BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang ditimbulkan cukup serius dengan spektrum gangguan yang luas cakupan persoalannya, dan dapat mengenai semua segmen manusia mulai dari janin sampai dewasa (WHO, 2007). Spektrum gangguan yang umum terlihat adalah gondok dan kretin, akan tetapi sebenarnya terdapat gangguan yang lebih luas berupa gangguan pertumbuhan dan kelemahan fisik; kegagalan reproduksi; hipotiroid; kerusakan perkembangan sistem saraf; serta gangguan fungsi mental, yang dapat berpengaruh terhadap kehilangan IQ-point yang identik dengan kecerdasan dan produktivitas (Delange dan Hetzel, 2004). GAKI pada anak usia sekolah dapat menimbulkan terjadinya tingkat kecerdasan (IQ) yang lebih rendah. Menurut berbagai penelitian terhadap anak sekolah yang tinggal di daerah endemis menunjukkan adanya gangguan kinerja belajar serta nilai kecerdasan (IQ) lebih rendah 10 point dibanding IQ anak yang tinggal di daerah yang cukup iodium atau daerah bukan endemis (Thaha, et al., 2002). Hal ini mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar sehingga prestasi belajar di sekolah rendah dan mempertinggi persentase anak tinggal kelas dan putus sekolah. Hasil meta-analisis dari 18 studi yang dilakukan pada tahun 1982-
1
2
1991 menunjukkan bahwa GAKI mengakibatkan penurunan IQ point rata-rata 13.5 point (Delange, 2001). Prevalensi GAKI berdasarkan hasil palpasi pada anak sekolah dasar yang dinyatakan dengan Total Goiter Rate (TGR) sekitar 9.8% pada tahun 1998 (Depkes 1998) dan 11% tahun 2003 (Depkes, 2003). Sebagian besar wilayah Indonesia (57,1 % kabupaten) dikategorikan sebagai daerah endemik GAKI. Diperkirakan 18,8% penduduk hidup di daerah endemik ringan, 4,2% di daerah endemik sedang dan 4,5% di daerah endemik berat (Depkes, 2003). Upaya penanggulangan GAKI di Indonesia yang dilakukan selama ini adalah fortifikasi iodium 30 – 80 ppm dalam garam konsumsi rumah tangga sebagai upaya jangka panjang. Pada daerah endemik berat dan sedang dilakukan distribusi kapsul minyak beriodium dosis tinggi (200 mg) sebagai upaya jangka pendek dengan sasaran program anak sekolah dasar dan wanita usia subur termasuk ibu hamil dan menyusui (Depkes, 2000). Akan tetapi karena berbagai pertimbangan, khususnya kekhawatiran efek samping hipertiroid, program suplementasi
kapsul
minyak
beriodium
dihentikan
sejak
tahun
2009
(Dirbinkesmas, 2009). Sehingga, saat ini upaya penanggulangan GAKI hanya mengandalkan fortifikasi garam dengan iodium. Di daerah yang kekurangan iodium, pengaruh gizi dan lingkungan berkontribusi pada prevalensi dan tingkat keparahan GAKI, termasuk defisiensi mikronutrien lain diantaranya zat besi (Zimmerman, 2000). Keberhasilan program garam beriodium, yang merupakan strategi yang paling dianjurkan oleh WHO, mungkin dapat dipengaruhi oleh defisiensi besi. Karena defisiensi besi akan
3
mempengaruhi metabolisme tiroid (WHO, 2007; Zimmermann et al., 2000; Hess, 2002a). Bahkan menurut Zimmermann (2002) kekurangan zat besi memiliki dampak lebih besar pada GAKI dibandingkan dengan zat goitrogenik karena prevalensi yang tinggi pada kelompok rentan. Defisiensi zat besi akan mengganggu produksi triiodotironin (T3) dan fungsi tiroid secara umum (WHO, 2001). Dua langkah awal sintesis hormon tiroid dikatalis oleh Tiroid Peroksidase (TPO), enzim yang mengandung heme. Penelitian Hess tentang anemia defisiensi besi pada tikus