perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wujud pengembangan bahasa salah satunya yaitu mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya. Sehubungan dengan itu, bahasa Jawa yang masih dipakai di kalangan etnik Jawa ikut berperan sebagai sarana pengembangan kemampuan berkomunikasi. Bahasa Jawa mempunyai unggah-ungguh ‘sopan-santun’ yang sangat berperan dalam pembentukan perilaku dan watak yang luhur. Fungsi dan makna bahasa Jawa sebagai bahasa ibu didalam rangka membina bibit-bibit atau insan-insan yang benar-benar bermoral budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan masalah pendidikan budi pekerti dan tata krama. Kedua hal tersebut dapat diperoleh dari pembelajaran bahasa, terutama bahasa Jawa yaitu tingkat tutur bahasa Jawa atau undha-usuk basa Jawa. Kedudukan bahasa dan sastra Jawa mencerminkan nilai-nilai filosofis khas Jawa, disamping karena merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang juga menjadi bagian dari kebudayaan Nasional, bahasa Jawa dianggap penting dan mempunyai posisi di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan bahasa Jawa mempunyai kekayaan pola-pola gramatika, terlebih kekhasan sistem tingkat tuturnya. Dalam kaitannya dengan kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa perlu adanya usaha untuk meningkatkan kemampuan berbahasa yang benar sesuai dengan Undha-
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
Usuk basa Jawa, oleh karena itu partisipasi aktif, kemampuan, dan latar belakang sosial guru sangat diperlukan supaya dapat mencapai tujuan berbahasa secara utuh. Salah satu ciri bahasa Jawa adalah adanya sistem Tingkat Tutur (UndhaUsuk) yang tidak dimiliki oleh setiap bahasa lain. Bagi orang yang tidak paham benar mengenai bahasa Jawa akan mengatakan bahwa tingkat tutur bahasa Jawa sulit dan memupuk sikap tidak demokratis antara penutur dan mitra bicaranya. Namun sebetulnya bila nilai filosofis tingkat tutur itu dipahami benar, justru tingkat tutur bahasa Jawa mengajari manusia Jawa nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dalam, antara lain andhap asor (rendah hati), empan papan (sikap baik), saling menghormati, pengakuan akan keberagaman, aja dumeh (jangan sombong) dan tepa slira (sopan santun). Sistem tingkat tutur bahasa Jawa itu merupakan pertanda pentingnya adat sopan santun yang menjalin sistem tata hubungan manusia Jawa. Kata santun adalah kata sifat dan kata bendanya adalah kesantunan. Kesantunan adalah tatacara atau kebiasaan, norma atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kesantunan merupakan tata cara atau aturan perilaku yang menjadi kesepakatan bersama oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi masyarakat Jawa kesantunan biasa disebut sopan santun, unggah-ungguh, tata krama, etika. (Kongres Bahasa Jawa II, Batu Malang, tanggal 22 s.d. 26 Oktober 1996). Masyarakat Jawa menekankan perlunya pendidikan sopan santun yang berkaitan dengan tingkat tutur bahasa Jawa, karena merupakan sarana yang cocok untuk pendidikan kesantunan. Salah satu ciri obyektif bahasa Jawa ialah bahwa bahasa Jawa memiliki tingkat tutur yang baik dan rapi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
Tulisan Clifort. Geertz (1968) tentang etika linguistik “Linguistic Etiquette” dalam The Religion of Java memaparkan bahwa bahasa Jawa dapat dipakai untuk melambangkan etika sopan santun orang Jawa. Pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai dengan sumbu kasar. Kedua sumbu itu kemudian membentuk pola tingkat tutur krama, madya, dan ngoko. Tingkat tutur krama merupakan tingkat tutur dengan kadar kesopanan tinggi yang digunakan oleh para priyayi; tingkat tutur madya merupakan tingkat tutur dengan kadar kesopanan sedang, dan biasanya digunakan oleh kelompok petani; sedangkan tingkat tutur ngoko merupakan tingkat tutur dengan nilai kesopanan rendah, digunakan oleh kelompok nonpriyayi (Maryono Dwiraharjo, 1990: 35). Yang dimaksud dengan Tingkat Tutur atau Undha-Usuk atau Speech Level adalah suatu sistem kode (kebahasaan) yang menyampaikan variasi rasa hormat atau kesantunan yang memiliki unsur kosa kata tertentu, aturan sintaktis tertentu, aturan morfologis dan fonologis tertentu (Soepomo, 1979:8-9). Setiap kosa kata bahasa Jawa memiliki variasi bentuk morfologis yang menunjukkan tingkat rasa hormat atau kesopanan, ada tingkat halus dan tidak halus (atau kasar). Kemampuan tingkat tutur dan penguasaan kosa kata dalam bahasa Jawa mulai dari anak-anak sampai remaja berawal dari pendidikan di lingkungan keluarga dan pendidikan di sekolah khususnya untuk mata pelajaran bahasa Jawa. Bahasa dan pemakaian bahasanya tidak diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual tetapi juga merupakan gejala sosial. Sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik antara lain adalah faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Di samping itu pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa, seperti dengan ringkas dirumuskan oleh Fishman (1972:15) “Who speaks what language to whom and when”. Seorang guru terlebih guru bahasa Jawa berperan penting dalam menumbuhkembangkan kemampuan siswa dalam berbahasa Jawa dan tingkat tutur yang benar. Bahasa Jawa sebagai hasil pembelajaran bahasa merupakan kemampuan berinteraksi dengan menggunakan bahasa Jawa dalam peristiwa komunikasi atau berupa kompetensi kontekstual dan sosiolinguistik (fungsional) di samping kompetensi linguistik. Maka seorang guru bahasa Jawa juga harus mampu berbahasa Jawa dengan benar sesuai undha-usuk basa Jawa. Bahasa Jawa sebagai sistem pengajaran perlu dimaknai sebagai bentuk pengajaran bahasa yang tidak hanya melihat bahasa Jawa dari sisi strukturnya, tetapi juga dari sisi fungsi komunikatif yang dibutuhkan, dan dapat dimanfaatkan. Di Kota Madiun mulai tahun pelajaran 2005/2006 pelajaran bahasa Jawa menjadi muatan lokal wajib pada semua jenjang Sekolah Dasar. Menurut ketentuan guru pengampu adalah benar-benar guru mata pelajaran bahasa Jawa bukan dari guru kelas. Pemerintah Kota Madiun membutuhkan guru bahasa Jawa untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dan masing-masing sekolah ada satu guru mata pelajaran khusus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
bahasa Jawa. Terbukti pada tahun 2009 Kota Madiun menerima Guru PNS untuk memenuhi formasi mata pelajaran bahasa Jawa di SD Negeri sebanyak 29 guru. Di Kota Madiun guru bahasa Jawa untuk angkatan guru PNS formasi tahun 2009 dilihat dari faktor umur rata-rata masih berusia muda, berdasarkan data perkisaran kelahiran guru dari tahun 1977 sampai yang paling muda kelahiran tahun 1987 dan dari faktor pendidikan yang berbeda-beda, ada yang dari Universitas Swasta ataupun Negeri, dan banyak didominasi guru perempuan. Ini terbukti dalam satu kota hanya ada dua guru laki-laki di SD Negeri pada tiga Kecamatan yang berbeda pula. Melihat beberapa data yang diperoleh, perlu dilakukan pengkajian untuk menumbuhkembangkan dan sejauh mana kemampuan Tingkat Tutur seorang guru terutama pada SD Negeri. Mengetahui lebih mendalam kemampuan Tingkat Tutur ragam Krama Alus pada guru SD Negeri. Bagaimana derajad kesopansantunan berbahasa Jawa pada Tingkat Tutur bahasa itu. Secara garis besar teori atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tentang Tingkat Tutur. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini digunakan kajian sosiolinguistik yang pada dasarnya adalah penelitian tentang wujud tuturan yang harus diperhatikan konteks sosialnya. Berdasarkan data guru tersebut ada beberapa temuan yang menarik untuk diteliti dilihat dari faktor nonlinguistik pemakaian bahasa antara lain ditinjau dari faktor umur, faktor pendidikan, dan jenis kelamin. Penelitian tingkat tutur bahasa Jawa dan relevansinya dengan kemampuan mengajar guru terutama guru bahasa Jawa dipandang masih belum banyak dilakukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
oleh peneliti lain. Peneliti lebih menekankan pada aspek-aspek sosiolinguistik dimana aspek tersebut yang melatarbelakangi seseorang dalam kemampuan berbahasa, terutama kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kemampuan guru bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun dalam pemakaian tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, dan krama alus? 2. Bagaimanakah kemampuan guru dalam mengimplementasikan tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus di dalam pembelajaran bahasa Jawa? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Secara umum, tujuan penelitian ini dilakukan adalah: untuk melestarikan bahasa Jawa. Dengan demikian, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa Jawa yang terwujud dalam tingkat tutur akan tetap lestari. 2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan kemampuan guru bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun dalam pemakaian tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
b. Mendeskripsikan pembelajaran tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus yang terjadi pada waktu proses belajar mengajar di kelas. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan pustaka di bidang linguistik dan pengajarannya, kajian Tingkat Tutur ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, Krama Alus dalam pengajaran bahasa. b. Bahan kajian dan pembanding bagi para peneliti, peminat, dan pemerhati budaya Jawa, khususnya kemampuan dalam pemakaian Tingkat Tutur ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, Krama Alus. c. Wawasan, pemerhati masyarakat untuk peduli dan ikut melestarikan budaya Jawa, khususnya kemampuan dalam pemakaian Tingkat Tutur ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, Krama Alus. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk: a. Memberi masukan yang berguna kepada guru bahasa Jawa agar lebih kreatif dalam mengembangkan kemampuan tingkat tutur sehingga mampu meningkatkan kualitas. b. Meningkatkan kemampuan guru agar pengembangan materi bahasa Jawa dapat tepat dan sesuai dengan kurikulum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
c. Bahan masukan kepada Pemerintah terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, Dan Olah Raga untuk mengambil kebijakan agar bahasa Jawa tetap terpelihara dengan digunakannya bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di sekolah, dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan materi bahasa Jawa dengan pihak-pihak terkait.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Bambang Maryadi tahun 2005. Tesis. “Penggunaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dan Pengaruhnya Terhadap Kemampuan Komunikasi Bahasa Indonesia”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat tutur ngoko, krama, krama alus masing dipakai guru dan siswa dalam berkomunikasi di kelas. Pengaruh penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa terhadap kemampuan berkomunikasi bahasa Indonesia. Diwarnai oleh penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa baik ngoko, krama lugu, maupun krama alus. Bagi siswa yang kemampuan berkomunikasi bahasa Indonesianya baik dan benar tidak mudah dipengaruhi tingkat tutur bahasa Jawa. Penelitian yang berkaitan dengan tingkat tutur bahasa jawa yaitu penelitian Ester Mariatun tahun 2007. Tesis dengan judul “Hubungan Penguasaan Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dan Konsep Diri Dengan Kemampuan Komunikasi Lisan Dalam Bahasa Indonesia” dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dipengaruhi oleh konsep diri dan kemampuan bahasa Indonesia. Penelitian berikut berkaitan dengan kemampuan Guru Sekolah Dasar yaitu penelitian yang dilakukan oleh Marsin tahun 2007. Tesis dengan judul “Kemampuan Mengajar Guru Sekolah Dasar Ditinjau Dari Model Penyelenggaraan Program
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Penyetaraan D-II Dan Pengalaman Mengajar Di Kabupaten Boyolali” penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan mengajar guru dipengaruhi oleh pengalaman mengajar, pengalaman kerja, dan belajar yang mereka lakukan. Sedangkan penelitian ini dengan subyek penelitiannya adalah guru yang difokuskan pada kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa ragam krama alus dan pengaruhnya dengan pembelajaran bahasa Jawa di Sekolah Dasar. Dalam penelitian Sasan Baleghizadeh tahun 2007. Jurnal Internasional. Yang berjudul “Speech Acts In English Theacing” dijelaskan bahwa penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui peran tingkat tutur dalam pengajaran bahasa Inggris. Penelitian dilakukan dengan analisis kompetensi gramatikal, kemudian dikaitkan dengan kompetensi komunikatif yang menekankan peran tingkat tut ur bahasa dalam penggunaan sehari-hari. An ascription-based approach to speech Acts penelitian yang dilakukan oleh Mark Lee and Yorick Wilks (2009). Jurnal Internasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendekatan di bidang pragmatik yaitu dengan pemodelan pada kajian pidato, kemudian untuk mengetahui teori tindak tutur pada sebuah dialog. Pada intinya penelitian ini menyajikan suatu pendekatan dalam pidato berdasarkan teknik pemodelan. Berdasarkan deskripsi teori pada tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya dan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, maka penelitian tentang tingkat tutur bahasa Jawa ini sebagai subyek penelitiannya adalah Guru di Sekolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
Dasar yang difokuskan pada kemampuan tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus, dan bagaiman kompetensi mengajar Guru bahasa Jawa di sekolah.
B. Landasan Teori 1. Hakikat Tingkat Tutur a. Pengertian Tingkat Tutur Istilah unggah-ungguh, undha-usuk, dan speech levels adalah beberapa istilah serupa yang dimaksudkan sebagai tingkat-tutur. Kata tersebut dimaknai sebagai berikut. 1) Unggah-ungguh Unggah-ungguh bahasa Jawa selain mengandung makna tingkat-tingkatan dalam bahasa juga mengandung makna kesantunan atau etika. (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka). Dalam buku Marsudi Unggah-Ungguh Basa Jawa dikatakan bahwa pangertosan unggah-ungguh basa menika pranataning basa miturut lenggahing tatakrama ‘pengertian unggah-ungguh bahasa itu tatanan bahasa menurut kedudukan tatakrama’ (Haryana, Supriya, 2001: 13). Menurut S.A. Mangun Suwito (2002: 288) unggah-ungguh basa adalah katakata yang sopan santun, basa-basi. Bentuk unggah-ungguh merupakan kata majemuk, atau dapat juga merupakan bentuk perulangan dari kata dasar unggah. Kata unggah mempunyai makna ‘bergerak dari atas ke bawah, naik’. Sebagai kata majemuk, unggah-ungguh dimaknai khusus sebagai tata krama atau sopan santun dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
berbahasa. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang disesuaikan dengan keadaan yang pantas. Selaras dengan pernyataan S. Poedjowardojo dan Suwito (1990: 1) bahwa istilah unggah-ungguh dipadankan dengan sopan santun atau tata krama. Lebih lanjut dikatakan Poedjowardojo bahwa unggah-ungguh menampilkan sifat dan tabiat manusia Jawa, sedangkan unggah-ungguh basa terdiri atas faktor lingual dan nonlingual. Kedua unsur ini difungsikan sebagai wahana pengungkap sopan-santun. Istilah unggah-ungguh lebih ditekankan pada aspek pemakaian bahasa yang didasari oleh perilaku penuturnya. Undha-usuk lebih ditekankan pada aspek ciri-ciri fisik bahasa yang digunakan dan ditekankan pada pemilihan kata atau ragam bahasa yang tepat dalam berbicara kepada orang lain. 2) Undha-usuk Dalam buku Unggah-Ungguh Basa Jawa dan selaras dengan pendapat Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka bahwa undha-usuk basa atau tingkat tutur bahasa hanya mengisyaratkan makna bahwa dalam bahasa itu terdapat tingkatan-tingkatan. Menurut Poerwadarminta (1993:441), mengartikan istilah undha-usuk sebagai berikut. Oendha-oesoek (kn) iku 1. Nganggo tetandhingan mitoeroet kaanane (gedhene) lsp; 2. Oeroet-0eroetan beda-beda saka sathitik; 3. Moeng sathithik bedane (meh padha) ‘Undha-usuk (krama ngoko) 1. Memakai perbandingan menurut keadaan (besarnya) dan lain-lain; 2. Urut-urutan yang berbeda dari sedikit; 3. Hanya sedikit perbedaannya (hampir sama)’. Ketiga arti undha-usuk di atas setidaknya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
mengisyaratkan lima pernyataan, yaitu (1) tidak hanya terdiri dari satu hal (dapat berupa benda, atau pernyataan lainnya), (2) adanya perbandingan, (3) adanya selisih atau jenjang dalam tingkatan, (4) adanya perbedaan, (5) adanya kemiripan. Jika undha-usuk dianggap sebagai istilah tingkat tutur bahasa, maka tingkat-tutur bahasa itu bercirikan lima unsur tadi. Istilah tingkat tutur adalah suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terkandung unsur vokabuler, aturan sintaksis, atau morfologis. Dapat dikatakan juga bahwa tingkat tutur merupakan kode penyampaian rasa sopan yang bertujuan untuk menghormati orang yang diajak bertutur atau menghormat pada apa-apa yang dituturkan (Soepomo Poedjosoedarmo, 1984: 147). Menurut Soepomo (1984), istilah tingkat tutur (speech level) merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh anggapan penutur (O1) dan relasinya dengan yang diajak bicara (O2). Maryono Dwiraharjo menambahkan bahwa relasi-relasi tersebut dapat bersifat akrab, sedang, jauh, menarik, mendatar, atau menurun (1990: 1). Dari uraian di atas unsur-unsur tersebut meliputi sebagai berikut: (1) Sistem yang teratur dalam satu bahasa, (2) Terdiri dari tingkatan-tingkatan, (3) Memiliki kadar kesopanan tertentu, (4) Bertujuan untuk menghormati mitra tutur (O2) dengan kadar tertentu, (5) Dapat digunakan untuk menghormati orang yang dibicarakan (O3) dengan kadar tertentu pula.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
Berdasarkan lima komponen diketahui dengan jelas pengertian tingkat tutur. Pengertian tingkat tutur dapat disusun kembali untuk mencakupi lima komponen tersebut. Tingkat tutur adalah suatu sistem tingkatan yang teratur dalam suatu bahasa, yang dengan kadar kesopanan tertentu untuk menunjukkan hormat penutur kepada mitra tutur maupun orang yang dituturkannya. Tingkatan-tingkatan yang dimaksud dapat berupa tingkatan tinggi, menengah, dan rendah. Semakin tinggi tingkatan yang digunakan menunjukkan semakin tinggi tingkat kesopanan, tingkat hormat terhadap mitra tutur dan yang dituturkan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat yang digunakan semakin rendah pula tingkat kesopanan dan penghormatannya kepada mitra tutur maupun yang dituturkan. Dalam buku Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Soepomo Poedjasoedarmo, 1979: 14-15) mengartikan tingkat tutur sebagai berikut: (a) Tingkat Tutur Ngoko Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya, O1 tidak memiliki rasa segan (eguh pakewuh) terhadap O2. Jadi, seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat ngoko inilah yang seharusnya dipakai. Teman akrab biasanya saling ‘ngoko’an. Orang-orang yang berstatus sosial tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap orang lain yang berstatus sosial lebih rendah. Antara orang yang akrab hubungannya tetapi saling menghormat dapat memakai tingkat tutur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
ngoko yang halus (antyabasa dan basaantya). Contohnya teman akrab dikalangan Pegawai Negeri, guru-guru menggunakan tingkat tutur ini. (b) Tingkat Tutur Krama Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pakewuh) O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, atau berpangkat, atau priyayi, berwibawa dan lain-lain. Terhadap orang yang belum dikenal dan masih muda dipakai juga krama yang halus kalau orang muda itu dipandang berstatus cukup tinggi. Tingkat tutur krama memancarkan arti sopan-santun yang tinggi. Di samping itu krama menimbulkan rasa berjarak antara O1 dengan O2 yang disapanya. Artinya O1 harus menghormat kepada O2, tidak boleh berbuat seenaknya sendiri terhadap O2. (c) Tingkat Tutur Madya Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko. Ia menunjukkan perasaan sopan, secara sedang-sedang saja. Tingkat ini bermula adalah tingkat tutur krama, tetapi dalam proses perkembangan telah mengalami tiga perkembangan yang penting. Perkembangan itu ialah perkembangan proses kolokialisasi (informalisasi), penurunan tingkat, dan ruralisasi. Inilah sebabnya, bagi kebanyakan orang, tingkat madya ini dianggap tingkat yang setengah sopan dan setengah tidak. Inilah sebabnya pula bahwa O2 yang disapa dengan madya ini pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
anggapan O1 ialah kurang begitu berwibawa. O1 harus menaruh sopan-santun, tetapi rasa segan tak perlu setinggi seperti yang dikenakan O2 yang seharusnya diberi. Berdasarkan ketiga komponen tingkat tutur diatas dapat diketahui bahwa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 dan O2, tingkat tutur krama mencerminkan arti penuh sopan/adanya perasaan segan antara O1 terhadap O2, dan tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko yang menunjukkan perasaan sopan secara sedang-sedang saja. b. Pengertian Tingkat Tutur Ditinjau dari Sosiolinguistik Abdul Chaer dan Leonie Agustin (1995: 3) mengatakan bahwa Sosiolinguistik adalah bidang disiplin antar ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Nancy Parrot H dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustin (1995: 5) mengungkapkan bahwa Sosiolinguistik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan pada varian ujaran serta pengkajian dalam suatu konteks sosial. Harimurti Kridalaksana (1993: 181) mengungkapkan bahwa Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling berpengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dijelaskan pula bahwa ada pola-pola bahasa yang sama dan bahasa yang berbeda, yang dapat dianalisis secara deskriptif. Pola-pola yang dibatasi maka digunakan penuturnya untuk berkomunikasi (Ferguson dan Gumperth dalam Mansur Pateda, 1990:77)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Fisman (1972: 44) mengatakan Sosiologi bahasa adalah bidang yang menelaah interaksi antara dua segi perilaku manusia, yaitu penggunaan bahasa dan pengorganisasian bahasa oleh masyarakat. Di dalamnya tidak saja tercakup penggunaan bahasa, melainkan juga sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan terhadap pemakai bahasa. Soeseno Kartomiharjo (1987: 230) mengatakan bahwa ruang lingkup dan garapan Sosiolinguitik meliputi: kontak bahasa, bilingualisme, variasi bahasa, ragam bahasa, dan wacana. Kontak bahasa adalah saling seutuh atau saling pengaruh antara satu bahasa dengan bahasa lain, satu dialek dengan dialek lain, atau satu variasi dengan variasi lain. Bilingualisme berarti penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Sosiolinguistik adalah gabungan cabang ilmu Linguistik dan Sosiologi yang mempelajari hubungan bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Tingkat tutur ditinjau dari segi sosiolinguistik adalah suatu sistem tingkatan bahasa yang mempelajari hubungan dan saling berpengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial untuk berkomunikasi secara teratur dengan kadar kesopanan dan menunjukkan rasa hormat penutur dengan mitra tutur dalam suatu masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
c. Aspek-aspek Penanda Tingkat Tutur Tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara terhadap mitra bicara. Sistem kode untuk menyampaikan rasa kesopanan dalam macam tingkat tutur, di dalamnya terkandung kosakata, aturan-aturan morfologi, aturan sintaksis, dan aturan fonologi. Rupanya keempat aturan itu mendasari derajat tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa dilihat dari segi kosakatanya, tidak hanya terbatas pada kosakata ngoko, kosa kata madya, maupun kosakata krama, tetapi ada kosakata krama desa, basa kedhaton, dan basa kasar, yang figur-figur semantisnya mempunyai ciri-ciri khas tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Ragam leksikal yang digunakan, sebagai salah satu bagian terbesar penentu tinggat tutur. Sebenarnya yang menjadi dasar pembentukan ragam kosakata bahasa Jawa adalah kosakatakosakata ngoko. Oleh karena itu, sebagian besar kosakata ngoko yang tidak ada padanannya dengan bentuk krama (inggil), atau ragam lainnya dapat berfungsi menduduki berbagai ragam tingkat tutur. Dalam hal ini kosakata ngoko dapat menempati posisi dalam tuturan krama, seperti kata sungu ‘tanduk’ dapat menempati ragam apapun. Kebo iku gedhe sungune (ngoko); Maesa punika ageng sunginipun (krama); Maesa niku ageng sungune (madya) ‘kerbau itu besar tanduknya’. Dengan demikian kata sungu yang merupakan kata ngoko dapat menempati ragam madya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
maupun
krama,
atau
disebut
sebagai
kosakata
krama
ngoko
(Soepomo
Poedjosoedarmo, 1979:3) Pada tataran morfologi maupun sintaksis, unsur-unsur pembeda tingkat tutur dapat dilihat dari adanya morfem dan perubahannya menjadi bentuk kata. Morfemmorfem tertentu sering menunjukkan ragam tertentu pula, misalnya imbuhan {dak, kok-, di-} (ngoko) beridentitas krama menjadi {kula, panjenengan, dipun}, {-(n)e; ake} (ngoko) menjadi {-(n)ipun; -aken} (krama). Perubahan morfem {dak-, kok-, di-} (ngoko) menjadi krama {kula, panjenengan, dipun}, secara bentuk merupakan dari bentuk morfem menjadi bentuk kata, tetapi secara sematis bermakna sama. Bentuk kata ombe ‘saya minum’, merupakan bentuk frasa secara sematis mempunyai satu kesatuan makna identik dengan kata dak-ombe ‘saya minum’. Bentuk kedua ini mengalami penurunan tataran dari bentuk pertama, yaitu penurunan dari bentuk frasa menjadi kata. Penurunan tataran ini diakibatkan oleh kula yang semula merupakan kata yang berdiri sendiri dalam bentuk krama berubah menjadi imbuhan (dak-) harus dirangkaikan dengan kata yang menyertainya, mempunyai makna yang sama. Dengan demikian dapat dilihat secara morfologis maupun sintaksis merupakan pembeda tingkat tutur. Dari beberapa fakta yang ada, perbedaan kosakata dirasakan sangat menentukan ciri paling menonjol dalam pembentukan tingkat tutur. Artinya penggunaan kosakata mencerminkan corak khas tingkat tutur, dan sintaksis sosial para penuturnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
Jika perbedaan sikap santun yang ada pada diri penutur (O1) terhadap lawan bicara (O2) merupakan penentu pembeda tingkat tutur, maka hal itu hanya sebagai acuan pertama pemilihan tingkat tutur apa yang akan digunakan oleh seorang penutur bahasa Jawa. Tetapi setelah seseorang tahu persis tingkat tutur apa yang digunakan, seorang penutur akan berpikir lebih dalam tentang pola, dan pilihan kata apa yang akan dipergunakannya untuk membentuk konstruksi tuturan yang sesuai dengan tingkat tutur yang telah ditentukan semula. Hal pertama merupakan unsur nonverbal, dan hal kedua merupakan unsur verbal. Dalam studi sosiolinguistik termasuk studi tentang tingkat tutur kedua hal itu saling melengkapi dan sering sejalan. Hal menarik diungkapkan Sudaryanto (1989: 99-100), konsep pembeda terjadinya tingkatan-tingkatan tutur dalam bahasa Jawa dapat dilihat dari dua pokok perhatian, yaitu hubungan antara tiga komponen tutur dalam pertuturan, meliputi yang berbicara, yang diajak berbicara, dan yang dibicarakan; kemudian dapat juga dilihat dari wujud kosakatanya. Manakala keseluruhan kata yang dipakai ngoko maka disebut ngoko lugu, manakala seluruh kata yang dipakai krama maka termasuk tingkat kramantara. Jenis-jenis kata yang lain seperti krama inggil, madya, kasar, basa kedhaton cenderung digunakan bersama-sama dengan ngoko atau krama. Ngoko dan kasar membentuk basa kasar, ngoko dengan krama inggil membentuk ngoko andhap antyabasa; ngoko dengan krama (inggil) membentuk ngoko andhap basaantya. Krama dengan krama inggil membentuk mudha krama. Kosakata madya dipakai bersama ngoko membentuk madyangoko, dipakai dengan krama membentuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
dengan
madyakrama,
krama
membentuk
inggil
madyantara.
