BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator dasar pelayanan kesehatan terhadap wanita usia produktif. AKI merupakan jumlah kematian maternal/ibu setiap 100.000 kelahiran hidup. Data World Health Organization (WHO) memperkirakan 585.000 perempuan meninggal setiap harinya akibat komplikasi kehamilan, proses kelahiran dan aborsi yang tidak aman akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Diperkirakan 99% kematian tersebut terjadi di Negara-negara berkembang (WHO, 2007). Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menunjukkan angka yang tertinggi dibanding dengan AKI di negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka kematian maternal di Indonesia mencapai 228/100.000 kelahiran hidup, yang berarti setiap 100.000 kelahiran hidup terdapat sekitar 228 ibu yang meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. AKI di Indonesia diharapkan turun menjadi 102/100.000 kelahiran hidup. AKI di DI Yogyakarta paling rendah yaitu 104 per 100.000 kelahiran hidup dibanding propinsi lain di Indonesia (BPS, 2008). Kehamilan seorang wanita adalah penting karena hal ini merupakan simbol terjadinya transisi ke arah kedewasaan. Kehamilan dapat pula dikatakan sebagai ekspresi rasa perwujudan diri dan identitasnya sebagai wanita (Kaplan & Sadock, 2005). Kehamilan juga merupakan salah satu episode dramatis dalam 1
2
kehidupan seorang wanita. Wanita perlu melakukan penyesuaian terhadap keadaan tersebut karena dianggap memiliki pengaruh besar terhadap kondisi biologis dan terhadap perubahan psikologis seorang wanita yang mengalaminya. Seorang wanita yang mengalami kehamilan dan melahirkan anak memerlukan penyesuaian terhadap kemungkinan perubahan pola hidup akibat berlangsungnya proses kehamilan dan kehidupan setelah persalinan (Rahmandani, 2007). Terjadinya proses kehamilan dan penambahan anggota baru merupakan peristiwa yang umumnya bersifat positif, peristiwa tersebut juga dapat menimbulkan stres karena adanya tuntutan penyesuaian akibat perubahan pola kehidupan. Kelahiran anak merupakan salah satu faktor situasional yang berakibat pada pengalaman kehilangan gaya hidup dan perasaan kehilangan pada diri seseorang atas dirinya sendiri (Carpenito, 2005). Nicolson (1994) membagi empat aspek yang memerlukan kemampuan penanggulangan (coping) secara nyata setelah persalinan seorang wanita, yaitu penyesuaian fisik, perasaan tidak aman, adanya sistem dukungan, dan kehilangan akan identitasnya yang lalu. Faktor-faktor seperti perubahan fisik dan emosional yang komplek, aktivitas dan peran baru sebagai ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan sangat berpengaruh terhadap penyesuaian ibu hamil dan melahirkan selanjutnya (Bobak et al, 2005). Periode postpartum merupakan situasi krisis bagi ibu, pasangan, dan keluarga akibat berbagai perubahan yang terjadi baik secara fisik, psikologis, maupun struktur keluarga yang memerlukan proses adaptasi atau penyesuaian. Adaptasi secara fisik dimulai sejak bayi dilahirkan sampai kembalinya kondisi
3
tubuh ibu pada kondisi seperti sebelum hamil, yaitu kurun waktu 6 sampai 8 minggu (Murray & McKinney, 2007). Proses adaptasi psikologi pada seorang ibu sudah di mulai sejak dia hamil. Kehamilan dan persalinan merupakan peristiwa yang normal terjadi dalam hidup, namun banyak ibu yang mengalami stres yang signifikan. Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya, keadaan ini disebut postpartum blues atau baby blues (Marmi, 2012). Kebahagiaan mungkin tidak akan dirasakan oleh sebagian ibu yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap sejumlah faktor perubahan di atas. Mereka bahkan dapat mengalami berbagai gangguan emosional dengan berbagai gejala, sindroma dan faktor resiko yang berbeda-beda. Gangguan emosional pasca persalinan umumnya dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu postpartum blues, depresi postpartum, dan psikosis postpartum (Reck et al, 2009). Gangguan emosional di atas dapat dialami oleh wanita setelah persalinan dengan angka kejadian yang bervariasi. Gangguan emosional yang paling sering dijumpai pada hampir setiap ibu baru melahirkan adalah postpartum blues (Perry et al, 2010). Postpartum blues merupakan salah satu bentuk gangguan perasaan akibat penyesuaian terhadap kelahiran bayi, yang muncul pada hari pertama sampai hari ke empat belas setelah proses persalinan, dengan gejala memuncak pada hari ke lima. Postpartum blues menunjukkan gejala-gejala depresi ringan yang dialami oleh ibu seperti mudah menangis, perasaan-perasaan kehilangan dan dipenuhi dengan tanggung jawab, kelelahan, perubahan suasana hati yang tidak stabil, dan lemahnya konsentrasi. Selain itu ibu menjadi mudah tersinggung, dapat mengalami gangguan pola makan dan tidur (Perry et al, 2010).
