1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi di rumah sakit merupakan masalah yang cukup besar pada pelayanan kesehatan di berbagai belahan dunia dan merupakan risiko terhadap sistem pelayanan kesehatan rumah sakit, khususnya dalam hal terapi dan tindakan diagnostik. Diperkirakan sekitar 20-40% dari kejadian infeksi rumah sakit adalah merupakan kontribusi akibat infeksi silang dari petugas kesehatan (Chow et al., 2012). Infeksi di Rumah sakit mengancam pasien, memberikan komplikasi terapi, menambah lama hari rawat, meningkatkan biaya dan dapat mengancam nyawa (Huis et al., 2012). Berdasarkan data badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), infeksi yang terjadi akibat interaksi yang berlangsung di rumah sakit (nosokomial) merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Di negara maju, Health Care Associated Infections (HAIs) berdampak pada 5-15% pasien rawat inap dan memberikan efek 9-37% dari pasien yang dirawat di Intensif Care Unit (ICU). Penelitian yang dilakukan di RS di Eropa melaporkan bahwa prevalensi pasien yang terkena dampak HAIs berkisar 4,6%-9,3%. Di Eropa diperkirakan 5 miliar HAIs terjadi di ICU setiap tahun, dan dampak ekonomi sekitar 13-24 trilyun dolar Eropa. Secara umum di Eropa kematian akibat HAIs adalah 50.000-135.000 kematian/tahun. Di Amerika serikat insidensi HAIs, pada tahun 2002 prevalensi HAIs adalah 4,5%
2
dari 99.000 kematian dan memberikan dampak ekonomi 6,5 triyun dolar AS/tahun pada tahun 2004 (WHO, 2009). Data tahun 2005 menunjukkan, infeksi nosokomial menyebabkan 1,4 juta orang diseluruh dunia meninggal. Sementara itu, sekitar 10% pasien rawat inap di rumah sakit diseluruh dunia mengalami infeksi nosokomial. Sedangkan di Indonesia, berdarkan penelitian pada tahun 2004 yang dilakukan di 11 rumah sakit di Jakarta, menunjukkan 9,8% pasien rawat inap terinfeksi nosokomial (Pandjaitan, 2013). Injeksi merupakan prosedur medis yang umum dilakukan di seluruh dunia. Di sarana pelayanan kesehatan yang terbatas, jarum suntik digunakan kembali tanpa melalui proses sterilisasi dan desinfeksi tingkat tinggi. Dibeberapa negara, proporsi injeksi yang tidak aman adalah 70%. Praktik injeksi yang tidak aman seperti menggunakan spuit dan jarum yang tidak steril, dapat menyebabkan penularan 32 % Hepatitis B Virus (HBV), 40 % Hepatitis C Virus (HCV), dan 5% Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Abkar, 2013). Petugas kesehatan dan perawat sering terpajan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan dampak yang serius dan infeksi yang mematikan ( Efstathiou et al., 2011). Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika menunjukkan bahwa pada
tahun 2002, 57 petugas kesehatan
terdiagnosis HIV karena terpajan (24 diantaranya perawat), 48 petugas (84,2%) dikarenakan tusukan benda tajam. Penelitian lain menunjukkan bahwa perawat menjadi lebih terinfeksi karena pajanan. Insiden perawat terkena tusukan
3
bendatajam yang terkontaminasi darah adalah tinggi. Laporan yang ada bahwa kejadian tertusuk jarum pada perawat adalah 80,6% (Luo et al., 2010). Angka kejadaian perawat tertusuk jarum pada penelitian yang dilakukan Ayranci et al., 2004 adalah 76,2%. Kebanyakan perawat (69,1%) tidak melaporkan injury yang dialami sedangkan 32,4% perawat belum mendapatkan imunisasi HBV. Sebanyak 1,4% menunjukkan bukti terkena infeksi HBV dan 7,9% terkena infeksi HCV. Kewaspadaan standar yang diperkenalkan oleh CDC pada tahun 1996, adalah merupakan guidelines untuk mengurangi risiko transmisi dari pajanan darah dan udara atau patogen lain di rumah sakit. Kewaspadaan standar menyatakan bahwa darah, cairan tubuh, sekresi dari pasien merupakan benda infeksius. Kewaspadaan standar memberikan perlindungan yang baik bagi pasien dan petugas kesehatan dalam membantu mengontrol kejadian infeksi rumah sakit (Luo et al., 2010). Salah satu komponen kewaspadaan standar adalah praktik menyuntik yang aman. Dari studi pendahuluan yang dilakukan di ICU Rumah Sakit Jogja menunjukkan bahwa belum semua petugas melakukan praktik menyuntik yang aman dengan benar. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, efikasi diri petugas tentang kewaspadaan standar dengan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman.
