolaan hutan menurut jangka waktu Ijin usaha pemanfaatan kawasan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu Ijin usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan Pengawasan
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
Selanjutnya wewenang atau kegiatan pada tabel tersebut diuji dengan kriteria kuadran kebijakan sebagai berikut :
103
Tabel 19. Pengklasifikasian Wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfatan Dalam Kuadran Kebijakan Berdasarkan Undang-undang 41/1999 N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kewenangan 1 Inventarisasi hutan tingkat nasional Inventarisasi hutan tingkat wilayah Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan Pengukuhan kawasan hutan Penatagunaan kawasan hutan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan Penyusunan rencana kehutanan nasional Penyusunan rencana kehutanan provinsi Penyusunan rencana kehutanan kabupaten/kota Penyusunan rencana kehutanan daerah aliran sungai Penyusunan rencana kehutanan unit pengelolaan Pembagian blok berdasar ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan Pembagian petak berdasar intensitas dan efisiensi pengelolaan Penyusunan rencana pengelolaan hutan menurut jangka waktu Ijin usaha pemanfaatan kawasan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di dalam unit pengelolaan Ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu Ijin usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan kehutanan Pengawasan
x x x
Kriteria 2 3 4 5 x x x
x x x
x x x x x x x
x
x
x
x
x
x
x x x x
x x x x x
x x x x
x x
6
x x x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x
x x x x
Catatan (1) : Kepentingan umum /bersama, (2) Penegakan hukum, (3) Manfaat lebih banyak dinikmati oleh pengguna tidak langsung, (4) Kepentingan individu, (5) Penanggung jawabnya adalah pemerintah (institusi makro dan meso), (6) Penanggung jawabnya individu (institusi mikro).
104
Selanjutnya data pada tabel 19, kemudian dimasukkan kedalam gambar 17 kuadran kebijakan sebagai berikut : Lingkup Isu/Urusan/Masalah/Manfaat
Individu/Perusah aan/KPHP Organisasi Publik
Penanggung jawab pertama
Individu Kuadran I Operasional Perusahaan
Masyarakat/Bersama Kuadran II Quasi Publik 4, 14, 15, 16, 17
18,19,20,21,22,23 Pemanfaatan Kuadran III kebijakan Penegakan Hukum
Pengelolaan Unit Kuadran IV Kebijakan Publik 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11, 12,13,23, 24 Pengurusan Pengelolaan Wilayah
Gambar 17. Posisi wewenang Pengurusan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan pada Kuadran Kebijakan
Dengan menggunakan kriteria tersebut diketahui bahwa pengurusan hutan termasuk dalam wilayah kebijakan publik, pengelolaan unit termasuk dalam wilayah quasi publik dan pemanfaatan termasuk dalam wilayah privat.
4.2.3. Hubungan IUPHHK dengan KPHP Tujuan pengelolaan hutan alam produski dapat dicapai melalui operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Dengan penjelasan tentang tujuan seperti yang tersebut di atas, KPHP dituntut untuk mampu mewujudkan rejim pengelolaan hutan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan,
105
bukan hanya berorientasi pada produksi kayu saja untuk mengoptimalkan manfaat hutan. Operasionalisasi pencapaian tujuan yang baru tersebut dilakukan melalui penataan berbagai peraturan maupun penyempurnaan dari peraturan sebelumnya. Perbandingan antara peraturan yang berlaku sebelum tahun 1999 dan sesudah terjadi perubahan disajikan pada Lampiran 2. Terdapat beberapa perubahan yang berkaitan dengan perijinan yaitu perubahan dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Para pihak yang dapat diberikan IUPHHK bukan hanya badan hukum tetapi terdiri dari perorangan, koperasi, perusahaan swasta dan perusahaan milik Negara. Terdapat pernambahan jangka waktu ijin, pembatasan luas ijin, kewajiban bekerjasama dengan koperasi, dan lain-lain. IUPHHK adalah bentuk baru dari HPH, perbedaan dan persamaan dari keduanya dapat dilhat dari hak dan kewajiban yang ada pada kontrak keduanya, seperti yang tersaji pada Lampiran 3. Secara garis besar tidak terdapat perbedaan antara HPH dan IUPHHK, keduaduanya diberikan konsesi berbasis luas hutan, diberikan hak untuk menebang kayu, dan dibebani berbagai macam kewajiban yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, serta ada batasan jangka waktu ijin. Undang-undang kehutanan telah mengatur hirarki institusi kehutanan kedalam tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Dalam hal ini perlu diperjelas terlebih dahulu kedudukan HPH dan IUPHHK dalam hirarki institusi kehutanan yaitu apakah sebagai institusi pengelola atau pemanfaat hutan. Ayat (2) pasal (2) Peraturan Pemerintah no. 34/2002 mengatur bahwa ijin-ijin usaha di hutan produksi dilaksanakan di dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
106
(KPHP). Berdasarkan definisi menurut Undang-Undang nomor 41/1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 34/2002, KPHP adalah unit pengelolaan hutan terkecil yang dapat dikelola secara lestari. Sebagai unit pengelolaan terkecil, maka di dalam KPHP tidak akan ada lagi unit-unit lain yang dapat mengelola hutan secara lestari, artinya bahwa di dalam satu KPHP berlaku hanya satu pelaku pengelolaan hutan.. Selanjutnya dalam penjelasan umum UU. 41/1999 paragraf (7) dan (8), bahwa perubahan yang dinginkan dalam pengelolaan hutan produksi adalah mengubah orientasi produksi dari produksi kayu menjadi berorientasi pada pemanfaatan optimal seluruh sumberdaya hutan, maka di dalam KPHP dapat dilakukan berbagai macam kegiatan usaha kehutanan. Jenis-jenis usaha yang dapat diberikan ijin di dalam KPHP adalah ijin-ijin usaha pemanfaatan yaitu ijin pemanfaatan Kawasan (IUPK), ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHB), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK), ijin usaha pemungutan hasil hutan (IUPHH) (pasal 23 s/d 29 UU. No.41/1999. Pelaksanaan dari ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sejalan dengan penjelasan Undang-undang no. 41/1999, Peraturan Menteri Kehutanan P.10/Menhut-II/2006 mendefinisikan KPHP sebagai unit pengelolaan hutan produksi terkecil yang dapat dikelola secara efisien dan lestari oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan. Peraturan ini menegaskan bahwa KPHP adalah satuan terkecil yang dikelola artinya ada pihak yang mengelola yaitu pemerintah, pemerintah daerah atau BUMN. Oleh karenanya optimasi pengelolaan hutan tingkat unit dilakukan di KPHP.
107
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas pengelolaan hutan tingkat unit berada pada pengelola KPHP, dan di dalam setiap KPHP terdapat jenis-jenis usaha pemanfaatan yang diberikan melalui ijin-ijin usaha yaitu IUPK, IUPJL, IUPHHB, IUHHK, IUPHH. Dengan demikian berlaku aturan bahwa pengelolaan hutan dilakukan oleh pengelola KPHP, dan pemanfaatan oleh pemegang IUPHHK. Namun sebagaimana ditunjukkan pada lampiran 3, IUPHHK sebagai pemanfaat yang diberi tugas-tugas pengelolaan dalam bentuk kewajiban-kewajiban. Oleh karena itu perlu diketahui strata hak yang dimiliki oleh IUPHHK dengan menggunakan pendekatan Schlager dan Ostorm
(1992) yang membagi strata hak berdasarkan
keberadaan hak access and withdrawal, management, exclusion, aleniation, sebagai berikut : 1. Hak access and withdrawal, IUPHHK memiliki hak untuk memasuki areal hutan yang menjadi konsesinya dan diberikan hak untuk menebang pohon, mengangkut dan menjual kayu. 2. Hak manajement, IUPHHK tidak mempunyai hak untuk mengelola, melainkan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mengelola hutan. Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dimaksuk IUPHHK harus mengikuti peraturan-peraturan teknis yang ditentukan oleh pemerintah, termasuk pilihan teknik silvikultur, penggunaan alat, dan pemilihan jenis yang diatur oleh Menteri Kehutanan. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut harus dipertanggung jawabkan kepada pemberi ijin, dengan demikian pihak yang berkepentingan atas hasil pelaksanaan kewajiban tersebut adalah pihak pemberi ijin.
