BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Gaya hidup sehari-hari masyarakat akhir-akhir ini seringkali menimbulkan bermacam-macam penyakit, salah satunya hipertensi. Hipertensi atau kenaikan tekanan darah kronik merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya penyakit degeneratif, seperti gagal jantung kongestif, gagal ginjal, retinopati, dan stroke. Prevalensi penyakit hipertensi di Indonesia berada di peringkat 6 dalam data Penyakit Tidak Menular (PTM) dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 (Departemen Kesehatan RI, 2013). Ramuan obat tradisional sangat cocok untuk pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit kronis (menahun) seperti penyakit hipertensi, karena hasil pengobatannya tampak lambat tapi bersifat konstruktif (memperbaiki), berbeda dengan obat kimiawi yang hasil pengobatannya terlihat cepat tetapi bersifat destruktif (merusak atau memusnahkan). Untuk penderita hipertensi, pengobatan dengan tanaman obat tentunya harus dilakukan secara rutin sembari selalu mengontrol tekanan darahnya (Kurtzweil, 2007). Obat herbal atau obat tradisional untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit juga direkomendasikan oleh WHO karena secara umum dinilai lebih aman dari penggunaan obat modern atau kimiawi. Obat herbal memiliki efek samping lebih sedikit dibanding obat modern. Tidak heran jika obat herbal sampai saat ini masih disukai karena terbukti mampu memberikan
1
2
hasil yang memuaskan untuk pasien. Untuk itu, WHO mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (Anderson, 2004). Buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing telah terbukti dapat mengobati penyakit hipertensi. Ketiga tanaman tersebut mengandung flavonoid sebagai senyawa yang berkhasiat menurunkan tekanan darah. Buah mengkudu mengandung skopoletin yang dapat melebarkan pembuluh darah akibat relaksasi dari otot polos dan akhirnya tekanan darah pada penderita hipertensi akan menjadi normal (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Daun seledri mengandung flavonoid yaitu apiin dan apigenin yang dapat menurunkan tekanan darah dengan mekanisme vasorelaksasi (Zhang dkk., 2002). Daun kumis kucing pada prinsipnya digunakan sebagai diuretik (Wiart, 2006). Diuretik merupakan salah satu mekanisme yang dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi (Fulcher, 2012). Ketiga simplisia tersebut diekstraksi menjadi ekstrak kental untuk dibuat sediaan tablet. Formula yang baik tidak mempengaruhi kadar senyawa bahan alam dalam sediaan, sehingga perlu dilihat apakah formula yang dibuat akan mempengaruhi kadar sinensetin, skopoletin, dan apigenin dalam sediaan tablet yang dihasilkan. Analisis kandungan senyawa bahan alam dapat menggunakan KLTdensitometri menggunakan pembanding yang sesuai. Metode KLT-densitometri memiliki selektivitas, sensitivitas, dan ketelitian yang cukup tinggi, pengerjaan yang cepat, dan biaya relatif murah (Martono, 1996), Umumnya, ekstrak kental mempunyai kelengketan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengikat tablet. Maka diperlukan bahan penghancur yang memudahkan tablet pecah menjadi partikel penyusunnya ketika kontak dengan
3
saluran pencernaan. Partikel-partikel obat tersebut sangat menentukan kelarutan obat dan tercapainya bioavailabilitas yang diharapkan (Gunsel dkk., 1976). Ketika dosis suatu obat tidak cukup untuk membuat bulk, maka diperlukan suatu bahan pengisi. Bahan pengisi juga dapat memacu aliran dan atau memperbaiki daya kohesi sehingga granul dapat dikempa langsung menjadi tablet (Banker dkk., 1986). Avicel® PH 102 merupakan salah satu bahan pengisi yang banyak digunakan dalam formula tablet karena dapat memperbaiki sifat alir, kompaktibilitas, dan kompresibilitas (Rowe dkk., 2006). Melihat pentingnya bahan penghancur dan bahan pengisi, maka dilakukan optimasi formula Explotab® sebagai bahan penghancur dan Avicel® PH 102 sebagai bahan pengisi dalam sediaan tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing dengan Simplex Lattice Design (SLD). Metode tersebut dapat digunakan untuk optimasi formula pada berbagai jumlah komposisi bahan yang berbeda. Metode ini mempunyai keuntungan praktis dan cepat karena tidak merupakan penentuan formula dengan coba-coba (trial and error) (Armstrong dan James, 1996; Bolton, 1997). Tablet tersebut dievaluasi sifat fisiknya meliputi kekerasan, kerapuhan, waktu hancur, dan daya serap air, serta diukur kadar relatif masing-masing senyawa aktif yang terkandung dalam ketiga ekstrak.
4
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh variasi Avicel® PH 102 sebagai bahan pengisi dan Explotab® sebagai bahan penghancur terhadap sifat fisik tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing? 2. Bagaimana komposisi Avicel® PH 102 dan Explotab® yang optimum dalam tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing berdasarkan SLD? 3. Apakah variasi bahan pengisi Avicel® PH 102 dan bahan penghancur Explotab® dalam formulasi tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing mempengaruhi senyawa aktif dalam sediaan tablet?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh variasi Avicel® PH 102 sebagai bahan pengisi dan Explotab® sebagai bahan penghancur terhadap sifat fisik tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing. 2. Mengetahui komposisi Avicel® PH 102 dan Explotab® yang optimum dalam tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing berdasarkan SLD. 3. Mengetahui adanya pengaruh variasi bahan pengisi Avicel® PH 102 dan bahan penghancur Explotab® dalam formulasi tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing terhadap senyawa aktif dalam sediaan tablet.
5
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai obat yang diformulasikan dari bahan alam sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang farmasi dan umumnya dalam bidang kesehatan dapat dikembangkan. Selain itu, masyarakat dapat mengetahui khasiat dari penggunaan bahan alam seperti buah mengkudu, daun seledri, dan daun kumis kucing sebagai obat antihipertensi dan diharapkan formulasi dalam bentuk sediaan tablet ini dapat diterima.
