BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hipertensi menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Menurut data riskesdas 2007 dan 2013 prevalensi hipertensi pada umur ≥ 18 tahun di Indonesia berdasarkan wawancara apakah pernah didiagnosis tenaga kesehatan dan atau riwayat minum obat hipertensi sebesar 7,6 % dan 9,5 % (Anonim, 2013). Berdasarkan data tersebut prevalensi hipertensi mengalami peningkatan. Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 di Indonesia dengan persentase sebesar 6,8 % (Anonim, 2008). Indonesia memiliki banyak keanekaragaman hayati. Indonesia memiliki 28000 jenis tanaman dan beberapa diantaranya memiliki khasiat sebagai obat (Elfahmi dkk, 2014). Masyarakat menggunakan tanaman tersebut untuk mencegah dan mengobati penyakit, salah satunya hipertensi. Herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu merupakan tanaman yang memiliki efek hipotensi dan dimanfaatkan sebagai antihipertensi (Adnyana dkk, 2013; Tabassum dan Ahmad, 2011; Wang dkk, 2002). Sikap back to nature membuat perkembangan dan pemanfaatan tanaman obat
semakin
meningkat.
Indonesia
memiliki
beberapa
industri
yang
memproduksi produk herbal baik secara modern maupun tradisional. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan produsen produk herbal mengembangkan produk herbal SKM yang dapat membantu menurunkan tekanan darah. Setiap kapsul produk SKM berisi kombinasi 75 mg ekstrak herba seledri,
1
2
75 mg ekstrak daun kumis kucing, dan 75 mg ekstrak buah mengkudu. Herba seledri merupakan tanaman herba yang memiliki manfaat membantu menurunkan tekanan darah. Kandungan seledri yang mempunyai efek antihipertensi adalah 3-n-butyl phthalide dan apigenin dengan mekanisme aksi seperti ACEIs dan CCBs (Mohler dan Townsend, 2006). Daun kumis kucing sudah digunakan sejak lama untuk membantu pengobatan individu yang hipertensi. Kandungan senyawa seperti orthochromene A , orthosiphonone A, orthosiphonone
B,
neoorthosiphol
A,
neoorthosiphol
B
menyebabkan
penghambatan kontraktilitas pada otot polos aorta tikus yang sebelumnya diinduksi dengan KCl. Kandungan methylripariochromene (A) dalam kumis kucing menurunkan tekanan darah sistol pada tikus hipertensi (Ohashi dkk, 2000). Pemberian dosis tunggal secara oral jus buah mengkudu dapat menurunkan tekanan darah sistol dengan spontan pada tikus jantan yang hipertensi. Adanya kandungan skopoletin dalam buah mengkudu berperan dalam penurunan tekanan darah melalui aktivitas penghambatan Angiotensin Converting Enzyme (Yang dkk, 2007). Uji aktivitas antihipertensi SKM dosis 20,25 dan 40,5 mg/kgBB memberikan hasil bahwa SKM dapat menurunkan tekanan darah sistol dan distol pada tikus betina Sprague Dawley normal (Winarti, 2015). Pemberian dosis 20,25 mg/kgBB dan 40,5 mg/kgBB mampu menurunkan tekanan darah sistol dan diastol pada tikus betina Spraque Dawley yang diinduksi fenilefrin dimana kedua dosis tersebut memiliki efektifitas sebanding dengan kaptopril (Septia, 2015).
3
Pada penelitian sebelumnya, uji toksisitas akut ekstrak aqueous herba seledri tidak menunjukan tanda-tanda ketoksikan dan tidak terjadi kematian pada tikus galur Wistar hingga dosis 2000 mg/kgBB (Vasanthkumar dan Jeevitha, 2014). Uji toksisitas akut ekstrak daun kumis kucing pada tikus Spraque Dawley diperoleh nilai LD50 >5000 mg/kgBB. Pada dosis 5000 mg/kgBB tidak terjadi kematian dan perubahan perilaku tikus. Tidak menunjukan perbedaan peningkatan berat badan, asupan makan, asupan minum, berat relatif organ, hematologi dan kimia darah antara kelompok uji dan kontrol (Abdullah dkk, 2009). Uji toksisitas subkronis ekstrak etanol 50 % daun kumis kucing dosis 1250, 2500, dan 5000 mg/kgBB pada tikus Spraque Dawley jantan dan betina selama 28 hari menunjukan tidak ada perbedaan berat badan, berat organ, hematologi dan biokimia serta perubahan histologi antara kelompok kontrol dan kelompok uji (Mohamed dkk, 2011). Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah mengkudu dosis 2000 mg/kgBB tidak menunjukan adanya kematian dan efek toksik pada tikus Wistar (Ramesh dkk, 2015). Uji toksisitas subkronis selama 90 hari ekstrak buah mengkudu dosis 1720, 4300, dan 6860 mg/kgBB pada tikus Spraque Dawley tidak menunjukan adanya perbedaan berat organ, histopatologi, hematologi, dan parameter biokimia antara kelompok uji dan kontrol (West dkk, 2009). Penelitian mengenai uji toksisitas akut dan subkronis untuk melihat keamanan masing-masing ekstrak herba seledri, daun kumis kucing dan buah mengkudu sudah pernah dilakukan. Namun belum ada penelitian mengenai uji toksisitas subkrosis dari kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing dan buah mengkudu dalam suatu produk. Uji toksisitas subkronis diperlukan untuk
4
melihat efek toksik yang muncul akibat penggunaan jangka panjang. Penelitian ini juga dapat menggambarkan efek terhadap organ-organ dalam tubuh sehingga dapat memberikan petunjuk untuk penelitian selanjutnya. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh pemberian produk SKM sekali sehari selama 90 hari pada tikus jantan Wistar terhadap munculnya gejala toksik klinis, perkembangan berat badan, asupan makanan dan asupan minuman? 2. Bagaimana pengaruh pemberian produk SKM sekali sehari selama 90 hari pada tikus jantan Wistar terhadap berat organ dan gambaran histopatologi jantung, paru, lambung, ginjal, hati dan limpa? 3. Bagaimana sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian produk SKM sekali sehari selama 90 hari pada tikus jantan Wistar? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh pemberian produk SKM sekali sehari selama 90 hari pada tikus jantan Wistar terhadap munculnya gejala toksik klinis, perkembangan berat badan, asupan makanan dan asupan minuman. 2. Mengetahui pengaruh pemberian produk SKM sekali sehari selama 90 hari pada tikus jantan Wistar terhadap berat organ dan gambaran histopatologi jantung, paru, lambung, ginjal, hati dan limpa. 3. Mengetahui sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian produk SKM sekali sehari selama 90 hari pada tikus jantan Wistar selama 90 hari.