Sementara
wredhakrama mirip dengan kramantara, hanya perbedaannya terletak pada penggunaan afiks seperti pada ngoko. Untuk membedakan ragam dalam tingkat tutur bahasa Jawa perlu diperhatikan istilah-istilah yang serupa antara istilah ragam leksikal dengan istilah ragam tingkat tutur. Istilah ragam leksikal adalah nama ragam suatu kosakata; dalam bahasa Jawa setidak-tidaknya dibedakan antara kosakata ngoko, madya, krama, krama inggil, krama andhap, krama ngoko, krama desa, dan basa kedhaton. Istilah ragam tingkat tutur merupakan nama-nama tingkat tutur yang ada, yang merupakan kombinasi dari berbagai unsur penanda penentu tingkat tutur. Nama-nama itu tercermin dalam sebutan (tingkat tutur) ngoko, madya, krama, dan kombinasinya. Dengan adanya kemampuan membedakan kedua istilah tersebut diatas akan lebih mudah pemahaman penggunaan tingkat tutur. Untuk lebih memperjelas gambaran pembagian tingkat tutur seperti yang telah diuraikan diatas, dapat dilihat dalam tabel 1 dan 2 berikut: Tabel 1 Penanda Ragam Ngoko Ragam Ngoko Lugu
Ngoko Andhap Antyabasa Ngoko Andhap Basaantya
Leksikon
Pronomina
Awalan
Akhiran
kowe {dak-} {ko-} {di-} {-ku} {-mu} {-(n)e} {-ake}
dasar
pendukung
aku
N
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
N
Ki
+
-
+
+
+
+
+
+
+
N
Ki, K
+
-
+
+
+
+
+
+
+
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
Leksikon
Ragam
dasar
Madyangoko
Md
Madyakrama
Md
Madyantara
Md, K
Mudhakrama
Awalan
Pronomina
pendukung N yang tidak berMd N yang tidak berMd
aku
Akhiran
kowe {dak-} {ko-} {di-} {-ku} {-mu} {-(n)e} {-ake}
-
-
-
-
+
-
-
+
+
-
-
-
-
+
-
-
+
+
Ki
-
-
-
-
+
-
-
+
+
K
Ki
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kramantara
K
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Wredhakrama
K
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
Krama Desa
K
KD
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Krama Inggil
K
Ki
-
-
-
-
-
-
-
-
-
K/N
Kd
-
-
-
-
+
-
-
+
+
Basa Kedhaton
Tabel 2 Penanda Ragam Tingkat Tutur Pengganti Ngoko Leksikon Ragam Ngoko Lugu
dasar
Pendukung
N
-
Pronomina aku
aku
Ngoko Andhap Antyabasa
N
Ki
aku
Ngoko Andhap Basaantya
N
Ki, K
aku
Madyangoko
Md
N yang tidak berMd
kula
Awalan
kowe
{dak-}
kowe
Panjenengan, sliramu, kengslira Panjenengan, sliramu, kengslira
dika, samang
{ko-}
Akhiran {di-}
{-ku}
{-mu}
{-(n)e} {-ake}
dak-
ko-
di-
-ku
-mu
(n)e
-ake
dak-
ko-
di-
-ku
-mu
(n)e
-ake
dak-
ko-
di-
-ku
-mu
(n)e
-ake
kula
dika
di-
kula
dika
(n)e
-ake
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
Leksikon Ragam
dasar
Pronomina
Penduaku kung N yang tidak kula berMd
Awalan
kowe
{dak-}
{ko-}
Akhiran {di-}
{-ku}
Sampeyan, samang
kula
Sampeyan, samang
di-
kula
kula
Sanpeyan, samang
kula
Sanpeyan, samang
di-
kula
Ki
kula
Panjenengan, sanpeyan
kula
Panjenengan, sanpeyan
dipun-
kula
K
-
kula
Sampeyan
kula
Sampeyan
dipun-
kula
Wredhakrama
K
-
kula
Panjenengan, sampeyan
kula
Panjenengan, sanpeyan
dipun-
kula
Krama Desa
K
KD
kula
Sampeyan
kula
Sampeyan
dipun-
kula
kawula, abdi dalem, kawula, dalem
Panjenengan dalem, sampeyan dalem (raja)
k{aw} ula
Panjenengan dalem, sampeyan dalem (raja)-
dipun-
kawula, abdidalem kawula, -ipun abdi dalem kawula
Madyakrama
Md
Madyantara
Md, K
Ki
Mudhakrama
K
Kramantara
Krama Inggil
K
Ki
commit to user
{-mu}
dika, sampeyan
dika, sampeyan Panjenengan, sanpeyan Sampeyan Panjenengan, sanpeyan Sampeyan
dalem
{-(n)e} {-ake}
(n)e
-ake
(n)e
-ake
ipun
aken
ipun
aken
(n)e
-ake
ipun
aken
ipun
aken
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
d. Fungsi Tingkat Tutur Secara umum bahasa mempunyai alat komunikasi dan mempunyai fungsi komunikatif. Bahasa secara umum menjadi sarana komunikasi antar pengguna bahasa. Dengan demikian menandakan bahwa bahasa merupakan media berhubungan di antara penggunanya dapat berupa lisan atau tulis. Tingkat tutur bahasa Jawa mencerminkan fungsi tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Ada jenis tingkat tutur ragam ngoko, madya, dan krama. Ketiga tingkat tutur itu secara luas berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Soepomo Poedjosoedarmo (1979: 14-15) membicarakan bahwa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tidak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya O1 tidak memiliki rasa segan terhadap O2. Ngoko menunjukkan hubungan yang akrab dan terbiasa. Krama adalah tingkat tutur yang menyatakan arti penuh sopan santun. Menandakan adanya perasaan segan O1 terhadap O2. Hal ini timbul karena akibat kurang dikenal, atau berstatus lebih tinggi. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko. Tingkat ini menunjukkan rasa sopan santun yang sedang-sedang. (Maryono Dwiraharjo, 1990: 6). Maryono Dwiraharjo (2001) menjelaskan (1) tingkat tutur ngoko mencerminkan status sosial yang rendah (low status); (2) tingkat tutur madya mencerminkan status sosial yang sedang (middle status); dan (3) tingkat tutur krama mencerminkan status sosial yang tinggi (high status). Dapat disimpulkan empat fungsi tingkat tutur bahasa Jawa berikut. (1) menunjukkan sifat hubungan antara penutur dengan mitra tutur, (2) menunjukkan tingkat penghormatan atau tingkat kesopananan antara penutur dengan mitra tutur atau juga dengan orang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
yang dituturkan (orang yang dibicarakan); (3) menunjukkan perbedaan status sosial antara penutur dengan mitra tutur orang yang dibicarakan; dan (4) menunjukkan situasi tutur yang sedang berlangsung (Maryono Dwiraharjo, 2001: 48-49). 2. Klasifikasi Tingkat Tutur Bahasa Jawa a. Kajian terhadap karti basa Dalam Karti Basa terbitan Kementrian PP dan K (1946: 64-84) disebutkan bahwa Unggah-Ungguh bahasa Jawa (dalam buku itu menyebutkan undha-usuk) terdiri atas (1) Ngoko, (2) Madya, (3) Krama, (4) Krama Inggil, (5) Kedhaton, (6) Krama Desa, dan (7) Kasar. Undha-Usuk Ngoko dibedakan menjadi dua, yaitu Ngoko Lugu dan Ngoko Andhap. Ngoko Andhap dibedakan lagi menjadi dua, yaitu Ngoko Antyabasa dan Basaantya. Undha-Usuk Madya dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) Madya Ngoko, (2) Madyantara, dan (3) Madya Krama, Undha-Usuk juga dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) Mudha Krama, (2) Kramantara, (3) Wredha Krama. Di dalam buku Karti Basa bahwa basa Ngoko merupakan bahasa yang lugu (sederhana, wajar, alami) yang belum mengalami perubahan apapun. Keseluruhan leksikon berupa Ngoko. Jika di dalam kalimat terdapat kata Krama Inggil, ragam itu disebut Ngoko Antyabasa. Namun jika di dalam kalimat terdapat kata Krama dan Krama Inggil, ragam itu disebut Basa Antya. Basa Madya merupakan bahasa yang berada di tengah-tengah antara basa Ngoko dan basa Krama. Kata-kata yang terdapat di dalamnya berupa kata Madya dan Ngoko. Jika
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
dalam kalimat hanya terdapat kata Madya dan Ngoko, ragam itu disebut Madya Ngoko atau Madyantara. Jika dalam kalimat terdapat kata Madya, Krama, dan Krama Inggil, ragam itu disebut Madya Krama. Analisis Tingkat Tutur ragam Krama Inggil dalam Karti basa, basa Krama Inggil merupakan bahasa yang hormat. Kata-kata yang terdapat di dalamnya semua berupa Krama. Jika dalam kalimat terdapat kata Krama dan Krama Inggil, ragam itu disebut Mudha Krama. Namun, jika dalam kalimat hanya berupa kata Krama saja itu disebut Kramantara dan Wedhakrama. Yang membedakan kedua ragam tersebut terletak pada penggunaannya. Jika yang menggunakan orang muda, ragam itu disebut Mudha Krama. Namun, jika yang menggunakan orang tua, ragam itu disebut Wredha Krama. Dalam buku itu dijelaskan bahwa Mudha Krama digunakan oleh anak muda kepada orang tua, Kramantara digunakan oleh orang tua sejajar status sosialnya, dan Wredha Krama digunakan oleh orang tua kepada orang yang lebih muda. Disebutkan masih ada basa Krama Inggil, basa Kedhaton, basa Krama Desa, dan basa Kasar. Basa Krama Inggil merupakan bahasa yang santun yang bentuknya mirip dengan Mudha Krama. Bahasa Kedhaton (di Yogyakarta disebut basa Bagongan) merupakan bahasa yang digunakan oleh keluarga Raja dan/atau digunakan oleh para karyawan (abdi) yang bekerja di dalam Istana. Ragam bahasa tersebut hanya dipakai di dalam Istana. Krama Desa didefinisikan sebagai ragam halus orang desa yang kurang memahami ragam halus orang kota. Di dalam buku Karti Basa disebutkan bahwa Krama Desa tidak termasuk bahasa yang halus.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
Undha-Usuk
Krama Inggil
Ngoko
Basa Kedhaton
Ngoko Lugu
Krama Desa Basa Antya
Basa Kasar Antya Basa
Krama
Mudha Krama
Madya
Kramantara
Wredha Krama
Madya Krama Madyantara
Madya Ngoko
Bagan 1 ( Karti Basa, 1946 ) b. Kajian terhadap tingkat tutur bahasa jawa Dalam Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Poedjasoedarma, dkk. 1979). Tingkat Tutur bahasa Jawa, terdiri atas (1) Ngoko, (2) Madya, dan (3) Krama. Tingkat Tutur Ngoko dibedakan menjadi Ngoko Lugu, Basa Antya, dan Antyabasa; Tingkat Tutur Madya dibedakan menjadi Madya Ngoko, Madyantara, dan Madya Krama. Tingkat tutur krama dibedakan menjadi mudha krama, kramantara, dan wredha krama.
Poedjasoedarma dalam urainnya mengakui
bahwa Tingkat Tutur kramantara dan wredha krama sudah jarang terdengar. Pendapat tersebut diikuti oleh Bambang Kaswanti Purwo (1991) membagi Tingkat Tutur bahasa Jawa menjadi Ngoko, Madya, dan Krama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
Soepomo Poedjasoedarma (1979:13-15) telah membagi Tingkat Tutur menjadi sembilan, ternyata yang diberi penjelasan panjang lebar hanyalah Tingkat Tutur yang berbentuk Ngoko, Madya, dan Krama, sedangkan bagian-bagian ketiga Tingkat Tutur itu penjelasannya sama dengan yang terdapat di dalam Karti Basa. Poedjasoedarma berpendapat bahwa Tingkat Tutur Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 terhadap O2 dan Tingkat Tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (O2); Tingkat Tutur Madya diartikan sebagai Tingkat Tutur menengah antara Krama dan Ngoko, tetapi tetap menunjukkkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; Tingkat Tutur Krama diartikan sebagai Tingkat Tutur yang memancarkan arti penuh Sopan Santun dan Tingkat Tutur ini menandakan adanya perasaan segan O1 terhadap O2. Tingkat-Tutur
Ngoko
Ngoko Lugu
Krama
Basa Antya Antya Basa
Wredha Krama
Mudha Krama Kramantara
Madya
Madya Krama
Madyantara
Madya Ngoko
Bagan 2 ( Poedjasoedarma, dkk 1979 : Tingkat-Tutur Bahasa Jawa )
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
c. Kajian tingkat tutur lain Kajian lain yang perlu diungkapkan adalah kajian yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (dalam Sudaryanto, 1989: 96-103) berpendapat bahwa UnggahUngguh bahasa Jawa pada prinsipnya terdiri atas empat macam, yaitu Ngoko, Krama, Ngoko Krama, dan Krama Ngoko. Hadiwidjana (1967: 50-51), ia membagi Tingkat Tutur menjadi empat yaitu menjadi basa baku, basa Krama basa Madya, dan basa Kurmat. Sudaryanto (1989) membagi Tingkat Tutur menjadi empat yaitu Ngoko, Ngoko Alus, Krama, dan Krama Alus. Kajian lain dilakukan oleh Ekowardono dkk. (1993). Ekowardono mengelompokkan Unggah-Ungguh bahasa Jawa menjadi dua, yaitu Ngoko dan Krama. Jika Unggah-Ungguh Ngoko ditambah Krama Inggil, Unggah-Ungguh tersebut akan berubah menjadi Ngoko Alus. Jika Unggah-Ungguh Krama ditambah Krama Inggil, Unggah-Ungguh tersebut akan berubah menjadi Krama Alus. Tanpa pemunculan kata Krama Inggil, Unggah-Ungguh itu hanya berupa Ngoko Lugu atau Krama Lugu. Ada kesamaan antara Sudaryanto dan Ekowardono. Dalam buku Unggah-Ungguh basa Jawa Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka menyebut dengan istilah Unggah-ungguh basa dibagi menjadi empat yaitu ragam ngoko lugu, ngoko alus, karma ligu, karma alus. Tingkat Tutur Ngoko
Krama
Ngoko Ngoko alus (Ngoko Lugu)
Krama Krama Alus (Krama Lugu)
Bagan 3 Unggah–Ungguh Bahasa Jawa Menurut Sudaryanto (1989) dan Ekowardoyo (1993)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
Pembagian Unggah-Ungguh tersebut, apabila diamati dengan melihat kata-kata yang disusun di dalamnya atau berdasarkan leksikon pembentuknya, yang tampak rapi hanya yang terdapat pada Unggah-Ungguh Ngoko, sedangkan pembagian yang lain, terutama pada Unggah-Ungguh Krama, terdapat kekacauan istilah dan terdapat kekacauan pengelompokan leksikon. Jika di dalam suatu tuturan semua leksikonnya berupa Ngoko, tuturan tersebut disebut Ngoko Lugu. Jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Ngoko, Krama Inggil, dan Krama Andhap, tuturan tersebut disebut Ngoko Antyabasa. Jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Ngoko, Krama, Krama Inggil, dan Krama Andhap, tuturan tersebut disebut Ngoko Basa Antya. Sementara itu, jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Madya dan Ngoko, tuturan itu disebut Madya Ngoko. Jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Madya, Krama, dan Ngoko, tuturan itu disebut Kramantara, sedangkan jika di dalam suatu tuturan terdiri atas leksikon Madya, Ngoko, Krama, Krama Inggil, dan Krama Andhap, tuturan itu disebut Madya Krama. Unggah-Ungguh yang sulit diidentifikasikan adalah Mudha Krama, Kramantara, dan Wredha Krama. Ketika Unggah-Ungguh tersebut dibedakan bukan berdasarkan leksikon pembentuknya tetapi berdasarkan pemakainya. Mudha Krama, misalnya, didefinisikan sebagai tuturan yang digunakan orang muda terhadap orang tua, atau dapat juga didefinisikan sebagai bahasa anak muda terhadap orang tua, karena yang menggunakan orang muda, Unggah-Ungguh Mudha Krama menurut munculnya leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
disamping leksikon Krama. Itu berarti bahwa orang muda mempunyai semacam kewajiban untuk menggunakan bahasa yang paling santun kepada orang tua. Lain
halnya dengan
Wredha
Krama.