E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tanaman a. Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Perawakan mengkudu (M. citrifolia) berupa semak atau pohon dengan tinggi 3-8 m. Batang pokok jelas, bengkok, kulit batang kekuningan. Daun penumpu tipe berhadapan, bulat telur, bertepi rata, hijau kekuningan, gundul, panjang mencapai 1,5 cm, di bawah karangan bunga selalu tinggi dan menjadi satu, duduk daun bersilang berhadapan, bertangkai, helaian; bulat telur berbentuk elips, ujung runcing atau meruncing, sisi atas hijau tua mengkilat, gundul, 10-40 kali 517 cm. Bunga majemuk susunan kepala (bongkol), di ketiak daun, bertangkai, rapat, berbunga banyak (Sudarsono dkk., 2002). Ketika matang, buahnya berwarna kuning pucat, berbau dan mengandung banyak air. Buah khas mengkudu
6
mempunyai bau menusuk hidung. Bau itu berasal dari zat-zat asam yang mendatangkan khasiat bagi mengkudu (Laksmi, 2004). Buah mengkudu memiliki nama daerah yang beragam, antara lain eodu, mengkudu, bengkudu (Sumatera); kudu, cengkudu, kemudu, pace (Jawa); wangkudu, manakudu, bakulu (Nusa Tenggara); dan mangkudu, wangkudu, labanan (Kalimantan) (Wijayakusuma, 1995).
Gambar 1. Tanaman Mengkudu
Klasifikasi tanaman mengkudu dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Tanaman Mengkudu (Backer dkk., 1965)
Takson
Klasifikasi Mengkudu
Kerajaan
Plantae
Sub-kerajaan
Tracheobionta
Super-divisi
Spermatophyta
Divisi
Magnoliophyta
Kelas
Magnoliopsida
Sub-kelas
Asteridae
Bangsa
Rubiales
Suku
Rubiaceae
Marga
Morinda
Jenis
Morinda citrifolia L.
7
Buah mengkudu mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, dan antrakinon (Departemen Kesehatan RI, 1991). Senyawa fenolik yang penting yaitu antrakinon seperti damnakantal, morindone, morindin; aucubin; asperulosida; dan skopoletin (Wang dkk., 2001); asam organik antara lain asam kaproat dan kaprilat (Dittmar, 1993); dan alkaloid yaitu xeronin (Heinicke, 1985). O H3C HO
O
O
Gambar 2. Rumus Struktur Skopoletin (BPOM RI, 2004)
Skopoletin
yang
terkandung
dalam
mengkudu
berfungsi
untuk
memperlebar pembuluh darah sehingga menurunkan tekanan darah tinggi (Untung, 2010). Seorang dokter dari Hawaii menyatakan bahwa buah mengkudu memiliki efek diuretik (Asahina dkk., 1994). b. Seledri (Apium graveolens L.) Perawakan seledri (A. graveolens) yaitu semak dengan tinggi kurang lebih 50 cm. Batang tidak berkayu, bersegi, beralur, beruas, bercabang tegak, hijau pucat. Daun majemuk, menyirip ganjil, anak daun 3-7 helai, pangkal dan ujung runcing, tepi beringgit, panjang 2-7½ cm, lebar 2-5 cm, tulang daun menyirip, tangkai 1-2,7 cm, hijau keputihan, hijau. Bunga majemuk, bentuk payung, tangkai 2 cm, 8-12, tangkai kelopak 2½ cm, hijau, benang sari 5, berlepasan, berseling dengan mahkota, ujung runcing, mahkota berbagi 5, bagian pangkal berlekatan, putih. Buah kotak, bentuk kerucut, panjang 1-1½ mm, hijau kekuningan. Akar tunggang berwarna putih kotor (Departemen Kesehatan RI, 2001).
8
Tanaman seledri di daerah Jawa biasa disebut dengan saladri (Sunda), seledri (Jawa Tengah). Sedangkan dalam bahasa Sumatera disebut dengan seledri (Melayu) (Departemen Kesehatan RI, 2001).
Gambar 3. Tanaman Seledri
Klasifikasi tanaman seledri dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Tanaman Seledri (Backer dkk., 1965)
Takson
Klasifikasi Seledri
Kerajaan
Plantae
Sub-kerajaan
Tracheobionta
Super-divisi
Spermatophyta
Divisi
Magnoliophyta
Kelas
Magnoliopsida
Sub-kelas
Rosidae
Bangsa
Apiales
Suku
Apiaceae
Marga
Apium
Jenis
Apium graveolens L.
9
Tanaman seledri mengandung brassinosteroid seperti 2-deoksibrassinolid (Schmidt dkk., 1995); furanokumarin dan glikosidanya (Ahluwalia dkk., 1988) seperti apiumoside, rutaretin-1’-O-glukosida, asam kumarat (Garg dkk., 1979a), apiumetin, rutaretin (Garg dkk., 1978); senyawa fenolik seperti asam 3-metoksi4,5-metilendioksibenzoat (asam miristat), 8-hidroksi-5-metoksipsoralen dan umbelliferon (Gupta dkk., 1979); kumarin seperti seselin, isoimperatorin, ostenol, bergapten, isopimpinellin, apigravin (Garg dkk., 1979b); senyawa flavonoid berupa 4’,5,7-trihidroksiflavon (apigenin) dan apiin (Ko dkk., 1991); minyak atsiri berupa limonene, selenin, santalol, α-eudesmol, 3-α-butil ftalid, sedanenolid (Untung, 2010); glikosida seskuiterpen seperti selerosida A-E (Kitajima dkk., 2003) dan glikosida ftalida seperti celeftalida (Fazal dkk., 2012).
OH
HO
O
OH
O
Gambar 4. Rumus Struktur Apigenin (BPOM RI, 2004)
Seledri terbukti berhasil menurunkan tekanan darah tinggi karena aktivitasnya sebagai kalsium antagonis yang berpengaruh pada tekanan darah. Senyawa aktif dalam seledri bekerja pada reseptor pembuluh darah yang hasil akhirnya memberikan efek relaksasi, sehingga mengurangi ketegangan pembuluh darah pada pasien hipertensi (Untung, 2010).
10
c. Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus (Bl.) Miq.) Perawakan kumis kucing (O. aristatus) berupa semak dengan tinggi 50-150 cm. Batang berkayu, segi empat, beruas, bercabang, coklat kehijauan. Daun tunggal, bulat telur, belah ketupat memanjang atau bentuk lidah tombak panjang 710 cm, lebar 0,8-5 cm, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, tipis, hijau rapuh, permukaan licin, tepi daun dan di atas tulang daun terdapat rambut pendek, tulang daun menyirip halus, urat daun sedikit. Bunga majemuk, bentuk tandan, di ujung ranting dan cabang, kelopak berlekatan, ujung terbagi empat, kepala sari ungu, putik satu, putih, mahkota ungu pucat, bagian atas tertutup rambut pendek ungu putih. Buah kotak, bulat telur, masih muda hijau setelah tua hitam. Akar tunggang, putih kotor (Departemen Kesehatan RI, 2000c). Kumis kucing di beberapa daerah dikenal dengan nama antara lain kumis ucing (Sunda); remujung (Jawa); sesalaseyan, songot koceng (Madura) (Supriadi dkk., 2001). Sedangkan dalam bahasa asing dikenal dengan nama cat’s whiskers, javaten, india kidney tea (Untung, 2010).