5
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai toksisitas subkronis produk SKM (kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu) serta memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar bagi tahap penelitian lebih lanjut. 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai keamanan produk SKM (kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu). E. Tinjauan Pustaka 1. Toksikologi Pada awalnya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005). Agen yang dapat menghasilkan respon mengganggu sistem biologi, merusak fungsi tubuh dan menyebabkan kematian disebut racun. Senyawa dapat potensial menyebabkan kerusakan dan kematian bila jumlah senyawa cukup untuk menimbulkan hal tersebut (Eaton dan Gilbert, 2008). Paracelcus (1493-1541) dalam Donatus (2005) menyatakan bahwa semua bahan adalah racun, tidak satupun yang bukan racun. Dosis yang menentukan apakah senyawa tersebut racun atau bukan. Definisi toksikologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu (Loomis, 1978). Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan dan seni. Toksikologi sebagai ilmu pengetahuan berupa penelitian dan pengumpulan data, sedangkan toksikologi sebagai seni berupa penggunaan data untuk memprediksikan efek dari
6
paparan senyawa pada populasi manusia dan hewan. Fakta yang diperoleh dari penelitian toksikologi digunakan untuk membuat hipotesis dan prediksi untuk menjelaskan efek merugikan dari suatu agen kimia ketika hanya terdapat sedikit informasi (Gallo, 2008). Penelitian toksikologi memeriksa mekanisme aksi tingkat seluler, biokimia, dan molekuler, serta efek fungsional seperti neurobehavioral dan imunologi (Eaton dan Gilbert, 2008). Senyawa toksik antara lain obat, bahan tambahan makanan, pestisida, bahan kimia industri, polutan, toksin dari bahan alam, dan bahan rumah tangga. Bahan alam seperti tumbuhan dan hewan banyak yang menghasilkan senyawa toksik untuk tujuan pertahanan diri dari serangan. Senyawa toksik yang dihasilkan sangat bervariasi secara kimia sehingga akan menghasilkan efek toksik yang bervariasi (Timbrell, 2002). Terdapat empat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik. Pemahaman terhadap kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup akan mempermudah dalam memahami ragam faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa. Ketoksikan suatu senyawa ditentukan oleh kadar dan lama tinggal senyawa atau metabolitnya di tempat aksi dan keefektifan mekanisme aksi. Pemahaman terhadap mekanisme aksi mempermudah memahami penyebab terjadi efek toksik. Pemahaman wujud dan sifat efek toksik mempermudah memahami respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa (Donatus 2005).
7
Lu (1995) mengelompokkan berbagai jenis efek toksik menurut organ sasaran, mekanisme kerjanya atau ciri-cirinya sebagai berikut: a. Efek lokal dan sistemik Efek lokal menggambarkan kerusakan pada tempat bahan bersentuhan dengan bagian tubuh tertentu. Efek sistemik terjadi hanya setelah toksikan diserap dan tersebar ke bagian lain tubuh. b. Efek berpulih dan nirpulih Efek berpulih (reversible) ketika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, efek nirpulih (irreversible) akan menetap atau justru bertambah parah setelah pejanan toksikan dihentikan. Efek nirpulih diantaranya karsinoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. c. Efek segera dan tertunda Efek segera yaitu efek yang timbul segera setelah satu kali pejanan. Efek tertunda timbul beberapa waktu setelah pemejanan. d. Efek morfologis, fungsional, dan biokimiawi Efek morfologi berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopi pada morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini misalnya nekrosis dan neoplasia bersifat nirpulih dan berbahaya. Efek fungsional berupa perubahan berpulih pada fungsi organ sasaran. Efek biokimiawi merupakan efek toksik yang tidak menyebabkan perubahan morfologi. 2. Uji toksikologi Uji toksikologi merupakan salah satu bagian dari uji praklinik yang dilakukan pada hewan uji. Hewan uji yang biasa digunakan pada uji praklinik
8
antara lain mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing, atau beberapa uji menggunakan primata (Sukandar, 2004). Uji toksisitas pada hewan uji mengungkapkan serangkaian efek akibat pemejanan senyawa toksik dalam berbagai dosis untuk berbagai masa pemejanan sehingga merupakan sumber data utama bagi evaluasi toksikologi. Selain itu penelitian toksisitas dapat menunjukkan organ sasaran, sistem tubuh, atau toksisitas khusus (misalnya karsinogenisitas) yang membutuhkan penelitian lebih lanjut (Lu, 1995). Uji toksikologi dibagi menjadi dua yakni uji ketoksikan khas dan uji ketoksikan tak khas. Uji ketoksikan khas dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk uji ketoksikan khas yaitu uji potensiasi, uji kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi, uji kulit, mata dan uji perilaku. Uji ketoksikan tak khas dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Termasuk uji toksisitas tak khas yaitu uji toksisitas akut, subkronis, dan kronis (Loomis, 1978) a. Uji toksisitas akut Uji ini dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam masa singkat setelah pemejanan atau pemberian dengan takaran tertentu. Uji toksisitas akut dapat diperoleh (1) nilai LD50, (2) organ target gambaran klinis efek toksis, (3) sifat reversibilitas efek toksik, (4) membantu dalam pemilihan dosis untuk uji toksisitas subkronis dan kronis (Eaton dan Gilbert, 2008). Nilai LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk
9