menunjukkan aktifitas TPO berkurang, sehingga terjadi penurunan kadar plasma tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) (Hess, 2002b). Defisiensi besi juga dapat mengubah kontrol saraf pusat pada sistem metabolisme tiroid, sehingga mengurangi konversi perifer T4 menjadi T3 (Beard, 1998), memodifikasi ikatan T3 inti, dan meningkatkan sirkulasi tirotropin (TSH) (Garibay & Velarde, 2009). Respon terapi kapsul iodium (Zimmermann, 2000) dan garam beriodium (Hess, 2002a) pada anak dengan anemia defisiensi besi terganggu dibandingkan dengan anak status besi normal. Sebaliknya, metabolisme tiroid yang terganggu akan menyebabkan defisiensi besi karena kegagalan sintesis hemoglobin dan malabsorbsi zat besi (Marquesee & Mandel, 2005). Di negara berkembang, banyak anak-anak beresiko tinggi menderita GAKI dan anemia secara bersamaan. Hess dan Zimmermann (2004) dalam suatu studi di bagian barat dan utara Afrika menemukan 23-35% anak sekolah menderita GAKI dan anemia, sedangkan studi di Côte d’Ivoire barat (Hess, et al., 2002a) menunjukkan bahwa 30-50% anak sekolah mengalami GAKI dan 37-47%
4
mengalami anemia. Pada pegunungan di bagian utara Maroko, prevalensi goiter anak sekolah adalah 53-64% dan 25-35% diantaranya menderita anemia defisiensi besi (Zimmermann, et al., 2002). Diperkirakan sekitar 40%-45% anak sekolah di negara berkembang menderita anemia, dan sekitar 50% kasus disebabkan oleh kekurangan zat besi (Zimmermann, 2006). Anemia defisiensi besi di Indonesia masih menjadi masalah karena tingginya prevalensi di setiap kelompok umur, terutama balita yaitu sebesar 40,5% sedangkan pada usia sekolah sebesar 47,2%. Penelitian pada 1000 anak sekolah yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di 11 provinsi menunjukkan prevalensi anemia sebanyak 20-25% (Rosdiana et al., 2008). Saat ini sasaran langsung program penanggulangan anemia hanya ditujukan pada wanita usia subur usia 15-45 tahun (Depkes, 2003). Mengingat prevalensi anemia defisiensi besi yang tinggi pada kelompok anak, IDAI pada tahun 2009 mengeluarkan rekomendasi untuk memberikan suplementasi besi kepada anak usia 0 – 18 tahun dengan dosis sesuai kelompok umur selama tiga bulan berturutturut setiap tahunnya, tanpa melakukan uji tapis (IDAI, 2009). Diagnosis defisiensi besi ditegakkan dari hasil pemeriksaan klinis maupun laboratoris. Hasil pemeriksaan laboratorium lebih banyak berperan karena gejala spesifik untuk defisiensi besi tidak selalu nyata terutama pada tahap awal (iron depletion). Pemeriksaan hemoglobin belum dapat dinyatakan sebagai petunjuk yang dipercaya untuk memastikan diagnosis defisiensi besi. Karena hemoglobin kurang sensitif untuk menggambarkan cadangan besi yang sesungguhnya dan akan mempengaruhi hemoglobin apabila defisiensi besi telah sampai pada tahap
5
lanjut (iron deficiency anemia) (Hoffman et al, 1998). Pemeriksaan kadar serum feritin merupakan indikator sensitif dan reliabel untuk mengetahui status besi karena dapat mencerminkan cadangan besi pada tubuh (Ludlam, 2001) Prevalensi tinggi kekurangan zat besi pada anak di daerah gondok endemik dapat memodifikasi respon terhadap profilaksis iodium sehingga mengurangi efektivitas program garam beriodium (Hess, 2002a) dan minyak iodium (Zimmermann, 2000). Anak-anak juga sangat rentan terhadap GAKI dan merupakan salah satu kelompok sasaran utama program garam beriodium. Hal ini menjadikan dasar keinginan untuk melakukan penelitian tentang pengaruh suplementasi
