BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Data dari Kementrian Kesehatan RI (2012) menyebutkan bahwa total tenaga kesehatan di Indonesia berjumlah 567.422 orang. Profesi perawat ditempatkan tersebar di berbagai puskesmas dan rumah sakit. Tenaga perawat di puskesmas Indonesia berjumlah 105.870 orang dan ditambah 110.782 perawat bekerja sebagai perawat di rumah sakit Indonesia. Jumlah keseluruhan perawat di Indonesia yaitu 216.652 tenaga perawat. Di Indonesia, berdasarkan data dari Kemenkes (2012), rata-rata tiap 96 perawat bertugas memberikan jasa kesehatan pada 100.000 penduduk.
Gambar 1 : Grafik Rasio Jumlah Perawat tiap 100.000 Penduduk Indonesia
1
2 Sebenarnya sejak tahun 2010, ketersediaan dan kebutuhan tenaga perawat di Indonesia telah diperkirakan tidak seimbang. Data ketersediaan dan kebutuhan tenaga perawat dari Research and Development Team HPEQ Project (2010) menggambarkan bahwa Indonesia kekurangan 750.000 tenaga perawat. Tenaga perawat yang telah tersedia saat ini harus menutupi kekurangan 750.000 tenaga perawat yang belum tersedia. Oleh karena itu, ketidakseimbangan antara jumlah pasien dan perawat menimbulkan beban kerja yang semakin berat bagi perawat.
Gambar2 : Grafik Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Perawat
Seorang perawat memiliki karakteristik pekerjaan yang rentan terhadap stress dan beban kerja yang berat. Pekerjaan perawat yang mempunyai beban kerja berat, stres secara emosional yang disebabkan oleh interaksi dengan pasien, konflik dengan pasien dan keluarga pasien, serta jam kerja yang panjang menyebabkan mereka cenderung untuk meninggalkan pekerjaan. Jam kerja yang panjang dan tidak teratur berdampak pada kondisi fisik, psikologis dan sosial pada diri perawat, yang berpengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan pasien (Tayfun & Catir, 2014). Penelitian dari Chiu & Ng (1999) menyatakan bahwa faktor stres yang diperoleh dari pekerjaan, mengakibatkan masalah kerja terbawa dalam kehidupan pribadi. Hal ini
3 mengakibatkan karyawan mengalami kesulitan dalam memenuhi kepuasaan kehidupan di luar pekerjaan. Kondisi ini juga dialami perawat di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Hasil wawancara dengan perawat menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dengan kehidupan pribadi. Perawat
memiliki waktu yang lebih
sedikit untuk kehidupan pribadi Beban kerja yang berat dan jadwal shift kerja, membuat perawat kesulitan untuk mengatur waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan teman-teman ataupun melakukan aktivitas pribadi. Seperti diungkapkan oleh TA, 32 tahun, selama delapan tahun bekerja di rumah sakit, ia merasa sering melewatkan waktu bersama dengan anak-anak. Hal ini disebabkan sistem kerja shift yang diberlakukan dirumah sakit sehingga mengurangi waktunya dengan keluarga. Subjek D yang berusia 22 tahun, telah bekerja selama 1 tahun lebih juga mengatakan hal yang serupa. Pada saat beberapa perawat cuti, tugas pekerjaan bertambah banyak sehingga ia merasa waktu untuk bersantai di rumah menjadi berkurang. Hal ini membuat mereka menginginkan sistem kerja lebih baik bahkan subjek D ingin pindah tempat kerja jika memperoleh kesempatan. Permasalahan akan muncul ketika perawat gagal untuk menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi atau keluarga. Pekerjaan dan keluarga adalah domain paling penting di dalam kehidupan. Kedua peran tersebut sering menimbulkan konflik antara pekerjaan dengan keluarga, seperti jam kerja yang panjang, mengurangi keberadaan dirumah, melewatkan aktivitas pribadi dan kebersamaan keluarga (Gutek, Searle,& Klepa, 1991). Semakin terlibat dengan pekerjaan, maka semakin meningkat konflik antara pekerjaan dan keluarga dan akan meningkatkan burnout, rendahnya kepuasan kerja, dan menurunkan komitmen ( Adams, King, &King, 1996). Situasi ini pada akhirnya menyebabkan komitmen