menentukan potensi ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain (Donatus, 2005). b. Uji toksisitas subkronis Uji toksisitas subkronis ialah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama 90 hari. Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya serta diperoleh informasi tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran dosis yang tidak teramati pada uji toksisitas akut, dan efek keterbalikan (reversibilitas) efek toksik. Hasil yang diperoleh dari uji toksisitas subkronis digunakan untuk merancang uji toksisitas kronis dimana hewan uji akan dipejani dengan senyawa uji dalam waktu yang lebih panjang (Donatus, 2005). c. Uji toksisitas kronis Uji toksisitas kronis serupa dengan uji toksisitas subkronis tetapi terdapat perbedaan pada lama pemejanan senyawa uji, masa pengamatan, pemeriksaan, dan tujuannya. Lama pemejanan dan pengamatan berlangsung lebih dari tiga bulan. Uji toksisitas kronis pada rodent biasanya dilakukan 6 bulan hingga 2 tahun masa perlakuan. Uji toksisitas kronis untuk melihat efek toksik yang mungkin tertunda pada uji toksisitas subkronis selama 90 hari (Eaton dan Gilbert, 2008). Uji toksisitas kronis dikerjakan untuk menegaskan no-observed-adverse-effect level yang dapat digunakan untuk
10
menetapkan masukan harian yang dapat diterima dan batas keamanan suatu senyawa (Donatus, 2005). 3. Uji toksisitas subkronis metode OECD 408 Pedoman dalam melakukan pengujian toksisitas subkronis mengacu pada Guideline OECD 408 Repeated Dose 90-day Oral Toxicity Study in Rodents. Guideline dikeluarkan oleh OECD (Organization for Co-Operation & Development) dengan melalui serangkaian revisi secara periodik. Guideline OECD merupakan suatu standar dalam sebuah penelitian (Anonim, 2015). OECD 408 secara spesifik menjelaskan tentang tata laksana penelitian toksisitas oral berulang selama 90 hari. Guideline OECD 408 diadopsi pada tahun 1981 dan revisi terbaru pada tanggal 21 September 1998. Prinsip dari OECD 408 adalah senyawa uji dipejankan pada kelompok perlakuan selama 90 hari dengan peringkat dosis yang telah ditentukan. Tikus yang mati selama pemejanan selanjutnya dibedah dan sisa tikus yang masih hidup dikorbankan setelah masa perlakuan selesai. Jumlah kelompok yang digunakan yaitu empat kelompok, tiga kelompok dipejani bahan uji dan satu kelompok sebagai kontrol. Masing-masing kelompok terdiri dari 10-20 tikus dalam jumlah yang sama. Satelit ditambahkan pada kelompok kontrol dan dosis tertinggi dengan jumlah masing-masing separo jumlah tikus pada kelompok tersebut (Anonim, 1998). Pada uji ini digunakan tiga peringkat dosis berbeda. Sekurang-kurangnya ada satu kelompok perlakuan yang harus menerima dosis toksik yang dapat membunuh beberapa hewan uji atau yang memperlihatkan gejala toksik yang nyata. Kelompok lainnya menerima takaran dosis yang sama sekali tidak
11
menimbulkan efek atau gejala toksik. Takaran dosis senyawa yang diuji diberikan sekali sehari selama kurun waktu uji ketoksikan subkronis berlangsung melalui jalur pemberian sesuai dengan yang akan digunakan oleh manusia (Donatus, 2005). Selama masa perlakuan dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan munculnya tanda-tanda toksisitas seperti gejala klinis yang muncul diamati satu atau dua kali sehari, perubahan berat badan minimal tujuh hari sekali, asupan makan dan minum pada masing-masing tikus atau kelompok tikus yang diukur minimal tujuh hari sekali, pemeriksaan hematologi, kimia darah dan kimia urin diperiksa dua kali pada awal dan akhir masa perlakuan, pemeriksaan histopatologi organ pada hewan yang mati pada masa perlakuan dan seluruh tikus pada akhir masa perlakuan (Anonim, 1998). 4. Herba seledri Klasifikasi seledri (Apium graveolens L.) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Apiales
Suku
: Apiaceae
Marga
: Apium
Jenis
: Apium graveolens L.
(BPOM RI, 2010)
Seledri merupakan tanaman bionomikal herba yang tumbuh dengan ketinggian 60-90 cm. Batang bersegi, beralur, dan bercabang banyak, sistem
12
akarnya dangkal. Daun seledri berupa daun majemuk, menyirip dengan anak daun 3-7 helai. Anak daun bertangkai yang panjangnya 1-2,7 cm. Bunga majemuk berbentuk payung, 8-12 buah, kecil-kecil, berwarna putih, mekar secara bertahap. Buahnya buah kotak, kecil berbentuk kerucut, panjang 1-1,5 mm, berwarna hijau kekuningan (BPOM RI, 2010). Herba seledri mengandung umbeliferon, furano kumarin, saponin, tanin, minyak atsiri, vitamin A, B, C, asparagin. Flavonoid yang terkandung dalam herba seledri antara lain apiin, apigenin, luteolin-7-O-apiosilglukosida, luteolin-7O-glukosida, krisoeriol-7-O-apiosilglikosida, krisoeriol-7-O-glukosida (BPOM, 2010). Herba seledri secara tradisional digunakan sebagai peluruh air seni, peluruh haid, pengobatan demam berdarah dengue dan encok. Ekstrak butanol daun seledri memiliki aktifitas kuat sebagai hepatoprotektor dan mencegah stres oksidatif pada hewan uji tikus (BPOM RI, 2010). Berbagai penelitian mengenai aktivitas seledri dapat menurunkan tekanan darah pernah dilakukan. Pemberian kombinasi seledri dan kumis kucing sebanyak 3 x 250 mg kepada 72 pasien hipertensi ringan dan sedang selama 12 minggu dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol yang setara dengan amlodipin. Selain itu tidak ditemukan efek samping yang berarti akibat pemberian kombinasi seledri dan kumis kucing selama penelitian berlangsung (Supari, 2002). Pemberian ekstrak etanol herba seledri secara intravena pada kelinci yang dibius dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik rata-rata yang tergantung dosis. Efek hipotensif singkat dan tekanan darah mencapai basal 3-4
13
menit. Penurunan tekanan darah terjadi karena blokade parsial komponen kolinergik (Branković dkk, 2010). Kandungan apigenin dalam herba seledri memberikan efek vasorelaksasi dengan menghambat aktivitas kanal Ca2+ (Jorge dkk, 2013). Uji toksisitas akut ekstrak aqueous Apium graveolens L. yang dilakukan pada tikus galur Wistar tidak menunjukan adanya kematian tikus sampai pada dosis 2000 mg/kgBB (Vasanthkumar dan Jeevitha, 2014). 5. Daun kumis kucing Klasifikasi kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Lamiales
Suku
: Lamiaceae
Marga
: Orthosiphon
Jenis
: Orthosiphon stamineus Benth.
