V. RESPON PEMERINTAH,PERUSAHAAN DAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN ATAS PERUBAHAN INSTITUSI Pada bab ini akan dibahas hasil kerja pemerintah dalam menyediakan syarat perlu pengelolaan hutan yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan tingkat unit manajemen. Peran pemerintah lainnya adalah penegakan aturan, disini akan diulas kemampuan pemerintah dalam menegakan aturan main pengelolaan hutan, dan pada bagian akhir dibahas tentang penegakan hukum pidana kehutanan.
5.1. Respon Pemerintah 5.1.1. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Salah satu tugas yang diperintahkan oleh UU.41/1999 kepada pemerintah adalah membentuk wilayah pengelolan hutan tingkat provinsi, kabupaten/kota dan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan. Wilayah pengelolaan hutan tingkat unit manajemen yang disebut sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) merupakan syarat perlu bagi pelaksanaan teknik-teknik pengelolaan hutan lestari. Sebagai syarat perlu, maka KPHP harus dapat dihadirkan oleh pemerintah, jumlah KPHP yang telah ada sampai dengan 2007, seperti terlihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perkembangan Pembentukan KPHP Rasio terhadap Jumlah KPHP Luas KPHP Tahun luas hutan Produksi(1) (unit) (Ha) (%) 2003 2004 2005 2006 2007
0 18 32 60 74
0 284.318 832.077 1.907.962 2.405.742
0 0,48 1,41 3,23 4,07
Sumber : Departemen Kehutanan .2008. Statistik Kehutanan 2007. (1)
Luas Hutan Produksi Tetap 59.152.642 Ha, Departemen Kehutanan (2007)
144
KPHP yang telah selesai dibentuk mencapai 4,07 %, jumlah ini belum cukup sebagai landasan pengelolaan hutan lestari secara nasional. Pembentukan KPHP adalah syarat perlu untuk menjalankan praktek pengelolaan hutan lestari. Sebagai syarat perlu (necessary condition) maka keberadaanya menjadi sebuah keharusan, tanpa KPHP maka praktek-praktek pengelolaan yang dijalankan tidak menjamin terjadinya pengelolaan hutan lestari. Akibat perubahan orientasi pengusahaan hutan dari kayu ke sumberdaya hutan, maka tingkat kepentingan KPHP semakin tinggi. Sebelum berlaku UU.41/1999, unit kelestarian diletakkan pada satuan HPH, atau bagian HPH
dan berorientasi pada kelestarian hasil kayu (sustained yield).
Perubahan orientasi pada optimalisasi manfaat dan adanya berbagai jenis usaha dan pelaku usaha di dalam setiap KPHP, tidak dapat disikapi hanya dengan menyetarakan HPH sebagai KPHP, sebagaimana yang diatur dalam Permenhut nomor 10/KptsII/2007. Indikasi penyetaraan KPHP dengan HPH atau IUPHHK terdapat pada indikator sasaran program jangka menengah Departemen Kehutanan yaitu : “Sebanyak 59 pemegang IUPHHK-HA dan HT memiliki sertifikat PHL mandatory dan mampu menyelenggarakan pengelolaan hutan secara lestari” (Departemen Kehutanan. 2009). Hal senada juga diatur di dalam Permenhut No. 208/kpts-II/2003 tentang Tatacara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Unit Manajemen dalam rangka Pengelolaan Hutan secara lestari yang medefinisikan unit manajemen sebagai “kesatuan hutan produksi terkecil yang dibebani IUPHHK pada hutan alam yang ditetapkan batas-batasnya secara jelas dan pemanfaatan hutan untuk mencapai hutan lestari berdasarkan rencana pemanfaatan hutan jangka panjang.”
145
Penyetaraan KPHP dengan IUPHHK dan memposisikannya sebagai pengelola menimbulkan banyak konflik, antara pengguna (pemanfaat) dan pengelola. KPHP adalah unit pengelolaan hutan yang dimaksudkan untuk memproduksi multiproduk sehingga diperoleh manfaat optimal, sedangkan IUPHHK hanya berorientasi pada produksi kayu saja, sehingga membebaninya dengan tugas-tugas pengelolaan untuk memproduksi selain yang menjadi kepentingannya, hal ini merupakan tindakan yang melembagakan kegagalan pasar. Di dalam setiap KPHP dapat diberikan berbagai macam jenis ijin usaha yang diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri, perijinan ini dapat mengganggu kepentingan IUPHHK. Untuk mengoperasionalkan KPHP, perlu diikuti dengan melengkapinya dengan organisasi pengelolanya, yang berupa struktur organisasi, prosedur-prosedur, personel dan sarana-prasarananya.
Namun dari sejumlah KPHP yang telah dinyatakan
terbentuk tersebut belum ada yang dilengkapi dengan organisasi pelaksananya. Pada peraturan pemerintah no. 6 /2007 telah diuraikan tentang organisasi dan tugas kepala pengelola KPHP namun kewenangan untuk melakukan transaksi atas hasilhasil produksinya tidak diberikan dengan alasan bahwa perijinan adalah wewenang publik. Ijin-ijin usaha yang ada di dalam KPHP sesungguhnya bukan merupakan wilayah kewenangan publik, melainkan bentuk transaksi komoditas yang bersifat individual, yaitu merupakan aktivitas kuadran satu pada Gambar 17.
5.1.2. Penegakan Aturan Administratif Berdasarkan peraturan pemerintah no. 34/2002, di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU. 41/1999, terdapat sejumlah 21 perbuatan yang dapat
146
dikenakan sanksi administratif.
Sanksi administratif tersebut terdiri dari : (1)
penghentian sementara pelayanan administrasi, (2) penghentian sementara kegiatan di lapangan, (3) denda administrasi, (4) pengurangan areal kerja, dan (5) pencabutan ijin. Adapun jenis-jenis perbuatan dan sanksi dapat dilihat pada Table 28. Tabel. 28. Perbuatan dan Sanksi Administratif yang Dapat Dikenakan kepada Pemilik IUPHHK
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Sanksi a b c d E Tidak membuat laporan * * Tidak melakukan penataan batas * * Menggunakan peralatan kerja yang jumlah dan jenisnya tidak * Jenis Pelanggaran
sesuai dengan ijinnya Tidak memiliki tenaga profesional dibidang kehutanan dan tenaga lain sesuai kebutuhan Volume tebangan melebihi RKT/ijin Menebang sebelum RKT disahkan Menebang Koridor tanpa ijin Menebang di bawah limit diameter Menebang di luar blok Menebang di jalan angkutan diluar RKT Mengontrakkan atau menyerahkan seluruh kegiatan usahanya kepada pihak lain Tidak menanam sesuai rencana kerja yang ditetapkan Tidak melaksanakan Standar Akuntasi Kehutanan Tidak melaksanakan kerjasama dengan koperasi masyarakat Tidak melakukan usaha secara nyata selama 180 hari sejak ijin diberikan Tidak membayar pungutan kehutanan Meninggalkan areal kerja sebelum ijin berakhir Dikenakan hukuman pidana pasal 78 UU No. 41/1999 Tidak melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan oleh Menteri Tidak membayar DR Tidak menyerahkan RKT, RKL, RKU dalam waktu yang telah ditentukan
Keterangan, (a) : penghentian sementara pelayanan administrasi, (b) : Penghentian sementara kegiatan di lapangan, (c) : denda administrasi, (d) : pengurangan areal kerja, dan (e): pencabutan ijin
* * * * * * * * * * * * * * * * * *
147
Selama periode antara tahun 2004 sampai dengan 2009, pemerintah telah mencabut sebanyak 59 IUPHHK, karena berbagai alasan. Tabel 29 menyajikan data pencabutan IUPHHK yang diklasifikasikan menurut alasan pencabutan dan kelompok umur kepemilikan ijin tersebut oleh peusahaan. Tabel 29. Pencabutan IUPHHK Berdasarkan Klasifikai Alasan dan Umur Ijin Tahun 2004 -2009 Kelas Umur ijin (Tahun) No Alasan Pencabutan Jumlah 0-5 6-10 11-15 16-20 1 Diserahkan Kembali oleh 1 8 4 4 17 Pemilik 2 Meninggalkan Areal Kerja 0 1 3 4 8 3 Tidak Mengajukan Ijin 1 1 0 2 4 Penggunaan Alat 4 Tidak Mengajukan URKT (3 0 3 9 8 20 tahun) 5 Tidak Menyusun RKU-PHHK 0 0 2 0 2 10 tahun 6 Tidak Membayar PSDH/DR 0 0 0 3 3 7 Tidak melaksanakan sistem 0 0 1 0 1 silvikultur 8 Melakukan Kontrak dengan 0 0 1 0 1 Pihak lain tidak sesuai ketentuan 9 Tidak melaksanakan pengalihan 0 0 0 1 1 saham 20% kepada masyarakat 10 Menjual Saham tanpa 0 0 1 0 1 persetujuan Menteri 11 Alasan lain 0 0 0 1 1 Jumlah 2 13 21 23 59 Sumber Departemen Kehutanan (2010). a
Pada periode 2004 sampai 2009 jumlah rata-rata ijin usaha yang beroperasi adalah 305 unit, jumlah yang dicabut mencapai 59 unit adalah hampir setara dengan 20 %, merupakan porsi jumlah yang besar. Pencabutan ini sebagian besar (76%) dilakukan terhadap perusahaan yang telah beroperasi selama lebih dari 10 tahun. Sebanyak 20 ijin dicabut karena perusahaan tidak mendapatkan rencana produksi tahunan selama
148
tiga tahun berturut-turut, dari jumlah ini sebanyak 17 perusahaan (85 %) adalah perusahaan yang telah bekerja lebih dari 10 tahun. Perusahaan-perusahaan yang telah berpengalaman tentu tidak mengalami kesulitan untuk menyusun RKT, pasti ada alasan lain mengapa tidak mangajukan RKT.
