1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Perubahan kurikulum disinyalir menjadi salah satu alasan munculnya
berbagai permasalahan dalam bidang pendidikan. Kurikulum yang dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 butir 18 didefinisikan sebagai “…..seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” akan membingungkan jika landasan pengembangan dan perubahannya tidak dipahami secara filsafat. Kurikulum menjadi amat penting dalam sebuah proses pendidikan sebagai acuan utama untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, kurikulum pendidikan nasional telah berubah beberapa kali. Tahun 1947 istilah yang digunakan adalah kurikulum Leer Plan (rencana pembelajaran). Kurikulum ini mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan jasmani. Tahun 1952 muncul kurikulum rencana pelajaran terurai yang mulai merinci setiap mata pelajaran. Masa orde baru, kurikulum selalu mengalami perubahan hampir tiap dekade seperti kurikulum 1968, 1975, 1984 dan terakhir kurikulum 1994. Pascareformasi (Mei 1998) muncul kurikulum baru bernama KBK tahun 2004 yang kemudian berkembang menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
2
Pendidikan) tahun 2006 serta yang terakhir adalah kurikulum 2013 yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari KBK dan disiapkan untuk generasi emas tahun 2045. Kurikulum 2013 melandaskan argumen pada Menteri Pendidikan Muhammad Nuh (Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2013) dirancang untuk mendorong
peserta
didik
agar
mampu
lebih
baik
dalam
melakukan
observasi/mengamati, bertanya, menalar, dan mengomunikasikan. Melalui pendekatan itu diharapkan peserta didik memiliki kompetensi sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Peserta didik dengan menggunakan kurikulum 2013 diharapkan akan lebih kreatif, inovatif dan produktif sehingga bisa sukses menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya dan mampu memasuki masa depan yang lebih baik. Perubahan dalam pendidikan khususnya kurikulum adalah hal yang wajar. Perubahan harus disertai dengan beberapa aspek seperti aspek kebutuhan bangsa, kebutuhan subyek didik, kebutuhan lembaga yang mendidik atau pemerintah, kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan teknologi dan pengajaran. Semua aspek harus merasa siap dan mampu mengetahui titik tolak perubahan kurikulum khususnya kurikulum 2013 karena kurikulum memiliki nilai filsafat yang tinggi dan merupakan basis dasar atau bekal dalam pendidikan. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang bagus namun persoalan yang melingkupi kurikulum 2013 jumlahnya tidak sedikit. Sulistyo, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) mengatakan bahwa
3
kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan kurikulum berbasis observasi integratif itu dinilai mengabaikan kesiapan guru. Guru masih belum banyak yang mengetahui
konsep
kurikulum
2013.
Pemerintah
dianggap
kurang
mempertimbangkan kondisi heterogen guru terutama guru di pedalaman yang tidak mudah beradaptasi pada hal-hal yang baru pada waktu singkat (Kedaulatan Rakyat, 25 januari 2013). Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta memiliki pendapat yang sama dengan menjelaskan bahwa sebagus apa pun kurikulum tanpa diimbangi kesiapan aspek guru, implementasinya menjadi sia-sia. Kurikulum 2013 seakan-akan seperti ‘dipaksakan’ (Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2013). Faktor kesiapan semua aspek dalam perubahan kurikulum harus dilihat secara menyeluruh agar revisi atau penyempurnaan kurikulum berdampak positif. Permasalahan kurikulum 2013 bukanlah masalah yang sepele karena kurikulum 2013 disiapkan untuk generasi emas tahun 2045. Orientasi keindonesiaan harusnya lebih kuat tetapi dokumen-dokumen dan naskah kurikulum dirasa kurang bersemangat sebab tidak disebutkan kata Pancasila di dalamnya. Penyiapan kurikulum bukan pemikiran seluruh bangsa tetapi segelintir manusia saja jadi terkesan sentralistik. Guru tidak dilibatkan dalam pembuatan kurikulum sehingga banyak guru yang merasa kebingungan dalam aplikasi dan implementasi kurikulum 2013, guru seharusnya sebagai pengolah bukan hanya penerima. Paradigma berpikir pun seakan-akan bergeser bukan Pancasila dan keindonesiaan namun lebih pada ke tenaga kerja.
4
Revisi kurikulum memang harus dilakukan antara lain karena banyaknya mata pelajaran dan terlalu padatnya materi yang ingin dijejalkan kepada peserta didik. Kecermatan dan ketepatan dalam mengidentifikasi permasalahanpermasalahan di dunia pendidikan amat diharapkan agar menghasilkan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman (Kompas, 14 Desember 2012). Pembaruan metode pembelajaran dibutuhkan dan seharusnya dilakukan sejak lama dalam pendidikan. Pertama, karena adanya “revolusi copernican” dalam definisi pendidikan dari pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered) seperti dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ke berpusat pada murid (student centered) menurut UU No 20 Tahun 2003 sebagai revisi UU Sisdiknas. Kedua, sekolah di Indonesia sedikit sekali membantu menumbuhkan potensi seorang murid. Pengaruh sekolah yang menjemukan serta tidak imajinatif itu tetap terasa ketika seseorang menjadi dewasa dan memimpin masyarakat. Ketiga, Peningkatan profesionalisme guru seyogyanya ditandai dengan berbagai aktivitas dan kinerja guru. Keempat, pola kurikulum KTSP tidak mendorong siswa kreatif dan inovatif sehingga sulit memunculkan jiwa kewirausahaan anak didik (Kompas, 21 Februari 2013). Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang memiliki banyak landasan filsafat sehingga dapat dikatakan eklektif inkorporatif. Kurikulum 2013 menyatakan bahwa tidak ada satu pun filsafat pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik.