4
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Health Care Associated Infection merupakan masalah kesehatan yang besar di Indonesia karena dampaknya akan sangat merugikan bagi petugas dan pasien. 2. Berbagai upaya untuk mengurangi kejadian HAIs diantaranya adalah dengan menerapkan kewaspadaan standar dan kewaspadaan berbasis transmisi. Salah satu komponen kewaspadaan standar adalah praktik menyuntik yang aman. Injeksi merupakan prosedur medis yang umum dilakukan di seluruh dunia. The Safe Injection Global Network (SIGN) memperkirakan 16 juta injeksi diberikan setiap tahun di seluruh dunia. 3. Pada kenyataan, masih banyak petugas Rumah Sakit yang tidak melakukan praktik menyuntik dengan aman. Praktik menyuntik yang tidak aman dapat mentransmisikan berbagai jenis patogen meliputi virus, bakteri, jamur dan parasit. Dapat juga menyebabkan reaksi non infeksius seperi abses dan reaksi toksik. Laporan yang ada bahwa kejadian tertusuk jarum pada perawat adalah 80,6% (Luo et al., 2010). C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut:
5
1.
Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kewaspadaan standar dengan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman ?
2. Apakah ada hubungan antara efikasi diri terhadap kewaspadaan standar dengan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman?
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, efikasi diri tentang kewaspadaan standar dengan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman. 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara pengetahuan, efikasi diri tentang kewaspadaan standar dengan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman. 2. Tujuan Khusus Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui: a. Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kewaspadaan standar dengan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman. b. Hubungan antara efikasi diri terhadadap kewaspadaan standar dengan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman.
6
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dibidang pengendalian infeksi yang dapat menambah wawasan khususnya bagi tenaga kesehatan dalam hal kepatuhan standar pratik menyuntik yang aman. 2. Manfaat Praktis Untuk Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat untuk dapat melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial. 3. Manfaat Praktis Untuk Pelayanan Klinis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi segenap tenaga kesehatan untuk dapat meningkatkan kepatuhan standar praktik menyuntik yang aman untuk mencegah HAIs.
F. Keaslian Penelitian Terdapat berbagai penelitian mengenai kepatuhan terhadap kewaspadaan standar. Rehan et al., (2012) pada penelitian yang berjudul Injection practices of healthcare professionals in a Tertiary Care Hospital. Penelitian yang dilakukan adalah crossectional observasional dengan hasil penelitian bahwa petugas tidak mencuci tangan sebelumnya (95,4%), tidak memakai/mengganti sarung tangan (61,6%), menutup kembali jarum (12,2%), mematahkan jarum dengan objek padat (44,4%).
mengusap jarum (15,4%), dan
7
Ardhayani (2012) pada penelitian Evaluasi Pengendalian Infeksi Pada Petugas Kesehatan di Instalasi Gawat Darurat RS. Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2012. Jenis penelitian yang dilakukan adalah mixed method (kuantitatif dan kualitatif) dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil penelitian bahwa terdapat hubungan signifikan antara sikap petugas, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), perilaku pelaksanaan praktek injeksi dan tersedianya fasilitas, sarana dan prasarana terhadap kepatuhan petugas melaksanakan tindakan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Luo et al., (2010) pada penelitian Factors Impacting Compliance with Standard Precautions in Nursing China. Hasil dari penelitan adalah kepatuhan perawat terhadap standard preacution 48.29 (quartil atas 76.36 dan skor quartil bawah 28.07). Faktor yang mempengaruhi kepatuhan : pelatihan standard precautionOdd Ratio (OR) 2.17, (95 % CI: 1.85-2.55) dan pengetahuan (OR) 1.94, (95% CI: 1.01-3.41), tipe Rumah Sakit (OR) 1.61, (95% CI: 1.79-1.86), ketersediaaan disposal box (OR) 1.43, (95% CI: 1.10-3.41), general self efficacy(OR) 1.29, (95% CI: 1.04-1.59), pengalaman terpapar (OR) 0,69, (95% CI: 0.56-0,85), dan unit tempat bekerja (OR) 1.24, (95 % CI: 1.05-1,46). Rayhanah (2010), judul penelitian Evaluasi kontrol infeksi di antara mahasiswa co-ass di RSGM Prof. Soedomo Yogyakarta. Jenis penelitian yang dilakukan adalah cross sectional. Hasil penelitian ini didapatkan hasil tingkat pengetahuan dan sikap kontrol infeksi pada mahasiswa co-ass tidak terdapat hubungan terhadap pelaksanaan perilaku pengendalian infeksi.