(BPOM RI, 2010)
Tanaman kumis kucing tumbuh tegak dengan tinggi antara 50-150 cm. Batang berkayu, segiempat agak beralur, beruas, bercabang, berambut pendek atau gundul dan berakar kuat. Daun tunggal, bulat telur, elips atau memanjang, berbulu halus, tepi bergerigi, kedua permukaannya berbintik-bintik karena ada kelenjar minyak atsiri. Bunga berupa tandan yang keluar dari cabang, warna ungu pucat atau putih, benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Buah warna cokelat gelap (BPOM RI, 2010).
14
Kandungan kimia dalam kumis kucing antara lain, kalium flavonoid seperti eupatorin, sinensetin, luteolin, sinarosida, isosinarosida, kuersetin, kuersimetrin, krisoeriol, isoramnetin, isoramnetin 3-glycoside, kuersetin-3-O-α-L-ramnosida dan kaemferol-3, 7-α-L-diramnosida, salvigenin, ladancin, tetra metil skutelarein. Selain itu juga mengandung asam kuinat, asam rosmarinat, asam kafeat, asam oleanolat, asam ursolat, asam betulinat dan β-sitosterol (BPOM RI, 2010). Daun kumis kucing sudah digunakan secara tradisional. Rebusan daun kumis kucing digunakan pada penderita kencing batu dan penyakit kuning, juga digunakan pada penderita kencing manis, tekanan darah tinggi, encok, amandel, dan gangguan haid (BPOM RI, 2010). Ekskresi natrium dan kalium meningkat pada 8 jam pertama setelah pemberian dosis tunggal 2 g/kgBB ekstrak metanol daun kumis kucing yang diberikan kepada tikus galur Sprague Dawley dengan efektifitas yang sebanding dengan hidroklortiazid (Arafat dkk, 2008). Kandungan flavonoid sinensetin dan 3’-hidroksi-5,6,7,4’tetrametoksiflavon pada kumis kucing memiliki aktivitas diuretik pada tikus dengan pemberian intravena 10 mg/kgBB ekstrak kumis kucing (Almatar dkk, 2014). Uji toksisitas akut pemberian dosis 5000 mg/kgBB secara oral ekstrak terstandar daun kumis kucing pada tikus galur Spraque Dawley pada hari ke 0 dan kemudian diamati pada hari ke 14 tidak menunjukan adanya kematian dan perubahan perilaku tikus. Parameter lain yang diukur seperti berat badan tikus, asupan makanan, asupan minuman, berat relatif organ (gram/100 gram BB), hematologi, serta kimia darah tidak menunjukan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok uji (Abdullah dkk ,2009). Uji toksisitas
15
subkronis ekstrak etanol 50 % terstandar daun kumis kucing pada tikus Spraque Dawley dengan dosis 1250, 2500, 5000 mg/kgBB yang dipejankan selama 28 hari tidak menunjukan perbedaan berat badan, berat organ, hematologi dan biokimia antara kelompok uji dan kontrol. Gambaran histopatologi tidak menunjukan adanya abnormalitas (Mohamed dkk, 2011). 6. Buah Mengkudu Klasifikasi mengkudu (Morinda citrifolia L.) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Rubiales
Suku
: Rubiaceae
Marga
: Morinda
Jenis
: Morinda citrifolia L.
(BPOM RI, 2010)
Tanaman buah mengkudu berbentuk terna, perdu atau pohon kecil dengan tinggi 10 m. Bunga majemuk bongkol, warna putih, di ketiak daun, panjang tangkai bunga 1-4 cm. Kelopak bunga mereduksi menjadi rambut-rambut putih di dalam tabung mahkota bunga. Daun mahkota bunga berlekatan, membentuk tabung mahkota yang berbentuk corong, panjang mencapai 1,5 cm, warna putih di bagian dalam dan hijau di bagian luar. Benang sari ada di dalam tabung mahkota bunga. Kepala putik berlobus 2. Buah buni, bentuk lonjong, tidak beraturan, berbingkul-bingkul, ukuran 3-10 cm x 2-3 cm, warna putih kekuningan atau putih kehijauan. Biji berwarna cokelat tua, tertutup dalam endokarp yang keras. Batang
16
tidak terlalu besar, dengan ujung bentuk kerucut, kulit batang keunguan atau cokelat kekuningan, tipis, licin, cabang berbentuk segi empat. Daun berhadapan, bentuk bulat telur, ukuran 20-40 cm x 7-15 cm, tepi daun rata, ujung runcing, pangkal daun segitiga terbalik, tulang daun menyirip, licin, panjang tangkai daun 0,5-2,5 cm, ukuran dan bentuk daun penumpu bervariasi, tipe daun penumpu interpetiolaris, bentuk segitiga terbalik (BPOM RI, 2010). Kandungan kimia dalam buah mengkudu antara lain gom arab heteropolisakarida berupa campuran asam glukoronat, galaktosa, dan rhamnosa. Selain itu mengandung 6-O-(β-D-glikopiranosil)1-O-oktonol-β-D-glukopiranose, asam asperulosidat, 4-hidroksi-3-metoksi antrakinon, -hidroksi propiovanilon, 1monopalmitin, skopoletin, -sitosterol, dan vanilin (BPOM, 2010). Buah mengkudu secara tradisional digunakan sebagai peluruh air seni, pencahar, pelembut kulit, peluruh haid, gangguan napas, asma, pereda radang, dan keputihan (BPOM, 2010). Jus buah mengkudu memiliki aktivitas penghambatan Angiotensin
Converting
Enzyme.