Unggah-Ungguh
tersebut
didefinisikan sebagai bahasa orang tua terhadap orang muda. Karena yang menggunakan tuturan ini adalah orang tua, leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap tidak wajib muncul, tetapi kehadiran leksikon tersebut opsional. Hal itu mengisyaratkan makna bahwa tidak ada semacam kewajiban bagi orang tua untuk menggunakan bahasa yang paling santun kepada orang muda. Akibatnya, leksikon yang wajib muncul dalam Unggah-Ungguh Wredha Krama adalah leksikon Krama. Sementara itu, Unggah-Ungguh Kramantara didefinisikan sebagai Unggah-Ungguh yang berada diantara Mudha Krama dan Wredha Krama. Di dalam Unggah-Ungguh ini penutur dan mitra tutur merasa mempunyai kesejajaran sosial. Jika dilihat dari kata atau leksikon yang dirangkaikan dalam suatu tuturan, tampak bahwa kata-kata yang terdapat pada Kramantara sama seperti yang terdapat pada Wredha Krama yaitu semua berbentuk Krama. Leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap tidak muncul dalam kedua Unggah-Ungguh ini. Walaupun bentuk atau wujud kata yang digunakan sama, yaitu semua berbentuk Krama, yang satu disebut Wredha Krama dan yang lain disebut Kramantara. Demikian juga dengan Mudha Krama dan Krama Inggil, leksikon yang terdapat dalam kedua Unggah-Ungguh tersebut sama, yaitu semuanya Krama ditambah Krama Inggil dan Krama Andhap. Ternyata, walaupun bentuk atau wujud kata yang digunakan sama, yang satu disebut Mudha Krama dan yang lain
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
disebut Krama Inggil. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa suatu tuturan disebut Krama Inggil hanya karena di dalam tuturan tersebut terdapat leksikon Krama Inggil. Pembagian Unggah-Ungguh lainnya yang juga didefinisikan secara sematis adalah Krama Desa, basa Kedhaton, dan basa Kasar. Yang dimaksud dengan Krama Desa adalah bahasa Krama yang dipakai oleh orang yang kurang dapat berbahasa dengan benar. Sementara itu, yang disebut dengan basa Kedhaton (bahasa istana) adalah bahasa yang digunakan oleh kerabat istana atau orangorang yang berada di dalam istana dan wilayah pemakainnyapun terbatas hanya di dalam Istana, sedangkan yang dimaksud dengan basa kasar adalah bahasa yang di dalamnya terdapat leksikon yang bernilai rasa kasar. Jika dicermati lebih dalam, Krama Desa lebih tepat disebut sebagai bahasa Krama yang kurang baku atau bahasa Krama nonstandar (substandar) karena hanya kata Krama yang tidak baku, misalnya menggunaka analogi yang salah seperti kata milai dan wedos digunakan dalam percakapan sehari-hari. Penanaman Krama Desa sebenarnya merupakan olok-olok yang dilakukan orang Kota terhadap orang Desa. Saat itu, orang yang tidak dapat berbahasa dengan benar menurut ukuran orang Negari (Kota) diidentikkan dengan orang Desa sehingga bahasa Krama yang digunakannyapun disebut Krama Desa. Sementara itu, basa Kedhaton lebih tepat dikelompokkan ke dalam subdialek atau lebih dekat ke bentuk kreol daripada kedalam suatu ragam tertentu. Dalam masyarakat Jawa dewasa ini terdapat perubahan sikap, yaitu bahwa tidak semua orang bersedia menggunakan bentuk Krama kepada mitra
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
wicara, terutama jika mitra wicara atau O2 merasa status sosialnya sama atau sejajar dengan yang mengajak berbicara (O1). Dalam keadaan seperti itu, O2 cenderung akan menggunakan bentuk Krama jika O1-juga menggunakan bentuk Krama. Akan tetapi, jika O1 menggunakan bentuk Ngoko, maka O2 pun cenderung akan menggunakan bentuk Ngoko pula. Oleh karena itu, tidak aneh jika Poedjasoedarma berpendapat bahwa bentuk Kramantara dan Wredhakrama saat ini mulai jarang terdengar. Penyebabnya diduga terdapat pergeseran parasaan status sosial, yaitu mitra wicara (O2) merasa sejajar status sosialnya dengan (O1). 3. Jenis leksikon dalam bahasa Jawa Terdapat perbedaan-perbedaan dalam Tingkat-Tutur bahasa Jawa, yaitu pada jenis leksikon bahasa Jawa yang terdiri atas leksikon Madya, Krama, krama Inggil, Krama Andhap, dan Ngoko. a. Leksikon Madya Leksikon Madya merupakan leksikon Krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, leksikon Madya tetap menunjukkan kadar kehalusan. Leksikon Madya hanya berjumlah sekitar 50 kosakata. Pemakaian leksikon Madya sama dengan pemakaian leksikon Ngoko, yaitu, dapat dipakai oleh O1, O2, dan O3. Leksikon Madya hanya digunakan dalam percakapan yang tidak resmi
(informal). Beberapa contoh leksikon Madya adalah empun ’sudah’, ampun ’jangan’, kajenge ’biar/biarkan’, kriyin ’dahulu’, dan onten ’ada’. b. Leksikon Krama Leksikon Krama merupakan bentuk halus leksikon Ngoko. Semua leksikon Krama pasti mempunyai padanan leksikon Ngoko. Leksikon Krama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu leksikon Krama baku dan leksikon Krama tidak baku. Leksikon Krama baku disebut sebagai leksikon Krama standar, sedangkan leksikon Krama tidak baku disebut sebagai leksikon Krama substandar. Leksikon Krama substandar lazim pula disebut dengan nama Krama desa. Munculnya leksikon Krama Desa ini dikarenakan si pembaca, entah O1 atau O2, kurang mengerti leksikon Krama baku. Leksikon Krama Desa ini dapat dipakai oleh O1, O2, dan O3. Beberapa contoh leksikon Krama baku adalah rumiyin ‘dahulu‘, benjing ’sesuk’, siang ’awan’, dalu ’malam’, dan kula ’saya’, sedangkan beberapa contoh leksikon Krama Desa atau substandar adalah kajenge ’biarlah’, onten ’ada’, tanglet ’tanya’, lemantun ’lemari’, dan konten ’pintu’. c. Leksikon Krama Inggil Leksikon Krama Inggil merupakan leksikon yang digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan jalan meninggikan mitra wicara. Leksikon ini hanya digunakan untuk orang lain, baik untuk orang yang diajak berbicara atau O2 maupun untuk orang yang dibicarakan atau O3. Leksikon ini tidak dapat digunakan oleh diri sendiri atau oleh orang pertama (O1). Beberapa contoh leksikon ini adalah mustaka ’kepala’, rikma ’rambut’, dhahar ’makan’, siram ’mandi’, dan tindak ’pergi’. d. Leksikon Krama Andhap Leksikon Krama Andhap merupakan leksikon yang digunakan untuk menghormati mitra wicara dengan jalan merendahkan diri sendiri. Leksikon ini hanya dapat digunakan untuk diri sendiri atau O1 dan tidak dapat digunakan untuk orang lain, baik untuk orang yang sedang diajak bebicara (O2), maupun untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
orang yang sedang dibicarakan (O3). Beberapa contoh leksikon ini adalah sowan ’menghadap’, paring ’beri’, suwun ’pinta’, nderek ’ikut’, dan niatur ’berkata’. Jumlah leksikon ini hanya terbatas. Entri leksikon Krama Andhap hanya delapan, tetapi subentrinya mencapai puluhan kata. e. Leksikon Ngoko Leksikon Ngoko merupakan leksikon dasar pembentukan leksikon lain. Oleh sebab itu, leksikon ini mempunyai padanan leksikon Krama, Madya, Krama Inggil, dan/atau Krama Andhap. Beberapa contoh leksikon Ngoko adalah mata ’mata’, cangkem ’mulut’, linggih ’duduk’, bojo ’istri/suami’, nunggang ’naik’. f. Leksikon Netral Leksikon Netral merupakan leksikon yang tidak mempunyai padanan leksikon Krama, Madya, Krama Inggil, dan/atau Krama Andhap. Leksikon ini dapat muncul pada ragam Ngoko atau Ragam Krama. Di dalam Kamus Jawa, leksikon Netral sering disebut dengan Leksikon Ngoko Krama karena leksikon tersebut dapat muncul pada tataran Ngoko dan pada tataran Krama. g. Leksikon Kasar Leksikon Kasar merupakan leksikon yang mengungkapkan makna kasar, Sudaryanto (1989: 79-87) menyebut leksikon kasar sebagai kata afektif. Leksikon ini tidak mencerminkan kesantunan. Leksikon ini dibedakan menjadi dua, yaitu leksikon yang benar-benar bermakna kasar dan leksikon kasar yang berasal dari pergeseran makna leksikon ngoko. Beberapa contoh leksikon kasar, yaitu minggat ‘pergi’, modar ‘mati’, gobog ‘telinga’, cocot ‘mulut’ dan bangka ‘mati’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
4. Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa Tingkat Tutur bahasa Jawa atau yang disebut Unggah-ungguh basa Jawa oleh Sry Sasangka, dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu Ngoko (ragam Ngoko) dan Krama (ragam Krama). Kedua bentuk Unggah-Ungguh tersebut akan diuraikan berikut ini. a. Ragam Ngoko Yang dimaksud dengan ragam Ngoko adalah bentuk Unggah-Ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon Ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam Ngoko adalah leksikon Ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul pada ragam inipun semuanya berbentuk Ngoko (misalnya afiks di-, -e, dan -ake). Ragam Ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya dari pada lawan bicara (mitra wicara). 1) Ngoko Lugu Yang dimaksud dengan Ngoko Lugu adalah bentuk Unggah-Ungguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya berbentuk Ngoko dan Netral (leksikon Ngoko dan Netral). Tanpa terselip leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap, baik untuk O1, O2, maupun (O3). Afiks yang digunakan di dalam raga ini adalah afiks di-, -e, dan -ake bukan afiks dipun-, -ipun, dan -aken. Afiks itu melekat pada leksiokon Ngoko dan Netral. Contoh dalam tuturan tampak seperi berikut: -
Pur, aku tukokno anggur beras kencur cap Pak Jenggot! ‘Pur, saya belikan anggur beras kencur cap Pak Jenggot!’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
Contoh dalam wacana tampak seperti berikut. Jamu beras kencur iku klebu jamu tradisisonal. Jamu beras kencur ana rong warna. Ana sing kanggo perem, kang cara panganggone diwedhakake ing perangane awak kang njarem, emu, utawa benjut jalaran kethuthuk utawa kajeglug. Parem beras kencur kuwi duwe daya bisa ngilangi rasa njarem, kesel, lan gaweangeting awak kang diparemi. ‘Jamu beras kencur itu termasuk jamu tradisional. Jamu beras kencur ada dua warna. Ada yang buat parem, yang cara penggunaannya dilulurkan di bagian tubuh yang sakit, capek, atau luka karena terbentur sesuatu. Parem beras kencur itu mempunyai daya menghilangkan rasa capek dan membuat badan hangat’.
2) Ngoko Alus Yang dimaksud dengan Ngoko Alus adalah bentuk Unggah-Ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon Ngoko dan Netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap. Namun, leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (O2 atau O3). Leksikon Krama Inggil yang muncul di dalam raga ini biasanya hanya terbatas pada kata benda (nomina), kata kerja (verba), atau kata ganti orang (pronominal). Jika leksikon Krama Andhap muncul dalam raga ini, biasanya leksiokon itu berupa kata kerja, dan jika leksikon Krama muncul dalam raga ini, leksikon itu biasanya berupa kata kerja atau kata benda. Afiks yang digunakan dalam Ngoko Alus meskipun melekat pada leksikon Krama, Krama Inggil, atau Krama Andhap tidak jauh berbeda bentuknya dengan afiks yang melekat pada Ngoko Lugu, yaitu menggunakan afiks penanda leksikon ngoko (di-, -e, dan -ne).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
Contoh dalam tuturan tampak seperti berikut. -
Simbah mengko arep tindak karo sapa? ‘Nenek nanti akan pergi dengan siapa?
Contoh dalam wacana tampak seperti berikut.
Jam sepuluh Bu Prapto lan ibu-ibu liyane padha rawuh karo ngasta nyamikan. Ana sing ngasta gedhang godhog, pohung godhok, gedhang goreng, wedang kopi, teh lan liya-liyane. Ora let suwe Pak Prapto ngajak para wargane ngaso dhisik, ngicipi nyamikake ibu-ibu. Kabeh padha ngaso sinambi ngobrol ngalor-ngidul lan gegojegan. ‘ Jam sepuluh Bu Prapto dan ibi-ibu lainnya datang membawa jajanan. Ada yang membawa pisang rebus, ketela rebus, pisang goreng, minuman kopi, teh, dan lain-lainnya. Tidak lama kemudian Pak Prapto mengajak para warga istirahan dulu, merasakan nyamikan ibu-ibu. Semua istirahat sambil ngobrol kesana-kesini sambil bercanda’.
b. Ragam Krama Yang dimaksud dengan ragam Krama adalah bentuk Unggah-Ungguh basa Jawa yang berintikan leksikon Krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam Ragam Krama adalah leksikon Krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam raga ini pun semuanya berbentuk Krama (misalnya, afiks dipun,ipun, dan -aken). Ragam Krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam Krama mempunyai dua bentuk varian, yaitu Krama Lugu dan Krama Alus. Kedua varian itu berbeda secara etik, tetapi tidak berbeda secara emik. Uraian berikut ini akan membahas hal itu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
1) Krama Lugu Istilah lugu pada Krama Lugu tidak didefinisikan seperti Lugu pada Ngoko Lugu. Makna Lugu pada Ngoko lugu mengisyaratkan makna bahwa bentuk leksikon yang terdapat didalam Unggah-Ungguh tersebut semuanya berupa Ngoko. Sementara itu, lugu dalam Krama Lugu tidak diartikan sebagai suatu ragam yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon Krama, tetapi digunakan untuk menandai suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon Krama, Madya, Netral, dan/atau Ngoko serta dapat ditambah leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap. Yang menjadi inti dari ragam Krama Lugu adalah leksikon Krama, Madya, Netral, dan/atau Ngoko sedangkan leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap yang muncul dalam ragam ini hanya digunakan untuk menghormati lawan bicara. Contoh dalam tuturan: - Sampeyan napa empun nate tindak teng Wonogiri? - ‘Sudah pernahkah Anda pergi ke Wonogiri?’ Contoh dalam wacana tampak dalam tuturan berikut.
Menawi sampeyan wangsul teng Solo, kula aturi mempir onten griya, Mas. Niki rencanane kula kalih pake ajeng wansul onten sedherek, niku rayine pake, ajeng gadhah damel mantu njing dinten Senen Legi tanggal 11 Maret. Sing wangsul mung kula kalih pake thok, yen Sri kalih Yuni mboten wangsul, kajenge jaga waning niki timbang wira-wiri Solo – Jakarta ngentek-ngentekake ragat. Bubar banjir niki lho Mas, dodolane sepen sing tumbas. ‘ Jika anda pulang ke Solo, saya persilahkan mampir kerumah , Mas. Rencananya saya dan suami akan pulang, ada saudara, itu adik suami, akan ada hajatan nanti hari Senin Legi tanggal 11 Maret. Yang pulang hanya saya dan suami saja, kalau Sri dan Yuni tidak pulang, supaya menjaga warung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
daripada bolak-balik Solo-Jakarta hanya menghabiskan biaya. Setelah banjir itu lo Mas, jualannya sepi pembeli”.
2) Krama Alus Yang dimaksud dengan Krama Alus adalah bentuk Unggah-Ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon Krama dan dapat ditambah dengan leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap. Yang menjadi inti dari ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk Krama. Leksikon Madya dan leksikon Ngoko tidak pernah muncul di dalam Tingkat Tutur ini. Selain itu leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap secara konsisten selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Secara semantik ragam Krama Alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam Krama yang kadar kehalusannya tinggi. Dalam Tingkat Tutur ini afiks dipun-, ipun, dan -aken cenderung sering muncul dari pada afiks di-, -e, dan -ake. Contoh dalam tuturan tampak seperti berikut. -
Para miyarsa, wonten ing giyaran punika kula badhe ngaturaken rembag bab kasusastran Jawi ‘Para pendengar, dalam (kesempatan) siaran ini saya akan berbicara tentang kesusasteraan Jawa’.
Contoh dalam wacana tampak seperti berikut: Tlatah wewengkoning Nusantara punika wiyar sanget, arupi pulo ageng-alit, maewu-ewu. Sumebaring pendhudhuk ing pulo-pulo wau boten waradin. Wonten pulo ingkang pendhudhukipun sakalangkung padhet, prasasat jejel-riyel. Umpaminipun pulo Jawi lan pulo Bali. Swatawis wonten pulo ingkang taksih sakedhik sanget pendhudhukipun. Kathah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
papan ingkang taksih bawera bera, kados-kados suwung boten wonten ingkang ngenggeni. ‘Daerah Nusantara ini luas sekali, berupa pulau besar-kecil, beriburibu. Penyebaran penduduk di pulau-pulau tidak merata. Ada pulau yang penduduknya sangat padat sampai berjejal-jejal. Contohnya pulau Jawa dan pulau Bali. Sebagian ada pulau yang pendududknya sangat sedikit. Banyak lahan yang masih kosong seperti tidak ada yang menempati’.
Dapat diamati, bahwa leksikon Krama Inggil dan Krama Andhap selalu mendapatkan perlakuan yang khusus, yaitu selalu digunakan untuk penghormatan terhadap lawan bicara dengan cara meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri. Untuk meninggikan orang lain selalu digunakan leksikon Krama Inggil dan untuk merendahkan diri sendiri selalu digunakan leksikon Krama Andhap. Pemunculan leksikon Krama Inggil atau Krama Andhap dalam ragam Ngoko dapat mengubah ragam itu menjadi Ngoko Alus. Sementara itu pemunculan leksikon Madya dan Ngoko serta pemunculan afiks Ngoko dan klitik Madya (mang-) dalam ragam Krama dapat mengurangi kadar kehalusan ragam itu, atau dengan kata lain pemunculan afiks Ngoko dan klitik Madya dalam ragam Krama dapat mengubah Krama Inggil menjadi Krama Lugu. Berdasarkan beberapa uraian tentang kajian tingkat tutur bahasa Jawa dari beberapa ahli yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti dalam menganalisis data penelitian, maka peneliti lebih berkiblat pada pendapat Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka dalam “Ungguh-Ungguh Bahasa Jawa” (2010). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa secara emik terdiri atas ngoko dan krama, sedangkan secara etik unggah-ungguh bahasa Jawa terdiri atas ngoko lugu dan ngoko alus; krama lugu dan krama alus.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
5. Peran Guru dalam Pembelajaran Tingkat Tutur Bahasa Jawa Kemampuan tingkat tutur berkaitan dengan kemampuan komunikasi lisan seseorang pada hal ini berkaitan dengan kemampuan lisan bahasa Jawa. Dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Kemampuan Komunikasi Lisan Bahasa Jawa Kemampuan komunikasi lisan bahasa Jawa meliputi konsep kemampuan, dan komunikasi lisan. 1) Konsep Kemampuan Gagne dan Briggs (1974: 57) mengemukakan bahwa kemampuan adalah hasil belajar yang diperoleh pembelajar setelah mengikuti suatu proses belajar mengajar. Suatu kemampuan adalah suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu tindakan khusus atau tugas khusus, baik secara fisik atau mental (Sternberg, 1994: 3). Tentu saja tugas yang berbeda menuntut kemampuan yang berbeda juga. Selaras dengan itu, Warren (1994:1) mengartikan kemampuan sebagai kekuatan untuk menunjukkan tindakan responsif, termasuk gerakan-gerakan terkoordinasi kompleks dan pemecahan problem mental. Menurut Chaplin (2000: 1). Kemampuan diartikan sebagai kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan, tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Sementara itu, Eysenck, Arnold, dan Meili (1995: 5) mengemukakan bahwa kemampuan adalah suatu pertimbangan konseptual. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kemampuan berarti semua kondisi psikologi yang diperlukan untuk menunjukkkan suatu aktivitas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Selain pendapat diatas, kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek. Senada dengan itu, Fuad Hassan (1991: 43) mengartikan kemampuan sebagai suatu kesanggupan atau kecakapan. Sternberg dan Warren memiliki kesamaan dalam mengemukakan pengertian tentang kemampuan, yakni kemampuan adalah suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu tindakan responsif. Chaplin dan Fuad Hassan mengemukakan bahwa kemampuan merupakan suatu kesangguapan untuk melakukan suatu perbuatan. Adapun Eysenck, Arnold, dan Meili mengemukakan pengertian kemampuan adalah suatu pertimbangan konseptual dalam arti semua kondisi psikologi yang diperlukan untuk menunjukkan suatu aktifitas. Kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Menurut penjelasan Charles E Johnsons, seperti yang dikutip oleh Ace Wijaya dan Tabrani Rusyan (1994: 8) seorang yang dinyatakan kompeten dalam bidang tugas atau kerja tertentu adalah seseorang yang menguasai kecakapan dari bidang tersebut. Sebagai tenaga pendidik, Guru melaksanakan fungsi profesi. Oleh karena itu, agar dalam menjalankan fungsi profesi dapat berhasil dengan baik, Guru harus memiliki kemampuan tertentu, baik kemampuan dasar umum maupun kemampuan khusus. Kemampuan dasar umun adalah kemampuan yang memberi dukungan positif terhadap pelaksanaan tugas profesinya dengan kata lain memiliki kualifikasi profesional. Kemampuan khusus Guru bahasa Jawa harus memiliki kemampuan khusus tertentu, antara lain: (1) memiliki kualitas memadai dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
pemahaman Tingkat Tutur bahasa Jawa, (2) memiliki tekad untuk menumbuh kembangkan pemakaian Tingkat Tutur bahasa Jawa dengan baik dan benar terutama dimulai dari anak didik. Berpijak pada beberapa pendapat para ahli di atas, kemampuan adalah suatu kekuatan yang diperlukan untuk menunjukkan suatu tindakan atau aktivitas. 2) Pengertian Komunikasi Lisan Burhan Nurgiyantoro (1988: 252) menyatakan bahwa berbicara merupakan aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarkannya, kemudian manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu berbicara. Dalam kegiatan berbicara diperlukan penguasaan terhadap lambang bunyi baik untuk keperluan menyampaikan maupun menerima gagasan. Menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 15) berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neorologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif. Sehingga secara luas dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi control sosial. Pada saat melakukan aktifitas berbicara pada hakikatnya seseorang menerapkan berbagai kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki secara total dalam suatu konteks yang dinamis. Menurut Bygate (1987: 3) berbicara mencakup keterampilan perspektif motorik dan keterampilan interaksi. Brown (1996: 5) menyebutkan bahwa, pembicara harus memantau apa yang baru saja dikatakannya, dan menentukan apakah itu sesuai dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
maksudnya, pada waktu ia mengucapka dan memantau kata-kata yang sedang diucapkannya,
sekaligus
merencanakan
ujarannya
yang
berikut
serta
menempatkan itu ke dalam keseluruhan pola mengenai apa yang ingin dikatakannya dan selain itu memantau tidak hanya performance-nya atau penampilannya sendiri, tetapi juga penerimaan oleh pendengarnya. Mulgrave, dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 15) mengemukakan berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Lebih jauh dikatakan berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak, baik bahasa pembicaranya maupun bagi penyimaknya. Berdasarkan beberapa konsep di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud komunikasi lisan (berbicara) adalah aktivitas berbahasa yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari yang bertujuan menyampaikan informasi dengan menggunakan kalimat efektif sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima secara cepat. 3) Hakikat Kompetensi Guru Menurut Loise Moqvist (2003) mengemukakan “ Competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work”. Sementara itu, dari Training Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa: “ A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
description of an action, behavior or outcome which a person should be able to demonstrate.” Kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan sesorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seeorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan. Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyatno dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu sebagai berikut. 1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkan, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya. 2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas. 3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang, menjalankan peran: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantun dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemmapuan dalam pengelolan peserta didik yang meliputu: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahamn terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat;
(h)
mengevaluasi
kinerja
sendiri;
dan
(i)
mengembangkan diri secara berkelanjutan. 3. Kompetensi sosial, yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi kumunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik; (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 4. Kompetensi professional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajasionar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
sehari-hari; (e) kompetesi secara professional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional. b. Pengertian Mengajar Mengajar merupakan salah satu tugas profesi guru yang utama di sekolah. Nasution (2000: 4) mengemukakan beberapa pengertian mengajar: (1) Mengajar adalah menanamkan pengetahuan pada anak, (2) Mengajar adalah menyampaikan kebudayaan pada anak, (3) Mengajar adalah suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungknya dengan anak sehingga terjadi proses pelajar. Dapat dijelaskan bahwa, definisi 1dan 2 lebih bersifat teacher-centered, sehingga anak bersikap pasip. Definisi 3 lebih bersifat pupil-centered, dalam definisi ini guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, pembimbung dan pengatur lingkungan belajar, sehingga terbentus suasana yang sebaik-baiknya bagi anak untuk belajar. Hakikat mengajar atau “teaching” adalah membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar (Joyce dan Weil 1996: 22). Sedangkan Gagne, Briggs, dan Wager (1983: 3) menyatakan sebagai berikut: instruction is a set events that affect learners in such a way that learning is facilitated. Sedangkan pendapat Burton yang dikutip Uzer Usman (2000: 6) menyatakan bahwa teaching is the guidance of learning activities. Selanjutnya User usman sendiri mendifinisikan pengertian mengajar sebagai berikut: mengajar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
adalah suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu kegiatan dan usaha dalam membimbing, memfasilitasi, mengatur lingkungan belajar yang sebaik-baiknya bagi anak sehingga terbentuk suasana belajar yang nyaman dan efektif. 1) Tugas dan Peran Guru Dalam proses pembelajaran peranan dan tugas seorang guru adalah sangat strategis di samping tugas-tugas lain yang sangat komplek. Guru mempunyai tugas cukup banyak, baik yang bersifat kedinasan maupun di luar kedinasan (Moh Uzer Usman, 2000: 6). Dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Tugas dalam bidang profesi, (2) Tugas kemanusiaan, (3) Tugas dalam bidang kemasyarakat. Tugas guru sebagai profesi meliputi, mengajar maupun melatih. Tugas guru sebagai jiwa kemanusiaan, guru harus menjadi orang tua kedua dan menjadi panutan anak didik. Sedangkan dalam bidang kemasyarakatan seorang guru harus bisa mendidik dan mengajar di lingkup masyarakat dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. 2) Kemampuan Mengajar Guru Guru harus memiliki kemampuan profesional agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. Cooper yang dikutip Nana Sudjana (1989: 17) mengemukakan kemampuan dasar yang harus dikuasai guru, yaitu: (1) Mengetahui pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) Mempunyai pengetahuan dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
menguasai bidang studi yang dibinanya, (3) Mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, (4) Mempunyai ketrampilan teknik mengajar. Sejalan juga dengan Glasser yang dikutip Nana Sudjana (1989: 18) menyatakan adanya 4 (empat) kemampuan dasar yang harus dikuasai guru dalam mengajar: (a) Menguasai bahan pelajaran, (b) Mendiagnosa tingkah laku siswa, (c) Kemampuan melaksanakan proses pengajaran, (d) Kemampuan mengukur hasil belajar siswa. Dari 4 (empat) konsep yang telah dikemukakan, sebenarnya kemampuan guru dalam mengajar berkaitan dengan pengalaman mengajar. Pengalaman adalah guru yang baik. Hal ini juga berlaku dalam mengajar. Semakin berpengalaman dalam mengajar seorang guru akan semakin peka dalam memilih metode, menyusun dan menggunakan strategi pembelajaran, maupun dalam penguasaan materi pelajaran. Pengalaman adalah proses untuk memperoleh pengetahuan atau ketrampilan dengan mengerjakan atau melihat. (Hornby, 1974: 78). Begitu juga pendapat Wisnubrata (1983: 47) menyatakan bahwa pengalaman adalah segala kejadian yang secara sengaja dialami oleh seseorang. Dali Galo (1989: 24) menyatakan bahwa pengalaman atau experience diartikan sebagai riwayat yang dialami suatu organism pada saat yang lampau. Benyamin Bwalman (1973: 31) Experience is skill or understanding which is the result of living through something or of practice or of participation in something. Joyce dan Weil yang dikutip Toeti Sukamto (1997: 79) mengatakan bahwa hakekat mengajar adalah usaha membantu para pelajar memperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
informasi, ide, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya dan cara-cara belajar. Sejalan dengan pendapat Ali Imron (1995: 167) mengajar merupakan suatu usaha yang memungkinkan siswa belajar. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pengalaman mengajar adalah segala kemampuan, keterampilan, maupun nilainilai yang diperoleh seorang guru melalui partisipasi atau keterlibatannya secara langsung selama mengajar. jadi untuk memperoleh atau meningkatkan pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai mengajar yang lebih baik seorang guru perlu belajar melalui pengalaman kerja yang mereka lakukan. 3) Pengertian Pembelajaran Bahasa Jawa Pengajaran bahasa Jawa di sekolah perlu didasarkan pada bahasa Jawa sebagai bahan pembelajaran bahasa, hasil pembelajaran bahasa, dan pengajaran bahasa. Bahasa Jawa sebagai bahan pembelajaran bahasa adalah kesatuan antara sistem dan kaidah, fungsi, dan realisasinya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Sebagai bentuk kesatuan itu, maka bahasa Jawa harus dipelajari selaras dengan pengalaman kebahasaan sebagaimana ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal oleh anak, dipelajari oleh anak secara alamiah dari lingkungna hidupnya. Cara belajar demikian tidak hanya menghasilkan pemerolehan bahasa lahiriah, tetapi meliputi juga sendi-sendi bahasa yang paling dalam. Pemerolehan bahasa tidak hanya terbatas struktur bahasa tetapi menyentuh pula aspek rasa bahasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
Bahasa Jawa sebagai hasil pembelajaran berarti seperti diungkapkan Hatch (1978) merupakan kemampuan berinteraksi dengan menggunkan bahasa Jawa dalam peristiwa komunikasi; atau bila diturunkan dari pendapat Littlewood (1981) berupa kompetensi kontekstual dan sosiolinguistik (fungsional) disamping kompetensi linguistik. Kompetensi konstektual berupa kepemilikan kemampuan memanfaatkan bahasa Jawa sesuai dengan kebutuhan. Kompetensi sosiolinguistik berupa kepemilikan kemampuan menggunakan bahasa Jawa yang berterima sesuai etika sosial. Kompetensi linguistik merupakan kepemilikan pengetahuan tentang struktur bahasa Jawa. Bahasa Jawa sebagai sistem pengajaran perlu dimaknai sebagai bentuk pengajaran bahasa yang tidak hanya melihat bahasa Jawa dari sisi strukturnya, tetapi juga dari sisi fungsi komunikatif yang dibutuhkan, dapat dimanfaatkan, dan dapat dimainkan pembelajar. Pembelajaran bahasa Jawa harus langsung dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari, terutama pembelajaran pada siswa. Perpaduan antara kemampuan bahasa dan keterampilan berbahasa merupakan modal dasar dalam usaha untuk memperoleh kemampuan komunikatif (Hymes, 1972). Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah terutama dalam kompetensi dasar unggah-ungguh basa diberikan kepada siswa sejak Pendidikan Usia Dini sampai Pendidikan Menengah Atas bahkan pada tingkat Perguruan Tinggi. Sehingga tes untuk mengetahui perbedaan penguasaan tingkat tutur bahasa Jawa siswa yaitu dengan penugasan (pemberian tugas) praktik bercakap-cakap.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
C. Kerangka berpikir
Tingkat tutur bahasa Jawa yaitu tingkah laku berbicara yang perbedaanperbedaanya bersangkutan.