5
Landasan filsafat dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filsafat yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak ada satupun filsafat pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas (Kerangka dasar Kurikulum 2013, Permendikbud Nomor 68 2013).
Kurikulum ini menjadi seperti ‘gado-gado’ yang harus diolah sedemikian rupa sehingga semua aspek, baik itu pemerintah, guru, peserta didik mau dan mampu mengimplementasikannya. Filsafat Pendidikan kurikulum 2013 secara tersurat menyatakan menganut tiga hal yaitu essensialisme, eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme. Tiga filsafat pendidikan itu digunakan sebagai landasan dasar pembuatan kurikulum 2013. Tiga landasan filsafat itu dianggap mampu menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum 2013. Tiga landasan filsafat itu membuat kurikulum 2013 menggunakan dasar eklektik inkorporatif. Ekelektik inkorporatif memiliki arti pengembangan dan pemerkayaan filosofi pendidikan nasional dari berbagai unsur filosofi pendidikan asing. Peneliti sebagai pembelajar dalam dunia filsafat tertantang untuk memberikan sumbangsih pikir mengenai hal tersebut. Kajian yang akan peneliti pakai adalah filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan berfungsi mengembangkan manusia dengan segala potensi kemanusiaannya. Kneller seperti yang dikutip oleh Barnadib (2002 : 10) menyatakan bahwa ada tiga pendekatan dalam filsafat pendidikan yaitu pendekatan spekulatif, preskriptif, dan analitis. Spekulatif berarti
6
pemikiran sistematis terhadap apa yang ada, baik abstrak maupun konkret. Preskriptif adalah pendekatan untuk mempelajari peranan nilai dalam pendidikan. Analitis berusaha mengenali makna sesuatu dengan mengadakan analisis katakata pada khususnya dan bahasa pada umumnya. Pondasi filsafat pendidikan berisi kajian pemikiran reflektif tentang upaya manusia memikirkan kehidupan secara menyeluruh, upaya mencapai pendidikan yang baik, serta mencari akar fundamental dari penyelenggaraan pendidikan yang dianggap baik (Rohman, 2013 : 69). Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat sehingga sudah sewajarnya pemikir-pemikir filsafat memberikan kritik dan saran terhadap berbagai permasalahan mengenai pendidikan tidak terkecuali mengenai kurikulum 2013. Kritik terhadap kurikulum 2013 tidak selalu harus negatif tetapi lebih menguatkan respon dan respect terhadap naskah kurikulum 2013. Kritik harus dapat dipertanggungjawabkan, mengkritisi kurikulum melalui filsafat pendidikan merupakan hal yang bagus dalam bidang keilmuan. Filsafat pendidikan memiliki banyak aliran. Aliran filsafat pendidikan yang peneliti pakai dalam membedah dan mengupas kurikulum 2013 adalah progressivisme.
Peneliti
berkeyakinan
kurikulum
2013
memiliki
warna
progressivisme yang sangat dominan dan harus diungkap. Progressivisme mengatakan bahwa kurikulum dapat berubah karena zaman dan ilmu pengetahuan berubah, jadi perubahan adalah hal yang wajar. Filsafat
progressivisme
dipengaruhi
oleh
ide-ide
dasar
filsafat
pragmatisme yang telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu
7
manusia dalam hidupnya untuk tetap survive terhadap semua tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya. Aliran progressivisme lahir sebagai reaksi atas pelaksanaan bentuk pendidikan tradisional. Dewey, dalam hal ini mengatakan bahwa:
“…many progressives were merely reacting against traditional school practices and had failed to formulate an educational philosophy which was capable of serving as a plan of pragmatic operation “(Gutek, 1985: 141). Progesivisme memandang bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh manusia dewasa ini karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu. Ini meliputi ilmu-ilmu sosial, budaya, maupun ilmu pengetahuan alam.
Dewey menekankan bahwa pendidikan merupakan petunjuk yang tiada akhir,
sesuatu
yang berlangsung terus-menerus,
akumulasi rekonstruksi
pengalaman. Dewey tidak menerima pandangan bahwa manusia itu diberkahi kebenaran-kebenaran absolut. Pendidikan pada akhirnya dapat dikenal melalui prosesnya seperti sebuah horison yang tidak pernah dapat dijangkau.
“According to Dewey, education is leads to no final ends, it is something continuous, a reconstruction of accumulated experience. Unlike those who assert that man is blessed with there are fixed and ultimate ends, Dewey hold no such view. The aim, such it is, is identified with the process, like the horizon” (Meyer, 1952 : 44-45). Aspek yang dapat dilihat dalam segi filsafat di dunia pendidikan yang berkembang secara terus menerus adalah kurikulum.
8
Peneliti menyadari bahwa filsafat pendidikan merupakan hal yang menarik untuk dikupas. Filsafat harus memandang pendidikan sebagai suatu keinginan manusia yang tertinggi yang mampu mengatasi berbagai masalah.
Philosophy should focus about education as the supreme human interest in which, moreover, other problem, cosmological, moral, logical, come to head (Child, 1951 : 419-420). Pola berpikir penelitian ini harus filsafat dengan menjurus pada konsep pendidikan yang ideal bukan pada tataran praktis sehingga tidak terjerumus pada peneliti pendidikan tingkat praksis. Ini merupakan hal yang baru karena belum ada tesis yang meneliti mengenai kurikulum pendidikan secara khusus terutama mengenai kurikulum 2013. Peneliti sendiri mengkhususkan pada persoalan kurikulum 2013 untuk dicoba dicari landasan filsafat dan warna progressivisme di dalamnya agar mampu memahami makna terdalam dari suatu kurikulum pendidikan.
1. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti mengemukakan tiga rumusan masalah yaitu : a. Apa hakikat kurikulum 2013 ? b. Apa saja landasan filsafat kurikulum 2013 ? c. Bagaimana pandangan filsafat pendidikan progressivisme terhadap kurikulum 2013 ?
9
2. Keaslian Penelitian Setelah peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang ada, belum ada satu pun tesis yang membahas kurikulum sebagai objek material namun terdapat beberapapenelitian yang mengkaji tentang filsafat pendidikan progressivisme yakni sebagai berikut : Tesis Konsep Demokrasi dalam Pendidikan Menurut Progressivisme oleh Ahmad Samawi tahun 1995. Penelitian tesis pada tahun 1995 ini menjelaskan bahwa konsep demokrasi dalam pendidikan yang dimaksudkan oleh John Dewey adalah suatu pandangan, sikap, aktivitas yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap peserta didik untuk berpartisipasi dalam menentukan pendidikannya agar ia tumbuh dan berkembang secara optimal dan wajar sesuai dengan potensinya. Demokrasi dalam pendidikan mempunyai implikasi yang luas di berbagai bidang pendidikan seperti : kurikulum work and play, metode pendidikan yang membiasakan anak menjadi problem solver, aspek-aspek kejuruan yang menumbuhkan intelektual dan moral, dan subject matter pendidikan dari problem kehidupan. Pandangan dewey mengenai progressivisme pendidikan khususnya tentang demokrasi pendidikan memiliki kekuatan dalam hal mengembangkan peserta didik sebagai makhluk individu yang bebas tetapi lemah karena anak didik cenderung anrkhis. Pandangan Dewey mengenai demokrasi dalam pendidikan memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan nasional dalam hal mengembangkan kualitas manusia secara individual.
10
Tesis Filsafat Pendidikan Alfred North Whitehead dalam The Aims of Education and other Essays ditulis oleh Andri Prianto tahun 2004. Tesis oleh mahasiswa filsafat UGM ini mencoba menyelidiki gagasan filsafat Alfred North Whitehead mengenai pendidikan yang terdapat dalam karyanya berjudul the Aims of education and other essay. Whitehead berpandangan bahwa peserta didik dan guru merupakan sosok yang dinamis. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah tercapainya pengetahuan dan kebijaksanaan. Kurikulum yang disampaikan adalah kurikulum yang mampu mencakup nilai dan realitas. Tesis Konsep Filsafat Pendidikan Hamka dalam Sistem Pendidikan Nasional oleh Eknathon, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM tahun 1999. Penelitian ini bertujuan mengetahui konsepsi filsafat pendidikan menurut Hamka dan relevansinya bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia. Kesimpulan dari tesis ini bahwa konsepdasar filsafat pendidikan Hamka bercorak esensialisme. Skripsi Konsep Pendidikan Multikultural menurut Perspektif Filsafat Pendidikan Progressivisme John Dewey ditulis oleh R. Adhi Putro H tahun 1997. Penelitian ini menjelaskan bahwa pendidikan progressivisme John Dewey menekankan pada pengalaman yang diperoleh dalam interaksi sosial. Interaksi pengalaman penting dalam membentuk pengalaman yang edukatif. Pendidikan multikultural merupakan aplikasi dari multikulturalisme dalam pendidikan yang menjawab segala persoalan dalam masyarakat multikultural. Pendidikan multikultural menurut filsafat pendidikan progressivisme John Dewey merupakan
11
suatu pendidikan yang berdasar pada pengalaman, selalu dalam proses perkembangan sesuai dengan realita yang senantiasa berubah. Skripsi Titik Temu Pandangan Hsun Tzu dan Progressivisme tentang Pendidikan ; Sebuah Kajian Filsafat Pendidikan, oleh Ibrahim tahun 1995. Ibrahim mengemukakan bahwa antara Progressivisme dengan pandangan Hsun Tzu memiliki keterkaitan dalam beberapa aspek, pertama kesesuaian pendapat tentang metode pendidikan yang baik tidaklah bersifat “menjejali” atau otoriter. Kedua Hsun Tzu sangat menghargai perubahan-perubahan dalam diri manusia sama halnya dengan progressivisme yang mengusung kata perubahan yang senantiasa berkembang dalam proses pendidikan manusia. Terakhir, pendidikan tidak dipengaruhi oleh faktor keturunan atau warisan apalagi faktor kekayaan. Faktor yang lebih berpengaruh adalah untuk mencapai derajat yang lebih tinggi sehingga hak-hak istimewa dalam pendidikan adalah hak yang harus ditolak. Konsep pendidikan Hsun Tzu yang memiliki kesesuaian dengan Progressivisme tercermin dalam sistem pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah otonomi sekolah. Skripsi Konsep Kurikulum dalam Pendidikan Menurut John Dewey ditulis oleh
Nofi Nachriatun
Nurchijah tahun
2003.
Nofi dalam
skripsinya
mendeskripsikan bahwa menurut John Dewey kurikulum memiliki sifat yang luas dengan jangka waktu yang tidak terbatas pada ruang. Tugas guru terhadap kurikulum ialah menjembatani perbedaan yang terdapat pada gagasan bahan ajaran dan gagasan asing yang ada dalam diri peserta didik. Teori yang diterima oleh anak didik hendaknya sebanding dengan apa yang dimuat oleh kurikulum
12
dan semua bidang studi harus tunduk pada pertumbuhan anak. Isi kurikulum hendaklah sesuai dengan kemampuan anak, tidak ada kesenjangan yang jauh antara teori dan praktek dalam kurikulum. Kurikulum John Dewey dapat disimpulkan adalah kurikulum eksperimental karena ilmu pengetahuan yang terdapat pada kurikulum ialah ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman. Ilmu pengetahuan senantiasa berubah, karena bersifat dinamis tidak statis jadi menjadi hal yang wajar kalau kurikulum pendidikan juga senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Skripsi Konsep Pendidikan Dalam model Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menurut Perspektif Filsafat Pendidikan Konstruksivisme oleh Marfuah Puji Astuti tahun 2012. Marfuah mencoba menjelaskan bahwa ketiga kurikulum yang ada di Indonesia yaitu Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sama-sama berorientasi pada keaktifan siswa. Perbedaannya terletak pada pergeseran fungsi guru. Kurikulum 1994 lebih memusatkan pada guru sebagai pusat sedangkan pada KBK dan KTSP guru sebagai fasilitator sedangkan siswa sebagai pusat. Perbedaan lainnya bahwa materi pendidikan Kurikulum 1994 lebih difokuskan pada aspek kognitif, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Jurnal Education and Culture dengan judul “John Dewey’s View of the Curriculum in The Child and the Curriculum” oleh Douglas J. Simpson dan Michael J. B. Jackson Vol 20 No 2 tahun 2003. Douglas dan Michael memberikan
13
pemahaman mengenai kurikulum yang dijelaskan oleh John Dewey dalam bukunya The Child and the Curriculum bahwa kurikulum yang baik harus berpusat pada kebutuhan dan keinginan siswa sebagai subyek pendidikan. Pembelajaran dalam dunia pendidikan harus bersifat dinamis tidak statis. Jurnal Kurikulum dan Pengajaran Asia Pasifik dengan judul “Kurikulum ke arah Penghasilan Kemahiran Berpikir Kritis, kreatif, dan Inovatif” oleh Abu Bakar Nordin Vol 1 No 1 tahun 2013. Penelitian ini menjelaskan bahwa sistem pendidikan dalam dunia global mengalami peningkatan dan perkembangan. Budaya belajar yang berpikir kritis, kreatif, dan inovatif harus digerakkan oleh bangsa mana pun agar tidak tergerus perkembangan zaman. Generasi yang dihasilkan pun akan menjadi generasi yang unggul bukan generasi yang usang. Jurnal
UNIERA
dengan
judul
“Progressivisme
Pendidikan
dan
Relevansinya di Indonesia” oleh Ricardo F. Nanuru Vol 2 No 2 ISSN 2086-0404 tahun 2013. Progressivisme yang menekankan pada kebebasan anak dalam berkreasi merupakan hal yang menarik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Ricardo menjelaskan bahwa dengan memberikan ruang lebih banyak dan terbuka bagi pengembangan SMK diharapkan progressivitas pendidikan Indonesia dapat ditingkatkan. Alasannya adalah SMK menekankan hubungan yang linear antara pendidikan dengan dunia kerja yang sesuai keterampilan atau pengalaman.
14
3. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi : 1) Bagi masyarakat Memberikan pemahaman dan pandangan baru mengenai kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia khususnya mengenai kurikulum 2013. 2) Bagi Ilmu Pengetahuan dan Filsafat Menambah khasanah filsafat dan dapat memberikan sumbangsih pemikiran filsafat mengenai filsafat pendidikan progressivisme dalam memandang kurikulum tahun 2013. 3) Bagi Peneliti Menambah pengalaman serta memberi pengetahuan yang lebih mengenai filsafat pendidikan pada umumnya dan kurikulum pendidikan pada khususnya. B.
Tujuan Penelitian a.
Mendeskripsikan isi kurikulum 2013 secara jelas dan komprehensif.
b.
Menjelaskan landasan-landasan filsafat yang ada dalam kurikulum 2013.
c.
Merefleksikan pandangan progressivisme dalam pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia.
15
C.
Tinjauan Pustaka Setiap penyusun kurikulum hendaknya senantiasa mempelajari keadaan,
perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat. Kurikulum yang seragam diyakini mematikan inisiatif guru, mengekang kebebasan dan menutup kemungkinan untuk menyesuaikan kurikulum dengan keadaan masyarakat dan kebutuhan murid-murid setempat. Kurikulum yang seragam juga bertentangan dengan prinsip untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan individual. Padahal pada masa modern tugas pendidikan untuk mempersiapkan anak agar dapat berdiri sendiri dibebankan kepada sekolah (Nasution, 1982 : 110-132). Kurikulum secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Curir yang artinya pelari dan Curare yang artinya tempat berpacu. Istilah kurikulum mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis awal menuju garis akhir. Kurikulum dalam bidang pendidikan memiliki makna seperangkat perencanaan yang dijadikan acuan pendidikan untuk menjalankan proses pendidikan mulai dari awal hingga akhir (Hasan, 1986 : 176). Schubert (1986, 31) menekankan bahwa pemahaman kurikulum memuat dari kurikulum sebagai mata pelajaran yang berhubungan dengan daftar mata pelajaran yang diajarkan ke kurikulum sebagai kecakapan hidup. Kurikulum sebagai program kegiatan memiliki arti perencanaan ruang lingkup, urutan, keseimbangan mata pelajaran, teknik mengajar, cara-cara memotivasi siswa, dan hal-hal lain yang dapat direncanakan sebelumnya dalam pelajaran. Kurikulum sebagai hasil belajar yang bertujuan untuk memberikan fokus hasil belajar yang
16
dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Kurikulum sebagai reproduksi kebudayaan yang bertujuan mencapai tujuan nasional dan membangun generasi yang mempunyai peradaban dan martabat yang tinggi. Kurikulum sebagai tugas dan konsep yang merupakan interpretasi kecakapan hidup manusia. Kurikulum bukan hanya mementingkan tujuan pendidikan saja tetapi juga pembelajaran dan pengembangan kepribadian. Kurikulum penting untuk menunjukkan pemilihan dan pengorganisasian substansi yang akan mencerminkan investasi dalam pola kegiatan pembelajaran (Taba, 1962 : 6). John
Dewey
berpendapat
bahwa
kurikulum
yang
baik
harus
mencerminkan miniatur masyarakatnya. Kurikulum harus dapat mengembangkan minat maupun kemampuan individu sehingga individu mampu berperan secara aktif baik di lingkungan sekolahnya maupun di masyarakat. Murid harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab agar timbul sikap kreatif dalam menjalani kehidupan dan menyelesaikan masalah (Dewey, 1962 : 23). Kurikulum pendidikan hendaknya bersifat fleksibel dan harus lebih banyak bersangkutan dengan proses belajar daripada sekedar untuk memperoleh seperangkat informasi (Subiyanto, 1991 : 11), serta disusun berdasarkan tujuan pendidikan yang berorientasi pada anak (Brubacher, 1978 : 238). Dewey menempatkan anak secara khusus di dalam kurikulum, dan selanjutnya menyatakan : “it is his present power which are to assert themselves ; his present capacities which are to be exercised ; his present attitudes which are to be realized. But save as the teacher knows, knows wisely and
17
thoroughly, the race expression whichis embodied in that thing we call the Curriculum, the teacher knows neither what the present power, capacity, or attitude is, nor yet how it is to be asserted, exercised, and realized” (Dewey, 1962 : 31). Tugas sekolah ialah memilih dan menyederhanakan unsur-unsur kebudayaan yang dibutuhkan individu untuk berpartisipasi di dalam masyarakat. Sekolah di satu pihak dapat memajukan kehidupan masyarakat, dan di pihak lain sekolah yang maju hanya dapat ditemukan di dalam masyarakat yang telah maju pula (Dewey, 1962 : 6-7). Kurikulum yang baik secara lebih khusus menyatakan bahwa agar anak sebagai subyek didik mampu berpikir lebih kompleks dan kontinuitas. Aktivitas anak akan berkembang menjadi lebih rumit. Pola bermain dan bekerja harus diterapkan dalam dunia kurikulum pendidikan agar proses penambahan pengetahuan yang terserap dalam diri peserta didik terasa menyenangkan tidak bersifat otoriter. Seperti yang dikatakan oleh Dewey (1964 : 205) : It is the fact that the aim is thought of as more activity in the same line, without defining contunuity of action in reference to results produced. Activities as they grow more complicated gain added meaning by greater attention to specific results achieved. Kurikulum yang baik menurut progressivisme juga dapat bersifat dinamis serta sesuai dengan perkembangan zaman. Kurikulum progressivisme menekankan pada anak didik. Semua bidang studi harus tunduk pada pertumbuhan anak. Isi kurikulum hendaklah sesuai dengan kemampuan anak, tidak ada kesenjangan yang jauh antara teori dan praktek dalam kurikulum. Kurikulum progressivisme John Dewey dapat disimpulkan adalah kurikulum eksperimental karena ilmu pengetahuan yang
18
terdapat pada kurikulum ialah ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman. Ilmu pengetahuan senantiasa berubah, karena bersifat dinamis tidak statis jadi menjadi hal yang wajar kalau kurikulum pendidikan juga senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Nofi, Skripsi, 2003 : 23). Kurikulum pendidikan nasional dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan
tuntutan
dan
perubahan
yang
terjadi
di
masyarakat
(Darmaningtyas, 2012 : 216). Herliyati (2008 : 25) menjelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), serta kurikulum berbasis kompetensi (2004 dan 2006). Perubahan kurikulum merupakan hal yang wajar karena zaman juga berubah.
Perkembangan
kurikulum
di
Indonesia
lebih
bersifat
pada
penyempurnaan kurikulum. Kurikulum 1994, 2004, dan 2006 merupakan contoh nyata
penyempurnaan
tersebut.
Kurikulum
1994,
Kurikulum
Berbasis
Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sama-sama berorientasi
19
pada keaktifan siswa. Perbedaannya terletak pada pergeseran fungsi guru. Kurikulum 1994 lebih memusatkan pada guru sebagai pusat sedangkan pada KBK dan KTSP guru sebagai fasilitator sedangkan siswa sebagai pusat. Perbedaan lainnya bahwa materi pendidikan Kurikulum 1994 lebih difokuskan pada aspek kognitif, sedangkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (Marfuah, Skripsi, 2012 : 102).
D.
Landasan Teori Filsafat pendidikan merupakan salah satu dari cabang filsafat yang
memiliki konsentrasi pada pendidikan sebagai dasar pemikiran. Filsafat pendidikan memiliki banyak aliran dasar yang berbeda-beda antara lain yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, perennialisme, essensialisme, progressivisme, dan rekonstruksivisme. Aliran pendidikan yang cukup banyak itu menunjukkan bahwa pendekatan manusia mengenai pendidikan berbeda-beda. Idealisme dan realisme merupakan dua aliran filsafat pendidikan yang paling tua. Idealisme adalah aliran filsafat pendidikan yang mengatakan bahwa realitas sifatnya tidak dapat berubah, pengetahuan dapat diperoleh dengan memikirkan ide-ide bawaan yang terdapat dalam diri manusia dan nilai dari pengetahuan manusia adalah abadi dan absolut. Realisme berlawanan dengan idealisme, realitas menurut realisme adalah berasak dari hukum alam bersifat objektif dan tersusun dari materi, pengetahuan bukan diperoleh dengan
20
memikirkan ide-ide tetapi melalui sensasi dan abstraksi, nilai yang diperoleh adalah sama dengan hukum-hukum alam (Ornstein & Allan, 1985 : 188). Pragmatisme atau eksperimentalisme memiliki teori yang berbeda. Menurut pragmatisme, realitas adalah interaksi antara individu dengan lingkungan maka pengetahuan pendidikan dapat diperoleh melalui pengalaman dan metode alam, nilai yang dihasilkan bersifat relatif dan situasional. Sementara itu, ada lagi filsafat pendidikan eksistensialisme yang mengatakan bahwa realitas bersifat subyektif, pengetahuan didapat melalui pilihan personal dan nilai dari filsafat pendidikan eksistensialisme adalah bebas dalam memilih. Perennialisme merupakan teori filsafat pendidikan yang mempunyai tujuan untuk mendidik manusia secara rasional. Akar dari perennialisme adalah realisme. Perennialisme lebih bersifat regressif karena mementingkan pandanganpandangan pendidikan pada zaman dahulu. Pengetahuan pendidikan bersifat abadi dan tidak berubah. Materi kurikulum dalam perennialisme bersifat hierarki yang berfungsi untuk mengolah dan memperkuat subyek didik menjadi orang-orang yang pandai. Essensialisme adalah teori filsafat pendidikan yang didasarkan pada idealisme dan realisme. Essensialisme bertujuan agar peserta didik mampu menjadi orang yang berguna dan kompeten di bidang masing-masing. Kurikulum yang digunakan dalam essensialisme adalah pelajaran dasar seperti membaca, menulis, aritmatika, sejarah, ilmu pengetahuan alam dan bahasa (Ornstein & Allan, 1985 : 189). Ciri khas dari pendidikan yang bercorak essensialisme adalah
21
menggunakan pembagian mata pelajaran dalam mendidik peserta didik seperti pelajaran alam, pelajaran sosial, pelajaran bahasa dan sebagainya. Progressivisme pendidikan merupakan teori pendidikan yang basisnya adalah pragamatisme. Pendidikan progressif mempunyai tujuan untuk mendidik individu atau siswa didik agar sesuai dengan keinginan, hasrat dan kebutuhan. Kurikulumnya
lebih
mendasarkan
pada
aktivitas
dan
proyek-proyek.
Progressivisme merupakan teori pendidikan yang lebih menekankan pada pengembangan peserta didik sebagai sumber utama. Pembelajarannya adalah student center learning. Penelitian tesis ini menggunakan aliran filsafat pendidikan progressivisme sebagai landasan teori. Peneliti dalam penelitian ini menggunakan teori pendidikan progressivisme sebagai pisau analisis karena aliran ini sangat cocok untuk menjelaskan dinamika kurikulum yang berkembang. Kata kunci untuk memahami filsafat pendidikan progressivisme adalah dengan melihat kata sifat yang terkandung dalam terminologi tersebut, yakni kata “progresif”.
Kemajuan
(progress)
bersifat
alamiah
(naturalistic)
yang
mengimplikasikan perubahan. Perubahan mengimplikasikan kebaruan. Kebaruan tersebut terdapat di dalam realitas. Pendidikan yang progressif selalu menekankan bagaimana cara memecahkan masalah terhadap realitas yang selalu mengalami perubahan atau dengan kata lain pendidikan yang progresif selalu mencoba mengembangkan inisiatif dan kepercayaan diri seseorang. Brubhacer (1978 : 330) mengatakan :
22
“Progress is naturalistic, it implies change. Change implies novelty and novelty lays claim to being genuine rather than the revalation of an antecedently complete reality”. Pemikiran progressivisme memunculkan definisi kurikulum yang tak terbantahkan. Kurikulum sebagai kegiatan belajar di mana terdapat pertemuan ruang kelas yang di sana disajikan beberapa bagian dari materi pelajaran dalam jangka waktu tidak terbatas dan pembawaannya tidak dapat didefinisikan dalam ruang. Dewey juga menerima asumsi tentang penyusunan materi pokok yang harus diberikan kepada murid (Jackson, 1992 : 6). Progressivisme memiliki pandangan bahwa kurikulum yang baik berasal dari siswa sebagai subyek didik. “Progressives generally were not interested in using the curriculum to transmit subjects to student. Rather, the curriculum was to come from the child. Learning could take a variety of forms such as problem such as problem solving, field trips, creative artistic expression, and projects. Above all, progressives saw the teaching-learning as active, exciting and everchanging” (Oinstein dan Levine, 1985: 205). Subyek didik selalu berkembang, maka kurikulum pun dapat berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Pembelajaran aktif sangat diperlukan bagi siswa atau subyek didik di sekolah. Progressivisme memiliki 6 prinsip dasar menurut Gutek salah seorang filsuf pendidikan. Keenam hal itu antara lain kebebasan bagi siswa, minat, guru lebih sebagai fasilitator, prestasi siswa ditekankan pada penggabungan berbagai aspek seperti sikap mental, moral dan sosial, pertumbuhan siswa bukan hanya di dapat dengan belajar di sekolah tetapi juga bisa di rumah, serta sekolah
23
merupakan laboratorium bagi siswa agar mampu berinovasi mengembangkan ide dan praktek. “(1) progressive aducation should provide the freedom that would encourage the child’s natural development and growth through activities which cultivate his initiative, creativity, and self-axpression; (2) all instruction should be guided by the child’s own interest, stimulated by contact with the real world; (3) the progressive teacher is to guide the child’s learning as a director of reaserch activities, rather than a drill or task master; (4) student achievement is to be measured in terms of mental, physical, moral and social development; (5) there should be greater coopration between the teacher and school and the home and the family in meeting the child’s needs for growth and development; (6) the truly progressive school should be a laboratory in innovative education ideas and practices” (Gutek, 1985: 140). Keenam prinsip dasar progressivisme itu menjadi sesuatu yang mampu merombak pola pendidikan agar selalu berjalan maju. Metode yang digunakan dalam kurikulum progressivisme adalah tematik dan dapat berintegrasi. The curriculum must be an integrated one so as to produce an integrated personaliny. The method, as far as possible, should be that of self discovery, and engaging in group learning (Akinpelu, 1981 : 64). Progressivisme menekankan pada harapan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara alamiah baik jasmani maupun rohani. Pendidikan merupakan suatu proses aktif dan konstruktif. Pendidikan menurut Dewey berarti suatu proses yang benar-benar sangat utama. Pendidikan juga dapat disebut sebagai aktivitas pengembangan dan pembentukan khususnya pengembangan manusia dalam aspek sosial. Education means just a process of leading or bringing up. When we have the otcame of the process in mind, we speak of education as shaping,
24
forming, molding activity, that is, a shaping into the standard form of social activity (Dewey, 1964 : 10). Progressivisme merupakan suatu aliran filsafat yang sifatnya maju dan terbuka.