Tingkat
kematangan
buah
mengkudu
mempengaruhi aktivitasnya. Efek penghambatan oleh jus buah yang masak lebih kuat daripada buah yang masih hijau (Yang dkk., 2007). Skopoletin memiliki aktivitas vasorelaksasi pada cincin aorta tikus kondisi normal dan yang diinduksi fenilefrin (Kwon dkk, 2002). Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah mengkudu pada tikus Wistar dengan dosis 2000 mg/kgBB tidak menunjukan adanya kematian tikus dan perubahan perilaku. Parameter lain yang diukur seperti berat badan, berat organ, asupan makan, asupan minum, hematologi dan biokimia tidak ada perbedaan antara
17
kelompok uji dan kontrol (Ramesh dkk, 2015). Jus buah mengkudu dengan dosis 1720, 4300, dan 6860 mg/kgBB yang diberikan pada tikus Spraque Dawley selama 90 hari menunjukan tidak ada perbedaan berat badan, berat organ, histopatologi, hematologi, dan parameter biokimia antara kelompok uji dan kelompok kontrol. Beberapa parameter hematologi dan biokimia menunjukan adanya perbedaan antara kelompok uji dengan kontrol tetapi masih dalam nilai normal (West dkk, 2009). 7. Produk SKM Produk SKM (kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu) diproduksi oleh produsen yang bekerja sama dengan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Produk SKM dapat membantu meringankan gejala darah tinggi yang ringan. Kapsul SKM berisi 225 mg zat aktif yang terdiri dari 75 mg ekstrak herba seledri, 75 mg ekstrak daun kumis kucing, dan 75 mg ekstrak buah mengkudu. Dosis terapi dari sediaan kapsul SKM adalah 450 mg sehingga aturan pakai pada manusia 3 kali sehari 2 kapsul. Penelitian uji aktivitas antihipertensi melalui metode Non Invasive Blood Pressure, produk SKM dosis 20,25 dan 40,5 mg/kgBB memiliki efek berupa penurunan tekanan darah sistol dan diastol pada tikus betina Sprague Dawley normal. Pemberian dosis 20,25 mg/kgBB mampu menurunkan tekanan darah sistol 7,1±1,8 % dan diastol sebesar 13,8±3,2 % sedangkan dosis 40,5 mg/kgBB memberikan penurunan tekanan darah sistol sebesar 10,2±2,6 % dan diastol 12,3±3,1 % (Winarti, 2015).
18
Uji aktivitas antihipertensi produk SKM dilakukan pada tikus betina Sprague Dawley yang diinduksi fenilefrin. Hasil penelitian menunjukan pemberian dosis 20,25 mg/kgBB mampu menurunkan tekanan darah sistol sebesar 16,10 % dan tekanan darah diastol sebesar 19,48 %, sedangkan dosis 40,5 mg/kgBB mampu menurunkan tekanan darah sistol sebesar 15,84 % dan tekanan darah diastol sebesar 17,77 %. Kedua dosis tersebut memiliki efektivitas sebanding dengan kaptopril. Dosis 20,25 mg/kgBB merupakan hasil konversi setengah dosis sekali minum pada manusia (225 mg). Dosis 40,5 mg/kgBB merupakan hasil konversi dosis sekali minum pada manusia (450 mg) (Septia, 2015). 8. Histopatologi Organ Histopatologi adalah cabang dari patologi, yaitu ilmu yang dipusatkan untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan jaringan. Pemeriksaan histopatologi penting untuk mengetahui kerusakan struktural yang tidak
terlihat,
karena
tidak
adanya
gangguan
fungsional.
Pemeriksaan
histopatologi dapat dilakukan dari potongan jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood, 1994). Pemeriksaan histopatologi organ tikus dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang organ sasaran yang mengalami kerusakan, terutama bila kematian terjadi tidak segera setelah pemberiaan zat kimia atau sediaan uji (Lu, 1995). Organ yang digunakan untuk pengamatan histopatologi antara lain : jantung, paru, lambung, hati, ginjal, dan limpa.
19
a. Jantung Jantung adalah salah satu organ vital dalam tubuh. Jantung berkontraksi secara berirama, memompa darah melewati sistem sirkulasi (Junqueira & Carneiro, 2007). Berat jantung tikus kira-kira 1,0 gram/ 250 gram tikus. Sistem kardiovaskuler manusia dan tikus mirip (Sharp dan Villano, 2012). Lapisan dalam dinding jantung disebut endokardium yang berlanjut dengan tunika intima pembuluh darah besar yang keluar serta masuk ke jantung. Lapisan otot yang bersifat kontraktil disebut miokardium. Lapisan miokardium merupakan lapisan paling tebal, kemudian diikuti oleh lapisan paling luar yang disebut epikardium. Epikardium berpadu dengan lapisan viseralis dari perikardium. Endokardium melapisi ventrikel, atrium, serta katup-katup jantung secara lengkap. Miokardium terdiri dari berkas serta kelompok berkas sel-sel otot jantung yang terbenam dalam jaringan ikat longgar yang banyak mengandung jalinan kapiler. Miokardium dibalut epikardium di bagian perifer. Epikardium terdiri dari sel-sel mesotel lapis viseral dan dibawahnya terdapat jaringan subepikardium yang terdiri dari berkas serabut kolagen dan elastik yang saling menyilang membentuk jaringan pembungkus pembuluh darah dan saraf. Perikardium terdiri dari lapisan mesotel di bagian dalam yang melekat pada jaringan ikat longgar, di bawahnya terdapat lapisan berkas serabut kolagen dan elastik yang tebal (Dellmann dan Brown, 1989). Paparan senyawa toksik dapat menyebabkan perubahan biochemical pathways, metabolisme energi, fungsi dan struktur seluler, elektrofisiologi dan kontraktilitas jantung. Perubahan morfologi dan fungsional jantung akibat induksi