Gambar 5. Tanaman Kumis Kucing
11
Klasifikasi tanaman kumis kucing dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Tanaman Kumis Kucing (Backer dkk., 1965)
Takson
Klasifikasi Kumis Kucing
Kerajaan
Plantae
Sub-kerajaan
Tracheobionta
Super-divisi
Spermatophyta
Divisi
Magnoliophyta
Kelas
Magnoliopsida
Sub-kelas
Asteridae
Bangsa
Lamiales
Suku
Lamiaceae
Marga
Orthosiphon
Jenis
Orthosiphon aristatus (Bl.) Miq.
Daun kumis kucing mengandung flavonoid dengan komponen utama sinensetin, eupatorin, tetra-O-metilskutellarein, dan eupatorin-5-metil eter (TMF) (Olah dkk., 2003); turunan asam kafeat dengan senyawa utama asam rosmarinat dan asam 2,3-dikafeoil tartrat (Wray dkk., 2006); dan garam kalium (Dzulkarnain dkk., 1999). OCH3 H3CO
O
OCH3
H3CO
OCH3
O
Gambar 6. Rumus Struktur Sinensetin (BPOM RI, 2004)
12
Daun kumis kucing berkhasiat sebagai peluruh air seni, obat batu ginjal, obat kencing manis, dan obat tekanan darah tinggi (Departemen Kesehatan RI, 2000c). Daun kumis kucing mengandung senyawa metilripariokromen A yang terbukti memiliki efek diuretik sehingga menurunkan tekanan darah sistolik dengan pemberian secara subkutan pada hewan uji stroke-prone spontaneously hypertensive rat (SHRSP) jantan yang sebelumnya sudah dipejankan KCl (Ohashi dkk., 2000). 2. Hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistole, tekanan darah sama atau lebih besar dari 140/90 mmHg (Joint National Committee VI, 1997). Hipertensi menjadi faktor risiko langsung terhadap infark miokard dan cerebrovascular accidents (CVA). Tekanan darah berfluktuasi dalam batas tertentu tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stress yang dialami (Tambayong, 2000). Faktor-faktor yang berperan dalam hipertensi esensial adalah sebagai berikut: faktor genetik, ciri individu antara lain: umur, jenis kelamin dan ras serta faktor lingkungan seperti: asupan tinggi natrium, obesitas, stress, logam berat, dan lain sebagainya (Kaplan, 1983). Untuk itu faktor-faktor penyebab penyakit hipertensi tersebut perlu diketahui dan dikendalikan dalam upaya penanggulangan penyakit ini. Mekanisme kerja obat-obat antihipertensi antara lain: a. Diuretik Diuretik merupakan senyawa yang dapat meningkatkan eksresi air dan natrium. Obat golongan ini masih menjadi lini pertama dalam pengobatan
13
hipertensi yang diindikasikan tanpa komplikasi. Furosemid, bumetanid, dan asam etakrinik menghambat resorbsi natrium pada thick ascending loop of Henle dengan mempengaruhi kotranspor Na+, K+, 2 Cl pada sisi apikal. Pada segmen ini terjadi resorbsi natrium sebesar 30% dari jumlah yang difiltrasi sehingga efek natriuresisnya cukup tinggi (Waeber dkk., 1997; Kaplan, 1998). Golongan hidroklorotiasid, metolazon dan indapamid bekerja dengan menghambat kotranspor Na+, Cl- pada bagian awal tubulus distal. Spironolakton triamterene, dan amilorid bekerja pada tubulus distal dan duktus kolektivitas dimana transport sodium pada sisi apical terjadi melalui kanal natrium. Sodium bertukar dengan kalium pada sisi basolateral dengan bantuan Na+-K+ ATP-ase yang aktivitasnya dipengaruhi oleh aldosterone sehingga hemat kalium karena pertukaran sodium dengan kalium dihambat (Kaplan, 1998). Pemberian diuretik jangka waktu lama akan menurunkan resistensi perifer walaupun volume darah dan curah jantung yang pada awalnya menurun kembali normal. Kehilangan sodium akibat penggunaan diuretik akan menyebabkan kompensasi dengan meningkatknya aktivitas sistem renin angiotensin sehingga tekanan darah dapat kembali meningkat (Waeber, 1997). b. Penyekat adrenoreseptor- β (β Blockers) β Blockers bekerja dengan menghambat efek katekolamin pada adrenoreseptor- β secara kompetitif sehingga mengurangi curah jantung, penyesuaian kembali respon baroreseptor, mengurangi pelepasan renin dan menurunkan resistensi perifer (Bullpitt, 1999; Waeber, 1997).
14
Propranolol dan oksprenolol adalah penyekat beta generasi pertama nonkardioselektif,
dapat
menimbulkan
efek
samping
iskemi
perifer
dan
bronkokonstriksi sehingga tidak dianjurkan pada pasien asma bronkial. Generasi kedua adalah atenolol, bisoprolol dan metoprolol lebih kardioselektif tetapi masih mempengaruhi metabolism lemak. Celiprolol adalah penyekat beta generasi ketiga yang mempunyai efek vasodilator perifer tanpa efek samping pada metabolisme lemak (Bullpitt, 1999; Kaplan, 1998). c. ACE- inhibitors Angiotensin converting enzyme (ACE) adalah enzim yang penting dalam sistem renin-angiotensin yang bekerja dengan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II pada permukaan sel endotelium. Penghambatan epaga enzim ini akan menyebabkan vasodilatasi kemudian menurunkan retensi vaskuler sehingga menurunkan tekanan darah serta menurunkan sekresi aldosteron lalu menurunkan volume darah yang pada akhirnya akan menurunkan beban akhir jantung (after load). Contoh obatnya adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, transdolapril, dan perindopril. Obat golongan ini cocok untuk pasien hipertensi yang juga mengalami diabetes karena tidak mempengaruhi kadar glukosa darah. Akan tetapi, obat ini memiliki beberapa efek samping seperti sakit kepala, nyeri lambung, kebingungan, impotensi, dan juga batuk kering (Nugroho, 2012). d. Antagonis Kalsium Obat antihipertensi golongan ini menurunkan tonus vaskuler dan resistensi perifer serta menurunkan tekanan darah dengan menghambat masuknya kalsium kedalam sel otot polos pembuluh darah melalui voltage-operated calium channels
15
sehingga kontraksi otot polos tidak terjadi (Bullpitt, 1999; Kaplan, 1998). Secara klinik, obat golongan ini digunakan dalam pengobatan hipertensi dengan angina pektoris (menurunkan beban akhir jantung sehingga menurunkan kebutuhan oksigen). Contoh obat golongan ini adalah diltiazem, nifedipin, verapamil, amlodipin, felodipin, nikardipin, dan nisoldipin (Nugroho, 2012). e. Penyekat adrenoreseptor α-1(α blockers) Penyekat alfa mencegah terjadinya vasokontriksi akibat stimulasi katekolamin. Dengan menghambat adrenoreseptor α-1 pada otot polos pembuluh darah (post-synap) maka efek vasokontriksi katekolamin dapat dicegah (Waeber, 1997; Kaplan, 1998). Katekolamin masih tetap dapat mengaktivasi reseptor α-2 yang terletak pada membrane neuron sehingga efek inhibisi pelepasan norepineprin tidak terganggu. Penyekat alfa tidak mempengaruhi metabolisme lemak dan glukosa, memperbaiki sensitivitas insulin, dan dikenal memperbaiki gejala hipertrofi prostat benigna (Kaplan, 1998). f. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA) Antagonis reseptor angiotensin II bekerja secara selektif dengan memblokade reseptor AII sehingga efek biologisnya dihambat. Stimulasi pada reseptor AII tipe I (ATIR) menyebabkan vasokonstriksi, reabsorbsi sodium dan air, serta merangsang proliferasi sel. Sebaliknya stimulasi ATIIR menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi proliferasi. Dengan memberikan AIIRA, maka vasokonstriksi dan reabsorbsi natrium oleh tubulus ginjal ditiadakan dan tekanan