besi
terhadap
program
garam
beriodium
sebagai
upaya
penanggulangan GAKI. Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi masukan dalam membuat program oleh pemegang kebijakan di Kementerian Kesehatan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi dasar penelitian adalah sebagai berikut. 1. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan yang serius karena dampak yang ditimbulkannya dan luasnya masalah yang dihadapi. Dampak anak usia sekolah yang defisiensi iodium dan tinggal di daerah endemik GAKI adalah kesulitan belajar dan prestasi belajar di sekolah rendah sehingga mempertinggi persentase anak tinggal kelas dan putus sekolah. Upaya penanggulangan GAKI di Indonesia saat ini hanya
6
mengandalkan fortifikasi garam dengan iodium 30 – 80 ppm karena program suplementasi minyak beriodium dihentikan dengan berbagai pertimbangan. 2. Masalah GAKI sering diperburuk bersamaan dengan defisiensi zat gizi mikro lainnya seperti zat besi. Di negara berkembang, diperkirakan bahwa 40% 45% dari anak usia sekolah menderita anemia dan sekitar 50% kasus disebabkan oleh kekurangan zat besi (Zimmermann, 2006). Prevalensi tinggi kekurangan zat besi pada anak di daerah gondok endemik dapat mengurangi efektivitas program garam beryodium. C. Pertanyaan Penelitian Apakah suplementasi besi berpengaruh terhadap efikasi program garam beriodium sebagai upaya penanggulangan GAKI? D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini untuk mempelajari pengaruh suplementasi besi dosis 60 mg/ minggu terhadap efikasi program garam beriodium sebagai upaya penanggulangan GAKI. 2. Tujuan khusus a. Membandingkan perubahan kadar ferritin serum pada kelompok yang diberi suplementasi zat besi berupa ferrous sulfat dosis 60 mg/ minggu dengan kelompok plasebo pada anak sekolah dasar (9-12 tahun) selama 12 minggu di daerah endemik GAKI. b. Membandingkan perubahan kadar hemoglobin pada kelompok yang diberi suplementasi zat besi berupa ferrous sulfat dosis 60 mg/ minggu dengan
7
kelompok plasebo pada anak sekolah dasar (9-12 tahun) selama 12 minggu di daerah endemik GAKI. c. Membandingkan perubahan kadar serum TSH pada kelompok yang diberi suplementasi zat besi berupa ferrous sulfat dosis 60 mg/ minggu dengan kelompok plasebo pada anak sekolah dasar (9-12 tahun) selama 12 minggu di daerah endemik GAKI. d. Membandingkan perubahan kadar serum T3 pada kelompok yang diberi suplementasi zat besi berupa ferrous sulfat dosis 60 mg/ minggu dengan kelompok plasebo pada anak sekolah dasar (9-12 tahun) selama 12 minggu di daerah endemik GAKI. e. Membandingkan perubahan kadar serum fT4 pada kelompok yang diberi suplementasi zat besi berupa ferrous sulfat dosis 60 mg/ minggu dengan kelompok plasebo pada anak sekolah dasar (9-12 tahun) selama 12 minggu di daerah endemik GAKI. E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan bukti ilmiah pengaruh pemberian suplementasi zat besi berupa ferrous sulfat dosis 60 mg/ minggu pada anak sekolah selama 12 minggu terhadap efikasi garam beriodium. 2. Manfaat bagi institusi kesehatan adalah sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan program penanggulangan GAKI dan anemia gizi besi. 3. Manfaat bagi subyek penelitian adalah mendapat suplementasi zat besi untuk memperbaiki status besi (Fe) dan atau fungsi tiroid.