20
dari senyawa toksik dapat berupa kardiomiopati. Kardiomiopati merupakan kematian sel miokardial dan remodeling matriks ekstraseluler (Kang, 2008). Miokardium dapat mengalami kerusakan karena anoksia, iskemia, infeksi, agen fisika dan kimia. Perubahan sitoplasma miokardium seperti vakuolasi tetapi bersifat ireversibel dapat menyebabkan nekrosis sel miosit. Inflamasi pada jantung ditandai dengan adanya infiltrasi limfosit dan miositolisis pada hasil biopsi endomiokardial. Inflamasi dapat disebabkan karena agen infeksi khususnya virus dan akibat dari pemberian obat serta senyawa toksik. Obat yang menginduksi fosfolipidosis menyebabkan perubahan pada miosit (sel otot jantung). Miosit menjadi membengkak dan terdapat banyak vakuola dalam miosit. Pigmentasi pada miokardium terjadi karena pertambahan umur, dapat juga karena defisiensi vitamin E atau kolin. Perubahan lain yang terjadi pada jantung berupa mineralisasi miokardium yang terjadi karena adanya deposisi mineral pada jaringan karena ketidakseimbangan serum kalsium dan fosfat (Greaves, 2007). b. Paru Paru-paru memiliki fungsi menyediakan O2 bagi jaringan dan membuang CO2 (Junqueira & Carneiro, 2007). Berat paru-paru tikus kira-kira 1,5 gram/250 gram tikus. Paru-paru tikus bagian kiri terdiri dari satu lobus, sedangkan paru kanan terdiri dari 4 lobus yaitu cranial, middle, accessory, dan caudal (Sharp dan Villano, 2012). Secara umum paru-paru dibagi menjadi sistem penyalur udara intrapulmonar, parenkim atau sistem respirasi, dan pleura. Sistem penyalur udara intrapulmonar terdiri dari bronkus dan bronkiolus, parenkim atau sistem respirasi
21
(pertukaran gas) terdiri dari duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli. Paruparu dibalut oleh jaringan ikat dan sel-sel mesotel membentuk pleura viseralis. Bronkus dibalut epitel silinder banyak baris, terutama sel-sel yang mampu bersekresi, bersilia, dan sel basal. Bronkiolus merupakan bagian distal dari saluran udara intrapulmonar. Bronkiolus terdiri dari epitel, otot polos, dan sedikit jaringan ikat. Unit berbentuk buluh atau tubular disebut sebagai duktus alveolaris. Duktus alveolaris berakhir dalam kelompok alveolus yang disebut sakus alveolaris. Alveolus berbentuk rongga bulat yang bermuara dalam sakus alveolaris, duktus alveolaris, atau pada lumen dari bronkiolus respiratori. Jaringan tipis yang memisahkan dua alveolus disebut septa interalveolaris. Ruang antara epitel alveolus dan sel endotel dalam septa interalveolaris disebut interstitium (Dellmann dan Brown, 1992). Kerusakan paru karena xenobiotik dapat terjadi melalui sistem sirkulasi darah dan inhalasi (Hodgson, 2004). Pada umumnya zat toksik berupa senyawa lipofil dan volatil akan segera diabsorpsi melintasi paru (Donatus, 2005; Timbrell, 2002). Senyawa toksik yang masuk ke dalam tubuh secara inhalasi atau sistemik dapat menyebabkan oedema paru akut. Feniltiourea dan α-naftiltiourea menyebabkan oedema pada hewan uji. Oedema juga dapat terjadi karena adanya inflamasi pada paru. Inflamasi paru dapat terjadi karena infeksi virus dan bakteri seperti Steptococcus pneumoniae yang menyebabkan bronkitis akut. Obat dapat menginduksi inflamasi seperti Interleukin 2 (IL-2) yang menyebabkan inflamasi pulmonari pada hewan uji dan manusia (Greaves, 2007).
22
c. Lambung Lambung merupakan organ campuran eksokrin dan endokrin yang mencerna makanan dan mensekresi hormon. Lambung terdiri dari tiga bagian yaitu kardiak yang terletak dibagian atas dekat dengan esofagus, fundus merupakan bagian tengah yang membulat dan pilorus merupakan bagian dekat dengan usus. Dinding lambung terdiri dari empat lapisan dari dalam ke luar yaitu mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitelialis, lamina propria yang mengandung serabut kolagen, elastik, dan retikular, serta lamina muskularis mukosa. Submukosa mengandung serabut kolagen, sel lemak dan pleksus saraf submukosa. Lapisan muskularis memiliki tiga lapisan yaitu lapisan dalam yang mengulir, lapisan tengah yang melingkar, dan lapisan luar longitudinal. Lapisan serosa terdiri dari mesotel yang membalut lapisan jaringan ikat longgar yang disebut subserosa (Dellmann dan Brown, 1992). Lambung dapat diserang oleh beberapa faktor endogen dan eksogen yang berbahaya. Sebagai contoh faktor endogen adalah asam hidroklorida (HCl), pepsinogen/pepsin, dan garam empedu. Beberapa substansi eksogen dapat menyebabkan kerusakan epitelial lambung. Lapisan submukosa lambung menyediakan bikarbonat, mikronutrien, dan oksigen sebagai proteksi terhadap senyawa toksik di lapisan mukosa (Junqueira dan Carneiro, 2007). Dibandingkan dengan mulut dan esofagus, lambung merupakan organ pencernaan yang paling erat kaitannya dengan zat racun. Hal ini dikarenakan zat beracun yang masuk ke dalam sistem pencernaan akan terkonsentrasi dalam waktu yang relatif lebih lama dan dapat secara langsung berinteraksi dengan mukosa lambung (Greaves, 2007).