4 rendah terhadap organisasi, yang berdampak pada pelayanan pasien dan produktivitas rumah sakit (Akhtar & Yasir, 2014) Komitmen organisasi yang tinggi merupakan hal yang penting bagi organisasi. Schappe (1998) mencatat bahwa komitmen yang tinggi akan mendorong karyawan untuk bekerja keras dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dalam konteks tanggung jawabnya (in role work behavior) dan bersedia untuk melakukan aktivitas di luar tanggung jawabnya demi perusahaan (extra role work behavior). Selain itu, karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi akan merasa terikat dengan organisasi (Wahn, 1998). Dengan komitmen tersebut, karyawan akan menilai secara positif keterikatannya dengan organisasi dan konsekuensinya mereka akan melakukan apa saja demi tercapainya tujuan organisasi (Mowday, Steers,& Porter, 1982). Komitmen organisasi yang tinggi akan tercapai ketika perawat bisa menyeimbangkan antara kehidupan kerja dan pribadi. Dalam kehidupan pribadi, keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi akan meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan keluarga. Sementara itu, dalam kehidupan kerja, tidak adanya keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi menyebabkan kinerja yang buruk dan absensi karyawan (Frone, Yardley, & Markel 1997). Ketidakmampuan karyawan secara terus-menerus untuk menyeimbangkan antara pekerjaaan dan kehidupan pribadi dapat menurunkan kepuasan kerja yang akan berdampak pada penurunan produktivitas dan pencapaian tujuan organisasi (Hobson, Delunas & Kesic, 2001). Sebaliknya, keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi karyawan akan memperdalam peran dan keterlibatan dalam organisasi sehingga kepuasan kerja dan komitmen organisasi karyawan dapat tercapai (Carlson, Witt., Zivnuska, Kacmar, & Grzywacz, 2008). Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara work life balance dan komitmen organisasi menunjukkan hasil yang beragam. Hafsah (2012) meneliti
5 hubungan antara work life balance dengan komitmen organisasi pada salah satu perusahaan swasta di Malaysia. Hasilnya menunjukkan tidak ada hubungan antara work life balance dengan komitmen organisasi. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian dari Evangelista, Lim, Rocafor, & Teh (2009), yang menunjukkan bahwa work life balance tidak berpengaruh pada komitmen organisasi karyawan generasi Y. Hal ini menunjukkan bahwa generasi Y tidak menganggap work life balance sebagai faktor penentu yang membuat mereka bertahan di organisasi. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Sakthivel & Jayakrishman (2006) yang menemukan bahwa work life balance dan komitmen organisasi memiliki hubungan positif dan signifikan. Work life balance adalah indikator dari komitmen organisasi pada profesi perawat. Jika perawat merasakan work life balance yang tinggi, maka mereka akan lebih berkomitmen terhadap organisasi. Berdasarkan paparan di atas, penelitian-penelitian mengenai work life balance dan komitmen organisasi masih menunjukkan hasil yang beragam. Oleh sebab itu, peneliti mempertanyakan kembali mengenai hubungan antara work life balance dengan komitmen organisasi. Hal inilah yang mendasari latar belakang dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
organisasi, dalam hal ini adalah rumah sakit untuk memperhatikan work life balance dalam lingkungan rumah sakit, sehingga komitmen perawat dan produktivitas rumah sakit dapat ditingkatkan.
6 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara work life balance dengan komitmen terhadap organisasi pada perawat.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian pengetahuan dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya mengenai komitmen organisasi dan work life balance. Lebih lanjut melalui penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan tambahan mengenai pentingnya work life balance bagi setiap karyawan khususnya perawat di rumah sakit agar mereka bisa merasakan keseimbangan kehidupan di dalam pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan. 2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi organisasi/rumah sakit agar memperhatikan work life balance karyawan ketika membuat program atau kebijakan yang berkaitan dengan karyawan.