108
3. Hak exclusion, IUPHHK tidak mempunyai hak exclusion, karena didalam kawasan hutan yang menjadi konsesinya dapat diberikan ijin-ijin lainnya oleh pemerintah. IUPHHK tidak dapat menolak pihak lain yang akan mengambil manfaat sumberdaya yang ada di dalam areal kerjanya, apabila pemerintah memberi ijin kepada pihak lain; 4. Hak alienation, IUPHHK dilarang memindah-tangankan ijin yang diberikan kepadanya, pemindah-tanganan harus atas ijin tertulis dari Menteri Kehutanan. Bahkan akibat dari ijin yang dimiliki, pemegang IUPHHK tidak dapat mengubah struktur kepemilikan saham pada perusahaan. Meskipun kepemilikan saham seseorang pada perusahaan tidak mempunyai hubungan langsung dengan kepemilikan IUPHHK, namun akibat kepemilikan IUPHHK, maka pengalihan saham-saham perusahaan harus atas ijin Menteri Kehutanan.
IUPHHK hanya mempunyai strata hak access and withdrawal saja, tanpa strata lainnya. Menurut klasifikasi Schlager dan Ostrom (1992) posisi IUPHHK dikategorikan pengguna (Authorized User). Kedudukannya sebagai pengguna, dapat dipastikan bahwa IUPHHK adalah organisasi tingkat pemanfaat berdasarkan hirarchi UU. 41/1999. Para pemilik IUPHHK adalah para pihak yang diberikan ijin untuk memanfaatkan hasil-hasil yang diproduksi oleh pengelola hutan, melalui mekanisme transaksi tertentu.
Dengan demikian IUPHHK adalah organisasi pengguna
(pemanfaat), struktur hubungan ini digambarkan dalam model pengoperasian KPHP seperti Gambar 18.
109
KPHP
KOPERASI
BUMN / BUMD
BUMS
KOPERASI
PERORANGAN
PERORANGAN
IUPHH
IUPHHK
BUMN / BUMD
BUMS
KOPERASI
PERORANGAN
IUPHHBK
BUMN / BUMD
BUMS
KOPERASI
IUPJL PERORANGAN
KOPERASI
IUPK PERORANGAN
Pengelola Peman faat Pelaku Usaha
Gambar 18. Jenis Usaha dan Pelaku Usaha di dalam KPHP
4.2.4. Perijinan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi Menurut pasal 28 UU No. 41/1999 dan ayat (2) pasal (2) PP. No. 34/2002 kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan di unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemanfaatan hutan produksi diberikan melalui pemberian ijin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK), ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK), ijin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), ijin pemungutan hasil hutan (IUPHH). Wewenang pemberian ijin-ijin usaha diatur didalam pasal-pasal 37, 38, 39,40, 41 dan 42 pada PP. No 34/2002. Kecuali ijin pemanfaatan hasil hutan kayu yang sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Kehutanan, ijin-ijin usaha lainnya dapat diberikan oleh Bupati/ Walikota, Gubernur dan Menteri Kehutanan. Pembagian kewenangan perijinan IUPK, IUPJL, IUPHHBK, IUPHH, didistribusikan berdasarkan letak KPHP dalam konteks wilayah administratif, gambar 19 memberikan ilustrasi distribusi dimaksud.
110
KPHP
KPHP
KPHP 3
KPHP 2
KPHP 2
Keterangan : Unit Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah Pengelolaan Hutan Kabupaten Wilayah Pengelolaan Hutan Provinsi Wilayah Pengelolaan Hutan Nasional
Gambar 19. Pengaturan Wewenang Perijinan Pada Gambar 19, model KPHP 1 dimana seluruh areal KPHP berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten/Kota, perijinan-perijinan tersebut di berikan oleh Bupati. Model KPHP 2 adalah model dimana areal KPHP terletak di dua wilayah administrasi Kabupaten yang berbeda, dalam kondisi seperti ini perijinan menjadi wewenang Gubernur. Model KPHP 3, areal KPHP terletak di kabupaten dan provinsi yang berbeda, dalam hal ini perijinan menjadi wewenang Menteri Kehutanan. Sebagai pembanding
Lampiran 6 menyajikan distribusi peran para pihak,
indikator utama kinerja dan jenis perencanaan, pada berbagai tingkatan, yang dikembangkan berdasarkan perubahan yang dikehendaki oleh undang-undang
111
kehutanan no. 41/1999. Pengurusan hutan dilakukan pada tingkat makro (nasional dan provinsi) dan meso (kabupaten/kota) dengan indikator utama kinerja adalah kecukupan luas hutan, kecukupan penutupan hutan dan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian, dan jenis-jenis perencanaan kehutanan jangka panjang, menengah dan tahunan yang menjadi tanggung jawabnya. Pengelolaan hutan tingkat makro dilaksanakan oleh institusi provinsi, dan tingkat meso oleh institusi kabupaten/kota dengan indikator utama kinerja adalah Kelestarian Hutan (Stok), Manfaat Hutan yang Optimal, indikator normatif distribusi manfaat yang berkeadilan. Sedangkan pengelolaan hutan tingkat mikro dilakukan oleh institusi KPHP dengan indikator utama kinerja kelestarian hutan (stok), manfaat hutan yang optimal, pelaksanaan distribusi manfaat yang berkeadilan. Pengelola hutan wilayah masingmasing menyusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang, menengah dan tahunan. Pemanfaatan dilakukan oleh pelaku usaha dan dilaksanakan di dalam KPHP melalui perijinan berbagai jenis usaha dengan indikator utama kinerja produktivitas atau kesehatan perusahaan, dan menyusun rencana Sementara pemerintah mengatur distribusi kewenangan tersebut berdasarkan pertimbangan letak geografis yang dikaitkan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, dan meniadakan peran pengelola KPHP. Ijin-ijin tersebut adalah bagian dari manajemen KPHP, sehingga pihak yang paling berkepentingan terhadap keberhasilan pengelolaan hutan adalah pengelola KPHP. Sedangkan Bupati/Wlikota, Gubernur dan Menteri tidak berkepentingan langsung atas kinerja individu KPHP. Oleh sebab itu penempatan wewenang seperti itu, telah melampaui batas jurisdiksi pengelola KPHP.
112
Perubahan PP.34/2002 menjadi PP. 6/2007, tidak mengandung perubahan yang mendasar tentang pengaturan hak dan kewajiban terkait dengan properti IUPHHK, perhatikan Tabel 20. Dalam hal hak, perubahan yang terjadi adalah pada ketentuan tentang pengalihan ijin, jika sebelumnya dinyatakan dilarang mengalihkan tanpa seijin menteri, berubah menjadi ijin dapat dipindah tangankan seijin pemberi ijin. Menurut pemikiran North (1990) pengaturan ini menempatkan pemerintah sebagai pemain dan sekaligus regulator dan penegak aturan, sedangkan dalam pandangan Van den Berg (2001) merupakan tindakan penggunaan aturan untuk memperkuat kekuasaan, dan menurut Scott (2008) dan Jepperson (1991) sebagai upaya melindungi kepentingan. Dengan demikian pengaturan ini mengandung unsur perversi dan konflik kepentingan. Tabel 20. Perbandingan Pengaturan Hak Properti (IUPHHK) Menurut PP 34/2002 dan PP 6/2007
No 1
PP 34 / 2002 Hak Berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya Kegiatan Pemanfaatan meliputi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan Izin tidak dapat dipindah tangankan tanpa seizin Menteri Jangka waktu 55 tahun
PP 6/2007 Hak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya Kegiatan Pemanfaatan meliputi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan Ijin dapat dipindah tangankan dengan seizjin pemberi izin Jangka waktu 55 tahun
113
Tabel 21. Perbandingan Kewajiban IUPHHK Menurut PP 34/2002 dan PP 6/2006
No
Kewajiban PP 34/02, ps (47)
Kewajiban PP 6/2006
1
membuat rencana kerja untuk seluruh areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin
2
melaksanakan kegiatan nyata dilapangan selambat-lambatnya 3 bulan sejak diberikan izin melaksanakan penataan batas areal kerja selambat-lambatnya 3 bulan sejak diberikan izin membuat laporan secara periodik
menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan selambat-lambatnya 1 tahun sejak diberikan izin melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1(satu) tahun sejak diberikan IUPHHK menyampaikan laporan kinerja pemegang ijin secara periodik kepada menteri melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya
3
4 5
6 7
8
9 10
11
melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya dari gangguan keamanan menatausahakan keuangan sesuai standar akuntansi kehutanan mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan; Melaksanakan teknik silvikultur sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan membayar IIUPHHK, PSDH, DR wajib bekerjasama dengan koperasi paling lambat 1 tahun setelah diterimanya izin Melaksanakan perlindungan hutan
12
Mengajukan ijin penggunaan peralatan
13
Mengajukan ijin pengalihan saham
14
Melakukan penatausahaan kayu (LHC, LPKP, SKSHH, dll) melakukan pengukuran dan pengujian hasil hutan
15
menatausahakan keuangan sesuai standar akuntansi kehutanan mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan; melaksanakan sistem silvikultur sesuai dengan kondisi setempat membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan wajib bekerjasama dengan koperasi paling lambat 1 tahun setelah diterimanya izin melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku Mengajukan ijin pengalihan saham melakukan penatausahaan hasil hutan melakukkan pengukuran dan pelujian hasil hutan
114
16
17
menyusun RKUPHHK, RKU 5 tahun, RKT diajukan 2 bulan sebelumnya menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan
menyusun RKUPHHK, dan RKT yang disahkan oleh KPH diajukan 2 bulan sebelumnya menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan
Dari sisi kewajiban meskipun terdapat perbedaan pengaturan namun perbedaan tersebut kurang berarti. Beberapa ketentuan yang menyangkut batas waktu pelaksanaan kewajiban cenderung diperlunak. Jika diperhatikan daftar kewajiban Tabel 21, kewajiban tersebut dimaksudkan untuk beberapa tujuan (1) memastikan perusahaan segera bekerja, (2) memberikan informasi kepada pemerintah, (3) melaksanakan tugas-tigas pengelolaan hutan, dan (4) membayar transaksi hasil hutan. Pemberian wewenang kepada Kepala KPH (KKPH) untuk mengesahkan RKT adalah perkembangan yang baik, RKT adalah salah satu dokumen yang menjukkan kontrak produksi yang ditransaksikan selama satu tahun. Perkembangan pemberian hak eksklusi atas produksi kayu ini belum cukup untuk memberi akuntabilitas kepada KKPH, karena di dalam KPHP dapat diberikan ijin-ijin lain yang kewenangannya ada pada Bupati, Gubernur dan Menteri.