8
F. Keaslian Penelitian N o
Karakteristik sampel
Penelitian
Desain dan lamanya intervensi
Kriteria Inklusi
Jenis intervensi
1. Hess et al., Anak sekolah 2002 umur 5 – 14 tahun yang menderita gondok dan menderita defisiensi besi di Côte d’Ivoire
Pembesaran gondok diperiksa dengan USG, pemeriksaan TSH dan T4. Status besi ditentukan dengan kadar Hb, ZnPP, SF dan TFR
Sampel dibagi menjadi 2 kelompok : 1. garam beriodium (10-30 ppm) & placebo 2. Garam beriodium (1030 ppm) & 60 mg kapsul besi 4x/ minggu
RCT, 16 minggu. Pengambilan data sebelum dan sesudah suplementasi yaitu volume tiroid, Hb, SF, TFR, TSH, T3, fT4
Hb dan status besi meningkat signifikan, besar kelenjar tiroid mengalami penyusutan signifikan dibanding kelompok placebo.
2.
Eftekhari al., 2006
Defisiensi besi ditentukan dengan kadar feritin <12 dan TFR<16%, bebas malnutrisi ditentukan dengan kadar albumin normal, BMI normal.
Sampel dibagi menjadi 4 kelompok : 1. Placebo & placebo 2. Placebo & 190 mg iodium dosis tunggal 3. Placebo & 60 mg kapsul besi 4x/mingu 4. 60 mg kapsul besi 4x/ minggu & 190 mg iodium dosis tunggal
RCT, 12 minggu. Pengambilan data sebelum dan sesudah suplementasi, yaitu Hb, SF, TFR, fT4, T3, TSH, TT3, TT4, T3RU, RT3
Indikator status besi meningkat signifikan pada kelompok suplemen besi, sedangkan kadar EIU meningkat 2x lipat pada kelompok iodium. Walaupun tidak ada beda kadar fT4, T3 dan TSH antar kelompok, tetapi kadar TT3, TT4 dan T3RU meningkat signifikan setelah suplementasi dan kadar RT3 menurun signifikan setelah suplementasi pada kelompok yang mendapat suplemen besi.
3.
Zimmermann et al, 2000
Pembesaran gondok diperiksa dengan USG, pemeriksaan TSH dan T4. Status besi ditentukan dengan kadar Hb, ZnPP, SF dan TFR
Sampel mendapat 200 mg kapsul iodium dosis tunggal, dibagi menjadi 2 kelompok : 1.Kel. kekurangan iodium 2.Kelompok kekurangan iodium dan besi.
Experimental, 12 mg. Diukur volume tiroid, EIU& T4 pada minggu ke 1, 5, 10, 15, 30. Pengambilan data sebelumsesudah suplementasi yaitu volume tiroid, Hb, SF, TFR, TSH, T3, fT4
Sampel yang menderita defisiensi besi mempunyai rerata TSH lebih tinggi di awal penelitian. Setelah intervensi, volume tiroid menurun signifikan dan kadar TSH, T4 meningkat signifikan pada kelompok non anemia.
et Remaja putri umur 15,7±1,4 tahun yang mengalami defisiensi besi tanpa anemia di Iran
Anak sekolah umur 6-15 tahun kekurangan iodium dan besi
Hasil
9
Persamaan penelitian adalah kajian permasalahannya memiliki kemiripan, yaitu meneliti dampak suplementasi besi terhadap fungsi tiroid. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan adalah dalam hal pemilihan subyek penelitian. Skrining yang dilakukan berdasarkan skrining populasi untuk mendapatkan daerah dengan prevalensi gangguan tiroid dan atau anemi pada populasi. Diharapkan pada saat pemilihan subyek secara random dapat diperoleh subyek dengan berbagai tingkat kekurangan. Dengan demikian intervensi yang diuji cobakan sesuai dengan kondisi nyata masalah GAKI dan atau anemia di populasi.