23
Efek toksik yang dapat terjadi pada lambung berupa inflamasi, erosi, ulserasi pada kelenjar mukosa gastrik. Beberapa obat seperti antiinflamatori non steroid memiliki efek samping dapat menyebabkan ulserasi. Selain obat, ulserasi dapat disebabkan oleh Helicobacter pylori. Obat yang menginduksi luka dan inflamasi pada lambung dapat disebabkan karena penurunan jumlah mukus. Kondisi stress, konsumsi alkohol dan pemberian aspirin menyebabkan penurunan subtansi mukus pada epitelium lambung manusia. Perubahan lain yang dapat terjadi pada lambung yaitu mineralisasi yang menjadi tanda adanya gangguan pada metabolisme mineral, terutama berhubungan dengan patologi ginjal. Inflamasi pada lambung, ulserasi, mineralisasi, dan oklusi vaskular menyebabkan atropi kelenjar mukosa (Greaves, 2007). d. Ginjal Ginjal menjaga homeostasis tubuh dan mengatur keseimbangan volume cairan dan elekrolit ekstraseluler (Junqueira dan Carneiro, 2007). Manusia dan mamalia memiliki sepasang ginjal yang masing-masing terdiri dari korteks, medula, dan papilla (Schnellmann, 2008). Berat ginjal tikus kira-kira 2 gram/ 250 gram tikus. Ginjal tikus secara langsung berhubungan dengan ureter dan terdiri dari satu papila dan satu calyx (Sharp dan Villano, 2012). Nefron merupakan unit fungsional ginjal. Nefron terdiri dari beberapa segmen antara lain, kapsula glomerulus (merupakan ujung buntu yang meluas pada nefron), tubuli konvoluti proksimalis, segmen tipis dan segmen tebal pada loop Henle, tubuli konvoluti distalis, dan tubuli kolektivus. Tubuli konvoluti proksimalis dan distalis terdapat dalam korteks. Tubuli rekti (bagian yang lurus)
24
proksimalis, distalis, dan segmen tipis membentuk loop nefron atau loop Henle yang menjulur ke dalam medula. Nefron bersambung dengan tubuli kolektivus dalam korteks. Tubuli kolektivus berlanjut ke daerah dalam pada medula kemudian saling bergabung membentuk tubuli yang lebih besar serta lurus disebut duktus papilaris. Duktus papilaris selanjutnya bermuara pada apeks dari papil pada pelvis renalis (Junqueira dan Carneiro, 2007 ; Dellmann dan Brown, 1992). Ginjal menjadi salah satu organ yang menjadi target ketoksikan suatu senyawa karena ginjal memiliki fungsi metabolisme dan mengeliminasi produk yang sudah tidak dibutuhkan tubuh serta hasil metabolisme xenobiotik (Timbrell, 2002). Selain itu bagian korteks menerima aliran darah dengan persentase lebih tinggi daripada bagian medula dan papilla yaitu 90 %. Besar kemungkinan zat toksik dapat terbawa aliran darah dan terikat pada korteks (Schnellmann, 2008). Glomerulus juga merupakan bagian ginjal yang menjadi target kerusakan karena obat dan bahan kimia berupa degenerasi, inflamasi, dan gangguan karena sistem imun. Salah satu kerusakan pada glomerulus yaitu glomerulonephritis. Gagal ginjal akut yang berkaitan dengan adanya nekrosis tubular terjadi karena hipotensi, kehilangan darah, shock, dehidrasi, dan infeksi. Selain pada glomerulus, kerusakan dapat terjadi pada tubulus. Kerusakan pada tubulus ada beberapa macam antara lain, nekrosis, dilatasi, dan vakuolasi tubulus. Beberapa agen yang dapat menyebabkan nekrosis tubulus antara lain antibiotik aminoglikosida, radiological contrast media, obat imunosupresan, imunoglobulin intravena dan antiviral. Pemberian angiotension converting enzyme inhibitor (ACE-I) dosis tinggi pada tikus dan kucing menyebabkan dilatasi tubulus. Vakuolasi tubulus
25
dapat
berupa
hydropic
change
dan
fatty
change.
Hydropic
change
mengindikasikan adanya peningkatan air ditandai dengan sel membengkak, sitoplasma sel tampak pucat dan dapat terlihat granular. Fatty change terjadi karena adanya peningkatan komponen lemak seperti fosfolipid pada sitoplasma sel tubulus. Daerah interstitial tubulus ginjal dapat mengalami inflamasi, oedema dan fibrosis disebut nefritis interstitial (Greaves, 2007). Tubulus proksimal rentan terhadap kerusakan karena terdapat CYP450 yang memetabolisme beberapa xenobiotik (Hodgson, 2004). e. Hati Hati merupakan organ terbesar kedua dalam tubuh setelah kulit dan merupakan kelenjar terbesar (Junqueira dan Carneiro, 2007). Berat hati tikus kirakira 10 gram/250 gram tikus. Hati tikus terdiri dari empat lobus yaitu lobus tengah, samping kanan dan kiri serta bagian ekor (Sharp dan Villano, 2012). Darah masuk ke dalam hati melalui vena porta (darah dari usus) dan arteri hepatika (darah dari aorta) langsung bercabang-cabang menuju lobus disebut arteri atau vena interlobaris, seterusnya bercabang-cabang membentuk arteri dan vena interlobularis yang terdapat di daerah portal atau segitiga Kiernan. Saluran portal atau segitiga Kiernan merupakan unit fungsional yang terpusat pada saluran empedu di daerah portal. Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobulus hati, yang membawa darah dari arteri dan vena interlobularis, masuk sinusoid dan menuju vena sentralis (Dellmann dan Brown, 1992). Hati sering mengalami kerusakan akibat bahan kimia. Sebagian besar zat toksik yang tertelan melalui mulut dan diabsorbsi di saluran pencernaan kemudian
26