16
darah tidak meninggi. Selain itu, AIIRA menyebabkan dihambatnya pelepasan norepineprin akibat stimulasi simpatetik vaskuler oleh AII (Bauer, 1995). Losartan adalah AIIRA pertama yang beredar disusul valsartan, candesartan dan irbesartan. Studi klinik menunjukkan bahwa golongan sartan efektif menurunkan tekanan darah pada hipertensi esensial ringan dan sedang dengan efek antihipertensi yang sebanding dengan antagonis kalsium, penyekat beta dan ACEinhibitors (Weber, 1992; Tsunoda, 1993; Burnier, 1998). Candesartan, valsartan, dan irbesartan juga dilaporkan memperbaiki sensitifitas insulin dan tidak mempengaruhi metabolisme glukosa dan lemak (Higashiura, 1999; Trenkwalder, 1997). 3. Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat dilakukan jika telah diketahui senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia (Departemen Kesehatan RI, 2000a). Setelah dilakukan ekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlukan sedemikian sehingga memenuhi bahan baku yang telah ditetapkan. Hasil dari ekstraksi ini dinamakan ekstrak. Ekstrak memiliki konsistensi kental (Departemen Kesehatan RI, 2000a).
17
Maserasi merupakan salah satu cara ekstraksi. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar) (Departemen Kesehatan RI, 2000a). Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan sepuluh bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana lalu dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup, dibiarkan selama lima hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, kemudian diserkai. Ampas diperas dan dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Maserat dipindah ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama dua hari. Maserat dienaptuangkan atau saring (Departemen Kesehatan RI, 2000b). Maserasi merupakan metode penyarian sederhana dengan prinsip dasar perendaman simplisia dengan pelarut yang sesuai hingga tercapai kesetimbangan konsentrasi dengan beberapa kali pengadukan (Departemen Kesehatan RI, 2000c). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. 4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Analisis kandungan senyawa bahan alam dapat menggunakan KLT. Metode KLT banyak dipakai dalam identifikasi dan pengukuran senyawa kimia dalam
18
ekstrak tanaman (Pecsok dkk., 2001). Metode ini lebih ekonomis, cepat, mudah dioperasikan, dan reprodusibel (Fried dkk., 1994). Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu metode pemisahan fisikokimia dimana fase diam terdiri dari butir-butir pada penyangga pelat gelas logam atau lapisan yang cocok (Stahl, 1985). Keuntungan sistem KLT adalah peralatan yang diperlukan sedikit, murah, sederhana, waktu analisis cepat, dan daya pisah cukup baik (Sudjadi, 1988). KLT dapat digunakan untuk hasil kuantitatif, kualitatif atau preparatif (Gritter, dkk., 1991). Campuran yang akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, lebih baik jika digunakan pelarut yang sama dengan fase gerak atau yang kepolarannya sama dan ditotolkan berupa bercak pada lapisan. Lapisan kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang telah dijenuhi dengan fase gerak dan dielusi. Pada KLT, pemisahan senyawa berdasarkan perbedaan adsorpsi atau partisi solut antara fase diam dengan fase gerak yang terjadi secara kompetitif. Senyawa yang terikat kuat pada fase diam akan terelusi paling lama dan mempunyai nilai Rf (Retardation factor) yang kecil, sedangkan senyawa yang tidak terikat kuat pada fase diam yang akan dielusi lebih dahulu dan mempunyai nilai Rf lebih besar. Bilangan Rf didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan fase pengembang (Stahl, 1985). Penetapan kadar suatu senyawa dengan mengukur kerapatan bercak dari senyawa bahan alam yang yang telah dipisahkan dapat dilakukan menggunakan KLT-densitometri. Pada umumnya, pengukuran kerapatan bercak dibandingkan terhadap kerapatan sediaan senyawa pembanding yang bersangkutan, yang juga
19
dielusi dalam satu lempeng yang sama, lalu dibaca kadarnya. Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit berupa bercak pada KLT. Interaksi radiasi elektromagnetik dengan nota KLT yang ditentukan adalah absorpsi, transmisi, pantulan (refleksi) pendar fluor atau pemadaman pendar fluor dari radiasi semula. Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar yang sangat kecil yang perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT. Densitometri merupakan metode penetapan kadar suatu senyawa pada lempeng kromatografi menggunakan instrumen TLC-scanner. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur serapan analit (cahaya yang diukur dapat berupa cahaya yang dipantulkan atau yang diteruskan), pemadaman fluoresensi untuk lapisan yang mengandung bahan berfluoresensi analit atau hasil reaksi analit (Gandjar dkk., 2007). 5. Tablet Tablet merupakan bentuk sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi (Departemen Kesehatan RI, 1995). Tablet yang berkualitas dapat dihasilkan apabila bahan baku yang akan dikempa mempunyai sifat mudah mengalir, mudah dikempa, mudah lepas dari cetakan, dan mudah melepaskan bahan obatnya (Sheth, dkk., 1980). Tablet-tablet dapat berbeda dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancur, dan dalam aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya (Ansel, 1989). Tablet banyak digunakan dalam masyarakat dikarenakan memiliki banyak keuntungan, antara lain: bentuk yang menarik, stabil dalam penyimpanan dan
20
mudah digunakan (Gunsel dkk., 1976). Namun, tablet juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: bahan aktif yang diformulasi dalam bentuk tablet, beberapa dengan dosis yang besar sehingga tidak dapat diterima masyarakat, terdapat kendala dalam memformulasikan zat aktif yang sulit terbasahi dan tidak larut serta disolusinya rendah, onsetnya lebih lama dibandingkan sediaan parenteral, larutan oral, dan kapsul, serta kesulitan menelan pada anak-anak, orang sakit parah tidak dapat menelan obat dan pasien lanjut usia (Banker dkk., 1986). Metode granulasi basah merupakan metode pembuatan tablet yang paling sering dan banyak digunakan dalam industri farmasi. Granulasi basah adalah proses perubahan serbuk halus menjadi granul dengan bantuan larutan bahan pengikat. Pemilihan larutan bahan pengikat yang cocok dan jumlahnya yang tepat akan mengubah serbuk-serbuk halus menjadi bentuk granul yang mudah mengalir. Granul yang demikian akan menghasilkan tablet yang mempunyai penampilan yang baik dan variasi bobot yang kecil (Parrott, 1971). Langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan tablet dengan metode granulasi basah adalah sebagai berikut: 1) Menimbang dan mencampur bahan-bahan, 2) Pembuatan granulasi basah, 3) Pengayakan adonan lembab menjadi granul, 4) Pengeringan, 5) Pengayakan kering, 6) Pencampuran bahan pelincir, 7) Pembuatan tablet dengan kompresi (Ansel, 1989).
21
Keuntungan metode granulasi basah adalah metode ini dapat meningkatkan kohesivitas dan kompresibilitas dari serbuk bahan obat yang akan dibuat menjadi sediaan tablet, bahan aktif obat dengan dosis besar yang memiliki sifat alir kurang baik dapat diperbaiki sifat alir dan kohesinya dengan menggunakan metode granulasi basah sehingga dapat dikempa menjadi tablet, dapat diperoleh distribusi dan keseragaman campuran yang baik dari bahan obat berdosis rendah, serta terhindar dari kemungkinan terjadinya segregasi dalam campuran serbuk homogen bahan obat selama proses produksi maupun setelah menjadi tablet dalam proses distribusi
dan
penyimpanan.
Kerugian
metode
granulasi
basah
adalah
membutuhkan biaya yang mahal dan tidak cocok digunakan untuk bahan obat yang sensitif terhadap kelembapan dan pemanasan (Sheth dkk., 1980). Kualitas tablet herbal dipengaruhi oleh jenis ekstrak, bahan tambahan, metode pembuatan, dan alat yang digunakan pada pembuatan tablet. Untuk memperoleh tablet herbal bermutu, perlu dilakukan proses standardisasi mulai dari proses ekstraksi, pengeringan ekstrak, pencampuran ekstrak dengan bahan tambahan, pembuatan tablet ekstrak herbal serta prosedur evaluasi tablet yang dihasilkan (Sugiyono, 2012). Pemilihan bahan tambahan atau eksipien dalam pembuatan tablet biasanya didasarkan pada kegunaan obat, metode pembuatan, harga bahan tambahan, serta kecocokan dengan bahan aktif dan bahan tambahan lain. Bahan tambahan yang digunakan dalam optimasi formula tablet pada penelitian ini yaitu bahan pengisi (filler-binder) dan bahan penghancur.
22
a. Bahan Pengisi Bahan pengisi diperlukan bila dosis obat tidak cukup untuk membuat bulk. Pengisi dapat juga ditambahkan untuk memperbaiki daya kohesi sehingga dapat dikempa langsung atau untuk memacu aliran (Banker dkk., 1986). Kriteria bahan pengisi antara lain harus non-toksis, tersedia dalam jumlah yang cukup di semua negara tempat produk itu dibuat, harga murah, tidak saling berkontradiksi, harus netral secara fisiologis, stabil secara fisik dan kimia, bebas dari segala jenis mikroba, tidak boleh mengganggu warna, dan tidak boleh mengganggu bioavailabilitas (Banker dkk., 1986). Bahan-bahan yang banyak digunakan sebagai pengisi antara lain laktosa spray-dried, starch 1500, emcompress, pati yang diperoleh dari kentang, gandum, jagung, Emdex, Celutab, dekstrosa, manitol, sorbitol, sukrosa atau gula dan derivatnya serta selulosa mikrokristal (Voigt, 1994). b. Bahan Penghancur Bahan penghancur ditambahkan untuk memudahkan pecahnya atau hancurnya tablet ketika kontak dengan cairan saluran pencernaan. Hancurnya tablet merupakan tahap awal bekerjanya suatu sediaan tablet. Bahan penghancur adalah bahan yang ditambahkan pada pembuatan tablet kempa dengan maksud supaya tablet hancur menjadi bagian-bagiannya jika kontak dengan cairan. Bahan penghancur pada dasarnya digunakan untuk melawan daya dari bahan pengikat dan melawan kekuatan fisis dari tablet yang terjadi pada waktu pengempaan (Peck, dkk., 1989). Mekanisme aksi pengancuran tablet oleh bahan penghancur adalah sebagai berikut (Kanig dan Rudnic, 1984):
23
1) Perembesan Air (Wicking) Begitu tablet kontak dengan cairan, air segera masuk ke dalam tablet melalui saluran pori yang terbentuk selama proses penabletan. Adanya sifat hidrofilisitas bahan penghancur, maka perembesan air lewat pori akan lebih cepat dan efektif menghancurkan tablet. 2) Mengembang (Swelling) Air merembes ke dalam tablet melalui celah antarpartikel atau lewat jembatan hidrofil yang dibentuk bahan penghancur. Dengan adanya air, bahan penghancur akan mengembang, dimulai dari bagian lokal lalu meluas ke seluruh bagian tablet. Akibat pengembangan bahan penghancur menyebabkan tablet hancur dan pecah. 3) Deformasi (Deformation) Pada saat pengempaan tablet, beberapa partikel ada yang mengalami deformasi plastik. Masuknya air ke dalam tablet akan memacu partikel kembali ke bentuk semula, akibatnya tablet akan pecah dan hancur. 4) Perenggangan (Repulsion) Air yang masuk ke pori-pori tablet dapat menetralisir muatan listrik yang terbentuk pada saat pengempaan. Muatan partikel berubah sehingga akan saling tolak-menolak. Gaya penolakan inilah yang menyebabkan tablet menjadi hancur. Pembuatan tablet dengan metode granulasi basah dikenal tiga cara penambahan bahan penghancur sebagai berikut (Bandelin, 1989):
24
Intragranuler Bahan penghancur ditambahkan pada proses granulasi agar tablet hancur
menjadi granul dan partikel-partikel penyusunnya.
Ekstragranuler Bahan penghancur ditambahkan bersama bahan pelicin pada granul kering
yang sudah diayak sebelum penabletan agar tablet hancur menjadi granul dan partikel-partikel penyusunnya.
Kombinasi intragranuler dan ekstragranuler Bahan penghancur ditambahkan sebagian pada proses granulasi dan
sebagian lagi ditambahkan pada granul kering sebelum penabletan agar tablet hancur menjadi granul dan partikel-partikel penyusunnya. Bahan-bahan yang banyak digunakan sebagai penghancur adalah jenisjenis pati, selulosa mikrokristalin, kanji USP dan modifikasinya (primojel dan eksplotab), tanah liat (veegum dan bentonit), kaolin dan polivinilpirolidon (Voigt, 1994). c. Bahan Pelicin 1) Lubrikan Lubrikan mengurangi gesekan selama proses pengempaan tablet dan juga berguna untuk mencegah massa tablet melekat pada cetakan. Contoh: asam stearat, garam kalsium dan magnesium serta derivatnya, talk, PEG. Senyawa asam stearat dan logam, asam stearat, minyak nabati terhidrogenasi, dan talk digunakan sebagai lubrikan (Departemen Kesehatan RI, 1995).
25
2) Glidan Glidan adalah bahan yang dapat meningkatkan kemampuan mengalir serbuk, umumnya digunakan dalam kempa langsung tanpa proses granulasi. Contoh: talk 5%, tepung jagung 5-10% dan koloid-koloid silika, seperti cab-o-sil, siloid atau aerosil 0,25-3%. Glidan yang paling efektif adalah silika pirogenik koloidal (Departemen Kesehatan RI, 1995). 3) Antiadheren Bahan pemisah hasil cetakan ini berfungsi untuk menghindari lengketnya massa tablet pada dinding ruang cetak, misalnya: talk, magnesium stearat, kanji dan derivatnya, koloid silika (Lieberman dkk., 1990), asam stearat, parafin, setil alkohol (Voigt, 1994). 6. Monografi bahan a. Explotab® Nama resmi
: Sodium Starch Glycolate
Sinonim
: eksplosol, carboxylmethyl starch, Glycolys®, Vivastar®, Primojel®.
Rumus struktur
: O
OH
O
CH2
CH2 O
O
Na
CH2 O
OH
O
OH
H3C
OH
O OH
OH
O OH
O OH
Gambar 7. Rumus Struktur Explotab® (Rowe dkk., 2006)
CH3
n
26
Berat molekul
: 5 x 105 – 1 x 106 g/mol
Inkompatibilitas
: asam askorbat
Pemerian
: tidak berasa, free-flowing, tidak berbau, berwarna putih
Kelarutan
: larut dalam etanol 95 %, tidak larut dalam air
Penyimpanan
: sangat stabil, dapat tahan 3-5 tahun, disimpan dalam wadah tertutup terlindung dari kelembaban dan temperatur sedang (Rowe dkk., 2006)
Explotab® berupa serbuk berwarna putih, tidak berasa, dan tidak berbau. Explotab® dalam sediaan farmasi digunakan sebagai bahan penghancur tablet pada pembuatan tablet secara kempa langsung ataupun granulasi basah. Konsentrasi Explotab® yang digunakan berkisar antara 2-8%. Disintegrasi tablet terjadi melalui proses cepat penarikan air oleh gaya kapiler, diikuti dengan proses pengembangan. Explotab® dalam media air, mampu mengembang hingga 300 kali, membentuk suspensi yang kental. Efektifitas disintegrasi dari Explotab® tidak dipengaruhi oleh adanya eksipien lain dari tablet yang bersifat hidrofob, ataupun adanya tekanan pengempaan saat berlangsungnya proses pembuatan tablet. Explotab® memiliki densitas bulk 0,81 g/ml, densitas nyata 1,59 g/ml, ukuran partikel 38-43 µm, serta bersifat mudah mengalir (Rowe dkk., 2009). b. Avicel® PH 102 Nama resmi
: Cellulose, Microcrystalline
Sinonim
: E460, gel selulosa, kristalin selulosa, Celex®, Celphere®, Ceolus®, Pharmacel®, Tabulose®, Vivapur®, Emcocel®, Ethispheres®, Fibrocel®
27
Rumus struktur
: OH OH
OH
CH2
OH O
HO
OH
OH O
O
O OH OH
OH O
O
CH2
CH2
OH
OH
O
CH2
OH
OH
n
Gambar 8. Rumus Struktur Avicel® PH 102 (Rowe dkk., 2006)
Berat molekul
: 36000 g/mol
Rumus molekul
: (C6H10O5)n
Pemerian
: putih, tidak berbau, tidak berasa, bubuk kristal
Kelarutan
: tidak larut pada air, pelarut organik, larut pada 5% b/v NaOH
Penyimpanan
: wadah yang tertutup dengan baik, tempat yang kering
Inkompatibilitas
: oksidator kuat (Rowe dkk., 2006)
Avicel® PH 102 merupakan produk aglomerasi dari selulosa mikrokristalin dengan distribusi ukuran partikel yang besar dan menunjukkan sifat alir serta kompresibilitas yang baik (Shangraw, 1989). Avicel® PH 102 selama proses pengempaan diduga menimbulkan perubahan bentuk yang melepas tekanan dengan beberapa mekanisme yang akan menghasilkan tablet keras dengan forsa pengempaan rendah. Sifat kuat ikatan disebabkan oleh ikatan hidrogen antara gugus hidroksil yang secara plastis mengalami perubahan bentuk di sekitar partikel selulosa (Agoes, 2008).
28
Avicel® PH 102 merupakan serbuk berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. Avicel® PH 102 pada sediaan farmasi berfungsi sebagai adsorben, agen penyuspensi, bahan pengisi serta sebagai bahan penghancur. Avicel® PH 102 tidak diabsorbsi secara sistematik setelah pemberian secara peroral. Konsumsi dalam jumlah besar, menimbulkan efek laksatif. Avicel® PH 102 memiliki densitas nyata 1,420 g/ml (Rowe dkk., 2009). Avicel® PH 102 memiliki fungsi yang bermacam-macam dalam formulasi sediaan tablet. Fungsi atau maksud tujuan penggunaan Avicel® PH 102 dalam formulasi tablet ditunjukkan pada tabel 4. Tabel 4. Fungsi Avicel® PH 102 pada Berbagai Konsentrasi (Rowe dkk., 2006)
Fungsi
Presentase terhadap bobot tablet (%)
Adsorben
10-90
Antiadheren
5-20
Pengikat/pengisi kapsul
20-90
Penghancur
5-15
Pengisi-pengikat
20-90
Pada jumlah 20-90% terhadap bobot tablet, Avicel® PH 102 mampu berfungsi sebagai pengisi-pengikat. Selain akan memperbaiki kekerasan dan kerapuhan tablet, penggunaan Avicel® PH 102 sebagai pengisi-pengikat tidak akan mengurangi kemampuan disintegrasi tablet karena Avicel® PH 102 tidak akan menghalangi penetrasi cairan ke dalam matriks tablet (Rowe dkk., 2006). Konsentrasi pengisi-pengikat optimum yang digunakan secara spesifik sebesar 35%
29
dan memiliki respon kekerasan dan kerapuhan tablet yang semakin baik dengan meningkatnya konsentrasi (Mattsson, 2000). c. Magnesium Stearat Rumus molekul
: C36H70MgO4
Rumus struktur
: O–
H3C
Mg2+ O H3C
O–
O
Gambar 9. Rumus Struktur Magnesium Stearat (Rowe dkk., 2009)
Berat molekul : 591,24 g/mol Pemerian
: serbuk halus, putih dan bervolume besar, bau lemah khas, mudah melekat di kulit, bebas dari butiran, tidak larut dalam air, etanol dan eter (Departemen Kesehatan RI, 1979)
Magnesium stearat (Mg stearat) merupakan senyawa magnesium dengan campuran asam-asam organik padat yang diperoleh dari lemak. Bahan ini mengandung tidak kurang dari 6,8% dan tidak lebih dari 8,3 magnesium oksida.Bahan ini merupakan lubrikan yang paling efektif dan digunakan secara luas dari bahan berasal dari sumber hewani yang merupakan campuran bervariasi dari stearat dan palmitat dan menunjukkan morfologi terbaik sebagai lubrikan jika dibuat melalui proses presipitasi. Magnesium stearat yang berasal dari sumber tumbuhan mengandung lebih dari 90% stearat dan tidak seefektif lubrikan yang berasal dari hewan (Departemen Kesehatan RI, 1995).
30
Konsentrasi efektif magnesium stearat antara 0,25-1% sebagai pelincir (Niazi, 2009). Biasanya dicampur dengan serbuk atau campuran granul untuk waktu relatif singkat (tidak melebihi 5 menit) karena akan menimbulkan efek berlawanan pada pengempaan dan disolusi in vitro pada kebanyakan formulasi (Agoes, 2008). Magnesium stearat memiliki densitas bulk 0,159 g/cm3, densitas nyata 1,092 g/cm3 dan titik lebur antara 117-150 oC (Rowe dkk., 2009). 7. Simplex Lattice Design (SLD) Untuk mendapatkan formula tablet yang optimum dapat dilakukan dengan pendekatan Simplex Lattice Design (SLD). SLD merupakan metode untuk menentukan optimasi formula pada berbagai perbedaan jumlah komposisi bahan yang dinyatakan dalam beberapa bagian dan jumlah totalnya dibuat tetap, yaitu sama dengan satu bagian. Ada beberapa model, antara lain model linear seperti pada persamaan (1) dan model kuadratik seperti pada persamaan (2) (Bolton, 1997). Model linear: Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 ...................................................................(1) Model kuadratik: Y = β1X1 + β2X2 + β3X3 + β12X1X2 + β13X1X3 + β23X2X3 .............. (2) Keterangan: X1X2X3
= fraksi campuran komponen
β123
= koefisien regresi (dihitung berdasar respon percobaan)
Hubungan fungsional antara respon (variable tergantung) dengan komposisi (variable bebas) dinyatakan dengan persamaan (3):
31
Y = β1A + β2B + β1.2AB ......................................................................(3) Keterangan: Y A B β1 dan β2 β1.2
: respon yang diinginkan : fraksi dari komponen A (Explotab®) : fraksi dari komponen B (Avicel® PH 102) : koefisien regresi dari A,B : koefisien regresi dari interaksi A-B
Jumlah A dan B selalu satu. Koefisien β1 diperoleh dari percobaan yang menggunakan 100% Explotab®, koefisien β2 diperoleh dari percobaan yang menggunakan 100% Avicel® PH 102, sedangkan untuk menentukan koefisien β1.2 diperoleh dari percobaan yang menggunakan campuran 50% Explotab® dan 50% Avicel® PH 102. Dalam menentukan formula optimum, perlu diperhatikan sifat fisika kimia tablet yang dihasilkan. Penentuan formula optimum didapatkan dari respon total yang paling besar, respon total dihitung dengan rumus: R total = R1 + R2 + R3 + … + Rn ..................................................... (4) R1,2,3,n adalah respon masing-masing sifat fisika dan kimia tablet. Dari persamaan (4), diperoleh respon total dan formula yang optimum, maka dilakukan verifikasi pada tiap formula yang memiliki respon paling optimum pada setiap uji sifat fisika dan kimia tablet (Armstrong dan James, 1986). 8. Uji sifat fisik granul Pemeriksaan terhadap sifat granul yang akan dikempa dilakukan untuk menjamin bahwa granul telah memenuhi kualitas/persyaratan seperti yang ditetapkan. Pemeriksaan yang umumnya dilakukan meliputi:
32
a. Waktu Alir Waktu alir yaitu waktu yang diperlukan untuk mengalirkan sejumlah granul atau serbuk. Mudah tidaknya granul mengalir dipengaruhi oleh bentuk granul, sifat permukaan granul, densitas, dan kelembapan granul (Fassihi dan Kanfer, 1986). Seratus gram granul atau serbuk dengan waktu alir lebih dari sepuluh detik akan mengalami kesulitan dalam penabletan (Fudholi, 1983). b. Sudut Diam Sudut diam merupakan sudut tetap yang terjadi antara timbunan partikel bentuk kerucut dengan bidang horizontal bila sejumlah serbuk atau granul dituang dalam alat pengukur. Besar kecilnya sudut diam dipengaruhi oleh bentuk, ukuran dan kelembapan granul atau serbuk. Granul atau serbuk akan mengalir dengan baik jika mempunyai sudut diam antara 25-40o (Wadke dan Jacobson, 1980). c. Indeks Pengetapan Pengetapan menunjukkan penurunan volume sejumlah granul/serbuk akibat hentakan dan getaran. Makin kecil indeks pengetapan, makin baik sifat alirnya. Granul/serbuk dengan indeks pengetapan kurang dari 20% menunjukkan sifat alir baik (Fassihi dan Kanfer, 1986). 9. Uji sifat fisik tablet a. Keseragaman Bobot Keseragaman suatu sediaan dapat dinyatakan dalam keseragaman kandungan (content uniformity) atau variasi bobot (weight variation). Keseragaman kandungan didasarkan pada pengukuran jumlah bahan aktif untuk