Sebanyak 17 ijin dicabut karena
diserahkan kembali oleh pemilik ijin kepada pemerintah, penyerahan tersebut dilakukan oleh perusahaan baru maupun perusahaan lama. Terdapat 8 perusahaan yang telah menerima IUPHHK selama lebih dari lima tahun dicabut ijinnya karena meninggalkan areal kerjanya. Sementara itu terdapat perusahaan yang dicabut ijinnya karena tidak mengajukan ijin penggunaan alat, terdapat hal yang menarik disini adalah bahwa terdapat 2 perusahaan yang pencabutannya dilakukan setelah menerima IUPHHK lebih dari 15 tahun. Dua perusahaan dicabut karena tidak membuat RKU10 tahun, selebihnya masing-masing satu perusahaan dicabut ijinnya karena alasan tidak melaksanakan sistem silvikultur dan alasan-alasan yang lainnya. Berdasarkan daftar nama IUPHHK yang telah mendapatkan peringatan dari Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam periode 2008-2009, diketahui bahwa terdapat 4 jenis pelanggaran yang dimonitor perkembangannya dan dinamika perkembangan peringatan I, II , III dan eksekusi atas sanksi terkait. Data tentang penerapan sanksi atas pelanggaran tersebut disajikan pada Tabel 30. Yang menarik dari data Tabel 30 adalah bahwa perubahan dari setiap tingkatan proses pemberian sanksi dari peringatan I ke peringatan II, III dan sampai dengan eksekusi, hampir sebanyak 40 % tidak dapat dilanjutkan ke tingkat berikutnya setelah tanggapan dari pihak perusahaan dianggap mempunyai alasan yang dapat diterima oleh pemerintah. Melalui proses “pembinaan” yang dipraktekkan oleh Departemen
149
Kehutanan, pelanggaran yang mendapatkan sanksi hingga tingkat eksekusi adalah 20% dari jumlah yang mendapat peringatan I. Tabel 30. Penerapan Sanksi Administrasi atas Pelanggaran Kontrak IUPHHK Tahun 2008-2009 Peringatan Frek Ekse No Jenis Pelanggaran Sanksi Batal wensi I kusi(1) II III 1 Tidak Menyusun Cabut ijin 19 19 10 2 0 2 th RKU-10 2 Ijin Penggunaan Cabut ijin 26 26 19 15 1 7 Alat Berat 3 Meninggalkan Cabut ijin 6 6 4 2 0 2 Areal Kerja 4 Tidak Cabut ijin 3 3 0 0 0 0 mempekerjakan tenaga profesional kehutanan Jumlah 54 54 33 19 1 11 Sumber : Departemen Kehutanan (2010). b
Catatan : (1), Termasuk yang sedang diajukan penetapannya ke Menteri Kehutanan
Jika dibandingkan dengan respon pemilik IUPHHK terhadap verifier yang mempunyai implikasi pada pengenaan sanksi yaitu verifier (142) TEK, yaitu penggunaan silvikultur yang ditentukan dan verifyer (153), SDM yaitu penggunaan tenaga profesional pada Tabel 41, perusahaan yang mempunyai nilai baik tidak lebih dari 5 %, artinya bahwa sekitar 95 % perusahaan tidak menaati aturan tentang silvikultur dan penggunaan tenaga profesional. Tabel 28 menunjukkan kondisi yang sebaliknya yaitu hanya sekitar 5 % perusahaan yang mendapat peringatan karena tidak menggunakan tenaga kerja profesional, sebagian besar perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan tidak termonitor dan tidak mendapat sanksi pelanggaran. Tindakan pencabutan terhadap 20 % IUPHHK meskipun merupakan porsi yang besar tidak mencerminkan konsistensi kemampuan pemerintah dalam menegakkan
150
aturan. Jika diperhatikan bahasan bab VI, perusahaan yang mempunyai nilai verifier baik hanya berada pada kisaran 10 %, sedangkan sisanya 90 % dapat digolongkan tidak melaksanakan peraturan dengan baik. Sementara itu perusahaan yang terpantau oleh pemerintah sekitar 20 % dari total populasi. Hal ini dapat menjadi salah satu penjelasan tentang terjadinya kondisi yang berbalikan seperti tersebut diatas. Kapasitas pemerintah yang lemah dalam menegakkan aturan selain di jelaskan oleh data tersebut diatas, juga terjadi karena pemerintah pusat terlibat dalam urusan mikro sehingga rentang kendali yang dimiliki tidak mampu menjangkau persoalan tingkat individual, disamping itu keterbatasan penguasaan informasi menyebabkan pemerintah pusat tidak dapat memperoleh gambaran riil atas kondisi di lapangan.
5.1.3. Penegakan Hukum Pidana Selain sanksi administrasi, undang-undang juga mengatur sanksi-sanksi pidana, meskipun penanganan sanksi pidana ini merupakan wilayah kuadran III menurut Kuadran Kebijakan pada Gambar 17, namun penting untuk diketahui lingkungan makro yang mempengaruhi iklim penegakan aturan di Indonesia. Tabel 31 berikut ini menyajikan data perkembangan penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang berupa illegal logging selama tahun 2005-2009. Jumlah kasus yang berhasil diselesaikan masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang ada, sementara itu angka-angka pada proses justisi yang terus menurun mengindikasikan bahwa banyak tunggakan perkara yang proses justisinya tidak berlanjut dan tidak termonitor perkembangannya. Kualitas vonis dari perkara yang telah disidang dan diputuskan hukumannya dapat dilihat pada Tabel 32.
151
Tabel 31. Perkembangan Penanganan Perkara Pidana Illegal Logging Tahun 2005-2009 Proses Penyelesaian Kasus Tahun Jumlah Kasus Lidik Proses Justisi Sidik SP3 P21 Sidang Vonis 2005 720 12 708 25 442 281 245 2006 1714 142 364 2 249 199 153 2007 478 114 133 1 82 40 31 2008 177 44 133 1 82 40 31 2009 119 28 91 1 52 35 25 Sumber : Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (2010)
Tabel 32. Hukuman yang Dijatuhkan pada Kasus Illegal Logging Tahun 2006-2009 Vonis Hukuman Kasus yang > 3 th 2-3th 1-2th <1th Bebas Tidak ada Tahun divonis keterangan 2006 304 2 4 63 158 3 74 2007 153 0 3 49 60 0 41 2008 31 0 1 13 11 0 6 2009 25 0 0 6 7 0 12 Jumlah 513 2 8 131 236 3 133 Sumber : Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan (2010)
Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus-kasus illegal loging relatif ringan jika dibandingkan dengan ancaman hukuman yang diberikan oleh undangundang. Sebagian besar hukuman yang diberikan adalah kurang dari satu tahun dan sebagian dibebaskan dari hukuman. Data ini menggambarkan bahwa secara umum pemerintah belum menempatkan penegakan hukum tindak pidana kehutanan sebagai hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian. Banyaknya kasus yang tidak terselesaikan dan vonis-vonis hakim yang tergolong ringan, merupakan signal yang memberikan pesan bahwa penegakan hukum kehutanan tergolong lemah.