diangkut oleh aliran darah menuju hati melalui vena porta. Hati menerima 25 % darah dari jantung. Ketika zat toksik sampai di hati, zat toksik akan diambil masuk ke sel-sel hati atau hepatosit baik melalui transport aktif maupun pasif tergantung pada struktur kimia (Timbrell, 2002). Sel hati terdiri dari hepatosit, liposit (sel penyimpan lemak), sel kupffer (fagosit), sel endotel dan jaringan ikat (Greaves, 2007). Hepatosit merupakan penyusun struktur hati yang secara metabolisme sangat aktif. Hepatosit melakukan berbagai reaksi biokimia seperti sintesis protein, detoksifikasi ammonia, dan metabolisme lipid. Hepatosit juga aktif dalam memetabolisme senyawa eksogen atau xenobiotik. Meskipun di hati terjadi detoksifikasi racun tetapi juga banyak dihasilkan metabolit reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan hati. Empedu yang diproduksi oleh hati berfungsi mengumpulkan dan mengangkut produk limbah termasuk xenobiotik atau metabolitnya (Timbrell, 2002). Bagian hati yang sering mengalami kerusakan yaitu sentrolobular karena pada bagian ini banyak terdapat enzim CYP450 yang akan memetabolisme sebagian besar xenobiotik (Hodgson, 2004). Respon umum adanya cedera hati antara lain peradangan, degenerasi, kematian sel, fibrosis, dan sirosis. Cedera hepatosit yang menyebabkan influks sel radang akut atau kronis ke hati disebut hepatitis. Peradangan mungkin terjadi di saluran porta atau mungkin dapat meluas ke dalam parenkim. Jika sel hepatosit mengalami kerusakan, makrofag penyapu akan dengan cepat menelan sel yang mati, membentuk gumpalan sel radang di parenkim yang normal. Degenerasi dimana terdapat hepatosit membengkak tampak edematosa disebut degenerasi
27
balon. Degenerasi yang lain berupa akumulasi butiran lemak di dalam hepatosit yang dikenal sebagai steatosis. Paparan senyawa toksik dan kondisi trauma dapat menyebabkan kematian sel berupa nekrosis. Fibrosis ditandai dengan adanya jaringan fibrosa berupa pengendapan kolagen yang terbentuk sebagai respon terhadap peradangan atau gangguan toksik langsung ke hati. Fibrosis umumnya dianggap sebagai konsekuensi ireversibel kerusakan hati. Fibrosis dan cedera parenkim hati yang berlanjut, hati terbagi-bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut yang disebut sirosis (Crawford, 2007). f. Limpa Limpa merupakan organ limfoid terbesar di dalam tubuh. Banyaknya sel fagositik limpa menjadi pertahanan penting terhadap mikroorganisme yang berhasil masuk ke dalam peredaran darah. Limpa adalah tempat produksi limfosit aktif yang kemudian akan masuk ke dalam darah. Selain itu limpa juga berfungsi dalam destruksi eritrosit (Junqueira & Carneiro, 2007). Limpa dibungkus oleh jaringan ikat tebal sebagai kapsula dan di bagian luar dibalut oleh peritoneum. Kapsula memiliki dua lapis jaringan ikat dan otot polos. Trabekula limpa terdiri dari serabut kolagen, serabut elastik, dan otot polos. Trabekula mengandung arteria, vena, pembuluh limfe dan saraf. Kapsula, trabekula dan serabut retikuler menunjang parenkim limpa yang terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih. Sebagian besar pulpa limpa berwarna merah dan mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di seluruh limpa sebagai nodulus limpa
28
dan seperti selubung limpatik periarterial (periaretrial lymphatic sheaths/ PALS) (Dellmann dan Brown, 1992). Efek toksik dari senyawa kimia yang mempengaruhi sistem limfoid dan hemopoietik
dapat
menyebabkan
perubahan
morfologi
pada
beberapa
kompartemen dari limpa (Greaves, 2007). Perubahan yang terjadi pada limpa dapat berupa extramedullary haematopoiesis, pigmentasi, fatty change dan akumulasi sel berbusa, serta atropi. Extramedullary haematopoiesis merupakan peningkatan haematopoiesis di limpa. Pigmentasi besi (hemosiderin) terlihat pada pulpa merah. Peningkatan deposisi besi pada pulpa merah limpa rodent diindikasikan bahwa obat atau bahan kimia memiliki efek merugikan pada sel darah merah dan terjadi peningkatan sel darah merah serta penurunan level hemoglobin. Pemejanan anilin tipe liposomal pada tikus menyebabkan perubahan limpa berupa sel tampak berbusa (foam cell). Atropi limpa ditandai dengan penurunan limfosit. Penurunan jumlah limfosit di bawah normal terjadi pada rodent karena peningkatan umur dan akibat pemberian xenobiotik seperti kortikosteroid, imunosupresan, dan antikanker (Greaves, 2007).
F. Landasan Teori Kombinasi ekstrak herba seledri, ekstrak daun kumis kucing dan buah mengkudu dalam produk SKM dapat menurunkan tekanan darah sistol dan diastol tikus betina Sprague Dawley normal dan tikus yang diinduksi fenilefrin. (Winarti, 2015; Septia, 2015). Ekstrak daun kumis kucing memiliki aktivitas sebagai diuretik. Pemberian ekstrak metanol : air (1 : 1) daun kumis dengan dosis tunggal
29
2 gram/kgBB meningkatkan ekskresi natrium dan kalium secara signifikan pada 8 jam pertama. Dosis 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB ekstrak metanol : air (1 : 1) daun kumis kucing yang diberikan secara berulang menyebabkan peningkatan volume urin dan ekskresi natrium dan kalium. Hipokalemia dapat menyebabkan arritmia jantung dan glucose intolerance. Hiponatremia dapat menyebabkan ganguan pada sistem syaraf pusat (Greenberg, 2000). Uji toksisitas subkronis 28 hari ekstrak etanol 50 % daun kumis kucing 1250; 2500; 5000 mg/kgBB tidak menimbulkan perubahan berat relatif organ jantung, hati, ginjal, paru, lambung, dan limpa tikus jantan dan betina Sprague Dawley. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan tidak ada cedera pada organ dan perubahan patologi kelompok perlakuan (Mohamed dkk, 2011). Uji toksisitas subkronis selama 90 hari ekstrak buah mengkudu 1720, 3430, 6860 mg/kgBB pada tikus tidak menunjukan ketoksikan pada tikus jantan dan betina Sprague Dawley. Berat organ hati, limpa, ginjal, jantung pada kelompok perlakuan tidak berbeda dengan kelompok kontrol. Hasil pemeriksaan histopatologi tidak ada perubahan pada organ (West dkk, 2009).
G. Hipotesis Pemberian produk SKM pada tikus jantan Wistar dengan dosis 121,5; 364,5; dan 1093,5 mg/kgBB sekali sehari selama 90 hari tidak menimbulkan efek toksik.