4.3. Efektifitas Institusi Kehutanan Apakah struktur yang dibangun melalui berbagai peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan institusi menjadi tidak ekfektif ? Unsur-unsur penyebab institutisi tidak efektif, sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu terdiri dari (1) definisi hak properti yang tidak lengkap, (2) tegakan yang tidak diakui sebagai asset, (3) informasi tidak simetrik, (4) peraturan yang mengandung perversi
115
kekuasaan, (5) peraturan yang konflik, dan (6) biaya transaksi tinggi. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dipelajari isi dari berbagai teks peraturan yang diberlakukan.
4.3.1. Kelengkapan Definisi Hak Properti Pasal 4 UU no. 41/1999, mengatur bahwa seluruh hutan di wilayah negara Repulik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dijelaskan pada penjelasan pasal 4 (1) bahwa yang dimaksudkan sebagai “dikuasi” tidak berarti “dimiliki” melainkan pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam hukum publik. Makna dikuasi juga dijelaskan pada paragraf 4 penjelasan umum UU, yaitu bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur, mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; mengatur
perbuatan
hukum mengenai
kehutanan.
Selanjutnya pemerintah
berwenang memberi ijin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Sedangkan pada pasal 5 disebutkan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan adat dan pemerintah bertugas untuk menetapkan status hutan. Selanjutnya dijelaskan dalam penjelasan pasal 5 (1), bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaanya kepada
116
masyarakat hukum adat. Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Dari pasal-pasal tersebut terdapat tiga makna penting, pertama negara menguasai seluruh hutan tetapi tidak memiliki, dan menurut statusnya terdapat hutan negara dan hutan hak. Hutan hak didefinisikan sebagai hutan yang berada diatas lahan milik, dengan demikian kepemilikan hutan hak melekat pada pemilik lahan, kecuali ada perjanjian lain antar pemilik dengan pihak lain. Menjadi belum jelas adalah siapa pemilik hutan negara ?. Kedua, negara dapat memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat adat dalam bentuk hutan adat, dan kepada desa dalam bentuk hutan desa serta kepada masyarakat dalam bentuk hutan kemasyarakatan. Ketiga secara tersirat yang dimaksudkan pemanfaatan adalah penggunaan atas hasil pengelolaan hutan untuk kepentingan kesejahteraan. Pengaturan ini memperjelas hirarki institusi kehutanan yang berupa pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas undang-undang mengenal hak milik pada hutan hak, hak mengelola, dan hak memanfaatkan, akan tetapi penjelasan undangundang
mengandung
distorsi
pemaknaan
atas
pengertian
dikuasai
yang
menyebabkan definisi hak properti atas hutan negara menjadi tidak lengkap, kepemilikan atas hutan negara menjadi tidak jelas. Undang-undang membangun logika yang menempatkan penetapan status hutan sebagai hal utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah sebelum mengatur halhal lainnya. Tata urutan yang dibangun oleh undang-undang menempatkan
117
penetapan satus hutan pada pasal 5 setelah pendefinisian mandat kepada negara. Sesudahnya baru mengatur fungsi hutan (pasal 6), dan selanjutnya menyusul pengaturan tentang pengelolaan hutan, pemanfaatan dan terakhir perijinan. Pendekatan ini mengandung makna bahwa dalam melaksanakan mandat pengurusan hutan, pertama-tama harus ditetapkan status hutan kedalam hutan negara dan hutan hak. Pada hutan-hutan yang telah ditetapkan statusnya kemudian pemerintah menetapkan fungsi pokoknya yaitu produksi, lindung, konservasi atau kombinasi dari padanya. Pemerintah diperintahkan untuk memberikan kompensasi pada pemanfaatan hutan hak untuk fungsi lindung dan konservasi. Dengan demikian unitunit pengelolaan hutan tidak terbatas pada hutan negara saja, melainkan termasuk unit pengelolaan pada hutan hak. Oleh sebab itu pihak yang berwenang memberikan perijinan adalah pemilik hutan, dan pemilik dapat melimpahkan kewenangannya kepada pengelola hutan.
4.3.2 Status Asset Tegakan Hutan dalam IUPHHK Apakah peraturan telah mengatur status asset tegakan hutan yang dibangun melalui tindakan-tindakan silvikultur yang memerlukan biaya ?
Undang-undang
tidak mengatur tentang status asset atas tegakan hutan, demikian pula peraturanpemerintah juga tidak mengatur status asset atas tegakan hutan alam. Oleh sebab itu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, dilakukan penelusuran lebih lanjut pada peraturan-peraturan tingkat menteri. Salah satu unsur yang digunakan untuk menilai kinerja IUPHHK adalah reinvestasi ke hutan yaitu modal yang ditanamkan kembali ke dalam hutan (SK Dirjen
118
BPK, no. 42/KPTS/VI/2003). Perusahaan dianggap sangat baik apabila modal berupa hutan selalu meningkat. Kegiatan yang berhubungan erat dengan re-investasi ke hutan adalah kegiatan pembinaan hutan yang dimaksudkan untuk membangun kembali stok tegakan, sehingga biaya-biaya yang timbul untuk melaksanakan kegiatan ini diperhitungkan sebagai investasi. Pasal 47 Peraturan Pemerintah no.34 tahun 2002, mewajibkan perusahaan penerima IUPHHK melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan oleh pemerintah, di dalam sistem tersebut terkandung kegiatan pembinaan hutan dan lain-lain. Demikian pula di dalam kontrak (SKIUPHHK), pelaksanaan kegiatan pembinaan hutan dinyatakan sebagai kewajiban. Oleh karena itu pembinaan hutan dan kewajiban lainnya dilihat dari sisi pandang perusahaan bukan merupakan investasi yang diakumulasikan sebagai asset perusahaan, melainkan untuk memenuhi kewajiban dalam rangka bertransaksi dengan pemerintah. Disamping itu perusahaan juga diwajibkan untuk menata-usahakan keuangannya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Standar yang dimaksud adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 32. Menurut standar ini tegakan hutan alam tidak dapat dibukukan sebagai asset (Ikatan Akuntan Indonesia ,1994). Dijelaskan lebih lanjut bahwa biaya-biaya penanaman dalam rangka pengusahaan hutan dibebankan sebagai biaya produksi hasil hutan. Sedangkan biaya penanaman untuk kegiatan bukan produksi, seperti penanaman hutan lindung disajikan sebagai beban lain-lain. Karena dibebankan sebagai biaya produksi dan beban lain-lain, maka biaya-biaya tersebut tidak dapat diakumulasikan sebagai asset perusahaan.
119
Jelas disini bahwa tegakan hutan tidak diakui sebagai asset perusahaan IUPHHK karena dua alasan, pertama tindakan pembinaan hutan dilakukan untuk memenuhi kewajiban kepada pemberi kontrak, sehingga hasilnya menjadi milik pemberi kewajiban. Alasan kedua adalah berdasarkan Standar Akuntansi yang berlaku, biayabiaya penanaman di hutan alam dibebankan sebagai biaya produksi sehingga tidak dapat diakumulasikan sebagai asset. Dengan demikian, perubahan-perubahan peraturan yang terjadi selama tahun 1999 sampai dengan 2007 tidak menyentuh issue pengakuan tegakan hutan sebagai asset. Ketentuan mengenai akuntansi kehutanan ini telah diubah oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan diadopsi oleh Menteri Kehutanan sebagai Peraturan Menteri Kehutanan no. P.69/Menhut-II/2009, perubahan tersebut adalah ketentuan pembebanan biaya penanaman daur kedua pada hutan tanaman. Pada ketentuan sebelumnya beban penanaman daur kedua diperhitungkan sebagai biaya, diubah dengan ketentuan baru menjadi beban yang dikapitalisasi. Hal ini berarti bahwa tegakan hutan hasil penanaman di hutan tanaman diakui sebagai asset. Sedangkan penanaman di hutan alam tidak mengalami perubahan.
4.3.3. Penguasaan Informasi Mekanisme IUPHHK yang berlaku saat ini adalah sebagaimana yang tergambar pada Gambar 19, dimana perijinan dan pengelolaan hutan secara langsung berada di bawah kewenangan Menteri, dengan beberapa dukungan dari pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Dengan mekanisme seperti ini, semua pihak mulai dari pelaku usaha, bupati/wali kota, gubernur dan menteri memerlukan informasi dengan resolusi yang sama untuk setiap ijin IUPHHK. Menarik untuk dipelajari adalah
120
bagaimana cara masing-masing untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengeksekusi kewenangannya, sehingga dapat tergambar siapa yang lebih menguasai informasi tersebut. Pengetahuan ini akan membantu untuk mengenali keberadaan informasi yang tidak simetrik (Assymetric Information). Menurut Pindyck and Rubinfeld (2001) keberadaan informasi yang tidak simetrik dapat menjelaskan berbagai penataan institusi di dalam masyarakat, keberadaannya juga yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Ketidak-mampuan pemerintah untuk memonitor tindakan individual pemilik IUPHHK adalah salah satu bentuk informasi tidak simetrik, kondisi seperti ini dapat menimbulkan moral hazard (Pindyck and Rubinfeld, 2001). Hal lain yang dapat terjadi akibat keberadaan informasi asimetrik adalah Principal-Agent Problem, dalam konteks IUPHHK dapat terjadi dalam bentuk pemilik IUPHHK tidak memelihara hutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah. Dalam konteks hubungan transaksional ini, pemerintah dan daerah bertindak sebagai penjual sedangkan pelaku usaha bertindak sebagai pembeli. Pemerintah mentransaksikan kayu dari hutan alam kepada pelaku usaha dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Oleh karenanya informasi yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah informasi yang berkaitan dengan atribut obyek perijinan, termasuk di dalamnya areal hutan dan potensi sumberdaya hutan yang diperlukan pada proses perolehan ijin, pelaksanaan ijin dan informasi untuk memonitor perilaku pemilik ijin. Tingkat resolusi informasi yang dimiliki oleh setiap tingkatan institusi pada Tabel 22, diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor 67/Menhut-II/2006, resolusi citra satelit dan non-satelit yang digunakan untuk tingkat nasional adalah sedang (1050m) sampai rendah (50-250m), tingkat provinsi tinggi (4-10m) atau sedang (10-
121
50m), kabupaten kota sangat tinggi (1-4m) sampai sedang (10-50m) dan tingkat unit pengelolaan kota sangat tinggi (1-4m) sampai sedang (10-50m). Sedangkan pasal (8)hasil inventarisasi hutan nasional disajikan dalam peta berskala 1 : 500.000, hasil inventarisasi hutan provinsi disajikan dalam peta berskala 1 : 250.000, hasil inventarisasi hutan kabupaten/kota disajikan dalam peta 1 : 100.000, hasil inventarisi hutan unit pengelolaan disajikan dalam skala 1:250.000, 1:100.000 atau 1:50.000 tergantung luasnya. Penyelenggara kegiatan inventarisasi hutan dimaksud adalah Badan Planologi Kehutanan untuk Nasional, Dinas Kehutanan Provinsi untuk untuk Provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota untuk tingkat kabupaten/kota dan organisasi pengelola untuk tingkat unit. Jenis resolusi tersebut menunjukkan tingkat penguasaan informasi, masing masing pihak. Tabel 22. Tingkat Penguasaan Informasi yang dimiliki oleh Para Pihak
Pihak Terkait
Tingkat Resolusi Data Citra (m) Keperluan Terendah Tertinggi untuk Perijinan 50-250 10-50 1-4
Menteri Kehutanan Gubernur 10-50 4-10 Bupati/Walikota 10-50 1-4 Pengelola 10-50 1-4 KPHP Pemilik 1-4 1-4 IUPHHK(*) Sumber Permenhut 67/Menhut-II/2006 (*)
Kesesuaian Kurang
1-4 1-4 1-4
Kurang Sedang Sedang
1-4
Tepat
ITSP dan ITT dengan intensitas 100 %
Selain itu Keputusan Menteri Kehutanan No. 05.1/Kpts-II/2000, pemohon melaporkan hasil survey potensi kepada bupati/walikota, gubernur, menteri
122
kehutanan, sebagai dasar penetapan peta, dan luas areal kerja, dan penetapan target tebangan tahunan. Keputusan Menteri Kehutanan No. 05.1/Kpts-II/2000, dan pasal (4) Keputusan Menteri Kehutanan no. 88/Kpts-II/2003, pemilik IUPHHK wajib melakukan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) pada setiap petak di dalam Blok RKT dengan intensitas 100 % (resolusi tinggi) dan Inventarisasi Tegakan Tinggal di tempat yang sama dengan intensitas 100 %. Pasal (4) Keputusan Meneteri Kehutanan no. 149/Kpts-II/2003, dalam rangka penilaian ketaatan pemegang IUPHHK terhadap peraturan perundangan, pemegang IUPHHK melakukan presentasi dihadapan kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri. Pasal (6) Keputusan Meneteri Kehutanan No. 208/Kpts-II/2003, bahwa penilaian kinerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam di unit manajemen dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen yang ditetapkan oleh Menteri. Selanjutnya Pasal (10) bahwa biaya penilian tahap pertama disediakan oleh Departemen Kehutanan, dan untuk penilaian berikutnya dibebankan kepada masingmasing badan usaha. Pasal (3) Keputusan Menteri Kehutanan no. 150/Kpts-II/2003, dalam rangka penyerahan IUPHHK sebelum jangka waktu ijin berakhir terlebih dahulu dilakukan audit komprehensif. Pada pasal (4) diatur bahwa untuk keperluan audit komprehensif
tersebut pemegang IUPHHK wajib melakukan presentasi
dihadapan kelompok kerja yang dibentuk Menteri. Peraturan-peraturan tersebut di atas menunjukkan bahwa untuk memonitor ketaatan perusahaan dan kondisi hutan di lapangan, pemerintah sangat tergantung pada informasi yang disediakan oleh perusahaan. Dalam menilai kinerja tahap pertama pemerintah menyewa sendiri penilai independent, akan tetapi pada penilaian
123
tahap ke dua biaya penilaian dibebankan kepada perusahaan. Pengalihan sumber pembiayaan ini meningkatkan ketergantungan pemerintah pada perusahaan. Untuk menerbitkan jatah tebang tahunan yang dituangkan di dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan dan pemerintah memerlukan data riap pohon pada areal tertentu. Data riap ini diperoleh dari data riap pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP) yang ada diperusahaan yang bersangkutan. Permasalahannya adalah bahwa lokasi penebangan berbeda dengan lokasi PUP, sehingga data riap pada PUP tidak menggambarkan riap pada lokasi penebangan. Secara umum tergambar bahwa penguasaan informasi oleh pemerintah masih tetap lemah, perusahaan lebih menguasai informasi tentang kondisi hutannya dari pada pemerintah, sehingga terjadi informasi yang tidak simetrik dimana pembeli lebih menguasai informasi dari pada penjual (pemerintah). Tidak ada perbedaan pengaturan dari periode sebelum 1999 dengan periode sesudahnya, hingga laporan ini disusun.
4.3.4. Perversi Kekuasaan Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan IUPHHK mengandung unsur-unsur kepentingan pihak pengelola (pemerintah) dan pihak pengguna ( penerima IUPHHK). Masing-masing pihak mempunyai kepentingan untuk menyukseskan misinya, pihak pengelola berkepentingan untuk mengoptimalkan manfaat hutan, misi ini terwujud apabila pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari (penjelasan pasal 23, Undang-undang no. 41/1999). Penerima IUPHHK yang merupakan entitas bisnis bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan yang menurut Hampton (1989) akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset
124
menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara meminimumkan biaya produksi. Hubungan antara pengelola dan pengguna diatur dalam peraturan pemerintah no. 34/2002 dan peraturan-peraturan lain yang berupa kewajibankewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengguna dalam rangka transaksi IUPHHK. Prinsip Excludibilitas mengharuskan entitas dapat menjamin terjadinya situasi dimana pihak yang menanggung beban adalah pihak yang memperoleh manfaat, sebaliknya pihak yang memperoleh manfaat harus dipastikan sebagai penanggung seluruh beban yang diakibatkan. Dengan mengidentifikasi pihak-pihak penanggung beban secara langsung yang timbul dari kewajiban, dan pihak yang menikmati secara langsung hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, maka dapat diketahui posisi excludabilitas dari kewajiban tersebut. Berdasarkan PP. No. 34/2002 dan Surat ijin usaha yang diterbitkan Menteri Kehutanan, teridentifikasi sebanyak 17 jenis kewajiban teknik yang terkait dengan pengelolaan hutan, kewjiban ini merupakan bentuk pembayaran transaksi bukan dalam satuan moneter. Tabel 23 menunjukkan bahwa dari 17 jenis kewajiban, seluruh beban pelaksanaannya ditanggung oleh pengguna (pemilik IUPHHK) sedangkan seluruh manfaatnya dinikmati oleh pengelola, terdapat dua jenis manfaat yang menjadi kepentingan kedua belah pihak. Dari sisi pandang keputusan pilihan metode transaksi tunai dan nontunai, maka pengaturan seperti ini bisa tidak menimbulkan masalah jika kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama dan mempunyai kapasitas untuk mengukur kualitas hasil pelaksanaan kewajiban. Pihak pengelola berkepentingan untuk mendapatkan hasil pelaksanaan kewajiban dengan kualitas terbaik agar misi sebagai pengelola dapat dicapai. Sedangkan pihak
125
pengguna berkepentingan untuk meminimumkan biaya agar keuntungan maksimum dapat dicapai. Dalam kondisi pengguna memiliki kebebasan memilih teknologi maka pengguna dapat meminimumkan biaya dengan teknologi yang paling efisien. Namun dalam hal ini pengguna tidak dapat memilih teknologinya sendiri, pemerintah melalui Menteri Kehutanan bertindak sebagai penentu pilihan teknologi. Dengan kendala seperti ini, maka upaya meminimumkan biaya dapat mempengaruhi penurunan kualitas pelaksanaan kewajiban. Apakah keputusan ini yang menjadi pilihan pengguna, kondisi empiriknya akan dibahas pada bab VI. Adanya perbedaan kepentingan ini, menunjukkan bahwa pengguna melaksanakan kegiatan yang tidak menjadi kepentingan langsungnya, melainkan melaksanakan yang menjadi kepentingan pihak lain. Kewajiban adalah sebuah tindakan yang dipertanggung-jawabkan kepada pemberi kewajiban, dan dianggap selesai apabila pemberi kewajiban menilai bahwa kewajiban tersebut telah terpenuhi. Hal ini membawa implikasi bahwa pemberi kewajiban dituntut untuk memiliki informasi yang cukup baik dan lengkap untuk mengetahui setiap detail pelaksanaan kewajiban dan kualitas hasilnya. Tetapi pada bagian terdahulu diketahui bahwa kepampuan pemerintah lemah, bahkan pengguna menguasai informasi yang lebih baik daripada pengelola.
126
Tabel 23. Peletakan Penanggung Beban dan Pemanfaat Langsung Kode
Kewajiban
Hasil akhir / kegunaan
Informasi Detail Unit Inventarisasi Hutan Tingkat Pengelola / 1 Unit Pengelolaan Hutan perncanaan Inventarisasi Tegakan Potensi penebangan / 2 Sebelum Penebangan niliai atribut Invetarisasi Tegakan Informasi kondisi 3 Tinggal hutan/ pemeliharaan Pengelolaan Petak Ukur Informasi riap / 4 Permanen perencanaan Penataan Hutan kedalam Desain pengelolaan 5 Blok dan Petak hutan Pelaksanaan Tata Batas 6 Areal Kerja Klaim areal Membuat Rencana Kerja (Pengelolaan) seluruh 7 jangka waktu Rencana pengelolan Melaksanakan teknik silvikultur yang ditentukan Membangun Stok 8 Menteri Kehutanan Tegakan Penanaman dan rehabilitasi Membangun Stok 9 hutan Tegakan Membangun Stok 10 Pengayaan tegakan tinggal Tegakan Membangun Stok Melaksanakan perlindungan Tegakan / melindungi 11 hutan "asset" Mengajukan ijin 12 penggunaan peralatan Alat Pengawasan Mengajukan ijin pengalihan 13 saham Alat Pengawasan Melakukan penatausahaan kayu (LHC, LPKP, SKSHH, 14 dll) Alat Pengawasan Klaim / melindungi 15 Memelihara Pal Batas "asset" Membangun Stok Alokasi dan pemeliharaan Tegakan / melindungi 16 kawasan lindung "asset" Membangun Stok Konservasi keanekaragaman Tegakan / melindungi 17 hayati "asset"
Penanggung Pemanfaat Penggun Pengelol Penggun Pengel a a a ola
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
127
Bila kewajiban tersebut di atas dipetakan berdasarkan tingkat kepentingan masingmasing pihak, didapatkan gambaran keberadaan aturan yang mengandung konflik kepentingan, hasilnya adalah sebagai Gambar 20. Undang-undang menetapkan bahwa pengelolaan hutan tingkat unit menjadi tanggung jawab pemerintah, untuk melaksanakannya pemerintah mempunyai pilihan yaitu melaksanakan sendiri melalui penguatan organisasi pengelola KPHP, atau mengalihkan tanggung jawab pelaksanaannya kepada pihak lain (IUPHHK) melalui pengaturan kontrak dengan membebankan kewajiban teknik pengelolaan hutan. Memperhatikan pendapat Van den Berg (2001) dan Plastrick (2001), yang mengingatkan bahwa bukan saja karena birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya, dan mengingat bahwa salah satu peran pemerintah adalah membuat peraturan, maka peraturan menjadi salah satu bentuk alat yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan, namun juga perlu dipahami bahwa pemegang kekuasaan juga cenderung mencari cara-cara yang paling menguntungkan bagi kepentingannya meskipun atas beban pihak lain. Gambar 20 memberikan ilustrasi tentang adanya cara-cara mengambil keuntungan bagi kepentingan pemerintah atas beban pihak lain. Sejalan dengan keputusan pemerintah untuk tidak memperkuat organisasi KPHP yang tercermin dari kedua peraturan pemerintah yang disebutkan terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah dengan sengaja mengambil keputusan untuk mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan penerima IUPHHK dengan cara memberikan beban kewajiban pengelolaan hutan. Dalam terminologi Van den Berg (2001), tindakan ini tergolong sebagai perversi kekuasaan (perversion of power), yaitu bahaya atas kekuasaan yang terpusat pada pemerintah yang akan mengarah
128
kepada memberikan keuntungan kepada suatu pihak atas beban pihak-pihak yang lain. Dalam pandangan North (1987), pilihan ini merupakan kecenderungan yang umum terjadi dalam sejarah keputusan politik yang membuat institusi tidak efisien .