33
tablet tidak bersalut dengan dosis dan rasio bahan aktif <25 mg atau <25% tablet, sedangkan variasi bobot juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperkirakan keseragaman tablet dengan rasio bahan aktif ≥25 mg atau ≥25% tablet (Departement of Health, 2013). Pada percobaan perhitungan keseragaman bobot menggunakan weight variation karena zat aktif lebih dari 25 mg. Menurut USP (2013), keseragaman bobot dapat dilihat dari nilai Acceptance Value (AV). Nilai maksimum Acceptance Value (AV) yang diperbolehkan adalah 15,0. Nilai ini didapat dari perhitungan pada persamaan (5): AV = |M-X| + ks .......................................................................................... (5) Keterangan : AV M X k s
= Acceptance Value = Reference value = Rata-rata persentase bobot = Konstanta = Deviasi standar
b. Kekerasan Tablet harus mempunyai kekuatan atau kekerasan tertentu serta tahan agar dapat bertahan terhadap berbagai guncangan mekanik pada saat pembuatan, pengepakan, pendistribusian dan penyimpanan. Kekerasan dapat diartikan kekuatan menghancurkan tablet (Banker dkk., 1986). Alat yang digunakan untuk mengukur kekerasan tablet adalah hardness tester (Ansel, dkk., 1999). Kekerasan tablet yang baik minimal 4 kg (Abate, 2006). c. Kerapuhan Uji ini merupakan cara untuk mengukur kekuatan tablet, dipengaruhi oleh kandungan air dari granul dan produk akhir. Kehilangan berat kurang dari 0,5-1% masih dapat dibenarkan (Banker dkk., 1986). Dalam friabilator tester,
34
20 tablet acak dari tiap formula diputar selama empat menit. Seluruh tablet setelah dibebasdebukan, ditimbang sebelum dan sesudah diputar. Ketahanan terhadap kehilangan berat menunjukkan tablet tersebut tahan terhadap goresan ringan, kerusakan dalam penanganan, pengemasan, dan pendistribusian (Ansel, dkk., 1999). d. Daya Serap Air Proses disintegrasi didahului oleh penyerapan air oleh tablet. Faktor yang mempengaruhi penetrasi air adalah porositas tablet, dimana tergantung kompresi dan kemampuan penyerapan air dari material yang dipakai. Air dapat berpenetrasi ke dalam pori-pori tablet karena adanya aksi kapiler bahan penghancur (Lerk dan Doombos, 1987). e. Waktu Hancur Waktu hancur tablet didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk tablet hingga hancur dalam media yang sesuai, dan tidak ada bagian tablet yang tertinggal di atas kassa. Agar dapat melepaskan obatnya, tablet harus mengalami deagregasi (hilangnya kohesi granul) yang menghasilkan dispersi komponen penyusun dalam bentuk partikel-partikel halus (Ansel, dkk., 1999).
F. Landasan Teori Formulasi tablet kombinasi ekstrak buah mengkudu (M. citrifolia), daun seledri (A. graveolens), dan daun kumis kucing (O. aristatus) dimaksudkan untuk memperoleh sediaan tablet dengan kandungan ekstrak yang dapat memenuhi persyaratan. Sebuah uji klinis campuran kumis kucing dan seledri berhasil
35
membuktikan efektivitas kedua herba dalam melawan hipertensi. Seledri memberi efek relaksasi pada reseptor pembuluh darah, sedangkan kumis kucing berefek diuresis yang dapat mempercepat pembentukan urin maupun meningkatkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air dan bekerja sebagai beta-blocker sedemikian rupa sehingga cairan ekstrasel dan tekanan darah kembali normal (Untung, 2010). Ekstrak tanaman biasanya masih mengandung air yang dapat memicu terjadinya reaksi hidrolisis zat aktif yang dikandungnya, menyebabkan ekstrak menjadi lengket dan rawan cemaran mikroba. Ekstrak dalam bentuk kental lebih sulit dibentuk tablet jika dibandingkan dengan ekstrak dalam bentuk kering (Sugiyono, 2012). Ekstrak kental tersebut membutuhkan eksipien-eksipien untuk memperbaiki sifat alirnya sehingga dapat dibentuk menjadi sediaan tablet. Bahan pengisi memiliki peranan penting di samping ekstrak sendiri sebagai bahan utamanya. Bahan pengisi digunakan untuk memperbaiki kompresibilitas dan sifat alirnya (Shangraw, 1989), serta menyerap sejumlah air pada ekstrak yang cenderung bersifat higroskopis. Pada granulasi basah, Avicel® PH 102 dapat meningkatkan kekerasan dengan tekanan kempa yang rendah (Siregar dkk, 2010). Fungsi disintegrasi pada Avicel® PH 102 menurun karena granulasi basah (Siregar dkk, 2010). Peningkatan Avicel® PH 102 dapat meningkatkan kerapuhan tablet (Dewi, 2011) dan meningkatkan waktu hancur tablet (Sugiyono, 2012). Bahan penghancur ditambahkan dengan tujuan untuk memudahkan tablet pecah dan hancur saat kontak dengan cairan saluran pencernaan. Explotab® atau sodium starch glycolate merupakan bahan penghancur yang cepat menarik air dan mampu mengembang 300 kali lipat dalam media air sehingga waktu hancur tablet
36
akan lebih cepat. Konsentrasi optimum Explotab® sebagai penghancur yaitu 4% (Rowe dkk., 2009). Seiring penambahan Explotab® akan mengurangi waktu hancur tablet. Namun, kombinasi antara Avicel® PH 102 dan Explotab® cenderung meningkatkan waktu hancur tablet (Dewi, 2011). Avicel® PH 102 inkompatibel dengan oksidator kuat, sedangkan Explotab® inkompatibel dengan asam askorbat (Rowe dkk., 2006), sehingga variasi jumlah keduanya tidak mempengaruhi kadar relatif sinensetin, skopoletin, dan apigenin yang terkandung dalam sediaan tablet. Avicel® PH 102 sebagai bahan pengisi dapat mengendalikan keseragaman zat aktif larut air (Siregar dkk., 2010). Explotab® dan Avicel® PH 102 jika dikombinasikan akan mempengaruhi sifat fisik tablet. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya, dapat dilakukan optimasi dengan SLD.
G. Hipotesis 1. Peningkatan jumlah Avicel® PH 102 dapat meningkatkan kekerasan tablet, kerapuhan, dan waktu hancur tablet, sedangkan peningkatan jumlah Explotab® dapat meningkatkan waktu hancur tablet. 2. Formula tablet optimum akan dihasilkan dengan jumlah Avicel® PH 102 terkecil dalam rentang SLD dan Explotab® dengan konsentrasi sekitar 4%. 3. Variasi jumlah Avicel® PH 102 dan Explotab® tidak mempengaruhi senyawa aktif ketiga ekstrak.