4
Postpartum blues didefinisikan berdasarkan batas waktu dan termasuk fase ringan dan biasanya tidak akan terulang jika dilakukan perawatan yang serius, dan bila mendapat dukungan dari keluarganya dan tidak bertambah dengan faktor pencetus yang dapat memperberat kondisinya (Reck et al., 2009). Postpartum blues dapat berkembang menjadi gejala depresi mayor. Lebih dari 20% wanita yang mengalami postpartum blues akan berkembang menjadi gejala depresi mayor dalam satu tahun setelah melahirkan (Reck et al., 2009). Apabila postpartum blues tidak ditangani dengan serius, maka akan berkembang menjadi depresi postpartum dan kondisi yang paling berat bisa sampai postpartum psychosis. Postpartum blues sering menyebabkan terputusnya interaksi ibu dan anak, dan mengganggu perhatian dan bimbingan yang dibutuhkan bayinya untuk berkembang secara baik (Ishikawa et al., 2011). Panduan obstetric dan gynecology, (1993) menyakini 10-15% ibu yang melahirkan mengalami gangguan ini dan hampir 90% mereka tidak mengetahui postpartum blues (Bobak et al, 2005). Berdasarkan hasil penelitian (Robertson et al., 2003) beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita dalam menghadapi aktifitas dan peran barunya sebagai ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun psikologis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap aktifitas dan peran barunya setelah melahirkan. Sebagian wanita juga tidak berhasil mengatasi konflik yang dialaminya dan mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala atau sindroma
5
yang disebut postpartum blues. Penelitian (Daw & Steiner dalam Bobak et al., 2005) menjelaskan meskipun postpartum blues dianggap sebagai hal yang normal pada ibu dalam menjalani peran barunya dan biasanya menghilang dalam beberapa hari setelah melahirkan, sejumlah wanita memiliki gejala yang lebih buruk atau lebih lama yang di sebut depresi postpartum dengan jumlah bervariasi dari 5% hingga lebih dari 25% setelah ibu melahirkan. Menurut (O’Hara, 1992; Marshall, 2004; Robertson et al., 2004), faktor yang menyebabkan postpartum blues adalah faktor hormonal, demografik yaitu umur dan paritas, pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan. Faktor latar belakang psiko sosial wanita yang bersangkutan, seperti tingkat pendidikan, status pekerjaan ibu, kehamilan yang tidak diinginkan/tidak direncanakan, sosial ekonomi keluarga, budaya dan dukungan sosial dari lingkungannya seperti suami, keluarga, petugas kesehatan. Faktor budaya masyarakat juga turut mempengaruhi kesehatan ibu postpartum. Misalnya ibu postpartum tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu, ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapatkan jumlah makanan yang lebih banyak dan bagian yang lebih baik daripada anggota keluarga yang lain, atau anak laki-laki diberi makan lebih dulu daripada anak perempuan. Faktor hormonal seringkali disebut sebagai faktor utama yang dapat memicu timbulnya postpartum blues. Faktor ini melibatkan terjadinya perubahan kadar sejumlah hormon dalam tubuh ibu postpartum, yaitu menurunnya kadar hormon progesteron, hormone estrogen, ketidakstabilan kelenjar tiroid, dan menurunnya tingkat endorphin (hormone kesenangan). Meskipun demikian,
6
masih banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam terjadinya postpartum blues seperti harapan persalinan yang tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perasaan kecewa dengan keadaan fisik dirinya juga bayinya dan kelelahan akibat proses persalinan yang baru saja dilaluinya (Kasdu, 2005). Berdasarkan penelitian Hansen (1994) yang dilakukan di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa ibu postpartum yang mengalami postpartum blues berkisar antara 75-80% (Perry et al., 2010). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa, prevalensi postpartum blues telah dilaporkan hasil tertinggi di Tanzania 83% dan terendah 8% dalam studi di Jepang. Sebagian besar penulis melaporkan bahwa prevalensi postpartum blues bervariasi antara 40% dan 60% (Gonidakis et al , 2007). Berdasarkan penelitian Gonidakis et al., (2007) melaporkan bahwa prevalensi postpartum blues di Yunani sekitar 71,3%, di Jerman 55,2% (Reck et al., 2009). Cury et al., (2008) melaporkan bahwa prevalensi postpartum blues sekitar 32,7%, sedangkan Adewuya (2005) melaporkan prevalensi postpartum blues di Nigeria adalah 31,3%. Angka kejadian postpartum blues di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% (Iskandar, 2007). Secara global diperkirakan 20% wanita melahirkan mengalami postpartum blues. Diperkirakan 50-70% ibu melahirkan menunjukkan gejala-gejala awal kemunculan postpartum blues pada hari ketiga sampai dengan hari keenam setelah melahirkan, walau demikian gejala tersebut dapat hilang secara perlahan karena proses adaptasi yang baik serta dukungan keluarga yang cukup, sedangkan di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% (Hidayat, 2007). Semula diperkirakan angka