ditentukan
menurut
Sedangkan
adat
sopan
unggah-ungguh
basa
santun
masyarakat
merupakan
alat
yang untuk
menciptakan jarak sosial, namun disisi lain juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Struktur bahasa yang mengenal unggah-ungguh basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau stratifikasi sosial. Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama. Yang dimaksud krama lugu adalah suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon krama, tetapi digunakan untuk menandai suatu ragam yang kosakatanya terdiri atas leksikon krama, madya, netral, atau ngoko serta dapat ditambah leksikon krama inggil atau krama andhap. Krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon krama inggil atau krama andhap secara konsisten selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
Kompetensi Guru bahasa Jawa dalam berbahasa atau penguasaan Tingkat Tutur dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari diri Guru (internal), maupun yang berasal dari luar diri Guru (eksternal). Faktor internal yang dimaksud seperti kemampuan Guru di dalam menguasai materi tingkat tutur atau unggah-ungguh basa keterlibatannya dalam pemakaian bahasa sehari-hari baik di masyarakat atau di sekolah. Faktor eksternal yang mempengaruhi Guru dalam penguasaan kompetensi bidang tingkat tutur bahasa Jawa, misalnya sarana, kondisi siswa, dan lingkungan sekolah. Berikut disampaikan bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Tingkat Tutur
Kajian Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Ragam Ngoko Alus
Ragam Krama Lugu
Ragam Krama Alus
Kompetensi Guru Mengimplementasikan Pembelajaran Tingkat Tutur di Sekolah Bagan 4. Bagan Kerangka Berpikir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di: (1) SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo, (2) SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo, (3) SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman, (4) SD Negeri 01 Josenan Kecamatan Taman, (5) SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo, (6) SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo. Beberapa pertimbangan dipilihnya sekolah tersebut sebagai tempat penelitian adalah: Pertama, Kota Madiun terdiri dari tiga Kecamatan, kemudian diambil sampel dalam satu Kecamatan dua SD Negeri. Kedua, sekolah-sekolah tersebut termasuk sekolah dengan akreditasi A. Lokasi penelitian di Kecamatan Mangunharjo yaitu SD Negeri 05 Madiun Lor lokasinya berada di pusat Kota dekat dengan pasar besar dan supermarket. SD Negeri Patihan lokasinya terletak di sebelah utara dari pusat Kota. Lokasi penelitian di Kecamatan Kartoharjo yaitu SD Negeri 02 Kanigoro lokasinya terletak paling timur dari pusat Kota. SD Negeri 02 Kartoharjo lokasinya juga terletak di pusat Kota bersebelahan tepat dengan SD Negeri 05 Madiun Lor tetapi sudah berbeda Kecamatan. Lokasi penelitian di Kecamatan Taman yaitu SD Negeri 01 Josenan lokasi sekolah termasuk terletak paling selatan dari pusat Kota, dan SD Negeri Kejuron terletak di tengah-tengah Kota dekat dengan Pasar Besar. commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
Beberapa pertimbangan dipilihnya guru pada masing-masing sekolah tersebut adalah: (1) perbandingan antara guru yang berasal asli dari Jawa Tengah dan guru yang berasal dari asli Jawa Timur, (2) dari faktor usia mewakili guru yang masih berusia kurang dari 30 tahun dan guru yang berusia lebih dari 30 tahun, (3) lulusan sarjana dari Perguruan Tinggi Negeri dan lulusan dari Perguruan Tinggi Swasta. 2. Waktu Penelitian Penelitian tentang kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa pada guru Bahasa Jawa di SD Negeri di Kota Madiun dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Oktober 2012. Adapun jadwal penelitian dan kegiatan-kegiatannya tampak pada matrik sebagai berikut: Jadwal Penelitian No
Kegiatan
1
Penyusunan Proposal Seminar Proposal Observasi Awal Pengumpulan data Analisis dan Verifikasi data Penyusunan dan Laporan hasil Penelitian
2
3
4
5
6
Mei
Juni
Juli
1 2 3 4 5 1 2 3 4
5
Agustus
Oktober
September
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1
2 3 4 5
√ √
√ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
B. Bentuk dan Strategi Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih menekankan pada masalah proses dan makna, maka jenis penelitian dengan strateginya yang terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif (Sutopo, 2002: 183). Moleong
(1991:7)
mengemukakan
bahwa
penelitian
yang
lebih
banyak
mementingkan segi proses daripada hasil disebut penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini mampu mengungkap berbagai informasi dengan deskripsi yang lebih teliti dan melihat aspek manusia secara lebih substansial daripada aspek atributif. Strategi yang dipilih adalah strategi studi kasus (Noeng Muhadjir, 1996: 43). Studi kasus dipilih karena merupakan strategi yang paling cocok untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana dan Mengapa” sehingga dapat mengklarifikasikan secara tepat hakekat pertanyaan dalam penelitian (Yin dalam Sutopo, 2002: 183). Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang, karena fokus penelitian telah ditentukan sebelum peneliti terjun menggali informasi data di lapangan yaitu kemampuan guru dalam pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa. C. Data dan Sumber Data 1. Data Penelitian Data yang diperoleh untuk disusun, diolah, dan dikumpulkan merupakan data kualitatif. Data penelitian ini berupa data tulis ragam ngoko alus, krama lugu,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
krama alus yang berupa soal, dan tuturan bahasa Jawa guru SD Negeri di Kota Madiun. Diperoleh melalui informasi lisan dan tulis yang didalamnya terdapat ketiga ragam tersebut. 2. Sumber data Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) informan/nara sumber yaitu guru bahasa Jawa dari SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo bernama Ibu Erna Ratnawati S.Pd, SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo bernama Ibu Rahayu Sih Sejati, S.Pd, SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo, Bapak Nasrullah, S.Pd, SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo, Ibu Sriana Mardikawati, S.Pd, SD Negeri 02 Josenan Kecamatan Taman, Ibu Yeny Yudha, S.Pd, SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman, Ibu Triasih, S.Pd, (b) kegiatan dan peristiwa pembelajaran yaitu proses pembelajaran bahasa Jawa di dalam kelas, (c) soal-soal tentang tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus yang dikumpulkan. Ada beberapa soal yang dibagikan ketika guru berada di sekolah masing-masing, dan ketiga ketika diadakan kegiatan rutin agenda bulanan kegiatan Kelompok Kerja Guru, serta pengamatan langsung ketika guru mengajar di dalam kelas. Soal tersebut dibagikan agar dijawab untuk mengetahui sejauh mana kemampuan guru tersebut mengenai ketiga tingkat tutur bahasa Jawa tersebut. D. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan jenis data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
1. Wawancara Wawancara mendalam (In-depth Interviewing). Wawancara jenis ini bersifat lentur, tidak dalam suasana formal dan bisa dilakukan berulang-ulang pada informan yang sama (Sutopo, 1996: 137). Pertanyaan yang diajukan bisa makin terfokus sehingga informasi yang bisa dikumpulkan makin rinci dan mendalam (Sutopo, 2002: 184). Kelonggaran dan kelenturan cara ini akan mampu mengorek kejujuran informan untuk memberikan informasi yang sebenarnya, terutama yang berkaitan dengan perasaan, sikap, dan pandangan mereka pada semua informasi. Wawancara ini dilakukan pada informan yang diperlukan yaitu: guru bahasa Jawa untuk mencari keterangan tentang kemampuan guru dalam pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa. Kegiatan ini semua dilaksanakan selama peneliti mencari data yang dibutuhkan sebagai bahan laporan, dengan cara merekam, mewawancarai, dan mencatat semua yang dituturkan oleh narasumber. 2. Observasi Pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan berperan pasif. Dalam observasi ini peneliti hanya mendatangi lokasi, tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apapun selain sebagai pengamat pasif, namun hadir dalam konteksnya (Sutopo, 2002: 66). Hal ini bertujuan untuk mengamati kemampuan guru dalam pembelajaran bahasa Jawa terutama kajian tingkat tutur yang berlangsung di masing-masing sekolahan yang menjadi tempat penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
3. Tes tertulis Tujuan tes tertulis untuk mengetahui kebenaran dalam penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus. E. Teknik Cuplikan (Sampling) Dari berbagai sumber bahwa SD Negeri di Kota Madiun cukup banyak. Dalam satu Kota Madiun terdiri dari tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Mangunharjo, Taman, dan Kartoharjo. Dalam satu Kecamatan Mangunharjo terdapat 18 SD Negeri, Kecamatan Taman terdapat 18 SD Negeri, dan Kecamatan Kartoharjo terdapat 19 SD Negeri, baik kelas gemuk ataupun kurus. Untuk mempermudah dalam pengolahan data, maka peneliti mengambil teknik sampling atau cuplikan dengan menggunakan purposive sampling. Karena dilakukan secara purposive, maka dari seluruh SD Negeri yang ada di Kota Madiun, dipilih setiap Kecamatan dua SD Negeri, dikandung maksud bahwa di SD Negeri tersebut guru yang dapat dijadikan nara sumber atau informan sudah sesuai dengan tujuan dan maksud peneliti. Dalam pemilihan informan sebagai nara sumber, peneliti melakukan dengan cara selektif dan fleksibel. Selektif maksudnya bahwa nara sumber sebagai informan adalah benar-benar dapat memberikan keterangan yang aktual, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang jelas. Sesuai cara pemilihan informan dilakukan secara fleksibel yang berarti bahwa dalam melaksanakan pengumpulan data pemilihan dan penetapan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan sepanjang masih ada keterkaitan dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
yang diteliti. Misalnya mencari data langsung pada setiap Guru memberi pelajaran bahasa Jawa. F. Teknik Validasi Data Trianggulasi
adalah
teknik
pemeriksaaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2000: 178). Teknik trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode pengumpulan data. Dalam kaitannya dengan trianggulasi sumber data, peneliti mengutamakan pengecekan informasi dan data hasil tes tertulis. Informasi yang diperoleh dari seorang informan dicek silang dengan informasi serupa dari informan lain. Suatu informasi diakui kebenarannya apabila disepakati oleh para informan. Dalam kaitannya dengan trianggulasi metode, peneliti mambandingkan informasi yang diperoleh dari suatu teknik/metode pengumpulan data dengan informasi serupa yang diperoleh dengan teknik/metode lainnya. G. Teknik Analisis Data Dari berbagai teknik dalam laporan teknik analisis data berupa analisis struktural dan model interaktif (interaktif mode of analysis) yang dikembangkan oleh Miles dan Hubremen. Analisis model interaktif melalui tiga hal, yaitu reduksi data (reductions data), penyajian data (data display), dan penarikan simpulan (conclusion drawing). Untuk lebih jelas, maka analisis model interaktif tersebut di bawah ini digambarkan diagram cara atau langkah kerjanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan
Simpulan/Verifikasi
Bagan 5. Analisis Model Interaktif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Pada hasil penelitian berikut, ada beberapa soal berupa ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus yang diujikan kepada masing-masing guru bahasa Jawa. Karena data yang disajikan banyak dan beragam maka pada data dipilih berupa jawaban-jawaban salah yang ditemukan di dalam masing-masing soal yang sudah dikerjakan. 1. Soal A1 ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam ngoko alus. (1)
Mentri pendhidhikan sing anyar iki jênêngé sapa?
(5)
Kaé bapakmu gék maca ning kamar.
(7)
Yén mung kaya ngono waé, dhéwéké mêsthi ya bisa!
(8)
Dhik, tulisanmu mênêng-mênêng akéh sing sênêng, lho!
(11) Coba ta dipikir dhisik aja grusa-grusu (13) Kapan mulihé, Nak? (14) Bu,iki biyén kanca kuliahku, saiki anaké wis têlu tur wis gêdhé-gêdhé. (15) Bu, aku njaluk tulung iki mêngko diwénéhaké Dhik Bondhan si Klapa Manis. (16) Mbak, yén mulih mênyang Jepara aku dijalukaké dhuwit marang Ibu, ya? 2. Soal A2 ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam krama alus (2)
Kowé sida arêp ngêjak aku ora, Mas?
(7)
Yén mung kaya ngono waé, dhéwéké mêsthi ya bisa! commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
(8)
Dhik, tulisanmu mênêng-mênêng akéh sing sênêng, lho!
(13) Kapan mulihé, Nak? (14) Bu,iki biyén kanca kuliahku, saiki anaké wis têlu tur wis gêdhé-gêdhé. (15) Bu, aku njaluk tulung iki mêngko diwénéhaké Dhik Bondhan si Klapa Manis. 3. Soal B ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam krama lugu, dan ragam krama alus (1)
Kowé têkaa wingi, aku nanggap wayang.
(2)
Dhéwéké mbok muliha sadhéla, aku wis kangên.
(3)
Dikandhanana, Mbak Darmi durung mêsthi teka, amarga sésuk arêp ujian.
(5)
Kalungé wis dituku adhimu.
(11) Lirih waé, mundhak dirungokaké bojomu! (12) Wis, kokgawakaké tas sing cilik iki waé! (13) Anakmu dakturokné, mara yén arêp dikêloni! (14) Murid-murid dakkandhanané mênawa sésuk libur. (15) Panganan iki gawanên mulih waé! (16) Sing tunggu omah gawakna panganan iki! 4. Soal C ragam ngoko lugu yang diubah ke ragam krama alus (3)
Pak Ali akon Bu Tini supaya ngumpulaké kanca-kanca guru.
(6)
Êmbah lanang nalika isih urip sênêng rokok krètèg
(12) Pak Bambang dakwênéhané foto sing apik-apik. (13) Panjalukku, kowé prayoga mulih waé!
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
(14) Ibu Kadés mènèhi pawarta nganggo tilpun marang Ibu Camat manawa dhayoh saka Kabupaten wis padha têka. (15) Ibu Camat mènèhi pawarta nganggo tilpun marang Ibu Kadés Manawa dhayoh saka Kabupaten wis padha têka. (19) Ibu Camat mènèhaké tandha-mata marang Ibu Kadés 5. Soal D1 leksikon ngoko lugu yang diubah ke leksikon krama inggil No soal 7 9 11 12 13 18 19 27 34 35 36 41 44 46 50 58
Ngoko Lugu
Krama Inggil
ngadhêp
adol ngaji ngajéni
pangaji ngaku ngakoni kamban(ên)
kaanan ngandêl
antara apa dené
ngapiki ngapik-apik ngarani ngarêp-arêp
No Soal 59 60 61 62 63 65 69 71 78 84 85 89 91 95 96
Ngoko Lugu
Krama Inggil
bacut mbacutaké kêbacut baé
baku mbaléni kebangêtên
kebanjiran barêp,(pa)mbarêp
kabisan bobot bubrah bukak buru mburu
6. Soal D2 leksikon ngoko lugu yang diubah ke leksikon krama inggil No Soal 4 8 17 20
Ngoko Lugu
cêndhèk pacoban dandan kêdawan
No Ngoko Lugu Soal 53 êndhék 55 ngênggoni 57 ênya 59 gaman commit to user
Krama Inggil
Krama Inggil
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
21 22 23 26 27 28 31 35 37 38 47 48 49 52
désa ndésani padésan ndhéwé ndhéwéki dhéwékan kêdhisikan dinan sadina-dina dluwang pasaduluran durung sadurungé kêpénak
No 23
Ngoko Lugu
63 67 70 71 75 79 82 84 85 87 89 90 91
nggatékaké gêni godhong gegodhongan guna guyon kélangan isin ngisin-isinaké iwak kalah ngalah kêsusus
Krama Lugu Metak
Krama Inggil
Undha-usuk bahasa jawa yang berupa bagian tubuh ( peranganing awak ) No 1 4 5 8 10 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Ngoko Lugu
Krama Lugu
Krama Inggil
alis bangkèkan bathuk cengel
dhengkul Geger
griwa
gulu idep
grana
kuku lambé
soca; tingal
sikil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
a) Kemampuan Guru Bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun dalam Pemakaian Tingkat Tutur Ragam Ngoko Alus, Krama Lugu, dan Krama Alus. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kemampuan tingat tutur khususnya ragam ngoko alus, krama lugu, krama alus guru bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun, pada hasil penelitian ini akan diilustrasikan dan dijelaskan kesalahan yang ditemukan pada tiap-tiap soal yang diujikan kepada masing-masing guru bahasa Jawa untuk mengukur dan membandingkan, sehingga dapat diketahui sejauh mana kemampuan guru tersebut dalam pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa. Lembar soal pertama yang diberikan sebanyak 20 butir soal dibagi menjadi jenis soal A1, A2, B, dan C, lembar soal kedua jenis soal D1, D2, E1, E2, dan lembar soal ketiga. Untuk mengetahui kemampuan guru tersebut dalam pemakaian tingkat tutur yang diaplikasikan berupa soal, peneliti di sini menggunakan scor nilai dengan kategori A (baik sekali) antara nilai 85-100, B (baik) antara nilai 71-85, C (cukup) antara nilai 56-70, D (kurang) antara nilai 41-55, E (sangat kurang) nilai kurang dari 40, sebagai alat ukur penilaian. Tiap butir soal jika jawaban benar mendapat nilai 10, jika salah sebagian mendapat scor nilai 5, dan jika salah semua mendapat scor nilai 0. Pembahasan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
(1) Analisis soal berupa kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu diubah ke ragam ngoko alus. Jenis soal A1 (a) Guru di SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo.
Gambar 1 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Rahayu Sih Sejati
Diujikan kepada guru tersebut sebanyak 20 soal yaitu mengubah bahasa Jawa ragam ngoko lugu menjadi bahasa Jawa ragam ngoko alus. Setelah diteliti dan dinilai guru tersebut dalam mengerjakan soal, sudah banyak yang benar sehingga nilai yang diperoleh sudah mencapai standar ketuntasan yaitu 85 (baik), pada analisis soal terdapat dua jawaban yang kurang sesuai. Yaitu pada butir soal nomer (5) Kae bapakmu gek maca ning kamar (ngoko lugu) “Itu bapak kamu sedang membaca di dalam kamar”. Kemudian diubah oleh guru tersebut menjadi Kae bapakmu gek maos ing kamar (ngoko alus). Kata Maca (ngoko lugu) “membaca” (verba) sudah sesuai diubah menjadi maos (krama inggil). Kesalahan terdapat pada panambang-mu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
(akhiran-mu) “kamu” yang melekat pada kata bapak-mu (ngoko lugu) ‘bapak kamu’ seharusnya diubah menjadi bapak panjenengan. Kesalahan ditemukan juga pada butir soal nomer (8) yaitu Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho (ngoko lugu) “Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho” diubah menjadi Dhik, tulisan panjenengan menengmeneng akeh sing seneng, lho (ngoko alus). Pada analisis ini jawaban dari guru tersebut salah tampak pada kata tulisan “tulisan” (nomina) tidak diubah menjadi kata seratan, tetapi pada soal ini tampak bahwa panambang-mu (akhiran-mu) sudah diubah menjadi leksikon krama inggil yaitu -panjenengan yang melekat pada kata tulisanmu ‘tulisan kamu’ menjadi tulisan panjenengan. Jika disesuaikan dengan kunci jawaban yang tersedia menjadi Dhik, seratan panjenengan meneng-meneng akeh sing seneng, lho. Kemudian butir soal nomer (15) yaitu Bu, aku njaluk tulung iki mengko diwenehke Dhik Bondhan si Klapa Manis (ngoko lugu) “Bu, saya minta tolong ini nanti diberikan Dik Bondan si Kelapa Manis”. Diubah oleh guru tersebut menjadi Bu, aku njaluk tulung iki mengko dipuncaoske Dhik Bondhan si Klapa Manis. Jawaban tersebut salah karena tampak pada kata diwenehke diubah menjadi ragam krama inggil dicaoske, seharusnya diparingke ater-ater “awalan” di- pada diwenehke “diberikan” merupakan afiks penanda leksikon ngoko maka afiks tersebut tetap menggunakan ngoko lugu. Sehingga sesuai kunci jawaban yang tersedia menjadi Bu, aku nyuwun tulung iki mengko diparingake Dhik Bondan si Klapa Manis Karena dalam konteks tersebut O2 dianggap masih muda dengan sebutan Dhik (Adik).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
(b) Guru di SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo.