152
5.2. Respon Perusahaan Salah satu asumsi mendasar yang digunakan dalam analisa ekonomi adalah bahwa orang-orang bertindak secara rasional. Van den Berg (2001) mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan perilaku rasional oleh para ekonom adalah bahwa orangorang yang rasional berusaha memperkecil kerusakan di dalam situasi yang buruk, dan mengambil keuntungan atas peluang-peluang yang baik. Pada bagian ini akan dibahas respon pelaku usaha atas perubahan sistem pengusahaan hutan yang dikehendaki undang-undang. Dapatkah perusahaan pemilik IUPHHK menjadikan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritasnya dan bagaimanakah perusahaan menyikapi peraturan yang diberlakukan.
5.2.1. Integritas Perusahaan Pada bab sebelumnya telah dapat dipahami bahwa kedudukan pelaku usaha pemilik IUPHHK adalah pengguna sedangkan yang bertindak sebagai pengelola adalah penanggung jawab KPHP atau pemerintah. Rancang bangun institusi yang ada mengarahkan pengguna untuk berperilaku sebagai pengelola hutan. Bagaimana perusahaan merespon rancangan institusi itu, maka dapat dilihat dari hasil penilaian yang berupa nilai akhir kinerja dari 40 perusahaan contoh yang dibandingkan juga nilai pada hasil penelitian terdahulu sebagai Tabel 33. Hasil penilaian tahun 2008 dan 2009, menunjukkan bahwa sebanyak 15% dari perusahaan contoh dapat menempatkan secara baik prioritas kegiatannya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, 45 % ragu-ragu dan 40 % tidak menempatkan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan. Mengingat bahwa berbagai
153
peraturan yang diberlakukan kepada perusahaan merupakan kewajiban untuk mendukung kepentingan pemerintah menjalankan misi pengelolaan hutan lestari, dan berlakunya rational behaviour maka pada keadaan tertentu, nilai kinerja sedang tersebut cenderung akan mengarah kepada kinerja buruk. Dengan demikian sebanyak 85 % perusahaan tidak menjadikan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas yang perlu mendapat perhatian. Dengan kata lain 85% perusahaan IUPHHK-HA tergolong sebagai perusahaan dengan perilaku tidak baik. Tabel 33. Nilai Akhir Kinerja Perusahaan HPH/ IUPHHK pada Unit Manajemen Tahun 1989-1996, dan 2008-2009 Nilai Akhir (%) Tahun Jumlah Baik Sedang Buruk 1989/1990 4.20 39.50 56.30 100 1990/1991 20.70 56.00 23.30 100 1991/1992 18.5 57.80 23.70 100 1992/1993 19.20 61.60 19.20 100 1993/1994 4.00 61.90 34.10 100 1994/1995 10.55 71.11 18.34 100 1995/1996 21.35 69.19 9.46 100 2008-2009 15.00 45.00 40.00 100 Sumber : 1) Data tahun 1989-1996, Kartodihardjo, 1998 2) Data tahun 2008-2009, diolah dari Departemen Kehutanan, 2008 dan 2009 Dibandingkan dengan hasil penilaian 10 tahun yang lalu tidak terdapat perbedaan perilaku, perusahaan yang memperoleh nilai baik merupakan kelompok minoritas. Ini mengindikasikan bahwa populasi perusahaan baik tidak berubah meskipun telah dilakukan berbagai perubahan peraturan. Usaha kehutanan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang tidak masuk dalam kategori baik. Tidak terdapat perbedaan nilai menurut kelas umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan induknya.
154
Tabel 34. Jumlah Perusahaan menurut Klasifikasi Nilai Kinerja, Kelompok Umur, Luas Konsesi dan Dukungan Modal dari Perusahaan Induk Nilai Akhir Kinerja Jumlah No Pengelompokan Baik Sedang Buruk I Kelas Umur 1 Kurang dari 10 tahun 2 4 4 10 2 Antara 10 tahun-20 tahun 2 11 6 20 3 Lebih dari 30 tahun 2 3 6 11 II 1 2 3 III 1 2 3
Jumlah Kelas Luas Lahan Konsesi Kurang dari 50.000 Ha Antara 50.000 Ha – 100.000 Ha Lebih dari 100.000 Ha Jumlah Kelas Dukungan Modal Kuat Sedang Lemah Jumlah
6
18
16
40
2 2 2 6
4 10 4 18
10 5 1 16
16 17 7 40
3 1 2 6
6 6 6 18
4 3 9 16
13 10 17 40
Berdasarkan data pada Tabel 34 tersebut diatas kemudian dilakukan pengujian korelasi antara umur, luas dan modal terhadap nilai akhir capaian kinerja dengan menggunakan uji Chi Square, dengan hasil sebagai Tabel 35. Tabel 35. Hasil Uji Korelasi antara Umur, Luas dan Dukungan Modal terhadap Nilai Akhir Kinerja IUPHHK pada Unit Manajemen X2 X2 Kesimpulan Hitung Tabel (5%) < 9.49 Tidak ada hubungan Umur IUPHHK- 3.4388 HA 7.0769 < 9.49 Tidak ada hubungan Luas Konsesi 2.9491 < 9.49 Tidak ada hubungan Dukungan Modal
Umur perusahaan tidak mempengaruhi perolehan nilai akhir kinerja, demikian pula dengan luas konsesi yang dimiliki maupun dukungan modal yang diberikan oleh perusahaan induknya.
Tidak adanya hubungan antara nilai kinerja menjelaskan
155
bahwa baik dan buruknya nilai yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh umur, dengan kata lain bahwa tidak terdapat proses belajar dalam membentuk perilaku perusahaan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan lestari. Data tentang sanksi-sanksi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pada tabel 30, menunjukkan bahwa pencabutan ijin terjadi pada semua kelas umur kepemilikan ijin. Perusahaanperusahaan yang telah berpengalaman dan yang belum berpengalaman dapat mempunyai nilai baik maupun buruk dengan peluang yang tidak dapat dibedakan. Luas konsesi juga tidak mempengaruhi nilai akhir kinerja, berdasarkan data diatas semua perusahaan dengan luas konsesi yang besar maupun yang kecil cenderung memiliki nilai tidak baik, ini mengindikasikan bahwa luas konsesi tidak menjadi dasar timbulnya motivasi untuk mengelola hutan dengan cara-cara yang benar. Mengapa luas konsesi yang seharusnya dapat menjadi jaminan kepastian produksi tidak menjadi insentif bagi pengelolaan hutan lestari ? Kembali ke pembahasan pada bagian 4.2 bab IV terdahulu, bahwa IUPHHK adalah izin untuk memanfaatkan hasil produksi pengelolaan hutan, dan kedudukannya sebagai pengguna (pemanfaat) mempunyai kepentingan utama untuk mendapatkan hasil hutan yang diperoleh melalui transaksi dengan pengelola hutan yang memproduksi produk yang diperlukannya. Pihak yang paling berkepentingan terhadap luas hutan adalah pihak pengelola yang mempunyai misi menghasilkan hutan berkualitas tinggi, sedangkan pengguna (pemanfaat) akan merespon jumlah produksi yang ditawarkan oleh pengelola. Pembebanan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan pengelolaan kepada pengguna (pemanfaat) tidak sesuai dengan motivasi dan misi dari entitas pemanfaat, oleh sebab itu kewajiban-kewajiban tersebut lebih tepat
156
diposisikan sebagai beban biaya bukan sebagai investasi. Sebagai entitas yang berorientasi memaksimumkan keuntungan, maka sesuai dengan pendapat Hampton (1989) perusahaan akan melakukan minimisasi biaya dan dalam kondisi kemampuan penegakan aturan yang lemah, sejalan dengan pendapat Van den Berg (2001), pilihan yang rasional bagi perusahaan adalah tidak melaksanakan kewajiban sepenuhnya. Sementara itu dukungan modal yang tidak berkorelasi dengan nilai akhir kinerja, mengkonfirmasi bahwa praktek-praktek pengelolaan hutan bukan merupakan pilihan rasional bagi perusahaan penerima IUPHHK yang berkedudukan sebagai pengguna (pemanfaat). Dukungan modal (capital) adalah dukungan dana yang diperlukan untuk melakukan investasi jangka panjang, apakah usaha pemanfaatan hasil hutan kayu memerlukan investasi ? Kembali ke pembahasan bagian 4.3.2, pengeluaranpengeluaran jangka panjang di hutan alam seperti biaya-biaya pembinaan hutan dan biaya-biaya
yang
berhubungan
dengan
pengelolaan
hutan
lestari
tidak
diakumulasikan sebagai investasi yang dapat dibukukan sebagai asset, melainkan sebagai biaya produksi. Perusahaan tidak sedang membangun asset melalui investasi jangka panjang, melainkan sedang melakukan kegiatan produksi, oleh sebab itu perusahaan IUPHHK hanya memerlukan
biaya produksi bukan biaya investasi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perusahaan akan meminimumkan biaya, perusahaan induk akan menekankan penggunaan dana internal perusahaan IUPHHK dan hanya akan memberikan dukungan dana untuk hal-hal yang sangat selektif. Dengan demikian dukungan modal perusahaan induk tidak akan diberikan untuk membangun hutan, melainkan hanya diberikan untuk kepentingan produksi. Selain itu perusahaan tidak akan menyimpan modalnya di perusahaan IUPHHK, karena
157
mempertahankan modal berada di perusahaan ini berarti membiarkan adanya asset menganggur, setiap kelebihan modal akan dimanfaatkan untuk keperluan lain. Untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut tentang respon perusahaan maka dapat diperhatikan responnya terhadap 24 indikator penilaian yang dikelompokkan kedalam indikator prasyarat, produksi, ekologi dan indikator sosial. Berdasarkan nilai penting masing-masing, kemudian ditentukan satu atau lebih indikator fokus sebagai penentu klasifikasi baik, sedang dan buruk.
Sebagai acuan penilaian ini adalah
peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.42/Kpts/IV-PHP/2003 dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.03/BPHA/2007. Hasil penilaian terhadap kelompok indikator prasyarat disajikan pada Table 36 yang menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan tidak mampu memenuhi aturan atau standar prasyarat yang ditentukan. Di dalam standard prasyarat ini juga terdapat ketentuan-ketentuan yang memiliki sanksi administratif, misalnya pada indikator S.1.5 yang berupa kecukupan tenaga profesional, ketidak sanggupan memenuhi persyaratan ini diancam sanksi administratif berupa penghentian kegiatan di lapangan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa hanya terdapat satu perusahaan (2.5%) yang mampu memenuhi persyaratan, lebih dari 90% perusahaan tidak dapat memenuhi indikator persyaratan yang seharusnya dapat dikenakan sanksi. Pada Tabel 36 ditunjukkan bahwa sangat sedikit perusahaan IUPHHK yang memberikan perhatian pada indikator-indikator fokus yang berperan dominan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan bersikap mendua (ragu-ragu). Sikap mendua ini dapat dimaknai sebagai perilaku oportunis, pilihan tindakan yang menguntungkan dirinya disesuaikan dengan situasi yang berkembang.
158
Apabila “situasi” menghendaki perhatian mereka akan memberi prioritas, tetapi bila terjadi “situasi” sebaliknya seperti penegakan aturan yang lemah, maka cenderung bergeser kepada pengabaian. Prasyarat yang paling kurang mendapat perhatian adalah jumlah tenaga perofesional yang harus dipekerjakan, hanya ada satu perusahaan (2.5%) diantara 40 perusahaan contoh yang mampu memenuhi ketentuan ini. Tabel 36. Hasil Penilaian Indikator Prasyarat pada 40 Perusahaan Contoh Baik Frek % 1 Kepastian kawasan unit manajemen 4 10 IUPHHK pada hutan alam (S 1.1) 2 Komitmen pemegang IUPHHK pada 4 10 hutan alam(S.1.2) 3 Kesehatan Perusahaan /holding 4 10 company (S.1.3) 4 Kesesuaian dengan kerangka hukum, 5 12.5 potensi tegakan minimal, kebijakan dan peraturan dalam rangka PHL (S.1.4) 5 Jumlah dan kecukupan tenaga 1 2.5 professional (S.1.5) 6 Kapasitas dan mekanisme 2 5.0 perencanaan, pelaksanaan, monev dan umpan balik (S.1.6) Jumlah 20 8.3 No
Indikator
Sedang Frek % 28 80
Buruk Frek % 8 10
20
50
16
40
23
57.5
13
32.5
33
82.5
2
5
34
85
5
12.5
23
57.5
15
37.5
161
67.1
59
24.6
Dengan gambaran perilaku seperti tersebut diatas, dimana prasyarat-prasyarat penting yang diperlukan untuk mencapai PHL tidak mendapat perhatian yang cukup dari sebagian besar perusahaan IUPHHK, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat prasyarat (necessary conditions) tersebut dapat dipenuhi. Apabila syarat perlu tersebut tidak dapat dipenuhi, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat akan terwujud pengelolaan hutan yang menghasilkan hutan berkualitas dan lestari seperti yang diharapkan oleh Undang-undang Kehutanan.
Selanjutnya
159
bagaimana perilaku perusahaan dalam menyikapi indikator-indikator fokus dalam menjalankan aktivitas produksinya, dapat diperhatikan pada Table 37. Tabel 37. Hasil Penilaian Indikator Produksi pada 40 Perusahaan Contoh Baik Frek % 1 Presentase hutan produksi yg 3 7.5 dicakup dalam rencana pemanfaatan lestari dan blok/petak yang dipanen menurut rencana operasional (P.2.1) 2 Tingkat pemanenan setiap jenis 3 7.5 pada setiap tipe ekosistem (P 2.2) 3 Ketersediaan prosedur 2 5.0 implementasi penilaian kerusakan tegakan dan ITSP (P 2.3) 4 Ketersediaan teknologi tepat guna 3 7.5 untuk PHL dan penerapan RIL (P 2.4) 5 Kesehatan financial pemegang ijin 6 15.0 (P.2.5) 6 Volume yang dipanen pertahun 5 12.5 pertipe hutan (P.2.6) 7 Tingkat investasi dan reinvestasi 3 7.5 untuk memenuhi kebutuhan pemanfaatan, administrasi, litbang dan pengembangan SDM (P 2.7) Jumlah 25 8.92 No
Indikator
Sedang Frek % 29 72.5
Buruk Frek % 8 20
16
40
21
52.5
30
75.0
8
20
26
55.0
11
27.5
17
42.5
17
42.5
25
62.5
10
25.0
24
60.0
13
32.5
167
59.64 88
31.42
Terlalu sedikit perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK yang memberi perhatian pada praktek-praktek produksi yang mendukung pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan tidak melaksanakan sepenuhnya aturan main yang telah ditetapkan. Sejalan dengan penjelasan terdahulu hal-hal yang diatur dalam bentuk kewajiban perusahaan penerima IUPHHK dan peraturan lainnya, berimplikasi pada aktivitas-aktivitas yang tidak melayani kepentingan langsung perusahaan, melalinkan
160
kepentingan pengelola hutan. Sebagaimana telah dibahas pada bagian 4.3.4 bab IV, bahwa pemerintah telah memindahkan beban pengelolaan hutan kepada IUPHHK yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan hasil akhir atas kegiatan tersebut. Produksi (output) yang dihasilkan oleh aktivitas yang diwajibkan tersebut adalah untuk mendukung misi pengelola hutan. Model pengaturan yang mengandung perversi
kekuasaan
seperti
ini
memerlukan
kemampuan
pengawasan
dan
pengendalian yang kuat dari pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Pindyck dan Rubenfeld (2001), bahwa dalam kondisi pemberi kewajiban tidak mampu mengawasi pelaksanaan kewajiban oleh pihak lain, maka peluang terjadinya moral hazard menjadi besar. Dengan respon perilaku seperti tergambar pada table diatas, tidak berlebihan jika diperkirakan kondisi hutan dalam tahun-tahun kedepan masih akan menurun kualitasnya, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak cukup memadai sebagai tindakan yang mempraktekkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Selanjutnya hasil penilaian pada indikator ekologi sebagaimana disajikan pada Tabel 38, menunjukkan respon yang tidak berbeda dari indikator-indikator sebelumnya, dimana populasi perusahaan yang mematuhi aturan ekologi masih sangat kecil. Perusahaan tidak memiliki perhatian terhadap kelestarian keaneka-ragaman hayati, indikator yang berkaitan dengan perlindungan flora dan fauna menjadi penting bila dikaitkan dengan perubahan orientasi dari kayu kepada sumberdaya hutan untuk dapat dilakukan tindakan-tindakan dalam rangka optimasi manfaat hutan. Tingkat kepatuhan rata-rata pada indikator ekologi hanya sebesar 3.75 % saja, suatu kondisi
161