7
kejadiannya rendah dibandingkan Negara-negara lain, hal ini disebabkan oleh budaya dan sifat orang Indonesia yang cenderung lebih sabar dan dapat menerima apa yang dialaminya, baik itu peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Data Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Selatan tahun 2006 melaporkan terdapat angka kejadian postpartum blues di Puskesmas Kecamatan Cilandak Jakarta sebanyak 12% yang terjadi pada ibu postpartum di Ruang Bersalin Puskesmas Kecamatan Cilandak Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2006 terhadap 120 responden, dimana terdapat 14 responden atau 12% mengalami postpartum blues dan 106 responden atau 88% tidak mengalami postpartum blues. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, jumlah kelahiran pada tahun 2010 yang dilaporkan adalah jumlah kelahiran (hidup dan mati) adalah 43.242 dan lahir mati 194. Sedangkan pada tahun 2011, jumlah kelahiran (hidup dan mati) adalah sebanyak 45.081 dengan jumlah kasus lahir mati sebanyak 242. Dengan demikian, jumlah lahir hidup pada tahun 2011 sebanyak 44.839, namun dinas kesehatan belum melaporkan jumlah kasus dengan gejala postpartum blues (BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2011). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, beberapa Rumah Sakit di DI Yogyakarta tidak melaporkan jumlah kasus dengan gejala postpartum blues. Faktor yang menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Puskesmas Kota Yogyakarta, karena klien-klien di Puskesmas Kota Yogyakarta lebih bervariasi dari sisi latar belakang pendidikan, sosial budaya, ekonomi dan
8
agama yang berbeda dengan daerah lain yang kompleksitas kliennya lebih homogen. Berdasarkan uraian di atas faktor-faktor psikososial merupakan pendekatan yang sangat tepat untuk menjelaskan kompleksitas bagaimana gangguan postpartum blues bisa terjadi. Munculnya gejala postpartum blues perlu diperhatikan baik oleh keluarga maupun pihak penyedia layanan kesehatan. Perhatian terhadap keadaan psikologis yang kurang, menyebabkan ibu cenderung mencoba mengatasi permasalahannya sendiri sehingga lebih rentan mengalami postpartum blues. Gangguan perasaan /mood khususnya bagi para ibu yang baru melahirkan seperti halnya postpartum blues dapat menimbulkan masalah pada ibu itu sendiri, bayinya serta pada keluarganya khususnya suami. Apabila postpartum blues ini tidak sembuh selama 2 minggu maka akan berubah menjadi postpartum depression dan postpartum psychosis. Berdasarkan uraian di atas, penelitian masalah ibu postpartum yang berhubungan dengan gangguan postpartum blues penting dilakukan karena gangguan postpartum blues pada ibu postpartum masih dianggap sebagai hal yang wajar sehingga seringkali terabaikan dan tidak tertangani dengan baik.
B. Rumusan Masalah Selama masa postpartum, sekitar 80% perempuan akan mengalami berbagai macam gangguan perasaan, apabila tidak mendapatkan penanganan yang benar akan berlanjut menjadi postpartum blues, depresi postpartum sampai postpartum psychosis. Pengetahuan tentang postpartum blues sebagai bentuk
9
gangguan emosional yang beresiko terhadap terjadinya depresi postpartum sangatlah penting. Kesehatan fisik maupun psikologis ibu ditentukan oleh upaya penanggulangan masalah emosional dan penyesuaian yang dilakukan sebagai ibu baru. Untuk mengetahui bagaimana faktor risiko mempengaruhi kejadian postpartum blues, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Analisis faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues pada ibu postpartum di Puskesmas Wilayah Kerja Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi kejadian postpartum blues pada ibu postpartum. b. Mengetahui faktor usia ibu ≤20 tahun mempengaruhi kejadian postpartum blues. c. Mengetahui faktor paritas mempengaruhi kejadian postpartum blues. d. Mengetahui faktor jenis proses persalinan mempengaruhi kejadian postpartum blues. e. Mengetahui
faktor
postpartum blues.
status
pekerjaan
ibu
mempengaruhi
kejadian
10
f. Mengetahui faktor status ekonomi keluarga mempengaruhi kejadian postpartum blues. g. Mengetahui faktor tingkat pendidikan ibu mempengaruhi kejadian postpartum blues. h. Mengetahui faktor kehamilan yang tidak direncanakan mempengaruhi kejadian postpartum blues. i. Mengetahui faktor dukungan sosial suami mempengaruhi kejadian postpartum blues. j. Mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues.