4.3.5. Konflik Kepentingan Pengelola dan Pengguna Sebagaimana diingatkan oleh Scokpol (1985) didalam Van den Berg (2001) bahwa diperlukan pembatasan peran negara agar tidak masuk terlalu jauh dalam urusan bisnis tingkat mikro, karena negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktoraktor sosial lainnya. Dalam pandangan Van den Berg (2001), dan Stiglitz (2000), pemerintah perlu mengambil peran sebagai regulator dan penegak aturan. Dalam konsep North (1990), agar institusi dapat efisien harus dipisahkan antara aturan main dengan pemainnya. Pemerintah sebagai pembuat aturan main dan wasit , tidak dapat sekaligus menjadi pemain untuk menghindari adanya konflik kepentingan. Penjelasan-penjelasan pada bagian ini dan bagian-bagian terdahulu, menunjukkan bahwa dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pemerintah telah memasuki wilayah-wilayah mikro. Pemerintah bertindak sebagai pembuat peraturan, wasit yang bertugas menegakkan aturan, tetapi pada saat yang bersamaan juga menjadi pemain. Perannya sebagai pemain ditunjukkan dalam keterlibatannya menentukan pilihan teknologi, persetujuan rencana usaha dari setiap penerima ijin usaha, mengatur kebutuhan tenaga profesional, menentukan jenis-jenis alat, menentukan hubungan kontrak dengan pengguna. Dalam pandangan North (1990) keterlibatan pemerintah
129
sebagai pemain dapat menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi
Pemanfaat langsung
pembuatan peraturan maupun konsistensi penegakan aturan main.
Pengelola Hutan (Mikro)
Pengguna Ijin
(Mikro)
Beban dan Manfaat Kewajiban IUPHHK
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)
(1) (2)
Pengguna Ijin Pengelola Hutan (Mikro (Mikro) Penanggung Beban
Gambar 20. Kepentingan Pengelola dan Pengguna atas Kewajiban IUPHHK
Dalam menjawab persoalan penurunan produksi hutan alam, terdapat dua kebijakan pemerintah dalam bentuk goyangan teknologi (technological shock) yang berharga untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan konflik kepentingan peran sebagai regulator dan sebagai pemain, yaitu peraturan Menteri Kehutanan tentang teknik silvikultur intensif (SILIN) dan peraturan Menteri N0. 11/Menhut-II/2010 yang menurunkan batas diameter pohon yang dapat ditebang.
Hasil penelitian
Heriansyah I (2008), menyimpulkan bahwa SILIN tidak tepat diimplementasikan sebagai teknik silvikultur untuk menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari, teknik ini mengandung resiko kegagalan ekonomi yang besar dan cenderung
130
menimbulkan masalah ekologi. Kesimpulan ini didasarkan pada temuan hasil kajian bahwa (1) bibit yang digunakan bukan bibit hasil pemuliaan sebagaimana ditentukan dalam aturan, melainkan berasal dari cabutan alam yang dipelihara secara masal dipersemaian dengan kualitas yang bervariasi; (2) akibat pemanenan kayu mulai diameter 40 cm semakin banyak tegakan tinggal yang rusak dan tidak produktif, dan adanya pembuatan jalur tanam dengan tingkat pembukaan 15-50% membuat kondisi hutan semakin sulit untuk dipulihkan dan semakin banyak sumber genetik yang hilang; (3) jalur tanam 3 meter hanya mampu mengakomodasi pertumbuhan sampai umur sekitar 3 tahun dan persen pertumbuhan tanaman merosot setelah melewati masa 3 tahun, sehingga target produksi tidak mungkin dapat dicapai; dan (4) jenis yang dikembangkan tidak mewakili jenis yang dipanen tetapi terbatas pada jenis yang cepat tumbuh dan intoleran, sehingga akan mengancam biodiversitas. Hasil Heriansyah (2008) menunjukkan bahwa regulator menciptakan aturan main yang dapat memastikan kepentingan jangka pendeknya yaitu peningkatan produksi dapat dipenuhi dengan resiko ketidak pastian atas kepentingan jangka panjang. Kepentingan jangka pendek berupa peningkatan produksi adalah kepentingan yang lebih melekat pada kepentingan perusahaan bukan kepentingan pemerintah sebagai pengelola hutan yang harus membangun hutan berkualitas tinggi. Dominasi kepentingan perusahaan dalam keputusan ini adalah sejalan dengan pendapat Hampton (1989) bahwa untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara meminimumkan biaya produksi. Keputusan untuk menurunkan batas diameter berimplikasi mempercepat konversi asset mengganggur
131
menjadi uang tunai. Sementara kegiatan pemeliharaan hutan adalah menyimpan uang kedalam hutan sebagai asset yang menganggur. Sejalan dengan kesimpulan penelitian Heriansyah tersebut, Peraturan Menteri Kehutanan No. 11/Menhut-II/2010, yang menurunkan batas diameter dari 50 Cm menjadi 40 Cm adalah bentuk legalisasi dari kepentingan percepatan konversi asset menganggur menjadi uang tunai. Kebijakan ini menjawab kepentingan jangka pendek, dan tidak berhubungan dengan kepentingan jangka panjang pengelolaan hutan. Dalam hal ini kepentingan pengusaha IUPHK bertemu dengan kepentingan jangka pendek pemerintah dengan mengorbankan kepentingan jangka panjangnya. Dampak kerusakan hutan yang terjadi akibat keputusan ini akan ditanggung oleh sebagian rakyat dalam bentuk eksternalitas negatif dan perusahaan-perusahaan atau generasi yang akan datang. Jika dipandang dari pengertian tentang perversi kekuasaan menurut Van den Berg (2001), peraturan-peraturan tersebut adalah bentuk penggunaan kekuasaan yang menguntungkan kelompok tertentu (pemerintah dan perusahaan IUPHHK yang sekarang) atas beban yang harus ditanggung oleh sebagian besar rakyat dan generasi yang akan datang. Selanjutnya konflik kepentingan juga dapat dilihat dari pengaturan tentang sanksi, berdasarkan peraturan pemerintah no. 34/2002, diluar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU41/1999,
jenis-jenis sanksi administratif yang dapat dikenakan
kepada pemilik IUPHHK terdiri dari : (a) penghentian sementara pelayanan administrasi, (b) penghentian sementara kegiatan di lapangan, (c) denda administrasi, (d) pengurangan areal kerja, dan (e) pencabutan ijin. Dalam konsep regulasi Scott (2008) sanksi diperlukan untuk mempengaruhi perilaku kedepan agar di hari
132
kemudian berperilaku sesuai dengan norma yang dikehendaki. Apabila diperhatikan sanksi-sanksi tersebut bukan hanya berdampak kepada perusahaan melainkan dapat berdampak kepada pemerintah juga. Sanksi penghentian sementara pelayanan administrasi adalah berupa penghentian sementara pelayanan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), dokumen yang diperlukan untuk pengangkutan kayu keluar dari lokasi penebangan. Penerapan secara konsisten atas sanksi ini dapat menurunkan suplai kayu di pasar dan suplai ke industri pengolahan kayu. Jika pelanggaran yang berakibat pengenaan sanksi ini bersifat masif, maka akan terjadi penurunan kualitas stok tebangan kayu di hutan dalam jumlah besar, dan kelangkaan suplai log sehingga perekonomian akan terganggu. Jika hal ini terjadi maka kepentingan pemerintah juga terganggu. Sanksi berupa penghentian sementara kegiatan lapangan dan sanksi pencabutan ijin, akan mempunyai dampak berupa pengurangan produksi kayu, sehingga akan membuat target produksi kayu nasional tidak tercapai, target penerimaan Negara dari DR dan PSDH tidak tercapai pula. Penerapan sanksi-sanksi tersebut memiliki implikasi negatif pada kepentingan pemerintah. Disatu sisi pemerintah membuat kebijakan yang mengarah kepada peningkatan produksi bahkan dengan cara menurunkan batas diameter yang mengandung resiko kerusakan hutan, namun disisi lain sanksi yang dibuat berakibat pada penurunan produksi. Sanksi yang mengandung unsur konflik yaitu apabila diterapkan akan mempengaruhi tujuan yang lainnya, sehingga pemerintah akan sulit untuk menerapkan aturan yang dibuatnya sendiri.
133
4.3.6. Biaya Transaksi IUPHHK Sebagaimana dikemukakan oleh North (1991) bahwa yang dimaksud dengan biaya transaksi adalah biaya untuk mengukur nilai atribut suatu barang atau jasa yang akan dipertukarkan, biaya untuk melindungi penguasaan atas barang (exclusion cost), dan biaya untuk membuat kontrak (contractual cost) serta biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost). Dengan menggunakan batasan Costanza (2001), IUPHHK dapat dimaknai sebagai transaksi asset yang berupa tegakan hutan
dari penguasaan negara
kepada
perusahaan. Sedangkan cakupan biaya transaksi menurut pengertian North (1991), adalah biaya peninjauan lapangan untuk mendapatkan data/informasi lapangan (pasal 8, Permenhut No. P.15/Menhut-II/2004), biaya inventarisasi hutan, inventarisasi sebelum penebangan, inventarisasi tegakan tinggal, dan biaya penyelenggaraan Petak Ukur Permanen (PUP). Biaya-biaya ini adalah biaya untuk mendapatkan informasi. Biaya proses perijinan meliputi : biaya-biaya penyusunan proposal, perolehan rekomendasi gubernur dan Bupati/walikota, menyusun AMDAL, UKL dan UPL, dan Biaya Iuran IUPHHK (pasal 6, 15 dan 19, Permenhut No. P.15/Menhut-II/2004) Biaya-biaya yang terkait dengan pelaksanaan dan berimplikasi pada pengelolaan hutan meliputi : pembuatan rencana kerja, penataan batas areal kerja, penanaman/ rehabilitasi dan pengayaan, pemeliharaan tanaman. Sedangkan biaya untuk untuk melindungi penguasaan atas haknya (exclusion cost) adalah biaya pengamanan dan perlindungan hutan dan biaya-biaya yang terkait dengan peñata-usahaan kayu. Jika dikaitkan dengan pengertian (Scott, 2008) dan kedudukan pemilik IUPHHK sebagai pengguna (pemanfaat), sesungguhnya yang ditransaksikan adalah kayu hasil
134
produksi di hutan Negara yang dibayar dalam bentuk transaksi tunai dan non-tunai. Transaksi tunai adalah berupa pembayaran iuran ijin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumberdaya hutan dan dana reboisasi. Sedangkan transaksi non-tunai adalah berupa pemenuhan kewajiban-kewajiban non financial seperti, inventarisasi hutan, pengajuan berbagai rencana, tata batas, pembinaan hutan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan biaya pengelolaan hutan dan tidak berkaitan langsung dengan kepentingannya sebagai pengguna / pemanfaat. Tabel 24 berikut ini menyajikan jenisjenis biaya yang digolongkan sebagai biaya transaksi. Tabel 24. Jenis-jenis biaya IUPHHK (sebagai pengguna) yang Digolongkan sebagai Biaya Transaksi Tunai dan Non-tunai Kategori Biaya NonPeruntukan Pembiayaan Tunai Transaksi Tunai Biaya Informasi Survey pra lelang Inventarisasi Hutan x Biaya Kontrak Persyaratan lelang x Proses lelang x Iuran IUPHHK x Biaya Penyusunan Rencana (RKUPHHK), Pelaksanaan Rencana Kerja 5 tahun, Rencana Kerja x Tahunan. Penataan Batas Areal Kerja x Pembinaan hutan x Membayar PSDH x Membayar DR x Perlindungan Perlindungan Hutan X Penata Usahaan Kayu X
Peranan biaya transaksi merugikan yang tinggi terhadap kinerja pengelolaan hutan lestari telah dipastikan oleh Mardipriyono (2004), yang menunjukkan bahwa biayabiaya transaksi merugikan yang tinggi tersebut menyebabkan perusahaan tidak memberikan perhatian terhadap upaya-upaya pencapaian kinerja pengelolaan hutan
135
lestari. Sejalan dengan hal ini Darusman dan Bahruni (2003) mengkonfirmasikan bahwa biaya-biaya untuk pengelolaan hutan lestari tidak berpengaruh secara nyata terhadap total biaya produksi, hal ini mengindikasikan bahwa dari segi pembiayaan terdapat faktor-faktor biaya lainnya yang lebih berpengaruh. Keduanya menunjukkan bahwa institusi yang dibangun setelah berlakunya undang-undang no 41 tahun 1999, belum mampu memberi insentif bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari. Hasil penelitian Kartodihardjo (1998) mendapatkan bahwa biaya transaksi yang terjadi di perusahaan HPH berkisar antara 24% sampai dengan 46% dari biaya produksi. Jumlah ini merupakan porsi yang besar, sehingga mengindikasikan adanya biaya transaksi yang tinggi. Sementara Mardipriyono (2004), menunjukkan biaya transaksi pada perusahaan penerima IUPHHK sebagai Tabel 25 berikut : Tabel 25. Biaya Transaksi Pada Biaya Produksi Kayu Bulat
No
Sumber Perhitungan Biaya Produksi
Total Biaya Produksi* Rp/M3
Biaya Transaksi Rp/M3
%
608 523 783 985
93 924 93 924
15.43 11.98
434 454 688 714
168 696 153 474
38.83 22.28
I
Penelitian Mardipriyono 2004 1. Hutan Rawa 2. Hutan Kering II Penelitian Darusman & Bahruni 2003** 1. Hutan Rawa 2. Hutan Kering Sumber : Diolah dari Mardipriyono (2004)
* : Biaya produksi tertinggi ** : Dihitung berdasarkan laporan audit keuangan
136
4.4. Proses Pemilihan Perusahaan Penerima IUPHHK Pemilihan perusahaan yang akan menerima IUPHHK diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan nomor 32/Kpts-II/2003, yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.15/Menhut-II/2004, dan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.20/Menhut-II/2007. Pernyataan tujuan yang hendak dicapai oleh ketiga peraturan tersebut, disajikan secara berturut-turut sebagai berikut :
1. “untuk mendapatkan penawar profesional dan berkualitas serta mempunyai komitmen yang tinggi dalam pemanfaatan hutan secara lestari” 2. “untuk mendapatkan penawar profesional dan berkualitas serta mempunyai komitmen yang tinggi dalam pemanfaatan hutan secara lestari” 3. “diperolehnya pengelola hutan produksi yang profesional dan akuntabel ….. dalam rangka peningkatan investasi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan perbaikan kualitas lingkungan hidup”
Ketiga pernyataan tujuan tersebut mengharapkan bahwa proses pemilihan dapat memperoleh mitra kerja yang berkualitas tinggi dan kompeten. Namun demikian dari pernyataan tujuan tersebut terindikasikan bahwa pemerintah tidak membedakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan, sehingga pemerintah tidak membedakan entitas yang kompeten bagi keduanya. Sebagai implikasinya pemerintah tidak membedakan antara pengguna dengan pengelola. Apa yang dimaksudkan sebagai entitas yang berkualitas tinggi, profesional dan kompeten, dapat dipelajari dari syarat kualifikasi dari peserta lelang dan pemohon ijin. Entitas dianggap berkualitas apabila dapat menunjukkan status legalitasnya yang berupa dokumen persyaratan administrasi, dan dianggap kompeten apabila dapat
137
melewati saringan uji kelayakan yang meliputi : (1) visi dan misi yang jelas dalam pemanfaatan hutan lestari, (2) kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan, (3) catatan prestasi, pengalaman dan pengetahuan dalam pemanfaatan hutan, dan (4) memiliki sumberdaya manusia yang cukup dan berkualitas.
Peraturan-peraturan
tersebut diatas tidak mengatur dengan jelas indikator-indikator yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur variabel-variable yang diuji. Terhadap peserta atau pemohon yang dinyatakan sebagai pemenang, maka panitia mengajukan kepada Menteri Kehutanan calon penerima IUPHHK untuk ditetapkan, dan atas dasar ketetapan Menteri ini entitas yang dianggap berkualitas dan kompeten tersebut diperintahkan untuk mencari rekomendasi dari bupati/walikota dan gubernur, dan memenuhi persyaratan lainnya. Rekomendasi tersebut menyangkut kelayakan areal yang akan diusahakan dan rekomendasi tentang kemampuannya. Apabila dalam 150 hari kerja rekomendasi bupati dan rekomendasi gubernur serta persyaratan lainnya tidak dapat dipenuhi, maka ketetapan tersebut dibatalkan. Dengan demikian proses-proses seleksi, kualifikasi dan uji kelayakan tidak dapat memberikan kepastian bagi para peserta. Dalam proses ini yang menentukan sesuatu pihak dapat memperoleh IUPHHK adalah rekomendasi bupati dan gubernur. Pemenang lelang yang telah mengikuti proses dan ditetapkan oleh menteri dapat batal menerima IUPHHK jika tidak mendapat rekomendasi bupati dan gubernur. Proses lelang pada dasarnya dimaksudkan agar perolehan IUPHHK dapat dilakukan melalui pasar bersaing sehingga peluang untuk mendapatkan entitas yang berkualitas tinggi dan kompeten lebih besar, namun mekanisme pasar ini terdistorsi oleh aturan main itu sendiri yang memberikan hak monopoli kepada bupati dan
138
gubernur. Dengan demikian mekanisme pemilihan perusahaan penerima IUPHHK beresiko terjadi kesalahan pemilihan, sehingga dimungkinkan adanya perusahaanperusahaan yang tidak berkualitas memasuki usaha pemanfaatan hasil hutan.
4.5. Mekanisme Penilaian Kinerja IUPHHK Keputusan Menteri Kehutanan 149/Kpts-II/2003, menyebutkan bahwa penilaian terhadap pemegang IUPHHK dimaksudkan untuk mengevaluasi ketaatannya terhadap peraturan perundangan yang berlaku dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Adapun penilaiannya dilakukan oleh kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri, informasi-informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian tersebut didapatkan dari presentasi perusahaan dihadapan kelompok kerja yang dihadiri oleh direksi dan komisaris perusahaan. Mekanisme yang diatur dalam keputusan Menteri ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki informasi guna menilai ketaatan perusahaan, informasi yang diperlukan hanya didapatkan dari perusahaan yang akan dievaluasi. Sedangkan keputusan Menteri Kehutanan no. 280/Kpts-II/2003, menyebutkan bahwa tujuan penilaian kinerja usaha pemanfaatan hasil hutan adalah untuk melakukan pembinaan dan sebagai sarana untuk mendapatkan bahan pertimbangan pengambilan keputusan atas perpanjangan dan persetujuan pemberian IUPHHK. Penilaian ini dilakukan dengan mengacu pada kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari pada unit manajemen sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan nomor 4795/Kpts-II/2002. Peraturan ini menunjukkan dua hal penting yaitu, pertama pemerintah tidak memiliki perangkat mekanisme yang
139
menyatu (build in mechanisme) yang dapat menyediakan informasi secara reguler atas kinerja pengelolaan hutan, hal ini memperkuat penjelasan pada bagian-bagian terdahulu bahwa kemampuan pemerintah dalam penguasaan informasi tentang hutan dan pelaksanaan perjanjian kontrak adalah lemah. Kedua mengingat bahwa obyek yang dinilai adalah entitas perusahaan penerima IUPHHK dan kriteria penilaian yang digunakan adalah kriteria dan indikator PHL maka pemerintah memandang, pihak yang dianggap bertanggung jawab mengelola hutan adalah perusahaan IUPHHK. Hal yang kedua ini mengonfirmasi bahwa pemerintah tidak membedakan kedudukan perusahaan sebagai pengguna (pemanfaat) dengan kedudukannya sebagai pengelola. Berdasarkan kepada pernyataan tujuan dari dua peraturan tersebut dapat dipahami bahwa evaluasi dan penilaian kinerja perusahaan penerima IUPHHK adalah untuk mengetahui praktek-praktek pengelolaan hutan lestari. Mengingat bahwa pilihan teknik pengelolaan dan pemanfaatan hutan dibuat dalam bentuk peraturan, maka praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan adalah bentuk aktualisasi peraturan. Dengan demikian sesuai dengan pernyataan tujuan pada peraturan yang pertama, tujuan dari evaluasi dan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat ketaatan perusahaan dalam rangka pelolaan hutan secara lestari. Peraturan penilaian kinerja mengatur bahwa kegiatan penilaian kinerja dilakukan oleh Lembaga Penilai Independen yang telah lulus kualifikasi di Departemen Kehutanan. Penilaian kinerja ini dilakukan secara periodik yaitu setiap kurun waktu tiga tahun. Diatur pula bahwa biaya penilaian yang pertama kali pada setiap perusahaan ditanggung oleh pemerintah, namun biaya penilaian periode kedua dan seterusnya dibebankan pada anggaran perusahaan yang bersangkutan.
140
Jika diperhatikan tujuan dari penilaian kinerja, dapat dimaknai bahwa kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah yaitu sebagai evaluasi ketaatan pelaksanaan peraturan perundangan dan sebagai bahan pengambilan keputusan perpanjangan dan pemberian IUPHHK. Dengan mengatur bahwa biaya penilaian tahap kedua dan seterusnya menjadi beban perusahaan, maka pemerintah telah melakukan perversi kekuasaan yaitu mengambil keuntungan atas beban pihak lain, disamping itu juga menciptakan konflik kepentingan. Proses penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilai dilakukan melalui beberapa tahapan, pertama menetapkan nilai penting dari setiap indikator, penetapkan tingkat penting indikator pada prinsipnya adalah dengan memperhatikan perkembangan dan perubahan-perubahan faktor-faktor internal dan eksternal untuk mendapatkan issue penting yang actual berkaitan dengan pencapaian pengelolaan hutan lestari. Nilai penting diberikan berdasarkan hasil penilaian tingkat sensitifitas (kerawanan) unit manajemen berdasarkan konteks baku atau kondisi yang bersifat normal. Konteks baku ditunjukkan oleh tipologi akhir yang aman yang dihadapi oleh IUPHHK dengan pengalaman lebih dari lima tahun. Suatu indikator dianggap penting apabila obyek yang dinilai memerlukan perbedaan perhatian, konsekwensi penilaian khusus, derajad substansi yang lebih tajam dan makna penilaian yang lebih tinggi. Sebaliknya tidak penting apabila tidak memerlukan hal tersebut diatas. Dengan demikian nilai akhir yang didapatkan oleh suatu perusahaan adalah gambaran tentang perilakunya dalam menempatkan skala prioritas orientasinya pada pencapaian pengelolaan hutan lestari. Jika perusahaan mendapatkan nilai baik untuk semua indikator, berarti perusahaan tersebut telah dapat menempatkan kepentingan
141
PHL sebagai prioritas kegiatan, dan sebaliknya jika nilai akhir buruk maka PHL bukan menjadi prioritasnya. Kemampuan memilih prioritas ini juga mencerminkan komitmennya terhadap praktek PHL, yang dilaksanakan berdasarkan aturan main. Ke dua berdasarkan nilai penting tersebut ditetapkan indikator-indikator fokus, yaitu indikator yang dianggap mempunyai peran penting dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Selanjutnya pada setiap indikator ditetapkan beberapa verifier, yaitu variabel-variabel yang diverifikasi dilapangan. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara membandingkan ketentuan atau standard yang berlaku dengan realisasi dilapangan, verifikasi juga dilakukan dengan membandingkan dokumen perencanaan dengan realisasinya di lapangan. Hasil verifikasi ini kemudian diklasifikasikan kedalam nilai baik, sedang dan buruk, dengan kriteria klasifikasi sebagaimana tersaji pada lampiran 7. Nilai-nilai verifyer ini dapat menggambarkan tingkat ketaatan perusahaan dalam melaksanakan peraturan. Bobot tertimbang dari nilai penting, dan nilai verifyer pada indikator fokus merupakan nilai dari setiap indikator. Berdasarkan nilai tersebut kemudian dilakukan perhitungan klasifikasi nilai akhir dengan formula sebagai berikut : Total Nilai Penting
=
A
Nilai Akhir Maksimum (X) =
A x B, dimana B nilai bobot verifyer tertinggi
Nilai Akhri Minimum (Y) =
A x C, dimana C nilai bobot verifyer terrendah
Range ( R )
= X-Y
Hasil Nilai Akhir
= Z
Predikat Kinerja dilakukan dengan membandingkan posisi nilai Z terhadap hasil perhitungan berikut ini :
142
Tabel 26. Kriteria Predikat Nilai Akhir Perhitungan > 90 % x R 75% x R s/d 89,9% x R 66% x R s/d 74,9 x R 50% x R s/d 65,9 x R < 50% x R
Perdikat Kinerja Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
Berdasarkan mekanisme tersebut diatas, hasil penilaian kinerja perusahaan IUPHHK pada tingkat unit manajemen ini tidak merefleksikan kinerja dalam mencapai pengelolaan hutan lestari karena beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, variabel-variabel yang diukur adalah berupa tingkat ketaatan perusahaan dalam melaksanakan peraturan, oleh karena itu yang dapat digambarkan dari hasil penilaian ini adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan. Selain itu dapat digambarkan kecenderungan perilaku perusahaan dalam memilih prioritas tindakan yang dilakukan dalam kaitannya dengan praktek PHL. Kedua, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan PHL dibuat dengan asumsi bahwa jika peraturan ini dilaksanakan dapat menjamin terjadinya praktek pengelolaan hutan lestari. Sampai dengan saat ini asumsi ini belum teruji kebenarannya, selama 40 tahun sejarah dimulainya pengusahaan hutan alam belum ditemukan adanya perusahaan yang terbukti dapat mengelola hutannya secara lestari sebagai akibat dari pelaksanaan peraturan. Terdapat kemungkinan bahwa meskipun peraturan diterapkan secara penuh disiplin namun tidak menghasilkan kinerja berupa hutan produksi lestari, sebaliknya dapat pula terjadi bahwa meskipun tidak melaksanakannya secara penuh namun menghasilkan kinerja pengelolaan hutan lestari.