Gambar 2 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Erna Ratnawati Diujikan sebanyak 20 soal kepada guru tersebut untuk mengubah bahasa Jawa ragam ngoko lugu ke bahasa Jawa ragam ngoko alus. Setelah diteliti dan dinilai bahwa guru tersebut mendapat nilai yang sesuai, guru tersebut memperoleh nilai 70 (cukup). Kesalahan dapat dilihat mulai butir soal nomer (1) yaitu Mentri Pendhidhikan sing anyar iki jenenge sapa? (ngoko lugu) “Mentri Pendidikan yang baru ini namanya siapa” Kalimat tersebut diubah ke ragam ngoko alus menjadi Mentri Pendhidhikan sing enggal iki asmane sapa? Kesalahan tampak bahwa kata anyar “baru” diubah menjadi enggal "baru" seharusnya jika disesuaikan dengan kunci jawaban yang tersedia menjadi Mentri Pendhidhikan sing anyar iki asmane sapa? Jadi kata anyar tetap tidak diubah ke ragam krama inggil. Pada butir soal nomer (3) oleh guru tersebut tidak dijawab. Kemudian butir soal nomer (5) Kae
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
bapakmu gek maca ning kamar “Itu bapak kamu sedang membaca di dalam kamar” oleh guru tersebut diubah ke ragam ngoko alus menjadi Kae bapakmu gek maos ning kamar. Ditemukan lagi pada bentuk ragam ngoko alus panambang-mu (akhiran-mu) yang melekat pada bapakmu tidak diubah menjadi krama inggil seharusnya sesuai kunci jawaban menjadi Kae bapak panjenengan gek maos ning kamar. Kemudian butir soal nomer (7) Yen mung kaya ngono wae, dheweke mesthi ya bisa! “Jika cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa”! Oleh guru tersebut kalimat diubah menjadi Yen mung ngono wae, panjenengane mesthi ya saged! (ngoko alus). Kesalahan terdapat pada kata ‘dheweke’ menjadi panjenengane seharusnya ‘piyambakipun’ kemudian kata bisa (ngoko lugu) juga diubah menjadi (krama inggil) saged seharusnya kata tersebut tidak berubah, disesuaikan dengan kunci jawaban yaitu Yen mung ngono wae piyambakipun mesthi ya bisa!. Kesalahan juga ditemukan pada nomer (8) Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! “Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho”. Oleh guru tersebut diubah menjadi Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing remen, lho!. Pada soal tersebut kata tulisanmu tidak diubah menjad krama inggil, yang diubah menjadi bentuk krama inggil kata seneng menjadi remen. Sehingga jawaban tersebut salah seharusnya sesuai kunci jawaban seperti berikut Dhik, seratan panjenengan meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Butir soal nomer (14) Bu, iki biyen kanca kuliahku, saiki anake wis telu tur wis gedhe-gedhe “Bu, ini dahulu teman kuliah saya, sekarang anaknya sudah tiga dan sudah besar-besar.” Pada soal tersebut ada kesalahan ketika guru mengubah kata kanca menjadi krama inggil rencang. Bu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
iki biyen rencang kuliahku, saiki putrane wis telu tur wis gedhe-gedhe. Kata kanca (ngoko lugu) tidak perlu diubah, sehingga jawaban yang sesuai menjadi Bu iki biyen kanca kuliahku saiki putranipun wis telu tur wis gedhe-gedhe. (c) Guru di SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman.
Gambar 3 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Triasih
Dari 20 soal yang diberikan, ternyata banyak ditemukan kesalahan pada guru tersebut dalam mengerjakan, ini terbukti nilai yang diperoleh 50 (kurang). Karena semua jawaban salah, kemudian poin nilai tersebut diperoleh dari setiap soal yang terdapat sedikit kesalahan diberi bonus poin 5 sehingga 20 soal dikali 5 menjadi 100 kemudian dibagi 2, jadi nilai yang diperoleh 50. Karena hampir semua jawaban dari guru tersebut banyak yang salah dari soal nomer 1 sampai soal nomer 20, maka kesalahan tidak diurai satu per satu. Bisa dilihat pada lampiran data. Diketahui bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
guru tersebut dalam mengubah ragam ngoko alus menggunakan ragam krama, salah satu contoh kesalahannya sebagai berikut lunga menjadi kesah, kowe menjadi sampeyan, iki menjadi niki, teka menjadi dugi. Seharusnya kata-kata tersebut diubah ke bentuk ragam krama inggil. (d) Guru di SD Negeri 02 Josenan Kecamatan Taman
Gambar 4 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Yeni Yudha E
Dari soal sebanyak 20 butir, untuk mengubah kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu ke ragam ngoko alus, guru tersebut telah mengerjakan soal dengan nilai yang diperoleh 75 (baik). Kesalahan yang ditemukan antara lain setiap ada panambang “akhiran” tidak diubah ke bentuk krama inggil contohnya panambang mu “akhiran-mu” yang melekat pada kata bapak-mu. Seperti contoh butir soal nomer (5) Kae bapakmu gek maca ning kamar (ngoko lugu) “Itu bapak kamu sedang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
membaca di dalam kamar” menjadi Kae bapakmu gek maos ing kamar (ngoko alus). Kemudian kesalahan ditemukan pada soal nomer (8) yaitu Dhik, tulisanmu menengmeneng akeh sing seneng, lho! “Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho”. Diubah oleh guru tersebut menjadi Dhik, seratanmu meneng-meneng akeh sing remen, lho!. Kesalahan yang ditemukan lagi ada beberapa kata yang tidak diketahui ragam krama inggilnya oleh guru tersebut sehingga jawaban menjadi salah. Seperti soal (11) Coba, ta dipikir dhisik aja grusa-grusu “Coba, lah dipikir dulu jangan tergesa-gesa” ragam ngoko alus-nya menjadi Coba ta dipikir dhisik aja grusa-grusu. Sehingga tidak ada perubahan pada kalimat tersebut. Butir soal nomer (13) Kapan mulihe, Nak? “Kapan pulangnya, Nak?” diubah menjadi Kapan wangsule , Nak? Kata mulih (ngoko lugu) menjadi wangsul (krama). Karena ragam ngoko alus kata kerja harus diubah ke ragam krama inggil maka kata mulihe harus diubah menjadi kondure, sehingga jawaban yang benar menjadi Kapan kondure, Nak? Soal nomer (16) sebagai berikut Mbak, yen mulih menyang Jepara aku dijalukake dhuwit marang ibu, ya! “Mbak, kalau pulang ke Jepara saya dimintakan uang pada Ibu, ya!” Diubah ke ragam ngoko alus menjadi Mbak, yen kondur menyang Jepara aku dijalukake dhuwit marang, ibu ya!. Kesalahan ditemukan pada dijalukake (ngoko lugu) tidak diubah ke ragam (krama inggil) menjadi disuwunake. Sehingga sesuai kunci jawaban yang benar menjadi Mbak, yen kondur menyang Jepara aku disuwunake dhuwit Ibu, ya!.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
(e) Guru di SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo
Gambar 5 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Bapak M. Nasrullah Pada analisis soal mengubah kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu menjadi ngoko alus, sama persis yang diujikan pada guru-guru sebelumnya Bapak Nasrullah memperoleh nilai 80 (baik). Kesalahan yang ditemukan pada jawaban beliau yaitu pada butir soal nomer (8) Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! “Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho”. Diubah oleh guru tersebut menjadi Dhik, seratanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Kesalahan hanya terdapat pada panambang-mu “akhiran-mu” yang tidak diubah ke ragam krama inggil panjenengan. Kemudian butir soal nomer (11) Coba, ta dipikir dhisik aja grusa-grusu! “Coba, lah dipikir dulu jangan tergesa-gesa!” ragam ngoko alus-nya menjadi Coba ta dipenggalih rumiyin aja grusa-grusu. Kata dipikir (ngoko lugu) sudah sesuai diubah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
menjadi krama inggil, hanya kesalahan pada kata dhisik (ngoko lugu) juga diubah ke ragam krama inggil menjadi rumiyin. Sehingga jawaban menjadi salah. Butir soal nomer (14) Bu, iki biyen kanca kuliahku, saiki anake wis telu tur wis gedhe-gedhe “Bu, ini dulu teman kuliah saya, sekarang anaknya sudah tiga dan sudah besar-besar”. Pada soal tersebut ada kesalahan ketika guru mengubah kata kanca menjadi krama inggil rencang. Bu iki biyen rencang kuliahku, saiki putrane wis telu tur wis gedhegedhe. Kata kanca (ngoko lugu) tidak perlu diubah, sehingga jawaban yang sesuai menjadi Bu iki biyen kanca kuliahku saiki putranipun wis telu tur wis gedhe-gedhe. Kemudian kesalahan juga terdapat pada butir soal nomer (15) Bu, aku njaluk tulung iki mengko diwenehke Dhik Bondhan si Klapa Manis (ngoko lugu) “Bu, saya minta tolong ini nanti diberikan Dik Bondan si Kelapa Manis”. Diubah oleh guru tersebut menjadi Bu, aku njaluk tulung niki mangke diwenehake Dhik Bondhan si Klapa Manis. Jawaban tersebut salah karena tampak pada butir diwenehke tidak diubah menjadi ragam krama inggil dicaoske, oleh guru tersebut yang diubah ke ragam krama inggil yaitu kata iki mengko (ngoko lugu) menjadi niki mangke (krama inggil). Sehingga sesuai kunci jawaban yang tersedia menjadi Bu, aku nyuwun tulung iki mengko diparingake Dhik Bondan si Klapa Manis Karena dalam konteks tersebut O2 dianggap masih muda dengan sebutan Dhik (Adik).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
(f) Guru di SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo
Gambar 6 Kegiatan mengerjakan soal tingkat tutur oleh Ibu Sriana Mardikawati
Pada analisis soal mengubah kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu menjadi ngoko alus sama persis yang diujikan pada guru-guru sebelumnya, Ibu Sriana memperoleh nilai 85 (baik). Kesalahan yang ditemukan pada jawaban beliau ada tiga yaitu pada butir soal nomer (8) Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! “Dik, tulisan kamu diam-diam banyak yang menyukai, lho”. Diubah oleh guru tersebut menjadi Dhik, seratanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! Kesalahan hanya terdapat pada panambang-mu “akhiran-mu” yang tidak diubah ke ragam krama inggil panjenengan. Kemudian soal nomer (13) Kapan mulihe, Nak? “Kapan pulangnya, Nak?” diubah menjadi Kapan wangsule, Nak? Kata mulih (ngoko lugu) menjadi wangsul (krama). Karena ragam ngoko alus kata kerja harus diubah ke ragam krama inggil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
yang benar benar maka kata mulihe harus diubah menjadi kondure, sehingga jawaban yang kesalahan sama sama menjadi Kapan kondhure, Nak? Soal nomer (14) pada soal tersebut kesalahan lugu) diubah persis dengan guru-guru sebelumnya yaitu pada kata kanca (ngoko lugu menjadi rencang (krama inggil). Jumlah Jumlah
Jenis Soal A1
1 2 3 4 5 6
Nomor soal yang salah
Nama
No
Ibu Rahayu Ibu Erna Ibu Triasih Ibu Yeny Bapak Nasrullah
1
5
V -
V V V
7
V -
Ibu Sriana
8
V V V V V
11
14
13
Soal
15
16
Salah
V
2 8 4 8 8 6
V
V V
V -
V
V V
V
-
V
Nilai
90 60 75 60 60 70
Tabel 1 Hasil nilai kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam ngoko alus NILAI SOAL A1 100 80 60 40 20 0
Nilai
Ibu Rahayu
Ibu Erna
Ibu Triasih
Ibu Yeny
Bapak Nasrullah
Ibu Sriana
85
75
50
75
80
85
Grafik 1 kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam ngoko alus Peringkat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
(2) Analisis soal berupa kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu diubah ke ragam krama alus. Jenis soal A2 (a) Guru di SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo. Pada analisis soal diujikan sebanyak 20 dengan bentuk soal yang sama dengan jenis soal A1, hanya saja perintahnya berbeda yaitu mengubah kalimat yang berupa ragam ngoko lugu ke ragam krama alus. Guru tersebut sudah menjawab hampir benar semua karena dari butir soal sejumlah 20 mendapat nilai 95 (baik sekali), terdapat sedikit kesalahan yaitu pada butir soal nomer (8) Dhik, tulisanmu meneng-meneng akeh sing seneng, lho! (ngoko lugu) “Dik, tulisan Anda diam-diam banyak yang menyukai, lho”. Diubah menjadi Dhik tulisan panjenengan menengmeneng kathah ingkang remen, lho! (krama alus). Tampak bahwa butir Tulisan ‘tulisan’ tidak diubah ke ragam krama inggil yaitu seratan, dan meneng-meneng juga tidak diubah ke ragam krama inggil yaitu mendel-mendel. Sehingga sesuai kunci jawaban menjadi ‘Dhik tulisan panjenengan mendel-mendel kathah ingkang remen, lho! (krama alus) (b) Guru di SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo. Pada analisis soal diujikan sebanyak 20 untuk mengubah kalimat dengan ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus, guru tersebut juga sudah menjawab hampir benar semua karena dari soal sejumlah 20 mendapat nilai 90 (baik sekali), terdapat sedikit kesalahan yaitu pada soal nomer (3) karena tidak dijawab, dan soal nomer (7) hanya terdapat sedikit kesalahan yaitu kata dheweke diubah menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
panjenenganipun, seperti berikut Yen mung kaya ngono wae, dheweke mesthi ya bisa! “Kalau hanya begitu saja, dia pasti bisa” diubah oleh guru tersebut menjadi Menawi kados mekaten kemawon, panjenenganipun tamtu inggih saged! Seharusnya menjadi Menawi kados mekaten kemawon, piyambakipun tamtu inggih saged! (c) Guru di SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman Setelah diujikan dengan soal yang sama, untuk mengubah ragam ngoko lugu ke ragam krama alus, guru tersebut memperoleh nilai yang baik yaitu 80 (baik). Ada beberapa kesalahan yang ditemukan yaitu soal nomer (3) tidak dijawab. Soal nomer (7) penggunaan kata panjenenganipun untuk mengganti bentuk ngoko lugu ‘dheweke’ seperti berikut ini ‘Yen mung kaya ngono wae, dheweke mesthi ya bisa! “Kalau hanya begitu saja, dia pasti bisa” diubah menjadi Menawi kados mekaten menika, panjenenganipun mesthi njih saged! Panjenengan seharusnya menjadi piyambakipun, ini menunjuk pada orang yang dibicara jauh dari penutur. Ditemukan pula penulisan kata njih yang seharusnya nggih. Pada soal nomer (8) Dhik, tulisanmu menengmeneng akeh sing seneng, lho! “Dik, tulisan Anda diam-diam banyak yang menyukai, lho”. Diubah oleh guru tersebut menjadi ‘Dhik, seratan panjenengan sesidheman kathah ingkang remen, lho! Dari soal tersebut guru mengubah kata meneng-meneng menjadi sesidheman. (d) Guru di SD Negeri 02 Josenan Kecamatan Taman Seperti yang dilakukan pada guru lain dengan mengujikan soal sebanyak 20 berupa ragam ngoko lugu diubah ke ragam krama alus, guru tersebut sudah hampir menjawab benar semua, nilai yang diperoleh 90 (baik sekali). Kesalahan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
ditemukan hanya sedikit seperti soal nomer (13) Kapan mulihe, Nak? “Kapan pulangnya, Nak?” Menjadi Mbenjang napa konduripun, Nak? Kesalahan tersebut terdapat pada punapa menjadi napa (ragam krama desa). Kemudian soal nomer (15) Bu, aku njaluk tulung iki mengko diwenehake Dhik Bondhan si Klapa manis. “Bu, saya minta tolong ini nanti diberikan Dik Bondan si Kelapa Manis”. Menjadi Bu, kula nyuwun tulung punika mangke dipuncaosaken Dhik bondhan si Klapa manis. Kesalahan pada diwenehake menjadi dipuncaosaken. Kata Dhik Bondhan pada soal tersebut menunjuk pada seseorang yang lebih muda atau dianggap lebih muda maka ragam krama inggil yang digunakan yaitu dipunparingaken. (e) Guru di SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo Analisis soal pada guru tersebut dengan bentuk dan jumlah soal yang sama, setelah melalui penilaian diperoleh nilai 90 (baik sekali) ditemukan sedikit sekali kesalahan yaitu menggunakan bentuk niki, teng sebagai bentuk akronim dari puniki, dan datheng salah satu contohnya pada soal nomer (14) sebagai berikut Bu, iki biyen kanca kuliahku, saiki anake wis telu tur tur gedhe-gedhe “Bu, ini dulu teman kuliah saya, sekarang anaknya sudah tiga dan sudah besar-besar”. Menjadi Bu, niki rumiyin rencang kuliah kula, sapunika putranipun sampun tiga, ugi sampun ageng-ageng. Kemudian soal nomer (15) Bu, aku njaluk tulung iki mengko diwenehake Dhik Bondhan si Klapa manis “Bu, saya minta tolong ini nanti diberikan Dik Bondan si Kelapa Manis”. Menjadi Bu, kula nyuwun tulung niki mangke diparingake Dhik Bondhan si Klapa Manis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
(f) Guru di SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo
Analisis soal pada guru untuk mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus sudah mendapat nilai yang baik juga yaitu memperoleh 95 hanya ada
satu kesalahan yaitu soal nomer (13) Kapan mulihe, Nak? “Kapan pulangnya, Nak?” Kemudian menjadi Kapan wangsulipun, Nak? Kata mulihe tidak diubah ke ragam krama alus yaitu kondure. Sedangkan soal yang lain sudah dijawab dengan benar.
No
Jenis Soal A2 Nomor soal yang salah 14 13 8 7 V V V V V
Nama
3 1 2 3 4
5
6
Ibu Rahayu Ibu Erna Ibu Triasih Ibu Yeny Bapak Nasrullah Ibu Sriana
V V
V
V
Jumlah Soal Salah 1 2 3 2
V
2
90
2
95
15
V
Nilai
95 90 80 90
Tabel 2 Hasil nilai kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam krama alus JENIS SOAL A2 100 95 90 85 80 75 70
Nilai
Ibu Rahayu
Ibu Erna
Ibu Triasih
Ibu Yeny
Bapak Nasrullah
Ibu Sriana
95
90
80
90
90
95
Grafik 2 Peringkat kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam krama alus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
(3) Analisis soal berupa kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu diubah ke ragam krama lugu dan ragam krama alus. Jenis soal B (a) Guru di SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo. Pada analisis soal berikut ini, guru tersebut memperoleh nilai 70 (baik), beberapa kesalahan yang ditemukan antara lain pada butir soal nomer (1) Kowe tekaa wingi, aku nanggap wayang (ngoko lugu) “Seandainya kamu datang kemarin, aku menyewa wayang” menjadi Sampeyan dugia kalawingi, kula nanggap ringgit (krama), Panjenengan rawuha kalawingi, kula nanggap ringgit (krama alus). Analisis pada kata dugia sebagai bentuk krama kurang tepat untuk mengganti bentuk ngoko lugu tekaa bentuk yang sesuai yaitu Sampeyan dhatenga wingi, kula nanggap wayang (krama), kemudian Panjenengan rawuha wingi, adalem nanggap ringgit. Kula pada ragam krama alus berubah menjadi adalem/dalem. Pada soal nomer (3) sebagai berikut Dikandhanana, Mbak Darmi durung mesthi teka, amarga sesuk arep ujian. (ngoko lugu). “Diberitahupun Mbak Darmi belum tentu datang, karena besuk ujian” Sampeyan ngendhikanana, Mbak Darmi dereng mesthi dugi, amargi benjing ujian (krama), Panjenengan ngendhikanana, Mbak Darmi dereng mesthi rawuh, amargi benjing badhe ujian’ (krama alus). Guru tersebut mengubah ragam ngoko lugu dikandhanana menjadi sampeyan ngendhikanana sebagai bentuk ragam krama dan panjenengan ngendhikanana sebagai bentuk krama alus. Jadi perbedaan antara krama dengan krama alus hanya terletak pada kata sampeyan dan panjengan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
(b) Guru di SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo Guru d05Lor Pada analisis soal berikut ini, guru tersebut memperoleh nilai 60 (cukup), beberapa kesalahan yang ditemukan antara lain: Mulai butir soal nomer 1 sampai butir soal nomer 20 seperti berikut. (1) Kowe tekaa wingi, aku nanggap wayang “Kamu seandainya datang kemari, saya nanggap wayang” (ngoko lugu) menjadi Sampeyan dugia kalawingi, kula nanggap wayang (krama), kesalahan ditemukan pada ragam tekaa menjadi dugia, dan wingi menjadi kalawingi. Apabila disesuaikan dengan kunci jawaban seperti berikut Sampeyan dhatenga wingi, kula nanggap wayang (krama), kemudian Panjenengan rawuha wingi, adalem nanggap wayang. Pada butir soal nomer (2) Dheweke mbok muliha sadhela, aku wis kangen. “Dia seharusnya pulang sebentar, saya sudah rindu” (ngoko lugu) menjadi Piyambakipun mbok kondhura sekedhap, kula sampun kangen. (krama alus) kesalahan tersebut tampak bahwa butir Dheweke (ngoko lugu) menjadi Piyambakipun dan pada butir aku (ngoko lugu) menjadi kula (krama alus) sebab ragam krama alus dari kata kula yaitu adalem/dalem. Butir soal nomer (3) Dikandhanana, Mbak Darmi durung mesthi teka, amarga sesuk arep ujian (ngoko lugu) “Diberitahupun, Mbak Darmi belum tentu datang, karena besuk akan ujian”. Ragam ngoko lugu tersebut dubah menjadi Sampeyan ngendhikanana, Mbak Darmi dereng mesthi dugi, amargi benjing ajeng ujian (krama), dan Panjenengan ngendhikanana, mbak Darmi dereng mesthi rawuh, amargi benjing ujian (krama alus). Diketahui bahwa ater-ater (prefiks) -di yang melekat pada tembung lingga (kata dasar) kandha yaitu dikandhanana, oleh guru tersebut diubah menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
sampeyan (krama) dan panjenengan (krama alus). Tampak juga pada butir teka (ngoko lugu) menjadi dugi (krama), sehingga jawaban tersebut salah, karena disesuaikan dengan kunci jawaban butir soal nomer 3 seharusnya menjadi seperti berikut Dipuncriyosana, Mbak Darmi dereng mesthi dhateng, amargi benjing-enjing badhe ujian (krama). Dipunpangandhikanana, Mbak Darmi dereng mesthi rawuh, amargi benjing-enjing badhe ujian’ (krama alus). Butir soal nomer (4) Mbok ditukokno montor elek, anake mesthi seneng, jalaran atine narima banget (ngoko lugu) “Meskipun dibelikan montor jelek, anaknya pasti senang, karena hatinya menerima sekali”. Menjadi Mbok ditumbasne montor elek, anakipun mesthi seneng, amargi manahipun nampi sanget. (krama) Mbok dipunpundhutaken montor mboten sae, putranipun tamtu remen, amargi manahipun nampi sanget (krama alus). Kesalahan yang terjadi pada ragam krama yaitu motor elek, anakipun, nampi sanget kemudian tampak pula pada ragam krama alus terjadi pada montor mboten sae, penggalihipun dan nampi. Disesuaikan dengan kunci jawaban seharusnya Mbok dipuntumbasna montor awon, putranipun mesthi seneng jalaran manahipun narimah sanget’. (krama) Mbok dipunpundhutna montor awon, putranipun mesthi seneng, jalaran penggalihipun narimah sanget. Butir soal nomer (5) Kalunge wis dituku adhimu. “Kalungnya sudah dibeli adik kamu” (ngoko lugu) menjadi Kalungipun sampun dipuntumbas adhi sampeyan (krama) kemudian menjadi Kalungipun sampun dipunpundhut rayinipun panjenengan (krama alus). Kesalahan ditemukan pada ragam krama alus yaitu pada kata kalungipun. Jika disesuaikan dengan kunci jawaban jawaban yang tersedia seharusnya Kalungipun sampun dipuntumbas adhi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
sampeyan (krama) dan Sangsangipun sampun dipunpundhut ingkang rayi/rayi panjenengan (krama alus). Butir soal nomer (6) Aja kokdeleng wae, aku isin!’(ngoko lugu) “Jangan kamu lihat terus, saya malu!” menjadi Ampun sampeyan tingali kemawon, kula isin (krama), Ampun panjenengan pirsani kemawon, kula isin (krama alus). Analisis kesalahan guru tersebut tampak pada kata isin (krama), dan kata kula sebagai pengganti ragam krama alus, sehingga tampak yang membedakan antara ragam krama dengan ragam krama alus terletak pada kata sampeyan dan panjenengan. Jika disesuaikan dengan kunci jawaban yang tersedia menjadi Sampun sampeyan tingali kemawon, kula lingsem (krama), Sampun panjenengan priksani kemawon adalem lingsem (krama alus). Butir soal nomer (7) Ali-aline dakjaluk diwenehake (ngoko lugu) “Cincinya saya minta diberikan” pada analisis soal tersebut, kesalahan yang ditemukan guru tidak mengubah kata ali-aline (ngoko lugu) menjadi sesupenipun (krama), dan kata diwenehake juga tidak diubah menjadi disukakaken (krama). Kunci
jawaban
yang
tersedia
adalah
Sesupenipun
kula
suwun
dipunsukakaken (krama), Sesupenipun adalem suwun dipunparingaken. (krama alus) Butir soal nomer (10) Sikilku ireng, ora kaya sikilmu, kuning banget. (ngoko lugu) “Kakiku hitam tidak seperti kaki kamu, kuning sekali” kemudian menjadi Sikil-kula cemeng, mboten kados suku sampeyan, kuning sanget (krama) Sikil kula cemeng, mboten kados suku panjenengan kuning sanget (krama alus). Kesalahan yang ditemukan yaitu pengganti ragam krama maupun krama alus, sikil, kuning,dan kata aku. Kunci jawaban yang tersedia sebagai berikut Suku-kula cemeng mboten kados commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
suku
sampeyan
jene
sanget.
(krama)
Suku-adalem
cemeng,mboten
kados
panjenengan jene sanget. (krama alus). Butir soal nomer (11) Lirih wae, mundhak dirungokake bojomu! (ngoko lugu) “Pelan saja, nanti didengarkan suami kamu!” menjadi Lirih mawon, mindhak dimirengne garwane sampeyan! (krama) kemudian Lirih kemawon, mindhak dipunmirengaken garwanipun! (krama alus) kesalahan tampak pada butir garwane (krama), dan dipunmirengaken (krama alus). Seharusnya disesuaikan dengan kunci jawaban Lirih kemawon, mindhak dipunmirengaken semah sampeyan
(krama)
‘Lirih
kemawon
mindhak
dipunmidhangetaken
garwa
panjenengan! (krama alus). Butir soal nomer (13) Anakmu dakturokne, mara yen arep dikeloni! (ngoko lugu) “Anak kamu saya tidurkan, silahkan kalau mau dikeloni” menjadi Anake sampeyan kula tilemaken, tindha mriki menawi badhe dikeloni! (krama) kemudian menjadi Putranipun panjenengan kula tilemaken, tindha mriki menawi badhe dipunkeloni! (krama alus). Setelah diteliti kesalahan pada ragam krama alus tilemaken. Disesuaikan dengan kunci jawaban sebagai berikut ‘Anak sampeyan kula tilemaken, mangga menawi badhe dipunkeloni’ (krama), ‘Putra panjenengan adalem sarekaken, sumangga menawi badhe dipunkeloni’ (krama alus). Butir soal nomer (14) Muridmurid dakkandhanané mênawa sésuk libur (ngoko lugu) “Murid-murid saya beritahu kalau besuk libur” menjadi Murid-murid kula dhawuhi menawi benjing libur (krama), kemudian Murid-murid kula dhawuhanipun menawi benjing libur. Kesalahan tampak pada leksikon kula (krama alus), dhawuh (krama), dhawuhanipun (krama alus).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Disesuikan dengan kunci jawaban yang benar sebagai berikut Murid-murid kula criyosanipun menawi benjing-enjing libur (krama), Murid-murid adalem criyosanipun menawi benjing-enjing libur (krama alus). Kemudian analisis soal pada nomer 15 sampai nomer 20 kesalahan pada kata gawanen, gawakna, gawanana, nggawaa, nggawakna, nggawanana. Kata gawa (ngoko lugu) “bawa”, menjadi mbeta (krama) lan ngasta (krama alus). Tetapi jika kata tersebut mendapat rimbag “afiks”en, -na, -ana, N-a, N-ana, N-ana melekat pada kata gawanen mulih, gawakna panganan, gawanana mulih, nggawaa mulih, nggawakna panganan, nggawanana mulih, kata tersebut akan menjadi tidak berterima jika diubah dengan kata ngasta (krama inggil), akan lebih berterima jika menjadi panjenengan-ampil kondur, panjenengan ampilaken dhaharan, panjenengan-ampili kondur, panjenenganngampil kondur, panjenengan-ngampilaken dhaharan, panjenengan ngampili dhaharan. (c) Guru di SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman Pada analisis soal berikut ini guru tersebut memperoleh nilai 75 (baik), beberapa kesalahan yang ditemukan antara lain pada butir soal nomer (11) Lirih waé, mundhak dirungokaké bojomu! (ngoko lugu) “Pelan saja, nanti didengarkan suami kamu!” kemudian menjadi Lirih kemawon, mindhak dipunmirengaken garwa panjenengan! (krama alus). Kesalahan yang ditemukan tampak pada butir dipunmirengaken, karena merupakan ragam krama. Seharusnya sesuai kunci jawaban Lirih kemawon, mindhak dipunmidhangetaken garwa panjenengan! Soal nomer (12) Wis, kokgawakaké tas sing cilik iki waé! (ngoko lugu) “Sudah, kamu bawakan tas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
yang kecil ini saja!” kemudian oleh guru tersebut diubah menjadi ‘Sampun panjenengan astaaken tas ingkang alit menika kemawon!. Sebagai penjelasan bahwa rimbag camboran (konfiks=gabungan) kok-ake pada kata kokgawakake menjadi sampeyan bektakaken (tembung krama) dan panjenengan-ampilaken (krama inggil), maka dari itu jawaban yang diharapkan untuk butir soal nomer (12) yaitu Sampun, panjenengan-ampilaken tas ingkang alit menika kemawon!. Kemudian kesalahan lagi ditemukan pada nomer (13) Anakmu dakturokné, mara yén arêp dikêloni! (ngoko lugu) “Anak kamu saya tidurkan, silahkan kalau mau dikeloni” diubah menjadi Putranipun panjenengan kula tilemaken dumugi menawi badhe dikeloni (krama alus) jawaban dari guru tersebut salah. Kesalahan ditemukan pada kata kula tilemaken sebagai bentuk krama alus dan dumugi sebagai bentuk krama inggil dari kata mara (ngoko alus). Mungkin guru tersebut berfikir kata mara yang berarti “datang” sehingga diubah menjadi dumugi ragam (krama inggil). Sebenarnya kata mara (ngoko lugu) mempunyai arti “silahkan” (bahasa Indonesia). Dijelaskan bahwa rimbag camboran (konfiks=gabungan) dak-ne pada dakturokake menjadi kula tilemaken (tembung krama) dan adalem-sarekaken tembung (krama inggil). Tembung lingga (kata dasar) sare “tidur” merupakan bentuk krama inggil untuk menghormati anak yang ditidurkan, bukan untuk menghormat yang menidurkan, jadi kata adalem sarekaken sudah tepat. Maka jawaban yang diharapkan dari pertayaan tersebut yaitu Putra panjenengan adalem sarekaken, sumangga
yen
badhe
dipunkeloni! Butir soal commit to user
nomer
(14)
Murid-murid
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
dakkandhanané mênawa sésuk libur.(ngoko lugu) “Murid-murid saya beritahu kalau besuk libur” diubah oleh guru tersebut menjadi Murid-murid kula dhawuhanipun menawi benjang libur (krama alus) guru tersebut mengubah kata dakkandhanane menjadi kula dhawuhanipun jawaban tersebut salah, sebagai jawaban yang lebih tepat sebagai berikut Murid-murid adalem criyosanipun manawi benjing enjing libur dijelaskan bahwa rimbag camboran (konfiks=gabungan) dak-ake pada kata dakkandhanane (ngoko lugu) menjadi adalem-criyosanipun (krama inggil). Tembung lingga (kata dasar) criyos tidak diubah ke ragam (krama inggil) ngendhika karena terlihat kata tersebut untuk menghormati diri sendiri, sehingga kata krama inggil yang tepat cukup memakai kata criyos (krama). (d) Guru di SD Negeri 02 Josenan Kecamatan Taman Analisis soal dalam mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus pada guru tersebut banyak ditemukan kesalahan sehingga nilai yang diperoleh 60 (cukup). Kesalahan tidak penulis urai satu persatu seperti pada guru sebelumnya karena kesalahan yang ditemukan hanya pada mengubah tembung ngoko menjadi kata dalam bentuk krama inggil seperti berikut kata kula (ngoko lugu) menjadi kula (krama inggil) seharusnya adalem (krama inggil), dheweke (ngoko lugu) menjadi piyambakipun (krama inggil) seharusnya panjenenganipun (krama inggil), kalunge (ngoko lugu) tetap menjadi kalungipun (krama inggil) seharusnya sangsanganipun (krama inggil), isin (ngoko lugu) tetap menjadi kata isin (krama inggil) seharusnya lingsem (krama inggil), ali-aline (ngoko lugu) menjadi ali-alinipun (krama inggil) seharusnya sesupenipun (krama inggil), sikilku (ngoko lugu) menjadi sikil kula commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
(krama inggil) seharusnya suku-adalem (krama inggil), kemudian kesalahan juga ditemukan sama pada Ibu guru di SD Negeri Kejuron yaitu butir soal nomer 11 sampai 14. (e) Guru di SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo Analisis soal dalam mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus pada guru tersebut banyak ditemukan kesalahan sehingga nilai yang diperoleh 60 (cukup). Hal ini seperti pada guru di SD Negeri Josenan. Kesalahan tidak penulis urai satu per satu seperti pada guru sebelumnya karena kesalahan yang ditemukan hanya pada mengubah tembung ngoko menjadi tembung krama inggil seperti berikut kata kula (ngoko lugu) menjadi kula (krama inggil) seharusnya adalem (krama inggil), dheweke
(ngoko
lugu)
menjadi
piyambakipun
(krama
inggil)
seharusnya
panjenenganipun (krama inggil), dikandhanana (ngoko lugu) menjadi diaturana (krama inggil) seharusnya dipunpangandhikanana (krama inggil), ali-aline (ngoko lugu) menjadi ali-alinipun (krama inggil) seharusnya sesupenipun (krama inggil) kemudian dirungokake (ngoko lugu) menjadi dipunmirengaken (krama alus), dan kesalahan yang sama dari soal nomer 15 sampai 20 seperti pada guru-guru sebelumnya, yaitu pada kata gawa (ngoko lugu) menjadi gawa (krama alus) (f) Guru di SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo Pada analisis soal berikut ini guru tersebut memperoleh nilai 75 (baik), beberapa kesalahan yang ditemukan antara lain pada butir soal nomer (2) kesalahan yang ditemukan yaitu kata kangen (ngoko lugu) diubah menjadi kapang (krama inggil) soal nomer (3) dikandhanana (ngoko lugu) menjadi didhawuhana (krama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
inggil) seharusnya dipunpangandhikanana (krama inggil), soal nomer (5) kata adhimu (ngoko lugu) menjadi adhi panjenengan (krama inggil) seharusnya rayi panjenengan (krama inggil), kemudian untuk soal nomer 11 sampai 14 kesalahan sama persis dengan guru pada analisis sebelumnya. Nomer (15) kesalahan pada kata panganan (ngoko lugu) tidak diubah, seharusnya diubah menjadi dhaharan (krama inggil).
Jenis Soal B
Nomor Soal yang salah No
Nilai
1
1
2
3
4
5
6
Jumlah
Nama
Ibu Rahayu
2
3
4
5
10
11
12
13
14
15
16
17
2
90
8
60
4
75
-
8
60
-
8
60
6
70
V
V
-
-
-
-
-
-
-
V
V
V
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
V
V
V
-
Ibu Erna Ibu Triasih
-
Ibu Yeny Bapak Nasrullah Ibu Sriana
-
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
-
-
Salah
Tabel 3 Hasil nilai kemampuan guru dari ragam ngoko lugu ke ragam krama lugu, dan ragam krama alus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
JENIS SOAL B 100 80 60 40 20 0
Nilai
Ibu Rahayu
Ibu Erna
Ibu Triasih
Ibu Yeny
Bapak Nasrullah
Ibu Sriana
90
60
75
60
60
70
Grafik 3 Peringkat kemampuan guru dari ragam ngoko lugu ke ragam krama lugu, dan ragam krama alus
(4) Analisis soal berupa kalimat yang menggunakan ragam ngoko lugu
diubah ke ragam krama alus. Jenis soal C (a) Guru di SD Negeri Patihan Kecamatan Mangunharjo
Pada data soal (C) mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus, pada uji soal berikut jawaban guru tersebut sudah banyak yang benar dengan nilai
yang diperoleh 80. Kesalahan yang ditemukan pada penggunaan kata (tembung krama inggil) yaitu butir soal nomor (5) Anak karo bojomu apa pada slamet? (ngoko lugu) “Anak dan suami kamu apa semuanya sehat?” menjadi Putra kaliyan garwa
panjenengan menapa sami slamet? (krama alus). Kesalahan tampak pada ragam ngoko lugu slamet tidak diubah ke ragam krama alus wilujeng. Disesuaikan dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
kunci jawaban yang tersedia yaitu Putra kaliyan garwa panjenengan menapa sami wilujeng? (6) Embah lanang nalika isih urip seneng rokok kreteg (ngoko lugu) “Kakek ketika masih hidup suka merokok kreteg” oleh guru tersebut diubah menjadi Eyang kakung nalika tasih gesang remen rokok kreteg (krama alus). Kesalahan tampak pada butir urip (ngoko lugu), dan gesang (krama alus). Disesuikan dengan kunci jawaban yang tersedia sebagai berikut Eyang kakung nalika taksih sugeng remen rokok kreteg (7) Saiki embahe isih urip, malah awake lemu banget (ngoko lugu) ”Sekarang Eyangnya masih hidup, malah badannya gemuk sekali” diubah menjadi Sakmenika Eyangipun taksih gesang, malah saliranipun lema sanget (krama alus). Kesalahan masih tampak sama pada soal sebelumnya yaitu pada butir urip (ngoko lugu) menjadi gesang (krama alus), kemudian pada soal nomer (9) Amarga sih pitulungané Gusti Kang Maha Asih anakku bisa slamêt (ngoko lugu) “Karena pertolongan Tuhan Yang Maha Kasih anak saya bisa selamat” diubah menjadi Amargi sih pitulunganipun Gusti ingkang Maha Asih anak kula saged slamet. (krama alus) Kesalahan tampak pada butir slamêt (ngoko lugu) tetap menjadi slamet (krama alus). Disesuaikan dengan kunci jawaban menjadi Amargi sih pitulungan-Dalem Gusti ingkang Maha Asih anak kula saged wilujeng (krama alus) tampak bahwa Panjenengan-Dalem yang berarti sangat menghormat sekali. Kemudian kesalahan pada butir soal nomer (11) Aku arêp melu mênyang Sala, oléh apa ora Bu? (ngoko lugu) “Saya akan ikut ke Solo, boleh apa tidak Bu?” diubah ke ragam krama alus menjadi Kula badhe tumut dhateng Sala, angsal menapa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
mboten Bu?. Tampak bahwa butir aku menjadi kula dan melu diubah menjadi tumut. Sesuai kunci jawaban yang tersedia seharusnya Dalem badhe ndherek dhateng Sala, kepareng menapa mboten Bu?. Sebenarnya kesalahan yang dilakukan oleh guru tersebut dalam mengerjakan soal berupa ragam krama alus ditemukan setiap ragam ngoko lugu aku, tidak diubah menjadi dalem sebagai bentuk ragam krama inggil. Karena jika diurutkan sesuai tataran bahasa Jawa aku (ngoko lugu), kula (krama), dan dalem (krama inggil). Seperti pada butir soal nomer 12, dan 13 berikut ini (12) Pak Bambang dakwênéhané foto sing apik-apik. (ngoko lugu) “Pak Bambang saya beri foto yang bagus-bagus” Pak Bambang kula caosi foto ingkang sae-sae (krama alus) . Sesuai kunci jawaban yang tersedia seharusnya Pak Bambang dalem caosi foto ingkang saesae.(13) Panjalukku, kowé prayoga mulih waé! (ngoko lugu), menjadi Panyuwun kula, panjenengan prayoganipun kondur kemawon! Kunci jawaban yang sesuai Panyuwun dalem, panjenengan prayoganipun kondur kemawon! Butir soal nomer (16) Ibu Kadés akon Ibu Camat supaya nêmoni dhayoh saka Kabupaten. (ngoko lugu) menjadi
Ibu Kadés ngaturi Ibu Camat supados nêmoni dhayoh saking
Kabupaten (krama alus) ragam ngoko lugu nemoni oleh guru tersebut tidak diubah ke ragam krama inggil. Disesuaikan dengan kunci jawaban menjadi Ibu Kadés ndhawuhi Ibu Camat supados manggihi dhayoh saking Kabupaten (krama alus). (b) Guru di SD Negeri 05 Madiun Lor Kecamatan Mangunharjo. Pada data soal C mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus, pada uji soal berikut jawaban guru tersebut sudah banyak yang benar dengan nilai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
yang diperoleh 90. Hanya sedikit kesalahan yang ditemukan pada penggunaan ragam ngoko lugu aku yang tidak diubah ke ragam krama alus dalem seperti tampak pada butir soal berikut (9) Amargi sih pitulunganipun Gusti ingkang Maha Asih anak kula saged wilujeng. (krama alus) “Karena pertolongan Tuhan Yang Maha Kasih anak saya bisa selamat” kemudian soal nomer (10) Dhuh Gusthi, kula nyuwun kawêlasanPanjenengan (krama alus) “Ya Tuhan, saya minta belas kasihmu” soal nomer (11) Kula badhe nderek dhateng Sala, pikantuk menapa mboten Bu? (krama alus) “Saya akan ikut ke Solo, boleh apa tidak Bu?” (12) Pak Bambang kula caosi foto ingkang sae-sae (krama alus) “Pak Bambang saya beri foto yang bagus-bagus” (13) Panyuwun kula, panjenengan prayoganipun kondur kemawon! (krama alus) “Permintaan saya, kamu sebaiknya pulang saja!” (c) Guru di SD Negeri Kejuron Kecamatan Taman Pada data soal C mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus, pada uji soal berikut jawaban guru tersebut sudah banyak yang benar dengan nilai yang diperoleh 80. Kesalahan tampak pada butir soal nomer (4) Pak Ali akon Bu Tini supaya ngumpulaké kanca-kanca guru (ngoko lugu) “Pak Ali menyuruh Bu Tini supaya mengumpulkan teman-teman guru” diubah menjadi Pak Ali ngutus Bu Tini supados nglempakaken rencang-rencang guru. Kesalahan terjadi pada ragam ngoko lugu akon, menjadi ragam krama alus ngutus. Disesuaikan dengan kunci jawaban yaitu Pak Ali ngaturi Bu Tini supados nglempakaken rencang-rencang guru. Butir soal nomer (12), dan (13) kesalahan terjadi pada ragam ngoko lugu aku menjadi kula sebagai ragam krama alus. Seperti berikut (12) Pak Bambang kula commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
caosi foto ingkang sae-sae (krama alus), butir soal nomer (13) Panyuwun kula, panjenengan prayoganipun kondur kemawon! (krama alus). Kula (ngoko lugu) seharusnya menjadi dalem (krama alus). Kemudian kesalahan juga tampak pada butir soal nomer (14) Ibu Kadés mènèhi pawarta nganggo telpun marang Ibu Camat menawa dhayoh saka Kabupaten wis padha teka (ngoko lugu) “Ibu Kades memberi berita dengan telpun kepada Ibu Camat kalau tamu dari Kabupaten sudah datang semua”. menjadi Ibu Kadés maringi pawarta ngagem telpun dhateng Ibu Camat menawi tamunipun saking Kabupaten sampun sami rawuh (krama alus). Disesuaikan dengan kunci jawaban Ibu Kadés ngaturi pawarta ngagem telpun dhateng Ibu Camat menawi tamunipun saking Kabupaten sampun sami rawuh. Karena orang yang diajak bicara tingkatnya lebih tinggi maka ragam krama alus yang digunakan yaitu ngaturi. (d) Guru di SD Negeri 02 Josenan Kecamatan Taman Pada data soal C mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus, pada uji soal berikut jawaban guru tersebut sudah banyak yang benar dengan nilai yang diperoleh 70. Yang pertama kesalahan tampak pada butir soal nomer (4) Pak Ali akon Bu Tini supaya ngumpulaké kanca-kanca guru (ngoko lugu) diubah menjadi Pak Ali ngutus Bu Tini supados nglempakaken rencang-rencang guru. Kesalahan terjadi pada ragam ngoko lugu akon, menjadi ragam krama alus ngutus. Disesuaikan dengan kunci jawaban yaitu Pak Ali ngaturi Bu Tini supados ngempakaken rencangrencang guru. Kemudian ditemukan lagi kesalahan pada leksikon urip (ngoko lugu) menjadi kula (krama alus).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
Soal nomer (6) Embah lanang nalika isih urip seneng rokok kreteg (ngoko lugu) oleh guru tersebut diubah menjadi Eyang kakung nalika tasih gesang remen rokok kreteg (krama alus). Soal nomer (7) Saiki embahe isih urip, malah awake lemu banget. (ngoko lugu) diubah menjadi Sakmenika Eyangipun taksih gesang, malah piyantunipun lema sanget (krama alus), ditemukan pula
bahwa leksikon
piyantunipun dipakai sebagai pengganti ragam krama alus dari awake (ngoko lugu). Kemudian butir soal nomer (11) Aku arêp melu mênyang Sala, oléh apa ora Bu? (ngoko lugu) diubah ke ragam krama alus menjadi kula badhe tumut dhateng Sala, angsal menapa mboten Bu? Tampak bahwa butir aku menjadi kula dan melu diubah menjadi tumut. Sesuai kunci jawaban yang tersedia seharusnya Dalem badhe ndherek dhateng Sala, kepareng menapa mboten Bu? Kesalahan yang sering dilakukan oleh guru dalam mengerjakan soal berupa ragam krama alus ditemukan setiap ragam ngoko lugu aku, tidak diubah menjadi dalem sebagai bentuk ragam krama inggil. Tampak pada jawaban soal berikut Butir soal nomer (12), dan (13) kesalahan terjadi pada ragam ngoko lugu aku menjadi kula sebagai ragam krama alus. Seperti berikut (12) Pak Bambang kula caosi foto ingkang sae-sae (krama alus), butir soal nomer (13) Panyuwun kula, panjenengan prayoganipun kondur kemawon! (krama alus). Kula (ngoko lugu) seharusnya menjadi dalem (krama alus). Kesalahan tampak pula pada butir soal nomer (15) Ibu Camat mènèhi pawarta nganggo tilpun marang Ibu Kadés Manawa dhayoh saka Kabupaten wis padha têka (ngoko lugu) menjadi Ibu Camat nyaosi pawarta ngagem telpun dhumateng Ibu Kadés Manawi dhayoh saking Kabupaten sampun rawuh (krama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
alus). Disesuaikan dengan kunci jawaban Ibu Camat maringi pawartos ngagem telpun dhumateng Ibu Kadés Manawi tamu saking Kabupaten sampun rawuh (krama alus). Kemudian kesalahan pada butir soal nomer (19) Ibu Camat mènèhaké tandhamata marang Ibu Kadés’ (ngoko lugu) diubah menjadi Ibu Camat nyaosaken tandhamata dhumateng Ibu Kadés (krama alus). Disesuaikan dengan kunci jawaban Ibu Camat nyaosaken tandha-mata dhumateng Ibu Kadés (krama alus). (e) Guru di SD Negeri 02 Kanigoro Kecamatan Kartoharjo Pada data soal C mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus, pada uji soal berikut jawaban guru tersebut sudah banyak yang benar dengan nilai yang diperoleh 70. Kesalahan tampak pada butir soal nomer (4) Pak Ali akon Bu Tini supaya ngumpulaké kanca-kanca guru (ngoko lugu) diubah menjadi Pak Ali ngutus Bu Tini supados nglempakaken rencang-rencang guru. Kesalahan terjadi pada ragam ngoko lugu akon, menjadi ragam krama alus ngutus. Disesuaikan dengan kunci jawaban yaitu Pak Ali ngaturi Bu Tini supados ngempakaken rencang-rencang guru. Kemudian tampak pada butir soal nomer (7) Saiki embahe isih urip, malah awake lemu banget. (ngoko lugu) diubah menjadi Sakmenika Eyangipun taksih gesang, malah badanipun lema sanget (krama alus). Disesuaikan dengan kunci jawaban yang tersedia Sakmenika ingkang Eyang taksih sugeng, malah saliranipun lema sanget (krama alus). Kemudian butir soal nomer (9) Amarga sih pitulungané Gusti Kang Maha Asih anakku bisa slamêt (ngoko lugu) diubah menjadi Amargi angsal pitulunganipun Gusti ingkang Maha Asih putraku saged slamet.(krama alus) Kesalahan tampak pada butir slamêt (ngoko lugu) tetap menjadi slamet (krama alus). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
Kemudian sih (ngoko lugu) diubah menjadi angsal. Disesuaikan dengan kunci jawaban menjadi Amargi sih pitulungan panjenengan-Dalem Gusti ingkang Maha Asih anak adalem saged wilujeng (krama alus) tampak bahwa Panjenengan-Dalem yang berarti sangat menghormat sekali. Kemudian kesalahan serupa dengan guruguru yang lain pada butir soal nomer (10), (11), (12), (13) penggunaan kata kula sebagai bentuk ragam krama alus.(10) Dhuh Gusthi, kula nyuwun kawêlasan-mu (krama alus). Pada soal tersebut di atas sufiks –mu yang melekat pada kata kawelasan tidak diubah bentuk krama inggil. Soal nomer (11) Kula badhe nderek dhateng Sala, angsal menapa m boten Bu? (krama alus) Pada soal tersebut terdapat leksikon angsal sebagai krama inggil. (12) Pak Bambang kula caosi foto ingkang sae-sae (krama alus). (13) Panyuwunku, panjenengan prayoganipun kondur kemawon! Butir soal nomer (15) tidak terjawab. Kesalahan berikutnya pada butir soal nomer (16) Ibu Kadés akon Ibu Camat supaya nêmoni dhayoh saka Kabupaten. (ngoko lugu) menjadi Ibu Kadés ngaturi Ibu Camat supados ngancani dhayoh saking Kabupaten (krama alus) ragam ngoko lugu nemoni oleh guru tersebut diubah ke ragam ngoko lugu ngancani yang berarti menemani. Disesuaikan dengan kunci jawaban menjadi Ibu Kadés ndhawuhi Ibu Camat supados manggihi dhayoh saking Kabupaten (krama alus). Kesalahan terakhir yang ditemukan pada butir soal nomer (19) Ibu Camat mènèhaké tandha-mata marang Ibu Kadés (ngoko lugu) diubah menjadi Ibu Camat nyaosaken tandha-mata dhumateng Ibu Kadés (krama alus). Disesuaikan dengan kunci jawaban Ibu Camat maringaken tandha-mata dhumateng Ibu Kadés (krama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
alus). Karena status bu Camat di sini lebih tinggi dibandingkan dengan bu Kades, maka ragam krama alus yang digunakan yaitu maringaken. (f) Guru di SD Negeri 02 Kartoharjo Kecamatan Kartoharjo Pada data soal C mengubah ragam ngoko lugu menjadi ragam krama alus, pada uji soal berikut jawaban guru tersebut sudah banyak yang benar dengan nilai yang diperoleh 90. Kesalahan yang tampak hanya sedikit pada butir soal nomer (9) sampai (13) kesalahan tersebut serupa dengan guru-guru yang lain pada butir soal aku (ngoko lugu) menjadi kula sebagai bentuk ragam (krama alus). Soal nomer (9) Amarga sih pitulungané Gusti Kang Maha Asih anakku bisa slamêt (ngoko lugu) diubah menjadi Amargi pikantuk pitulunganipun Gusti ingkang Maha Asih anak kula saged wilujeng.(krama alus) (10) Dhuh Gusthi, kula nyuwun kawêlasan-mu (krama alus). Pada soal tersebut sufiks-mu yang melekat pada kata kawelasan tidak diubah bentuk krama inggil. Soal nomer (11) Kula badhe nderek dhateng Sala, angsal menapa m boten Bu? (krama alus) Pada soal tersebut terdapat kata angsal sebagai krama inggil. (12) Pak Bambang kula caosi foto ingkang sae-sae (krama alus). (13) Panyuwunku, panjenengan prayoganipun kondur kemawon! Ku yang melekat pada kata panyuwun tidak diubah menjadi kula (krama inggil).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jenis Soal C
Jumlah Jumlah
Nomor Soal yang salah No
Nilai
Nama
4
1
2
3
4
5
6
Ibu Rahayu
Ibu Erna Ibu Triasih
Ibu Yeny Bapak Nasrullah Ibu Sriana
5
6
7
-
-
-
8
9
10
11
12
13
14
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
V
V
-
-
V
-
15
19
V
V
Salah Salah
4
80
2
90
4
80
V
V
6
70
V
V
6
70
2
90
Tabel 4 Hasil nilai kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam krama alus JENIS SOAL C 120 100 80 60 40 20 0 Nilai
Ibu Rahayu
Ibu Erna
Ibu Triasih
Ibu Yeny
100
100
100
100
Bapak Ibu Sriana Nasrullah 100
100
Grafik 4 Peringkat kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam krama alus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
(5) Analisis soal kemampuan tingkat tutur guru yang berupa tingkatan kata ‘tataran tembung’ dari leksikon ngoko lugu ke ragam krama inggil. Jenis soal D1, D2, E1,E2 Pada jenis soal D1 berikut, masing-masing guru diberi soal yang berupa daftar kata verba sejumlah 100 butir, yang berbentuk ngoko lugu supaya diubah menjadi krama, jika benar nilainya 1. Dari keenam guru tersebut setelah dianalisis lima guru sudah mencapai nilai diatas standar ketuntasan, ada satu guru yang belum mencapai standar nilai ketuntasan. Sebagai berikut, dari 100 butir soal yang diujikan sama pada masing-masing guru, dimulai dari Ibu guru Rahayu jawaban salah ada 14 jadi nilai yang diperoleh 86 (baik sekali), Ibu guru Erna jawaban salah ada 21 sehingga nilai yang diperoleh yaitu 79 (baik), kemudian Ibu guru Triasih jawaban salah ada 13 sehingga nilai yang diperoleh 87 (baik sekali), Ibu guru Yeny jawaban salah ada 16 butir sehingga nilai yang diperoleh 84 (baik sekali), kemudian Bapak guru Nasrullah jawaban salah ada 52 sehingga nilai yang diperoleh 48 (kurang), dan Ibu guru Sriana jawaban salah ada 11 sehingga nilai yang diperoleh 89 (baik sekali). Kesalahan pada masing-masing guru tersebut karena soal tidak dijawab atau dikosongi. Pada jenis soal D2 berikut, masing-masing guru diberi soal yang berupa daftar kata kerja sejumlah 100 butir, yang berbentuk ngoko lugu supaya diubah menjadi krama, scor penilaian jika benar nilainya 1. Dari keenam guru tersebut setelah dianalisis keenam guru tersebut sudah mencapai standar nilai ketuntasan. Sebagai berikut, dari 100 butir soal yang diujikan sama pada masing-masing guru, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
dimulai dari Ibu guru Rahayu jawaban salah hanya ada 2 butir sehingga nilai yang
sekali),, Ibu guru Erna jawaban salah ada 19 butir sehingga nilai diperoleh 98 (baik sekali) yang diperoleh 81 (baik), Ibu guru Triasih jawaban salah ada 3 butir sehingga nilai
Yeny ny jawaban salah ada 7 butir sehingga yang diperoleh 97 (sangat baik), Ibu guru Ye nilai yang diperoleh 93 (sangat baik), Bapak guru Nasrullah jawaban salah ada 26 sehingga nilai yang diperoleh 74 (baik), kemudian Ibu guru Sriana jawaban salah ada 3 sehingga nilai yang diperoleh 97 (sangat baik). Pada jenis soal E1dan E2 seperti pada data lampiran, masing-masing guru diberi soal yang berupa daftar tataran angka tertulis yang berbentuk ngoko lugu
supaya diubah menjadi krama. Dari keenam guru tersebut setelah dianalisis masingmasing guru sudah mencapai standar nilai yang sangat baik atau sempurna, jawaban dari mereka semuanya benar sehingga memperoleh nilai 100 dengan kategori nilai baik sekali.
JENIS SOAL D1 100 80 60 40 20 0
Nilai
Ibu Rahayu
Ibu Erna
Ibu Triasih
Ibu Yeny
Bapak Nasrullah
Ibu Sriana
86
79
87
84
48
89
Grafik 5 Peringkat kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam krama inggil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
JENIS SOAL D2 120 100 80 60 40 20 0 Nilai
Ibu Rahayu
Ibu Erna
Ibu Triasih
Ibu Yeny
98
81
97
93
Bapak Ibu Sriana Nasrullah 74
97
Grafik 6 Peringkat kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam krama inggil
JENIS SOAL E1 dan E2 120 100 80 60 40 20 0 Nilai
Ibu Rahayu
Ibu Erna
Ibu Triasih
Ibu Yeny
100
100
100
100
Bapak Ibu Sriana Nasrullah 100
100
Grafik 7 Peringkat kemampuan guru dalam ragam ngoko lugu ke ragam krama inggil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
(6) Analisis soal kemampuan tingkat tutur guru yang berupa‘tingkatan kata’ tataran tembung ngoko lugu ke tataran tembung krama dan krama inggil. Pada data ini bentuk soal yang berupa mencari tataran tembung, kolom soal dibuat berbeda dengan kolom soal D1, D2, E1, E2 pada kolom uji soal berupa tataran kata bagian dari tubuh manusia (peranganing awak) bentuk kolom diacak, contohnya jika sudah diketahui ragam ngoko lugu, disuruh mencari ragam krama, dan krama inggilnya. Begitu juga sebaliknya jika sudah diketahui ragam krama disuruh mencari ragam ngoko lugu, dan krama inggilnya. Sebagai salah satu contoh endhas (ngoko), sirah (krama), mustaka (krama inggil) arti dalam bahasa Indonesia “kepala”. Lebih jelasnya lagi bisa dilihat pada data lampiran. Setelah diujikan masing-masing guru sudah mendapat nilai yang sangat baik, mereka sudah menjawab pertanyaan dengan benar. (7) Analisis soal kemampuan tingkat tutur guru yang berupa wacana 1 paragraf berbahasa Indonesia agar diubah dengan menggunakan ragam krama alus. Pada data berikut disajikan sebuah wacana berbahasa Indonesia, diujikan kepada masing-masing guru tersebut agar diubah ke bentuk ragam krama alus. Terdiri 4 nomor yang berbeda. Setelah diujikan dan dianalisis dari masing-masing guru sudah menjawab dengan baik hanya terdapat sedikit kesalahan pada masingmasing guru tersebut, jika dirata-rata sudah memperoleh nilai di atas 85. Maka dapat direfleksikan pada uji soal tahap akhir ini yang berupa wacana berbahasa Indonesia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107
diubah ke ragam krama alus, guru-guru tersebut sudah mampu terbukti dari hasil nilai yang diperoleh. Lebih jelas dapat dilihat pada lampiran data. b) Kemampuan Guru di SD Negeri Kota Madiun Dalam Melaksanakan Pembelajaran bahasa Jawa di Sekolah. Pelaksanaan pembelajaran yang baik, tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan guru yang baik pula (profesional). Guru harus profesional dalam membentuk kompetensi peserta didik sesuai dengan karakteristik individual masingmasing. Guru juga harus menyenangkan, tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga bagi dirinya (Mulyana, 2005: 14-15). Guru di sini cukup bagus, dilihat dari pendidikan guru bahasa Jawa yang semua sudah bergelar sarjana pendidikan bahasa daerah. Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa tidak lepas adanya persiapan pembelajaran, sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran sudah mencakup pemilihan materi pelajaran, pemilihan metode pembelajaran, penggunaan
media
pembelajaran,
serta
bagaimana
mengadakan
evaluasi
pembelajaran. Jadi di sini guru bahasa Jawa sudah mampu melaksanakan pembelajaran karena sudah sesuai dengan bidangnya, dan mampu mempersiapkan pembelajaran dengan baik. Seperti apa yang dikatakan Ibu Rahayu sebagai guru bahasa Jawa,” untuk yang pertama persiapan mengajar yang dipersiapkan adalah yang pasti kita perbedoman pada kurikulum, yaitu pada KTSP 2006, kemudian perangkat administrasi yaitu Silabus RPP, Prota, Promes, lembar evaluasi, dan kaitannya dengan keberhasilan siswa kita menentukan berapa KKM untuk pelajaran bahasa Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108
Demikian juga pendapat dari Ibu Erna sebagai guru bahasa Jawa,” persiapan mengajar sudah saya persiapan setiap awal ajaran baru, karena di sekolah ini setiap awal ajaran baru Bapak/Ibu Guru pengampu bidang mata pelajaran harus sudah siap dengan admistrasi pembelajaran, maka saya selalu siap dengan Silabus, RPP, Prota. Promes, analisis nilai, lembar penilaian dan semua yang dibutuhkan, harus sudah siap”. Senada dengan pendapat empat guru yang lain yaitu Ibu Triasih, Ibu Yeny, Bapak Nasrullah, dan Ibu Sriana, bahwa untuk persiapan mengajar yang dipersiapkan adalah perangkat kurikulum, Prota, Promes, juga lembar evaluasi. Dengan adanya administrasi mengajar tersebut, maka guru-guru dalam mengajar sesuai dengan silabus, RPP, dan Kalender Akademik untuk menyesuaikan waktu yang ditentukan. Selain persiapan pembelajaran yang baik, guru bahasa Jawa dalam melaksanakan pembelajaran di SD dapat melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan baik pula. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran ini mencakup beberapa kegitan yang harus dilaksanakan diantaranya meliputi: penggunaan alokasi waktu yang tersedia, pemilihan sumber materi, pendekatan dan metode yang digunakan, penggunaan alat bantu dan pelaksanaan evaluasi. Beberapa tanggapan yang sama dari keenam guru bahasa Jawa tersebut tentang alokasi waktu yang disediakan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran bahasa Jawa. Salah satunya tanggapan dari Ibu Erna mengatakan ” bahasa Jawa untuk alokasi waktu sebenarnya kurang, ada 2 jam per kelas per minggu dengan materi yang banyak sekali seperti bahasa Indonesia, maka dengan hal tersebut ya, kita sebagai guru harus memaksimalkan waktu yang ada”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109
Demikian juga tanggapan dari Bapak Nasrullah mengatakan bahwa penggunaan alokasi waktu yang disediakan sebenarnya belum mencukupi. Pelajaran bahasa Jawa satu minggu hanya diberikan dua jam pertemuan, saya kira itu kurang, karena materi bahasa Jawa itu banyak “Ya, bagaimanapun tetap diusahakan agar materi bahasa Jawa yang saya ajarkan tetap berjalan lancar dan baik. Senada dengan Ibu Yeny mengatakan,”Kekurangan alokasi waktu untuk pembelajaran bahasa Jawa yang hanya 2 jam dalam 1 minggu, tiap 1 jam pertemuan 35 menit, saya kira belum cukup apalagi terkadang waktu 2 jam itu sudah berkurang untuk mengkondisikan anak-anak terlebih dahulu sehingga waktu kurang maksimal. Dikemukakan pula oleh Ibu Rahayu bahwa untuk alokasi waktu belum cukup, tetapi karena aturan dan pembagian waktunya seperti itu, diusakan untuk tetap menyelesaikan materi. Pendapat dari keenam guru tersebut mengatakan bahwa alokasi waktu yang tersedia masih kurang untuk kegiatan pembelajaran bahasa Jawa dengan materi yang ada pada kurikulum hampir sama dengan kurikulum pelajaran bahasa Indonesia, maka untuk menyikapi masalah tersebut sesuai hasil wawancara para guru tersebut setiap akhir pelajaran selalu diberi tugas rumah sehingga secara tidak langsung anakanak belajar dan memaksimalkan alokasi waktu yang tersedia. Untuk melaksanakan
pembelajaran bahasa Jawa guru juga harus
memperhatikan pemilihan sumber materi yang sesuai dalam melaksanakan pembelajaran. Materi atau bahan ajar sepenuhnya di tangan guru bahasa Jawa, dan juga harus berpegangan pada kurikulum, program semester, silabus, dan rencana pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan keenam guru commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110
bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun, dalam hal pemilihan sumber belajar atau buku-buku yang digunakan adalah buku paket Ngleluri, buku paket terbitan dari Yudhistira, LKS dari KKG bahasa Jawa Kota Madiun, dan buku pendamping lain yang sesuai. Bapak Nasrullah mengatakan,” Untuk kebutuhan buku paket bahasa Jawa sudah terpenuhi masing-masing anak mendapat pinjaman dari sekolah karena di sekolah ini semua biaya operasional ditanggung oleh BOS, maka sumber belajar yang dibutuhkan siswa terpenuhi. LKS yang merupakan lembar kerja siswa yang berperan sebagai pelengkap, keberadaannya juga sangat penting bagi siswa dan guru karena sebagai materi pelengkap yang praktis dalam pembelajaran bahasa Jawa. LKS yang digunakan yaitu hasil dari KKG bahasa Jawa tingkat Kota. LKS”Gladhen SD”. Para siswa hanya dipungut biaya setengah dari harga jual, setengahnya lagi didanai oleh BOS (Biaya Operasional Sekolah). Kemampuan seorang guru dalam menentukan metode yang tepat dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas sangat peting. Dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa menurut Ibu Rahayu bahwa “Materi dalam pelajaran bahasa Jawa itu seakan-akan menjadi bahasa asing bagi anak-anak di sini. Mereka kesulitan dalam mempelajari bahasa ibu mereka sendiri, padahal latar belakang orang tua dan keluaraga anak-anak tersebut juga orang Jawa. Maka sebisa mungkin sebagai guru bahasa Jawa dalam setiap penyampaian materi harus membuat anak-anak tersebut senang sehingga mudah mengerti”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111
Senada dengan pendapat Ibu Erna untuk pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, dalam melaksanakan pengembangan kompetensi dasar menulis jawa sudah baik, anak-anak sudah banyak yang hafal dengan aksara Jawa, tetapi untuk kompetensi dasar unggah-ungguh basa sedikit mengalami kesulitan, dikarenakan siswa-siswi di SD ini banyak yang dari dalam Kota, kemungkinan faktor lingkungan mempengaruhi kemampuannya. Berbeda dengan pendapat dari Ibu Yeny, beliau mengatakan untuk pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di sekolahnya sudah berjalan baik, anak-anak juga antusias mengikutinya. Pelajaran menulis aksara Jawa dan ungguh-ungguh basa juga diikuti anak-anak dengan baik. Pendapat dari Ibu Yeny Senada dengan Ibu Sriana dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa sudah berjalan baik, kendala bagi beliau adalah menghadapi anak-anak dalam menerima materi bahasa Jawa harus sabar karena ada sebagian anak yang lebih mudah berbicara dengan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Kemampuan guru bahasa Jawa dalam melaksanakan pembelajaran di kelas, dapat juga diukur dari bagaimana mereka mengadakan evaluasi pembelajaran. Evaluasi atau penilaian dilaksanakan pada akhir proses pengajaran, wujud pelaksanaan kegiatan ini disesuaikan dengan apa yang telah direncanakan. Ibu Erna mengatakan untuk pelaksanaan evaluasi, setiap satu atau dua kompetensi dasar selesai diadakan ulangan tertulis terkadang dengan ulangan lesan. Menurut Ibu Yeny tentang pelaksanaan evaluasi ini, setiap satu atau dua kompetensi dasar selesai diadakan ulangan tertulis terkadang juga ulangan lesan. seperti materi unggah-ungguh basa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112
sering saya nilai secara lisan. Menurut Bapak Nasrullah pelaksanaan evaluasi, setiap satu atau dua kompetensi dasar selesai diadakan ulangan tertulis. Ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Dan yang paling penting disesuaikan dengan waktu dan materi pelajarannya. Berdasarkan pada temuan tersebut tentang evaluasi pembelajaran bahasa Jawa di SD beragam, mengenai waktu pelaksanaan sudah sama yaitu diadakan setiap akhir pembelajaran. Namun ada yang tergantung waktu yang tersedia.
B. Pembahasan Sehubungan dengan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka pada bagian ini akan dikemukakan secara ringkas temuan penelitian dan pembahasan hasil penelitian pada masing-masing guru bahasa Jawa tentang mengubah kalimat dengan menggunakan ragam ngoko lugu ke ragam ngoko alus sebagai berikut. Dilihat dari hasil nilai yang diperoleh pada masing-masing guru belum ada yang mencapai nilai dengan kategori A (baik sekali). Setelah diamati ada tiga guru yang sudah mencapai nilai kategori B (baik) yaitu antara nilai 71-85. Kemudian dua guru memperoleh nilai kategori B (cukup) antara nilai 56-70. Dan satu guru yang memperoreh nilai kategori D (kurang) yaitu 50. Masing-masing guru tersebut banyak kesalahan yang ditemukan yaitu pada butir soal nomer 5 dan 8 kesalahan yang dilakukan yaitu setiap dijumpai panambangmu (akhiran-mu) tidak diubah ke ragam krama inggil. Karena salah satu ciri dari ragam ngoko alus yaitu panambang (akhiran) yang melekat pada kata verba harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113
diubah ke ragam krama inggil. Kemudian butir soal nomer 11, 13, 14, 15, yaitu katakata yang berupa ragam ngoko lugu yang seharusnya tidak diubah ke ragam krama inggil oleh masing-masing guru tersebut tetap diubah ke ragam krama inggil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing guru tersebut belum begitu memahami tentang ciri-ciri dari ragam ngoko alus. Hasil penilaian pada masing-masing guru bahasa Jawa tentang mengubah kalimat dengan menggunakan ragam ngoko lugu ke ragam krama alus. Berdasarkan temuan penelitian tentang hasil analisis soal dari jenis soal A2 yang diberikan dapat disimpulkan bahwa dari masing-masing guru tersebut kesalahan yang banyak ditemukan yaitu pada butir soal nomer 3, 7, 8, 13, 15 yaitu kesalahan pada butir soal nomer (3) yaitu pada ragam ngoko ngejak oleh keenam guru tersebut tidak dijawab atau diisi pada kata ngejak (ngoko lugu) mereka mengira kata tersebut ada ragam kramanya karena merasa tidak tahu maka tidak dijawab. Sebenarnya kata ngejak tidak berubah menjadi krama inggil. Kemudian nomer 7, 8, 13, 15 kasus kesalahan sama pada masing-masing guru tersebut. Dilihat dari hasil nilai yang diperoleh masing-masing guru sudah mencapai nilai baik sekali dengan kategori (A) yaitu antara nilai 86-100. Dua guru memperoleh nilai 95, tiga guru memperoleh nilai 90, dan satu guru memperoleh nilai 85. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru-guru tersebut sudah memahami ragam krama alus. Hasil penilaian pada masing-masing guru bahasa Jawa tentang mengubah kalimat dengan menggunakan ragam ngoko lugu ke ragam krama lugu, dan krama alus sebagai berikut. Dari masing-masing guru tersebut kesalahan yang banyak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114
ditemukan yaitu pada butir soal nomer 15 sampai nomer 20 yaitu mereka masih kesulitan dalam mengubah bentuk ngoko lugu dari kata dasar (tembung lingga) gawa menjadi kata yang diberi rimbag “afiks”-en, -na, -ana, N-a, N-ana, N-ana. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa dari keenam guru bahasa Jawa tersebut, hanya ada satu guru yang mengetahui tembung “kata” krama dari panganan yaitu tetedhan (krama inggil), guru yang lain menjawab dhaharan. Dilihat dari hasil nilai yang diperoleh masing-masing guru belum mencapai nilai baik sekali. Guruguru tersebut pada kajian soal ini mendapat nilai pada kategori B dan C. Dua guru memperoleh nilai 75, satu guru memperoleh nilai 70, dan tiga guru memperoleh nilai 60. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru-guru tersebut dalam mengubah ragam ngoko lugu menjadi krama inggil yang berupa kata dasar (tembung lingga) yang menggunakan rimbag “afiksasi” belum begitu memahami. Hasil penilaian pada masing-masing guru bahasa Jawa tentang mengubah kalimat dengan menggunakan ragam ngoko lugu ke ragam krama alus sebagai berikut. Dari masing-masing guru tersebut kesalahan yang banyak ditemukan yaitu pada butir soal nomer 7, 9, 11, 12, 13 yaitu pada kata urip, slamet (ngoko lugu) menjadi ragam krama ingil masih sulit membedakan kata tersebut. Kemudian kata aku (ngoko lugu) menjadi kula sebagai krama inggil, sesungguhnya jika disesuaikan dengan tataran tembung, krama inggil dari kata kula yaitu adalem/dalem. Kesalahankesalahan yang ditemukan pada masing-masing guru hanya sedikit yaitu pada katakata yang mereka tidak tahu bentuk krama inggilnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115
Dilihat dari hasil nilai yang diperoleh masing-masing guru, kategori nilai yang diperoleh yaitu kategori A, dua guru nilai 90, kategori B, dua guru nilai 80, dan kategori C dua guru nilai 70. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru-guru tersebut dalam mengubah ragam ngoko lugu menjadi krama inggil sudah memahami. Hasil penilaian pada masing-masing guru bahasa Jawa tentang mengubah kalimat dengan menggunakan ragam ngoko lugu ke ragam krama alus sebagai berikut. Dari masing-masing guru tersebut kesalahan yang banyak ditemukan yaitu pada butir soal nomer 7, 9, 11, 12, 13 yaitu pada kata urip, slamet (ngoko lugu) menjadi ragam krama ingil masih sulit membedakan kata tersebut. Kemudian kata aku (ngoko lugu) menjadi kula sebagai krama inggil, sesungguhnya jika disesuaikan dengan tataran tembung, krama inggil dari kata kula yaitu adalem/dalem. Kesalahankesalahan yang ditemukan pada masing-masing guru hanya sedikit yaitu pada katakata yang mereka tidak tahu bentuk krama inggilnya. Dilihat dari hasil nilai yang diperoleh masing-masing guru, kategori nilai yang diperoleh yaitu kategori A, dua guru nilai 90, kategori B, dua guru nilai 80, dan kategori C dua guru nilai 70. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru-guru tersebut dalam mengubah ragam ngoko lugu menjadi krama inggil sudah memahami. Hasil penilaian pada masing-masing guru bahasa Jawa tentang berupa‘tingkatan kata’ tataran tembung ngoko lugu ke tataran krama. Dilihat dari hasil nilai yang diperoleh masing-masing guru dari jenis D1,D2, E1, E2 sudah mencapai nilai baik sekali. Guru-guru tersebut pada kajian soal tersebut mendapat nilai pada kategori A. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru-guru tersebut dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116
mengubah ragam ngoko lugu menjadi krama inggil yang berupa tingkatan (tataran tembung) sudah terjadi peningkatan yang sangat baik. Sehubungan dengan temuan yang diperoleh dalam penelitian, maka akan dikemukakan secara ringkas yang berkaitan dengan kemampuan guru Bahasa Jawa dalam melaksanakan pembelajaran dan pengembangan materi bahasa Jawa di Sekolah. Bahwa kemampuan rekan guru bahasa Jawa di sekolah ini sudah mampu karena sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Dalam rangka persiapan dan pelaksanaan pembelajaran, para rekan guru sudah melaksanakan dengan baik, ini terbukti setiap awal pembelajaran sudah disiapkan perangkat pembelajaran meliputi kurikulum, program tahunan (prota), program semester (promes), silabus, RPP. Mereka juga sudah memahami dan mampu bagaimana mengembangkan dan menjabarkan materi bahasa Jawa (bahan pelajaran) agar lebih menyenangkan diterima siswa. Hal ini terbukti dari cara memilih sumber belajar seperti buku paket, buku pendamping, dan alat peraga sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa dalam pembelajaran. Seperti halnya yang dilaksanakan para guru di lapangan. Di dalam melaksanakan tugas-tugasnya guru tersebut sudah pandai memanfaatkan waktu yang tersedia. Pelajaran bahasa Jawa yang diberikan hanya 2 jam perminggu harus benarbenar diefektifkan agar materi bahasa Jawa selesai sesuai alokasi waktu yang tersedia. Apabila ada kekurangan alokasi waktu diadakan tugas-tugas praktek di luar jam pembelajaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117
Kemampuan guru dalam memilih sumber materi berdasarkan pada temuan dari hasil pengamatan dan wawancara dengan guru bahasa Jawa, dalam memilih buku sumber mereka menggunakan buku paket, dan buku pendamping Yudhistira, Erlangga, dan LKS. Tetapi ada juga yang menggunakan buku acuan selain tersebut di atas. Begitu juga pemilihan metode pembelajaran yang efektif dalam rangka melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa. Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru, serta lebih menekankan pada interaksi peserta didik. Untuk mengetahui keberhasilan dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar, para rekan guru sudah melaksanakan evaluasi pembelajaran dengan baik. Evaluasi dilaksanakan setiap akhir pelajaran. Ada juga yang melaksanakan evaluasi tiap satu kompetensi dasar selesai. Jadi secara umum rekan guru dalam melaksanakan kegiatan evaluasi dilakukan setelah akhir kegiatan dan untuk mengetahui berhasil tidaknya kegiatan tersebut dilaksanakan. Tetapi ada juga kendala dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di SD yaitu tentang alokasi waktu yang kurang mencukupi jika kurikulum yang digunakan hampir sama dengan kurikulum pada pelajaran bahasa Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan tingkat tutur guru bahasa Jawa terhadap pembelajaran di sekolah. Secara garis besar faktor yang mendukung kemampuan dan keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah adalah faktor internal dari guru bahasa Jawa tersebut dan faktor eksternal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118
Faktor internal meliputi bagaimana kemampuan guru dalam pemahaman dan penguasaan tentang materi bahasa Jawa terutama pada pengembangan ungah-ungguh basa Jawa pada saat ini. Seperti pada hasil wawancara yang telah dilakukan pada masing-masing guru bahasa Jawa, tentang sejauh mana guru tersebut memahami bahasa Jawa dan perkembangannya pada saat ini. Ketika guru diberi angket yang berisi apakah ada perbedaan antara unggah-ungguh basa dengan undha-usuk basa, pendapat dari Bapak Nasrullah bahwa antara unggah-ungguh basa dengan undhausuk basa tidak ada perbedaan, beliau berpendapat bahwa istilah tersebut sama dari segi arti dan penggunaannya. Tetapi berbeda dengan pendapat dari Ibu Sriana, bahwa undha-usuk basa dengan unggah-ungguh basa itu berbeda penggunaannya. Pendapat dari beliau undha-usuk basa digunakan pada tingkatan tutur bahasa, sedangkan unggah-ungguh basa digunakan pada pergaulan di masyarakat. Pendapat tersebut senada dengan jawaban dari Ibu Triasih bahwa antara unggah-ungguh basa dengan undha-usuk basa terdapat perbedaan yaitu unggaungguh basa digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau sesepuh, sedangkan undha-usuk basa digunakan untuk berbicara dengan orang yang mempunyai kedudukan atau jabatan yang tinggi. Kemudian pendapat tentang apa bahasa Jawa itu, salah satu guru mengatakan bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang Adi luhung, terdapat tingkatan kata dalam sopan santun berbahasa. Kemudian pendapat lain mengatakan bahwa bahasa Jawa adalah bahasa asli kebudayaan masyarakat Jawa yang digunakan untuk komunikasi dengan masyarakat Jawa yang mempunyai tingkat berbahasa yang baik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119
Dari hasil sebagian temuan tersebut untuk pembahasan ini, tentang faktor yang mempengaruhi kemampuan tingkat tutur ragam krama alus guru bahasa Jawa di SD Negeri Kota Madiun sebagai berikut. Faktor dari dalam meliputi kondisi guru yang menyangkut psikologis, kondisi minat, kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif guru. Berdasarkan data guru tersebut faktor psikologis yang mempengaruhi yaitu faktor umur, faktor pendidikan, dan jenis kelamin dari guru tersebut. Hasil pengamatan di lapangan dan dari hasil uji soal yang telah diberikan, jika dilihat dari faktor psikologis masing-masing guru dalam kondisi baik dan sehat. Dilihat dari segi umur masih tergolong guru-guru muda. Faktor internal yang mempengaruhi kemampuan tingkat tutur guru bahasa Jawa terhadap pembelajaran bahasa Jawa di sekolah yaitu lingkungan keluarga, karena lingkungan keluarga atau asal daerah sangat mempengaruhi kemampuan tingkat tutur berbahasa pada seseorang khususnya bahasa Jawa. Kemampuan guru dalam tingkat tutur berbahasa dapat dilihat dari asal daerah guru tersebut. Minat, dilandasi minat guru untuk dapat berkomunikasi dengan bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa yang baik dan benar, maka guru bahasa Jawa berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa dimanapun tempatnya, motivasi, adanya dorongan dari diri pribadi guru tersebut untuk menyadari menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan tingkat tutur dengan benar. Adanya ketekunan, keuletan, kesanggupan berlatih menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan tingkat tutur dengan benar. Kesehatan jasmani dan rohani dari guru commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
mempengaruhi kemampuan berbahasa atau berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis. Latar belakang pengetahuan, yaitu kemampuan kognitif dalam penguasaan kosa kata bahasa Jawa. Memiliki kemampuan, kecakapan dalam memahami tingkat tutur bahasa Jawa di masyarakat. Faktor eksternal yang mempengaruhi kemampuan tingkat tutur guru bahasa Jawa terhadap pembelajaran bahasa Jawa di sekolah adalah lingkungan sekolah, adanya daya dukung dari pihak sekolah dan siswa untuk bersama-sama menggunakan bahasa Jawa sesuai tingkat tutur sebagai bahasa komunikasi di sekolah. Adanya media pembelajaran bahasa Jawa yang mendukung terhadap guru tersebut. Adanya pengadaan buku-buku bahasa Jawa yang lengkap. Minat, bakat, motifasi, serta kemampuan guru merupakan faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa Jawa. Faktor kemampuan kognitif dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa memiliki peranan yang besar. Artinya dengan memiliki kemampuan kognitif yang baik guru akan mudah memberikan pengajaran bahasa yang benar, karena guru memegang peranan penting dalam menentukan dan mengolah jalannya pengajaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sehubungan dengan masalah yang telah dirumuskan dan tujuan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat tutur ragam ngoko alus, krama lugu, dan krama alus untuk mengetahui kemampuan tingkat tutur guru bahasa Jawa di SD Negeri melalui uji soal, diketahui bahwa dari masing-masing guru sudah menjawab sejumlah soal dengan baik dan hanya terdapat sedikit kesalahan. Jika dirata-rata memperoleh nilai dengan kategori B (baik) yaitu antara nilai 71-85, maka dapat diketahui guru-guru tersebut sudah mampu dalam pemakaian tingkat tutur bahasa Jawa yang sesuai dengan kaidah terbukti dari hasil nilai yang diperoleh. 2. Bahasa Jawa masih digunakan sebagai alat komunikasi di SD Negeri, hal ini terbukti dari upaya rekan guru yang selalu mendorong siswa untuk berbahasa Jawa sesuai dengan undha-usuk bahasa Jawa yang benar. Untuk mengetahui keberhasilan dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) khususnya tingkat tutur bahasa Jawa di kelas para rekan guru juga sudah melaksanakan pembelajaran dengan baik hal ini terbukti tingkat tutur ngoko alus, krama lugu, krama alus selalu dipakai guru dan siswa dalam berkomunikasi di kelas.
commit to user 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
B. Implikasi Berdasarkan atas data hasil penelitian maka dapat dibuat implikasi sebagai berikut: Guru bahasa Jawa di SD Negeri sudah menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa dengan baik. Mereka mampu dalam bertingkat tutur baik ragam ngoko maupun krama secara tertulis dan lesan. Di bidang pendidikan, pelajaran bahasa Jawa ditetapkan sebagai muatan lokal wajib di SD. Kedudukan bahasa dan sastra mencerminkan nilai-nilai filosofis khas Jawa. Penggunaan bahasa Jawa ragam krama yang sering disebut ragam hormat memang perlu dilakukan sejak dini, sebagai sarana pembentukan pribadi agar anak berperilaku sopan dan watak mulia. Tingkat tutur bahasa Jawa masih selalu digunakan dalam berkomunikasi di kelas, maka guru bahasa Jawa dalam pembelajarannya mampu menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar, dan mengendalikan siswa untuk selalu menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi di kelas. Kompetensi guru merupakan satu faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah. Adapun standar kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru SD agar professional dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagai tenaga kependidikan pada SD yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial. Kompetensi guru tidak berdiri sendiri, dipengaruhi oleh faktor lain seperti: latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123
Faktor internal dan eksternal sangat mempengaruhi kemampuan guru dalam penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa. Oleh karena itu guru diharapkan mampu mengendalikan faktor internal dan eksternal sehingga dalam komunikasi bahasa Jawa baik di lingkungan masyarakat dan sekolah selalu menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa yang baik dan benar. Dalam pembelajaran bahasa disebutkan bahwa pengembangan bahasa merupakan salah satu mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya. Sehubungan dengan itu, bahasa Jawa ikut berperan sebagai sarana pengembangan kemampuan berkomunikasi. Karena mempunyai unggahungguh ‘sopan-santun’, bahasa Jawa sangat berperan dalam pembentukan perilaku dan watak yang luhur bagi anak. Penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa, khususnya ragam krama yang sering disebut ragam hormat memang perlu dilakukan sejak dini (bagi etnik pemakainya) sebagai sarana pembentukan pribadi agar anak berperilaku sopan dan berwatak mulia. Belajar unggah-ungguh perlu dilakukan secara lisan dan berkesinambungan. Tentu saja, bahan yang diberikan atau ditampilkan berupa kosa kata (dalam bentuk wacana dialog dan atau narasi sederhana) yang sesuai dengan tingkat usia. Perlu adanya usaha pengembangan dan pelestarian bahasa khususnya tingkat tutur bahasa Jawa, diwujudkan dengan memasukkan bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di sekolah tingkat pendidikan dasar dan menengah dan memantapkan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi, menyediakan bahan pelajaran untuk sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dan bacaan untuk umum. Kemudian mengadakan penelitian, penerbitan, permasyarakatan, dan pengapresiasian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124
Agar pembelajaran bahasa Jawa terus meningkat perlu adanya peningkatan peran orang tua dan guru (pendidik) di dalam menanamkan kemampuan menggunakan bahasa daerah. Penetapan bahwa guru bahasa Jawa seyogianya berlatar belakang sarjana bahasa Jawa, dan perlunya peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan komunitas bahasa dan sastra jawa. Penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dipengaruhi oleh kondisi minat, kecerdasan, bakat, motivasi, kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik guru bahasa Jawa tersebut. Maka guru diharapkan untuk meningkatkan kualitas kemampuan tingkat tutur bahasa Jawa melalui kegiatan seminar ataupun penataran. Dengan adanya bahasa jawa baku, yang diajarkan di sekolah sebagai mata pelajaran wajib, maka setiap orang Jawa yang pernah bersekolah, dimanapun ia berada, nantinya pasti akan bisa berkomunikasi dengan sesama orang jawa tanpa kesulitan. Pelajaran bahasa Jawa di sekolah ataupun pembinaan dan usaha pengembangannya lewat media massa, hingga kini belum ada pedomannya yang pasti, karena tidak atau belum adanya bahasa Jawa yang baku atau standar yang dapat dijadikan pedoman. Akibatnya, materi dan metode pelajaran di sekolah dengan bahan dan cara-cara yang digunakan dalam media massa sering tidak searah. Oleh sebab itu, bahasa Jawa baku kiranya perlu segera dicanangkan, agar selanjutnya bisa digunakan sebagai pedoman, baik dalam pelajaran di sekolah maupun dalam usaha dan pengembangannya di media masa. Bahasa Jawa baku atau standar pada prinsipnya dibutuhkan sebagai pedoman atau bahan acuan dalam melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengembangan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125
bahasa Jawa, karena bahasa Jawa baku nantinya diharapkan bisa diterima dan sekaligus dimengerti oleh setiap orang Jawa. Pengajaran bahasa Jawa di sekolah lebih banyak berisi konsep-konsep tentang struktur bahasa Jawa yang artifisial berdasarkan tatabahasa tradisional. Di samping itu, juga kurang memperhatikan minat dan kebutuhan siswa serta latar belakang kebahasaannya. Hal lain yang juga sering dilupakan adalah perspektif kehidupan bahasa Jawa dewasa ini. Kenyataan itu menjadikan sekolah terasing dari masyarakat penutur bahasa Jawa dan pengajaran bahasa Jawa menjadi pengajaran ilmu bahasa dan sastra Jawa. Oleh karena itu, pengajaran bahasa Jawa di sekolah perlu diaktualkan dan difaktualkan. Pengajaran bahasa Jawa di sekolah perlu didasarkan pada bahasa Jawa sebagai bahan pembelajaran bahasa, hasil pembelajaran bahasa, dan pengajaran bahasa. Bahasa Jawa sebagai bahan pembelajaran bahasa adalah kesatuan antara sistem dan kaidah, fungsi, dan realisasinya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, karena peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi yang tinggi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Faktor pengajar dalam sistem pengajaran bahasa Jawa perlu memiliki kesadaran yang tinggi sebagai pengajar bahasa. Secara mendasar pengajar harus menyadari dan menghayati bahwa sekolah diadakan untuk membantu siswa; mata pelajaran bahasa Jawa diadakan untuk menjadikan siswa terampil berbahasa Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126
Pengajar harus mampu menyadari bahwa siswa adalah pembelajar bahasa yang harus diperhatikan, diselami dunia pengalaman kebahasaan dan motifnya dan dimasuki lingkungan kebahasaannya. Di samping itu, pengajar harus memperhatikan keterbatasan dan keunikan pembelajar serta bersedia membantu. Anak-anak dan generasi muda sekarang pada umumnya adalah ibarat masa depan bahasa Jawa. Maksudnya, jika sekarang anak-anak dan generasi muda pada umumnya sudah tidak menaruh minat lagi terhadap bahasa Jawa, berarti hilanglah masa depan bahasa Jawa, bersamaan dengan habisnya generasi tua yang masih mencintai bahasa Jawa sekarang ini. Sehubungan dengan hal itu, agar generasi muda tidak menjadi asing terhadap bahasa Jawa, maka seyogyanya pengajaran bahasa Jawa dihidupkan kembali di sekolah-sekolah. Satu lagi usaha untuk mengembangkan pembelajaran tingkat tutur bahasa Jawa perlu adanya usaha dari media masa berbahasa Jawa dalam bidang pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa adalah membuka rubrik “Unggah-ungguh Basa”. Isinya ditikberatkan pada cara-cara penggunaan bahasa Jawa baik ngoko, krama, maupun krama inggil. Pelaksanaan prinsip-prinsip pengajaran bahasa Jawa yang telah diungkapkan sebenarnya tidak sulit tetapi juga tidak mudah. Ketidaksulitannya, karena daerah pelaksanaan muatan lokal bahasa Jawa telah mencanangkan bahwa pengajaran bahasa Jawa di jenjang pendidikan dasar dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pengajaran bahasa Jawa. Ketidakmudahannya, karena masing-masing daerah memaknai dan menjabarkannya secara berbeda-beda. Di samping itu, yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127
menyulitkan dan membingungkan dalam praktek pengajaran di kelas adalah adanya pencanangan tujuan pelestarian bahasa Jawa dan pengembangan budi pekerti; tujuan itu kurang perlu, karena pengajaran bahasa memang memiliki kontribusi terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa dan keterampilan berbahasa Jawa juga memiliki kontribusi terhadap pengembangan budi pekerti. Keduanya itulah yang sering melarikan pengajaran bahasa Jawa ke arah materi-materi pembelajaran yang tidak kontekstual dan tidak relevan dengan kehidupan bahasa Jawa dewasa ini dan mengubah pengajaran bahasa Jawa menjadi pengajaran ilmu bahasa Jawa. Pengajaran bahasa Jawa di sekolah merupakan wujud pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa. Akan tetapi, banyak orang yang menyangsikan kontribusinya terhadap kelestarian bahasa Jawa. Benar atau salah anggapan itu perlu direnungkan oleh pengajar bahasa Jawa di sekolah; terlebih lagi alasan dari anggapan itu, yang menyatakan bahwa dewasa ini sulit ditemukan pengajar bahasa Jawa yang bisa menjadikan siswa terampil berbahasa Jawa. C. Saran Berdasarkan atas data penelitian, simpulan, dan implikasi maka dapat dibuat saran, sebagai berikut: 1. Untuk Kepala Sekolah Agar Kepala Sekolah memberikan kesempatan kepada guru bahasa Jawa untuk meningkatkan kemampuannya melalui pelatihan, penataran, seminar, kegiatan KKG. Pihak sekolah juga diharapkan dapat menyediakan bahan pembelajaran yang lengkap di sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128
2. Untuk Guru Agar para guru bahasa Jawa berusaha untuk memaksimalkan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dalam berkomunikasi di masyarakat dan khususnya dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, selain itu guru berusaha meningkatkan kualitas berbahasa Jawa melalui kegiatan-kegiatan yang relevan dengan bidangnya. 3. Untuk Siswa Agar para siswa dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dan berkomunikasi di lingkungan keluarga secara bertahap bisa meningkatkan bahasa ibunya yaitu bahasa Jawa secara baik dan benar. 4. Untuk masyarakat Agar para masyarakat sebagai orang tua siswa memberikan arahan dan contoh kepada anak-anaknya untuk bisa menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa dalam berkomunikasi sesuai dengan situasinya. Peningkatan peran orang tua di dalam menanamkan kemampuan menggunakan bahasa daerah. Memberdayakan lembaga bahasa dan sastra Jawa.
commit to user