D. Manfaat Penelitian 1. Praktik Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pelayanan maternitas dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada ibu postpartum, untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang berhubungan dengan deteksi dini dan pencegahan dari postpartum blues. 2. Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan referensi dalam bidang pendidikan keperawatan.
11
3. Penelitian Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya. 4. Masyarakat Penelitian
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
pengetahuan
dan
pemahaman tentang hal-hal yang berhubungan dengan deteksi dini dan pencegahan dari postpartum blues.
E. Keaslian Penelitian 1. Gonidakis et al, (2007) melakukan penelitian dengan judul Maternity Blues in Athens, Greec; A Study The First 3 Days After Delivery. Penelitian ini merupakan study transversal yang dilakukan selama 3 hari berturut–turut setelah wanita melahirkan. Subyek penelitian ini sebanyak 402 wanita yang melahirkan dengan persalinan normal, sectio caesarea serta dengan vakum dan forsep. Hasil penelitian didapatkan, sekitar 71,3% wanita mengalami postpartum blues yang diukur dengan Kennerley Blues Questionnaire. Faktor yang mempengaruhi postpartum blues menurut penelitian ini yaitu kecemasan selama kehamilan, serta dukungan sosial yang diukur dengan uji statistik chi square. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan Gonidakis et al., (2007) adalah subyek penelitian pada ibu postpartum dan desain penelitian yaitu cross sectional. Perbedaan dengan penelitian Gonidakis et al., (2007) variabel penelitian, lokasi di Yunani dan instrumen yang digunakan adalah Kennerly
12
Blues Questionnaire, sementara penelitian ini lokasi di DI Yogyakarta, dan instrumen yang digunakan adalah kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS). 2. Cury et al., (2008) melakukan penelitian dengan judul “Maternity Blues : Prevalence and Risk Factors”. Penelitian ini merupakan penelitian transversal study dengan subyek 113 wanita postpartum selama 10 hari di masa postpartum. Penelitian ini menggunakan instumen Stein’s Scale (1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi postpartum blues sekitar 32,7%. Sementara faktor yang mempengaruhi postpartum blues adalah riwayat penyakit obstetrik. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan Cury et al,. (2008) adalah subyek penelitian pada ibu postpartum dan desain penelitian cross sectional. Perbedaan dengan penelitian Cury et al,. (2008) adalah pada variabel penelitian, lokasi dan instrumen yang digunakan. Pada penelitian Cury et al,. (2008) instrumen yang digunakan adalah Stein’s Scale, sementara peneliti menggunakan instrumen kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS). 3. Reck et al,. (2009) melakukan penelitian dengan judul “Maternity blues as a predictor of DSM-IV depression and anxiety disorders in the first three months postpartum”. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan subjek 853 ibu postpartum. Penelitian ini menggunakan kuesioner The Maternity Blues (MB), kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dan The Anxiety Screening Questionnaire (ASQ-15). Hasil penelitian menunjukkan
13
bahwa prevalensi postpartum blues pada ibu postpartum di Jerman adalah 55,2%. Hasil penelitian juga melaporkan bahwa secara signifikan hubungan antara postpartum blues dan depresi postpartum (rasio odds: 3,8) dan antara postpartum blues dan kecemasan (rasio odds = 3,9). Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Reck et al,. (2009) adalah populasi penelitian ibu postpartum. Perbedaan pada desain penelitian menggunakan cross sectional, teknik pengambilan sampel, lokasi penelitian, variabel yang diteliti dan peneliti hanya menggunakan kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS). Sedangkan Reck et al,. (2009) menggunakan kuesioner The Maternity Blues (MB), kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dan The Anxiety Screening Questionnaire (ASQ-15). 4. Adewuya, (2005) melakukan penelitian dengan judul “The maternity Blues in Western Nigerian Women: Prevalence and Risk Factors”. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan subjek 852 ibu postpartum. Penelitian ini menggunakan kuesioner The Maternity Blues (MB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi postpartum blues pada ibu postpartum di Nigeria adalah 31,3%, dan gejala memuncak pada hari kelima postpartum. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adewuya, (2005) adalah populasi penelitian ibu postpartum. Perbedaan pada desain penelitian menggunakan cross sectional, teknik pengambilan sampel, lokasi penelitian, variabel yang diteliti dan peneliti hanya menggunakan kuesioner Edinburgh Postnatal
Depression
Scale
(EPDS).
Sedangkan
Adewuya,
(2005)
14
menggunakan kuesioner The Maternity Blues (MB) dan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS).