BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi komunitas merupakan salah satu bagian penting karena sebagian besar apoteker melakukan praktik kefarmasian pada farmasi komunitas. Sebanyak 70% apoteker yang terdaftar di Kanada bekerja pada farmasi komunitas. Menurut Bureau of Health Proffesionals tahun 2001, dari 195.000 apoteker yang terdaftar di Amerika Serikat, 120.000 melakukan praktik kefarmasian pada farmasi komunitas (Tindall dan Millonig, 2003), sedangkan di Indonesia sekitar 80% apoteker bekerja di farmasi komunitas (Sampurno, 2010). Medication error merupakan penyebab yang paling signifikan pada morbiditas dan mortalitas (Hunter, 2011). Sejak tahun 1992, Food and Drug Administration telah menerima lebih hampir 30.000 laporan medication error. Jumlah tersebut merupakan hasil laporan sukarela, sehingga jumlah medication error diperkirakan akan jauh lebih tinggi. Di Indonesia, data tentang kejadian medication error tidak banyak diketahui. Walaupun demikian medication error cukup sering dijumpai pada pelayanan kesehatan. Tingginya angka kejadian medication error menuntut apoteker untuk berkontribusi menurunkan medication error, salah satunya adalah dengan menerapkan pharmaceutical care. Pharmaceutical care merupakan rangkaian aktivitas dimana apoteker bekerjasama
dengan pasien dan tenaga
1
kesehatan lainnya
mendesain,
2
menerapkan, dan memantau rencana terapi bagi pasien sehingga dapat menghasilkan efek spesifik bagi pasien. Definisi pharmaceutical care pertama kali dikenalkan oleh Heppler dan Strand (1990), mereka menyatakan bahwa pharmaceutical care merupakan pelayanan yang bertanggung jawab terhadap terapi obat untuk tujuan yang mencapai hasil tertentu dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pharmaceutical care dianggap sebagai model untuk pelayanan apoteker di masa mendatang karena tidak ada masa depan bagi apoteker dari sebatas kegiatan dispensing karena kegiatan dispensing dapat dan akan diambil alih oleh mesin (Van Mill dkk, 2004). Berbagai manfaat diterapkannya pharmaceutical care pada farmasi komunitas yaitu memperbaiki hasil klinis terapi obat, mencegah terjadinya drug related problem (DRP) atau medication error, dan menekan biaya pengobatan (Hepler dan Strand, 1990). Implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas terbukti lebih lambat dari yang diharapkan, meskipun banyak apoteker telah setuju dengan konsep pharmaceutical care sebagai masa depan profesi apoteker (Gastelurrutia dkk, 2005; Dunlop dan Shaw, 2002). Di Indonesia sendiri, farmasi komunitas di Surabaya menunjukkan kurangnya pemahaman apoteker terhadap konsep pharmaceutical care, akan tetapi 70% dari mereka menyadari pentingnya diterapkan pharmaceutical care dalam praktik sehari-hari (Wibowo, 2008). Hal ini menyebabkan banyak penelitian sekarang mengarah kepada fasilitator implementasi
pharmaceutical
care
pada
farmasi
komunitas.
Fasilitator
merupakan faktor yang dapat membantu untuk mengatasi hambatan dan atau
3
mempercepat implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas (Gastelurrutia dkk, 2005). Di Spanyol, telah diidentifikasi fasilitator-fasilitator dalam implementasi pharmaceutical care, antara lain meningkatkan pendidikan klinis, perubahan sikap apoteker, memberikan gambaran masa depan profesi apoteker yang lebih jelas, perubahan sistem organisasi profesi, mengubah sistem perguruan tinggi agar mengurangi kesenjangan antara pendidikan dan penelitian, meningkatkan permintaan pasien akan pharmaceutical care, meningkatkan hubungan apoteker dengan dokter, dan remunerasi (Gastelurrutia dkk., 2009). Di Indonesia, Wibowo (2008) mengidentifikasikan fasilitator berupa perlunya peningkatan pendidikan, pelatihan, hubungan apoteker dengan dokter, adanya sistem remunerasi, dan tanggung jawab organisasi profesi. Penelitian mengenai pengaruh fasilitator pada sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care perlu dilakukan (Roberts dkk, 2008). Oleh karena itu penelitian tersebut difokuskan untuk menggali pengaruh fasilitator terhadap implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas khususnya pada Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul. Pemahaman pengaruh fasilitator terhadap farmasi komunitas diharapkan dapat mempercepat implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1.
Seperti apakah pengaruh fasilitator (hubungan apoteker dengan dokter, kemampuan klinis apoteker, peran organisasi profesi, remunerasi, permintaan pasien, institusi pendidikan, dan individu apoteker) terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul?
2.
Fasilitator manakah yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yaitu: 1.
Untuk mengetahui pengaruh fasilitator terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul.
2.
Untuk mengetahui fasilitator manakah yang memiliki pengaruh paling signifikan
terhadap
sikap
apoteker
untuk
mengimplementasikan
pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul.
5
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yaitu: 1.
Memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh fasilitator yang berpengaruh signifikan terhadap implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas.
2.
Memberi masukan kepada Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) selaku organisasi profesi apoteker mengenai faktor yang mempercepat perkembangan praktik kefarmasian apoteker khususnya pada farmasi komunitas.
3.
Memberi masukan kepada pemerintah selaku pemegang kebijakan agar dapat membuat regulasi yang lebih mengoptimalkan apoteker dalam rangka untuk mengoptimalkan peran apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Pharmaceutical Care Definisi pharmaceutical care pertama kali dikenalkan oleh Heppler dan
Strand (1990), merupakan pelayanan yang bertanggung jawab terhadap terapi obat untuk tujuan yang mencapai hasil tertentu dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Hepler dan Strand (1990) mengemukakan bahwa tujuan pharmaceutical care adalah: a. Menyembuhkan penyakit b. Mengurangi gejala penyakit c. Memperlambat proses progresivitas penyakit d. Mencegah penyakit atau gejala penyakit
6
FIP (International Pharmaceutical Federation) mendefinisikan pharmaceutical care merupakan tanggung jawab farmasis dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk mencapai keluaran yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (ISFI, 2004). Berdasarkan pada filosofi tersebut, maka tanggung jawab apoteker adalah mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat (drug–related problems), sehingga dapat tercapai keluaran terapi yang optimal. Berdasarkan Keputusan Menkes No. 1027 tahun 2004 mengenai standar pelayanan kefarmasian di apotek (pelayanan kefarmasian), pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pharmaceutical care merupakan bagian dari praktek kefarmasian, yaitu interaksi langsung antara apoteker dengan pasien. Seorang apoteker dalam melaksanakan pharmaceutical care dituntut untuk dapat: a.
Menjadi problem solver, dapat beradaptasi terhadap perubahan dalam pelayanan kesehatan sehingga harus mengetahui kesehatan pasien secara menyeluruh termasuk gaya hidupnya.
b.
Memilihkan obat yang efektif dan sesuai sistem pelayanan kesehatan.
c.
Berkolaborasi dan menjadi narasumber terhadap dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya mengenai mekanisme, indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis, monitoring hasil terapi, dan efek toksik obat.
d.
Selalu belajar (long life learning).
7
2.
Pharmaceutical Care pada Farmasi Komunitas Praktik kefarmasian yang semula berorientasi pada produk (dispensing)
bergeser menjadi berorientasi pada pasien (pharmaceutical care). Pharmaceutical care dianggap sebagai masa depan dari praktik kefarmasian, yang dapat memaksimalkan peran apoteker untuk ikut menentukan outcome pasien (Berenguer dkk, 2004). Oleh karena itu konsep pharmaceutical care juga banyak berkembang pada farmasi komunitas (Van Mill dan Schulz, 2006). Perkembangan pharmaceutical care pada farmasi komunitas mulai terlihat ketika International Pharmaceutical Federation (FIP) tahun 1993 mulai mendiskusikan pentingnya implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas dan pernyataan resmi sebagai bagian dari standar profesionalisme pada tahun 1998 (FIP, 1998). Indonesia mengeluarkan standar pelayanan kefarmasian di apotek pada tahun 2004 (Depkes, 2004). Menurut Atmini (2010) mengenai pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian sesuai Kepmenkes 1027/2004 di apotek kota Yogyakarta hanya 21% apoteker yang melaksanakan standar pelayanan kefarmasian dengan baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak apoteker di Indonesia yang belum mengimplementasikan standar pelayanan kefarmasian. Pharmaceutical care adalah menjamin bahwa pasien menggunakan obatobatan secara tepat, efisien dan aman. Apoteker dilatih sebagai barier terakhir dalam berhubungan dengan pasien selama pengobatan, mulai dari awal pemberian obat-obat sampai bertanggung jawab terhadap kelanjutan obat tersebut hingga
8
dapat meningkatkan serta menjaga kualitas hidup pasien. Secara konkret, pharmaceutical care pada farmasi komunitas terdiri dari kegiatan-kegiatan, yaitu: a.
Memberikan saran dalam kasus obat yang diresepkan oleh dokter. Apoteker memberikan saran dalam pengobatan pasien ketika memberikan obat yang diresepkan. Oleh karena itu, apoteker sebagai barier terakhir dalam pengobatan pasien diharuskan untuk memberikan informasi mengenai pengobatan sehingga pasien dapat menjalani pengobatan dengan benar.
b.
Memberikan saran dalam swamedikasi (pengobatan sendiri). Pada kasus penyakit ringan pasien diperbolehkan melakukan swamedikasi tanpa berkonsultasi dengan dokter. Apoteker dituntut untuk mampu mengevaluasi keluhan dengan benar yaitu dapat membedakan antara keluhan yang mengharuskan pasien berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu dan keluhan yang dapat ditangani dengan pengobatan sendiri.
c.
Menghindari kesalahan pengobatan. Dalam rangka mengurangi kesalahan pengobatan pada pasien, apoteker secara aktif mengawasi interaksi obat, obat-obat yang dipakai pasien saat pengobatan sendiri (swamedikasi), dan sebagai pengingat ketika ada kesalahan peresepan.
d.
Pendidikan kesehatan dan pencegahan. Pharmaceutical care juga menyiratkan bahwa pendidikan kesehatan dan pencegahan terdapat di apotek baik secara lisan atau tertulis melalui poster, leaflet dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
9
mendorong vaksinasi, menyediakan deteksi dini penyakit tertentu, merujuk pasien untuk konsultasi ke dokter ketika terjadi komplikasi atau gejala penyakit semakin memburuk. e.
Kerjasama dengan dokter. Pharmaceutical care merupakan suatu bentuk kerjasama multidisipliner antara apoteker dengan praktisi kesehatan lain termasuk dokter dan perawat, untuk memodifikasi obat agar aman dan efektif sehingga tercapai kualitas hidup yang optimal bagi pasien. Hal tersebut menuntut apoteker agar dapat bekerjasama secara terpadu dengan pasien maupun dokter sehingga dapat diperoleh pemahaman yang benar mengenai pengobatan pasien.
3.
Farmasi Komunitas Farmasi komunitas (apotek) adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1027 tahun 2004, farmasi komunitas adalah tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik, sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
10
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Dalam Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004, pengelolaan suatu apotek meliputi: a.
Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
b.
Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.
c.
Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi: 1) Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. 2) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya.
4.
Fasilitator Implementasi Pharmaceutical Care Implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas merupakan hal
yang komplek (Hoop dkk., 2005). Implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas terbukti lebih lambat dari yang diharapkan, meskipun banyak apoteker telah setuju dengan konsep pharmaceutical care (Gastelurrutia dkk., 2005; Dunlop dan Shaw, 2002). Oleh karena itu, banyak penelitian mengarah kepada fasilitator dalam implementasi pharmaceutical care. Menurut Roberts dkk. (2008) fasilitator merupakan faktor yang membuat adopsi terhadap perilaku atau praktik baru
11
menjadi lebih mudah sehingga dapat mempercepat implementasi pharmaceutical care. Penelitian terhadap fasilitator dimulai ketika implementasi pharmaceutical care ternyata mempunyai banyak barier. Barier adalah faktor yang menghalangi sedangkan fasilitator merupakan faktor yang mempercepat implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas (Gastelurrutia dkk., 2005). Ada beberapa barier yang sering dikemukakan menurut Van Mill dkk. (2006), yaitu: a.
Kurangnya remunerasi.
b.
Kurangnya waktu.
c.
Tingkah laku atau pola pikir tenaga profesional mengenai pharmaceutical care.
d.
Kurangnya kemampuan komunikasi.
e.
Struktur pelayanan kesehatan secara umum.
f.
Kurangnya pendidikan mengenai pharmaceutical care.
g.
Kurangnya tingkah laku atau pola pikir apoteker.
h.
Kurangnya pendidikan dalam berkomunikasi.
i.
Kurangnya kemampuan manajemen.
j.
Kurangnya pandangan mengenai perkembangan pharmaceutical care. Secara keseluruhan, pendekatan pharmaceutical care menurut definisi
Hepler dan Strand (1990) dianggap sulit untuk diterapkan di semua negara karena perbedaan pelayanan kesehatan yang mendasari khususnya sistem kefarmasian. Perbedaan budaya dan tradisional juga mungkin menjadi hambatan yang identik dalam pelaksanaan pharmaceutical care. Oleh karena itu, tindakan yang
12
disarankan untuk pharmaceutical care perlu disesuaikan untuk masing-masing negara. Penelitian mengenai fasilitator implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas yang sudah ada terangkum pada tabel berikut. Tabel I. Penelitian mengenai Fasilitator Keterangan Objek penelitian berupa 16 farmasi komunitas di Denmark. Penelitian mencakup identifikasi barier dan fasilitator. Fasilitator yang ditemukan seperti memberikan pelatihan bagi apoteker, meningkatkan profil apotek, dan dukungan manajemen dari pemilik sarana apotek. Wibowo (2008) Objek penelitian berupa farmasi komunitas di Surabaya. Penelitian mencakup identifikasi barier dan fasilitator. Fasilitator yang ditemukan antara lain perlunya peningkatan pendidikan, pelatihan, sistem remunerasi, hubungan apoteker-dokter, dan tanggung jawab organisasi profesi. Roberts dkk. (2008) Objek penelitian berupa 2000 farmasi komunitas di Australia. Penelitian hanya pada identifikasi fasilitator, yaitu hubungan apoteker dengan dokter, remunerasi, tata letak apotek, permintaan pasien, meningkatkan tenaga kerja/staf dalam jumlah yang sesuai agar dapat optimal memberikan pelayanan, komunikasi dan kerjasama tim. Gastelurrutia dkk. (2009) Objek penelitian berupa farmasi komunitas di Spanyol. Penelitian hanya pada identifikasi fasilitator pada kelompok strategist dan apoteker farmasi komunitas. Menurut kelompok strategist pendidikan klinis dan individu apoteker dianggap sebagai fasilitator yang terpenting dibandingnkan remunerasi. Namun, berbeda dengan kelompok apoteker farmasi komunitas yang menganggap remunerasi adalah fasilitator terpenting.
No. Peneliti 1 Hopp dkk. (2005)
2
3
4
5.
Apoteker Apoteker merupakan profesi yang diberi wewenang untuk mengatur,
mengawasi dan melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan kefarmasian. Menurut Kepmenkes No. 1027/2004, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.
13
Berdasarkan PP 51 tahun 2009 dinyatakan bahwa pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Perubahan tersebut menyebabkan apoteker sebagai salah satu tenaga kefarmasian harus mempunyai kompetensi sesuai standar dan berkomitmen. Apoteker dengan kompetensi sesuai standar artinya apoteker yang mempunyai kemampuan kerja mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan apoteker yang berkomitmen maksudnya bahwa apoteker mempunyai ketetapan hati untuk senantiasa berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai martabat dan tradisi luhur profesi kefarmasian. Menurut Depkes (2004), peran aktif apoteker adalah sebagai berikut: a.
Pemberian penyuluhan kepada masyarakat.
b.
Pembuatan buletin, leaflet, dan iklan pelayanan masyarakat seputar obat yang memerlukan perhatian khusus.
c.
Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien, yang dapat dilakukan dengan: 1) Memberikan informasi kepada pasien mengenai penyakitnya dan perubahan pola hidup yang harus dilakukan. 2) Memberikan informasi mengenai obat-obat yang digunakan, indikasi, cara penggunaan, dosis, dan waktu penggunaan. 3) Melakukan konseling kepada pasien untuk melihat perkembangan terapi.
14
F. Landasan Teori Implementasi pharmaceutical care merupakan hal yang kompleks dan terbukti lebih lambat dari yang diharapkan. Kecepatan penerapan pharmaceutical care dipengaruhi oleh faktor yang dapat dikelompokkan menjadi barier dan fasilitator. Barier merupakan faktor yang dapat menghambat implementasi pharmaceutical care, sedangkan fasilitator merupakan faktor yang dapat mempercepat implementasi pharmaceutical care. Menurut Farris dkk. (2005) fasilitator di setiap daerah berbeda-beda, karena tergantung dari sistem dan kebudayaan di daerah tersebut. Roberts dkk. (2008) mengidentifikasi fasilitator dalam implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Australia berupa perbaikan hubungan apoteker dengan dokter, remunerasi, layout apotek, permintaan pasien, tenaga kerja di apotek, dan peran organisasi profesi. Gastelurrutia dkk. (2009) mengidentifikasi fasilitator dalam implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas di Spanyol, ditemukan fasilitator berupa peningkatan kemampuan klinis, individu apoteker, integritas tenaga kesehatan, struktur, pengetahuan sosial, remunerasi, dukungan organisasi profesi, remunerasi, institusi pendidikan, dukungan organisasi profesi, marketing pharmaceutical care, organisasi dan manajemen. Penelitian Rokhman dkk. (2012) secara kualitatif melalui wawancara terhadap apoteker praktisi dan pemegang kebijakan, menemukan fasilitator pada farmasi komunitas di D.I. Yogyakarta diantaranya berupa perlunya peningkatan kemampuan klinis dan komunikasi apoteker, perlunya remunerasi untuk layanan pharmaceutical care, perbaikan hubungan apoteker dengan dokter, pendidikan
15
profesi, perlunya dukungan dari organisasi profesi, permintaan pasien, serta individu apoteker. Berdasarkan penelitian Roberts dkk. (2006) fokus penelitian mengenai fasilitator sekarang beralih dari fasilitator individu ke organisasi. Pengetahuan tentang perubahan di tingkat organisasi merupakan fasilitator yang paling berpengaruh dalam implementasi pharmaceutical care (Hopp dkk., 2005; Roberts dkk., 2006). Fasilitator organisasi berupa peran organisasi profesi, remunerasi, dan institusi pendidikan. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh fasilitator terhadap implementasi pharmaceutical care di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul, dengan menggunakan fasilitator yang paling sering muncul menurut penelitian Roberts dkk. (2008), Gastelurrutia dkk. (2009), dan Rokhman dkk. (2012), berupa hubungan apoteker dengan dokter, kemampuan klinis apoteker, peran organisasi profesi, remunerasi, permintaan pasien, institusi pendidikan, dan individu apoteker.
G. Hipotesis Model sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care didasarkan pada fasilitator yang akan mempengaruhi sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care (Gastelurrutia dkk, 2005; Dunlop dan Shaw, 2002; Roberts dkk., 2008). Fasilitator yang digunakan yaitu perbaikan hubungan apoteker dengan dokter, kemampuan klinis apoteker, peran organisasi
16
profesi, remunerasi, permintaan pasien, institusi pendidikan, dan individu apoteker.
Gambar I. Model Penelitian
Model penelitian dapat dilihat pada gambar I dengan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1a
: Fasilitator berupa perbaikan hubungan apoteker dengan dokter akan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
H1b
: Fasilitator berupa perbaikan kemampuan klinis akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
17
H1c
: Fasilitator berupa peran organisasi profesi akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
H1d
: Fasilitator berupa adanya remunerasi akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
H1e
: Fasilitator berupa permintaan pasien akan pharmaceutical care akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
H1f
: Fasilitator berupa perbaikan di institusi pendidikan akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
H1g
: Fasilitator berupa individu apoteker akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.
H2
: Fasilitator organisasi merupakan fasilitator yang paling berpengaruh terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care.