yang pantas dipertimbangkan sebagai penanda perlunya kewaspadaan yang lebih tinggi tentang kemungkinan terjadinya tingkat kerusakan hutan yang tinggi. Tabel 38. Hasil Penilaian atas Indikator Ekologi pada 40 Perusahaan Contoh No 1
Indikator
Baik Frek % pada 2 5.0
Data kawasan dilindungi setiap tipe hutan (E 3.1) 2 Ketersediaan prosedur dan implementasi perambahan, kebakaran, penggembalaan dan pembalakan liar (E 3.2) 3 Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3) 4 Ketersediaan prosedur dan implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan fauna langka, dilindungi, endemic (E3.4) 5 Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic (E 3.5) 6 Pengelolaan Fauna langka, dilindungi, endemic (E3.6) Jumlah
Sedang Frek % 28 70.0
Buruk Frek % 10 25.0
5
12.5 25
62.5
10
25.0
1
2.5
30
75.0
9
22.5
0
0
21
52.5
19
47.5
23
57.5
17
42.5
22
55.0
17
42.5
0 1
2.5
9
3.75 149
62.08 82
34.16
Beban yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan indikator ekologi akan menghasilkan output berupa barang publik atau manfaat eksternalitas. Melaksanakan peraturan dengan sepenuhnya berarti mengeluarkan biaya yang lebih besar, sementara manfaat yang akan dihasilkan tidak dapat dinikmati sendiri dan tidak mempunyai prestasi terhadap peningkatan keuntungan perusahaan secara langsung. Perilaku bisnis yang rasional akan menekan biaya ekologi serendahrendahnya sampai batas yang masih dapat ditoleransi oleh pengawas atau pemberi kewajiban. Seperti pada indikator lainnya, sistem ini memerlukan pengawasan ketat.
162
Tabel 39. Hasil Penilaian atas Indikator Sosial pada 40 Perusahaan Contoh Baik Sedang Frek % Frek % 1 Luas dan batas UM dengan 4 10.0 34 85.0 kawasan adat dan masyarakat setempat dan telah mendapat persetujuan para pihak (SS 4.1) 2 Kesetaraan hak, tanggung jawab, 4 10.0 33 82.5 dan kewajiban dalam pengelolaan hutan secara bersama dan diakui para pihak. (SS 4.2) 3 Ketersediaan mekanisme dan 5 12.5 33 77.5 pendistribusian insentif yang efektif serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak (SS 4.3) 4 Perencanaan dan implementasi 4 10.0 32 80.0 pemanfaatan hutan telah mempertimbangkan hak masyarakat hokum adat dan, atau masyarakat setempat (SS 4.4) 5 Peningkatan peran serta dan 1 2.5 30 75.0 aktivitas ekonomi masyarakat hukum adat an masyarakat setempat yang aktivitasnya berbasis hutan (SS 4.5) Jumlah 18 9.00 162 81.00 No
Indikator
Buruk Frek % 2 5.0
3
7.5
2
10.0
4
10.0
9
22.5
20
10.00
Terakhir capaian nilai kinerja sosial (Tabel 39) juga tidak menunjukkan prestasi yang menonjol seperti indikator-indikator sebelumnya hanya sebagian kecil perusahaan yang mendapat nilai baik, sebagian besar tergolong tidak baik. Salah
satu
tujuan
perubahan
undang-undang
kehutanan
adalah
untuk
meningkatkan pemanfaatan hutan yang berkeadilan, untuk mencapai tujuan ini diantaranya dilakukan dengan memberikan kewajiban kepada para pihak yang berusaha di bidang kehutanan untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat sekitar
163
hutan. Tabel 39 mengindikasikan bahwa hanya ada satu perusahaan (2.5%) yang dapat dengan baik meningkatkan peran serta dan aktivitas ekonomi masyarakat. Data ini menunjukan bahwa institusi tidak mampu mengarahkan perilaku perusahaan IUPHHK-HA untuk peduli kepada pemberdayaan masyarakat. Hasil penilaian terhadap ke 4 kelompok-kelompok indikator menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai nilai baik rata-rata untuk setiap kelompok indikator seluruhnya berjumlah kurang dari 10 %, data selengkapnya ada pada Tabel 40. Tabel 40. Nilai Rata-rata untuk Setiap Kelompok Indikator No Kelompok Indikator 1 2 3 4
Prasyarat Produksi Ekologi Sosial
Baik Frek % 20 8.3 25 8.92 9 3.75 18 9.00 72 7.50
Sedang Frek % 161 67.1 167 59.64 149 62.08 162 81.00 639 66.56
Buruk Frek % 59 24.6 88 31.42 82 34.16 20 10.00 249 25.94
Apabila setiap indikator diberikan bobot yang sama maka jumlah perusahaan yang mempunyai nilai baik hanya 7.50% saja atau setengah dari jumlah perusahaan yang mencapai nilai akhir baik (lihat Tabel 32). Meskipun sebagian besar mempunyai nilai sedang (66.56 %), tidak dapat diharapkan bahwa sebagian dari perusahaan ini akan meningkatkan nilai kinerjanya seiring dengan berjalannya waktu. Hasil uji korelasi pada Tabel 35, menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara umur dengan nilai kinerja, ini menggambarkan bahwa tidak ada proses belajar untuk memperbaiki kinerja, kecuali terdapat keadaan yang memaksa. Perubahan kinerja tidak mungkin dilakukan dengan mempercayakan perusahaan untuk memperbaiki dirinya sendiri, melainkan harus melalui paksaan dalam bentuk penegakan aturan.
164
IUPHHK diberikan melalui proses seleksi untuk mendapatkan mitra / perusahaan yang berkualitas tinggi yang mempunyai kompetensi untuk mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari. Data hasil penilaian kinerja (Tabel 40) menggambarkan kondisi sebaliknya, yaitu sebagian besar (90%) perusahaan mempunyai nilai tidak baik, hal ini berarti mayoritas perusahaan yang dipilih tidak menempatkan kegiatan yang penting bagi pengelolaan hutan lestari sebagai kegiatan prioritas yang dilaksanakan oleh perusahaan. Pembahasan pada bab IV menjelaskan bahwa terdapat situasi informasi yang tidak simetrik dan terdapat distorsi pada mekanisme seleksi calon penerima IUPHHK.
5.2.2. Kepatuhan Perusahaan Terhadap Peraturan Dalam pembahasan pada Bab IV, diperoleh pengetahuan bahwa tujuan evaluasi dan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat ketaatan perusahaan terhadap peraturan dalam rangka pengelolaan hutan secara lestari. Karena konteks yang ingin dilihat adalah ketaatan, hasil penilaian yang masuk kategori baik dapat dimaknai sebagai taat, sedangkan perolehan nilai sedang dan buruk dimaknai sebagai tidak taat. Seperti halnya pengklasifikasian kompetensi, maka hanya dikenal kategori kompeten dan tidak kompeten, pihak yang tergolong kompeten dapat diberikan hak untuk melaksanakan tugas tertentu, sedangkan pihak yang tidak kompeten tidak berhak dan dapat diberikan kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya melalui proses pembelajaran atau pelatihan. Berikut ini akan dibahas hasil penilaian ketaatan yang dikelompokkan kedalam indikator-indikator seperti yang telah dibahas terdahulu.
165
Setiap indikator terdiri dari berbagai verifier yang diverifikasikan dengan kondisi actual dilapangan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI). Verifier tersebut terbagi dalam beberapa kelompok yaitu verifier prasyarat sebanyak 17, verifier produksi sejumlah 27, verifier ekologi sebanyak 26 dan verifier sosial sebanyak 20.
5.2.3. Pelaksanaan Peraturan Prasyarat Untuk mengetahui respon perusahaan atas peraturan yang berlaku digunakan data hasil verifikasi lapangan oleh Lembaga Penilai Independen atas berbagai indikatorindikator. Untuk mengarahkan agar pengelolaan hutan lestari dapat diwujudkan, maka unsur-unsur yang merupakan syarat perlu (necessary conditions) harus dapat dipenuhi. Dalam penelitian ini digunakan 11 verifier prasyarat berdasarkan data hasil penilaian oleh Lembaga Penilai Independen. Adapun hasil penilaian terhadap 40 perusahaan adalah seperti pada Tabel 41. Apabila setiap verifier diperlakukan sama dan diambil nilai rata-ratanya, maka sebanyak 13 % perusahaan yang berdasarkan sistem penilaian yang berlaku dianggap mampu dengan baik memenuhi verifier kinerja prasyarat. Jumlah terbanyak peraturan yang ditaati adalah kesesuaian areal dengan fungsi produksi (AFP) yang mencapai 47.5%. Berdasarkan kriteria pada Lampiran 7, perusahaan mendapat nilai baik apabila 100 % areal kerjanya merupakan kawasan hutan dengan fungsi produksi dan < 10 % digunakan untuk pemanfaatan lain. Sementara itu realisasi pelaksanaan tata-batas (TAT) dianggap baik apabila 100 % terealisasi, dan dinyatakan buruk bila realisasinya kurang dari 70%, jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik sebanyak 20%
166
Tabel 41. Respon Perusahaan Contoh Terhadap Peraturan Prasyarat PHL No
Verifier
Baik
Frek 1 Kesesuaian areal dengan fungsi 17 produksi (AFP) 2 Realisasi Pembuatan Tatabatas 8 (TAT) 3 Kondisi Lapangan Patok-patok 8 Batas (PAL) 4 Pengakuan para pihak atas 7 eksistensi unit manajemen (AKU) 5 Kesesuaian Visi dan Misi dengan 4 implementasi di lapangan (VMI) 6 Peningkatan Modal Perusahaan 13 (MOD) 7 Investasi yang dikembalikan ke 5 hutan (RIV) 8 Realisasi secara fisik pembinaan 2 dan perlindungan hutan (BIN) 9 Kesesuaian implementasi teknis 3 dengan aturan yang berlaku (TEK) 10 Keberadaan tenaga professional 1 kehutanan (SDM) 11 Pelaksanaan mekanisme 1 pengambilan keputusan, evaluasi dan umpan balik (EVA) Jumlah 52
Sedang
Buruk
% 42.5
Frek % 16 40.0.
Frek 7
% 17.5
20.0
9
22.5
23
57.5
20.0
9
22.5
23
57.5
17.5
20
50.0
13
32.5
10.0
19
47.5
17
42.5
32.5
10
25.0
17
42.5
12.5
16
40.0
19
47.5
5.0
15
37.5
23
57.5
7.5
22
55
15
37,5
2.5
12
30
27
67,5
2.5
15
37,5
24
60
13.00
147
36.75
201
50.25
Catatan : Verifier AFP dikeluarkan dari perhitungan rata-rata karena merupakan outlyer.
Pada varifier Pemeliharaan batas (PAL) perusahaan memperoleh nilai baik apabila lebih dari 90 % pal batas terpelihara dan ada rintisan yang baik, banyaknya perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 20 %. Dari segi pengakuan batas-batas oleh masyarakat (AKU), dianggap baik apabila tidak ada konflik, jika ada konflik tetapi ada mekanisme penyelesaiannya maka diberi nilai sedang, dan bila ada konflik dan tidak ada mekanisme penyelesaiannya maka kondisinya buruk, terdapat 17.5% yang tidak memiliki konflik, dan 50% berkonflik tetapi ada mekanisme penyelesaian
167
dan 32.5 % ada konflik dan tidak ada mekanisme penyelesaian konflik. Jika pernyataan visi dan misi sesuai dengan praktek di lapangan maka perusahaan mendapat nilai baik yang dalam hal ini terdapat 10 %, yang sebagian sesuai 47.5% dan yang hanya sebagai dokumen formalitas ada 42.5%. Namun jika diperhatikan secara lebih mendalam, jumlah terendah peraturan yang ditaati adalah penggunaan tenaga professional sebesar 2.5%.
Selain itu 90%
perusahaan tidak melaksanakan visi dan misinya dengan baik, 87.5% perusahaan tidak melaksanakan reinvestasi ke hutan dengan baik, dan 80 % perusahaan tidak melaksanakan penataan batas areal kerja dan pemeliharaan pal batas dengan baik. Ketiga verifier ini merupakan syarat yang penting bagi pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Apabila batas areal kerja tidak dibuat dengan baik, maka perlakuanperlakuan pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan secara tepat, termasuk pelaksanaan re-investasi ke hutan. Komitmen yang lemah terhadap visi dan misi merupakan penjelas bagi rendahnya nilai kepatuhan untuk seluruh aspek yang dinilai. Jumlah perusahaan yang mencapai nilai rata-rata baik sebesar 13 % ini tidak dapat dimaknai sebagai nilai capaian perusahaan yang berhasil menaati peraturan, melainkan sebuah gambaran umum tentang kecenderungan perusahaan-perusahaan untuk memenuhi ketentuan prasyarat. Verifier no. 8,9 dan 10 pada table diatas yaitu BIN, TEK dan SDM adalah kewajiban-kewajiban yang berdasarkan aturan yang berlaku mempunyai sanksi apabila tidak dilaksanakan dilapangan. Hanya ada 2 perusahaan (5%) yang melaksanakan pembinaan hutan sesuai aturan, hanya ada 3 perusahaan (7.5%) melaksanakan ketentuan teknis sesuai peraturan dan hanya ada 1 perusahaan (2.5%) yang melaksanakan aturan tentang penggunaan tenaga kerja
168
professional. Jika diasumsikan bahwa 1 perusahaan yang dapat memenuhi persyaratan penggunaan tenaga profesional tersebut mampu memenuhi seluruh aturan yang lainnya, maka dari segi ketaatan dalam melaksanakan peraturan maksimal hanya ada 2.5 % perusahaan yang taat, dan 97.5 % melakukan pelanggaran peraturan syarat perlu (necessary conditions) bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari. Kondisi ini dapat dijelaskan pula oleh kecilnya perusahan-perusahaan yang mempunyai komitmen baik, yaitu hanya ada 4 perusahaan (10%) yang terindikasi melaksanakan dokumen visi dan misinya, sisanya 90% hanya menjadikan dokumen visi dan misi sebagai alat untuk memenuhi ketentuan administrasi. Pelanggaran terhadap verifier no 9, yaitu tidak melaksanakan silvikultur yang ditentukan oleh Menteri terancam pencabutan ijin, apabila ini dimaknai sebagai tidak melaksanakan dengan baik, maka 92.5 % perusahaan pemilik IUPHHK terancam untuk dibatalkan perijinannya. Sementara itu 97.5 % perusahaan IUPHHK dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan dilapangan karena tidak menggunakan tenaga kerja professional secara memadai dan 92.5 % terkena sanksi denda administratif. Setelah berjalan lebih dari 40 tahun, institusi pemanfaatan hutan belum mampu mengarahkan perilaku para pihak untuk menyediakan syarat perlu (necessary condition) pengelolaan hutan lestari. Disamping itu tidak adanya korelasi antara lamanya perusahaan memegang ijin dengan nilai kinerja yang dihasilkan menunjukkan bahwa tidak ada proses belajar, sehingga memperkuat alasan untuk menyatakan bahwa perusahaan tidak menaruh perhatian pada pengelolaan hutan. Hal ini dapat memberikan tambahan penjelasan atas kegagalan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari sebagai komplemen atas penjelasan para peneliti terdahulu.
169
5.2.4. Pelaksanaan Peraturan Produksi Pelaksanaan produksi terikat pada berbagai peraturan mulai dari perencanaan, penataan areal kerja yang harus mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial, tingkat pemanenan yang disesuaikan dengan komposisi jenis, pelaksanaan tahapan silvikultur yang harus sesuai dengan standar operasi yang ada, hingga pemanenan yang harus disesuaikan dengan target rencana karya tahunan dan pertumbuhan riap pohon. Respon perusahaan dalam melakukan aktivitas produksi atas peraturan yang berlaku ditinjau dari ketaatanya terhadap 11 verifier yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan pada Tabel 42. Respon perusahaan terhadap beberapa verifier penting yang berhubungan erat dengan kelestarian hutan, yaitu pelaksanaan tahapan silvikultur, kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana karya tahunan dan kesesuaian realisasi tebangan dengan riap, menunjukkan bahwa hanya ada 1 perusahaan (2.5%) yang termasuk dalam kategori baik, sisanya 97.5% termasuk dalam kategori sedang dan buruk. Dalam konteks ketaatan terhadap peraturan, jika diambil dikotomi taat dan tidak taat, maka kategori sedang dapat dimasukkan kedalam kelompok tidak taat, sehingga terhadap tiga verifier tersebut, jumlah perusahaan pemilik IUPHHK-HA yang mentaati peraturan hanya sebesar 2.5 %, sisanya sebesar 97.5 % tergolong tidak taat. Dengan demikian tingkat kepatuhan terhadap tiga indikator yang penting ini tergolong sangat rendah. Akibat dari perilaku ini, tingkat kerusakan tegakan tinggal sangat tinggi, hanya 12.5 % perusahaan yang mencapai kategori kerusakan tegakan tinggal kecil.
170
Tabel 42. Respon Perusahaan Contoh Terhadap Peraturan Produksi No 1
Verifier
Rencana Penataan Areal yang mempertimbangkan aspek Ekologi dan social(PAK) 2 Tingkat pemanenan lestari setiap jenis kayu dan bukan kayu (PEL) 3 Implementasi SOP seluruh tahapan silvikultur (SIL) 4 Kerusakan tegakan tinggal (RUS) 5 Penggunaan teknologi tepat guna (TTG) 6 Likuiditas keuangan perusahaan (LIK) 7 Solvabilitas perusahaan (SOL) 8 Rentabilitas perusahaan (REN) 9 Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tebangan tahunan (RAS) 10 Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap (RIA) 11 Investasi untuk kegiatan pemanfaatan hutan, administrasi,libang dan pengembanngan sumberdaya manusia (INV) Jumlah
Baik Frek %
Sedang Frek %
Buruk Frek %
14
35.0
15
37.5
11
27.5
7
17.5
6
15.0
27
67.5
1
2.5
17
42.5
22
55.0
5 7
12.5 17.5
18 17
45.0 37.5
17 17
37.5 37.5
15
37.5
9
22.5
16
40.0
11 4 1
27.5 10.0 2.5
13 5 14
32.5 12.5 35.0
16 31 25
40.0 77.5 62.5
1
2.5
8
25.0
31
77.5
5
12.5
16
40.0
19
47.5
71
16.14 138
31.36 232
52.7 0
Catatan :Verifier Potensi tegakan (POT) menjadi outlaier sehingga dikeluarkan dari table sebanyak 22 (55%) perusahaan mendapat nilai baik, 12 perusahaan (30%) sedang dan 6 (15%) perusahaan mendapat niali buruk.
Terhadap kecenderungan perusahaan yang mendapat nilai baik atas verifier no. 10 yaitu kesesuaian realisasi tebangan dengan riap tegakan (RIA) yang hanya mencapai 2.5%, maka sebagaimana pembahasan pada bab sebelumnya, bahwa data riap diambilkan dari petak ukur permanen (PUP), sementara blok atau petak yang ditebang adalah berbeda dengan blok atau petak dimana PUP berada. Perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan lainnya dapat menyebabkan deviasi data riap.
171
Apabila setiap verifier diperlakukan sama, maka sebanyak 16 % perusahaan masuk dalam kategori baik. Diantara perusahaan yang memiliki nilai verifier baik tersebut, sebanyak 35% melakukan penataan areal kerja dengan mempertimbangkan aspek ekologis dan aspek social, sementara itu 37.5 % perusahan berusaha memenuhi likwiditas dan 27.5% memberi perhatian pada pencapaian solvabilitas. Menarik untuk diperhatikan pada Table 42 adalah nilai verifier rentabilitas dan potensi tegakan, hanya sebanyak 10% perusahaan yang memiliki rentabilitas baik dan sebaliknya 77.5 % mempunyai nilai rentabilitas buruk. Sementara dengan perilaku ketaatan rendah dan rentabilitas rendah justru banyak perusahaan (55%) mempunyai potensi tegakan yang baik.
Sangat dimungkinkan bahwa data ini menunjukkan
indikasi adanya moral hazard yang terjadi akibat assymmetric information dimana pemerintah tidak menguasai informasi tentang hutan dan kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan ijin tebangan dalam jumlah yang besar yang hanya dapat diberikan bila potensi hutannya masih baik.
5.2.5. Pelaksanaan Peraturan Ekologi dan Sosial Terhadap pelaksanaan peraturan yang menyangkut aspek ekologi dan aspek sosial pada penelitian ini digunakan 4 verifier yaitu implementasi perlindungan hutan, ekskalasi gangguan hutan, ketersediaan mekanisme partisipasi masyarakat dalam kegiatan perekonomian, dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat yang berbasis kehutanan, hasil penilaian 40 perusahaan contoh adalah seperti Tabel 43. Seperti pada hasil-hasil penilaian sebelumnya, jumlah perusahaan yang mendapat predikat baik sebanyak 15 % saja. Data ini menunjukkan bahwa tingkat gangguan
172
terhadap hutan terjadi di sebagian besar perusahaan terindikasi dari sedikitnya jumlah perusahaan yang mampu mengendalikan ekskalasi gangguan.
Demikian pula
terhadap verifier peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat hanya sebagian kecil perusahaan yang dapat meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat dengan baik. Tabel 43. Respon Perusahaan atas Peraturan Ekologi dan Sosial No 1 2 3
4
Verifier Implementasi Kegiatan Perlindungan Hutan ( LIN) Ekskalasi Gangguan Hutan (GNG) Ketersediaan Mekanisme Partisipasi & aktivitas ekonomi masyarakat (PAR) Peningkatan Aktivitas masyarakat dalam perekonomian yang berbasis Kehutanan (UKM)
Baik
Sedang
Buruk
Frek 9
% 22.5
Frek 23
% 57.5
Frek 8
% 20.0
5 5
12.5 12.5
19 25
47.5 62.5
16 10
40.0 25.0
5
12.5
23
57.5
12
30.0
24
15.0
90
56.25
46
28.75
Perusahaan berkonsentrasi pada aktivitas produksi, sedangkan perlindungan hutan harus dilaksanakan di seluruh areal usahanya. Dari sisi kepentingan perusahaan, perlindungan hutan dimaksudkan untuk melindungi asset dan kepentingannya, dengan sumberdaya yang terbatas, maka apabila perusahaan harus menyusun prioritas perlindungan hutan, pilihan yang rasional adalah melindungi blok-blok yang akan diproduksi dan melindungi asset miliknya. Sementara tegakan tinggal dan areal bekas tebangan tidak tercatat sebagai asset perusahaan dan bukan kepentingan langsungnya.
5.3. Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang, tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan berkualitas tinggi dan lestari. Indikator keberhasilannya adalah
173
pembangunan stok potensi kayu hasil dari tindakan-tindakan pengelolaan hutan, sedangkan kelestarian diindikasikan dari minimum kerusakan hutan. Sementara itu dari sisi pengusahaan, tujuannya adalah untuk memaksimumkan keuntungan, dalam penelitian ini tujuan tersebut didekati dari nilai rentabilitas yang dicapai perusahaan. Institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan telah menghasilkan perilaku sebagaimana tersebut pada bagian-bagian terdahulu. Untuk mengetahui hubungan antara perilaku tersebut terhadap kinerja pengelolaan hutan dan kinerja usaha analisa korelasi nilai klasifikasi (baik, sedang dan buruk) verifier-verifier yang disebutkan diatas dengan nilai klasifikasi potensi dan rentabilitas. Kajian ini didasarkan pada asumsi bahwa apabila seluruh ketentuan ditaati dengan baik maka akan berdampak kepada pembentukan stok tegakan yang baik, demikian pula apabila ketentuan tersebut tidak ditaati dan dilaksanakan seadanya maka akan menyebabkan potensi hutan menurun. Dalam hubungannya dengan rentabilitas perusahaan, perilaku perusahaan akan berpengaruh terhadap perolehan rentabilitas baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hubungan keeratan tersebut dihitung dengan analisa korelasi Chi Square seperti pada Lampiran 8. Hanya sebagian kecil variabel yang berkorelasi dengan Potensi Tegakan (STOK), Kerusakan Tegakan Tinggal (RUS) dan Rentabilitas (REN), beberapa varibale yang mempunyai korelasi secara nyata pada tingkat kepercayaan 5% dengan nilai X2 Tabel 9,49 disajikan pada Tabel 44. Untuk memaknai korelasi seperti pada Tabel 44, digunakan kerangka berfikir yang memposisikan kedudukan perusahaan sebagai pengguna yang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, sehingga akan terjawab pertanyaan tentang apakah institusi dapat menginternalisasikan misi pengelolaan
174
hutan sebagai misi perusahaan sebagaimana dikehendaki oleh pemerintah. Selain itu harus pula dimengerti fungsi dari variabel-variabel yaitu apakah variabel tersebut berhubungan dengan pembangunan potensi hutan atau pemanfaatan hasil hutan. Tabel 44. Daftar Variabel yang Berkorelasi Nyata Terhadap Potensi Hutan, Rentabilitas, dan Kerusakan Tegakan Tinggal Nilai X2 Hitung No Nama Variabel Potensi Rentabilitas Kerusakan Hutan Tegakan 1 Keseuaian Areal dengan Fungsi 13.8974 Produksi 2 Pelaksanaan Tata Batas 17.4444 3 Kondisi Pal Batas 10.9715 4 Pengakuan para pihak atas 13.1276 keberadaan unit pengelolaan 5 Peningkatan Modal Perusahaan 10.2553 6 Investasi kembali ke dalam hutan 16.8025 7 Ketersediaan mekanisme 9.6212 pengambilan keputusan, evaluasi dan feed back 8 Implementasi seluruh tahapan 10.2605 silvikultur 9 Solvabilitas 10.3063 11 Kesesuaian realisasi tebangan 1.4277 dengan riap 12 Implementasi tindakan perlindungan 12.8251 hutan
Terdapat dua variabel yang berhubungan dengan potensi hutan (STOK) yaitu Ketersediaan mekanisme pengambilan keputusan, evaluasi dan feed back (EVA) dan Implementasi tindakan perlindungan hutan (LIN). Pada dasarnya EVA adalah sistem informasi yang tersedia dan guna pengambilan keputusan oleh perusahaan, dengan demikian variabel ini tidak berhubungan langsung dengan pembangunan potensi hutan, melainkan dengan kemampuan perusahaan untuk mengenali potensi tegakan hutan. Apabila diperhatikan Lampiran 8, terlihat bahwa kecenderungan korelasi yang
175
ada bersifat negatif, jumlah perusahaan yang sistem informasinya buruk tetapi mempunyai potensi hutan baik sebanyak 13 perusahaan, sebaliknya tidak ada perusahaan yang mempunyai sistem informasi baik mempunyai potensi hutan yang baik, sedangkan perusahaan yang sistemnya buruk dan potensinya buruk berjumlah 4 perusahaan. Korelasi ini memperkuat argumen adanya moral hazard, dimana informasi tentang potensi hutan yang dilaporkan kepada pemerintah cenderung dibuat lebih besar dan didasarkan pada informasi yang berkualitas buruk. Perusahaan yang sistem informasinya baik tidak dapat menunjukkan bahwa potensi hutannya baik. Variabel LIN, adalah intensitas kegiatan pengamanan hutan yang dilakukan oleh perusahaan, semakin intensif pengamanan hutannya semakin baik potensinya. Apabila dikaitkan dengan motivasi perusahaan, dapat dimaknai bahwa perusahaan akan mengalokasikan sumberdaya pengamanan hutan sesuai dengan potensi hutan yang masih ada. Melindungi potensi hutan dari pencurian pihak lain adalah pilihan yang rasional bagi perusahaan. Variabel-variabel lain yang berupa kewajiban membangun potensi hutan tidak berkorelasi dengan potensi (POT) ini menunjukkan bahwa potensi hutan yang ada saat ini bukan merupakan hasil dari pelaksanaan kewajiban perusahaan, melainkan hasil dari faktor lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan potensi tegakan, melainkan untuk maksudmaksud lain misalnya untuk melengkapi dokumen administrasi, untuk pencitraan atau untuk memberi impresi kepada pengawas, dan lain-lain. Sebagain besar nilai verifier berada pada kisaran sedang, ini menunjukkan bahwa ada kisaran nilai yang dianggap pantas oleh perusahaan maupun pengawas, yaitu angka kesepakatan yang dapat
176
dianggap aman oleh perusahaan dan masih dapat diterima oleh pemerintah. Jika dikaitan dengan biaya transaksi tinggi dan ilegal (Mardipriyono, 2004), nilai ambang yang “disepakati” dapat merupakan hasil dari kegiatan kolutif, dimana antara pelaksana dan pengawas “menyepakati” ukuran yang berbeda dari yang seharusnya. Hasil ini mendukung temuan Kartodihardjo (1998) bahwa pemerintah dan pengusaha terjebak dalam sikap opportunistik, dan sejalan pula dengan pernyataan Williamson (1985), North (1990) , Van den Berg (2001), dan Pindyck dan Rubinfeld (2001) bahwa institusi yang tidak efektif membuat aturan tidak dapat ditegakkan dan menjadi insentif untuk melakukan kesepakatan melanggar aturan. Berkaitan dengan rentabilitas (REN), variabel yang berkorelasi adalah variabel yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan, baik terkait karena persyaratan perijinan penebangan maupun terkait dengan modal kerja. Variabel-variabel kondisi tata batas (PAL), realisasi tata batas (TAT), pembinaan hutan (RIV), penerapan prosedur teknik silvikultur (SIL), dan kesesuaian volume tebangan dengan riap (RIA) adalah variabelvariabel yang dijadikan pertimbangan dalam memberikan Rencana Karya Tahunan (RKT) yang diantaranya memuat jatah produksi tahunan. Besarnya jatah produksi tahunan ini berpengaruh terhadap penerimaan perusahaan. Variabel yang terkait dengan modal kerja adalah solvabilitas, yang dapat menjadi indikator bagi pihak lain untuk memberikan dukungan finansial bagi kegiatan produksi.
Semakin lancar
modal kerja, semakin lancar pula kegiatan produksi sehingga pendapatan lebih besar, demikian pula berlaku hal yang sebaliknya. Sedangkan variabel-variabel yang lain tidak berhubungan secara nyata dengan rentabilitas. Rentabilitas adalah perbandingan antara laba perusahaan sebelum pajak
177
dengan total aktiva perusahaan yang digunakan untuk berproduksi. Mengingat bahwa tegakan tidak diperhitungkan sebagai asset, maka aktivitas produksi adalah aktivitas jangka pendek yang berupa eksploitasi potensi hutan yang telah ada. Sedangkan variabel-variabel yang tidak berhubungan secara nyata adalah kewajiban jangka panjang yang dimaksudkan untuk membangun hutan yang tidak diperhitungkan sebagai asset perusahaan.
Sesuai dengan hak yang diberikan,
maka aktivitas
perusahaan adalah aktivitas produksi yang hanya memerlukan dukungan modal kerja, perusahaan tidak sedang menjalankan investasi jangka panjang membangun hutan. Terhadap kerusakan tegakan tinggal terdapat tiga variabel berkorelasi secara nyata, yaitu kesesuaian areal dengan fungsi produksi (AFP), pengakuan unit manajemen (AKU) dan perkembangan modal perusahaan (MOD). Korelasi tersebut bersifat positif (lihat Lampiran 6), jika areal tidak sesuai dengan fungsi produksi, atau tidak diakui oleh para pihak, atau tidak cukup memiliki modal maka kecenderungannya adalah kerusakan tegakan tinggal yang lebih besar, di bandingkan kondisi sebaliknya.