Siswa
menjadi
subyek
didik,
guru
sebagai
fasilitator,
serta
pengembangan minat dan bakat pada siswa menjadi acuan. Progressivisme akan peneliti gunakan menjadi pisau analisis bagi pengembangan proses kurikulum di Indonesia khususnya kurikulum 2013. Kurikulum yang memiliki banyak landasan filsafat ini sejatinya memiliki warna landasan filsafat progressivisme yang harus diungkap. E. Metode Penelitian 1. Bahan penelitian Penelitian yang peneliti lakukan berupa penelitian kepustakaan. Penelitian ini merupakan tipe penelitian kualitatif tentang masalah aktual. Penelitian filsafat jenis ini menggunakan objek material masalah aktual yang sedang dihadapi manusia dewasa ini dan objek formal cabang filsafat yaitu filsafat pendidikan (Kaelan, 2005 : 292). Peneliti dalam melakukan kajian menelusur berbagai literatur yang tersedia, baik itu berupa buku, dokumen, naskah kurikulum, jurnal, makalah, artikel, dan laporan penelitian. Peneliti untuk penelitian ini mencoba mensistemasikan data dari berbagai literatur-literatur tersebut dalam dua bagian : a. Data primer, yaitu data yang dijadikan rujukan utama dalam penelitian ini. Sumber yang dijadikan sebagai data primer adalah:
25
1. Dokumen kurikulum 2013 Permendikbud Nomor 67, 68, dan 69 tahun 2013 2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A tahun 2013 3. Salinan Permendikbud No 54 tahun 2013 tentang SKL 4. Salinan Permendikbud No 54 tahun 2013 tentang standar proses 5. Salinan Permendikbud No 54 tahun 2013 tentang standar nilai b. Data sekunder, yaitu berupa buku, artikel atau jurnal yang menunjang penelitian ini diantaranya adalah : 1. Akinpelu, J. A. 1981. Philosophy of Education. London : Macmillan Publisher. 2. Barnadib, Imam. 1976. Sistim-sistim Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Yayasan Penerbitan FIP-IKIP. 3. Brubacher, John S. 1962. Eclectic Philosophy of Education. New Jersey : Prentice Hall. 4. Ornstein, Allan C. & Levine, Daniel U. 1985. An Introduction to the Foundations of Education. Boston : Houghton Mifflin Company. 5. Dewey, John. 1962. The Child And the Curriculum Cetakan keenam. Chichago : The University of Chichago.
26
6. Dewey, John. 1964. Democracy and Education. Cetakan keempat. New York : The Macmillan, Company. 7. Dewey, John. 1963. Experience & Education. New York: Macmillan Company. 8. Gutek, Gerald Lee. 1985. Philosopical Alternatives in Education.Chichago : The University of Chichago. 2. Jalan penelitian 1. Inventarisasi data : mengumpulkan dan menginventarisir semua data yang berhubungan dengan penelitian. Peneliti mengumpulkan berbagai data baik yang berupa sumber buku, naskah penelitian, dokumen, surat kabar, essai atau jurnal untuk dikaji lebih mendalam. 2. Klasifikasi data
: memilah data yang telah diperoleh menjadi data
primer, data sekunder dan data pendukung. Peneliti melakukan pemisahan dan klasifikasi data agar memudahkan dalam mengkaji penelitian. 3. Analisis
: menganalisis semua data yang ada baik itu data
primer maupun data sekunder dengan metode penelitian yang peneliti gunakan dalam rangka memperoleh kesimpulan akhir. 4. Penyusunan hasil : hasil yang diperoleh dari analisis kemudian diuraikan kembali dalam bentuk tulisan yang sistematis. 3. Analisis hasil Penelitian ini menggunakan unsur-unsur metodis sebagai berikut:
27
Deskripsi
:
metode ini digunakan untuk memberikan uraian dan
gambaran yang jelas serta utuh dengan memaparkan segenap pemikiran yang berkaitan dengan pemikiran progressivisme dengan kurikulum 2013. Verstehen
: metode ini digunakan untuk lebih memahami secara
komprehensif mengenai pemikiran tentang progressivisme khususnya yang mengenai kurikulum. Interpretasi
: setelah data terkumpul dan mencukupi untuk diteliti,
peneliti menyelami dan mendalaminya sehingga didapatkan arti dan makna
progressivisme
yang dapat digunakan untuk memandang
permasalahan kurikulum 2013. Holistik
: analisis ini digunakan oleh peneliti untuk memahami
data secara menyeluruh sehingga benar-benar didapatkan pemahaman yang tepat. Pokok pikiran sentral dari Progressivisme dijadikan acuan untuk melakukan interpretasi dalam rangka menemukan pemahaman yang holistik berkaitan dengan adanya kurikulum pendidikan tahun 2013 yang lebih menekankan pada perkembangan peserta didik. Refleksi
: metode ini digunakan untuk mengembangkan inspirasi
baru yang didapat selama penelitian setelah diperoleh pemahaman yang komprehensif dari hasil penelitian. Heuristik
: metode ini digunakan oleh peneliti setelah melalui
refleksi untuk menemukan hal yang baru mengenai kurikulum pendidikan di Indonesia dengan sudut pandang filsafat pendidikan progressivisme.
28
F.
Hasil yang Telah Dicapai Hasil yang telah peneliti capai dalam penelitian ini adalah mampu
memperoleh jawaban dari tiga persoalan yang peneliti sampaikan yaitu : 1)
Menemukan hakikat kurikulum secara komprehensif khususnya mengenai kurikulum 2013
2)
Mendapatkan pemahaman landasan filsafat yang dipakai dalam kurikulum 2013
3)
Menemukan sumbangsih pemikiran pandangan progressivisme pendidikan dalam pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia
G.
Sistematika Penulisan Penelitian ini ditulis rencananya dalam 5 bab : Bab I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah
(tercakup di dalamnya rumusan masalah, keaslian penelitian, dan manfaat penelitian), tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian (mencakup bahan penelitian, jalan penelitian, dan analisis hasil), hasil yang dicapai, dan sistematika penelitian. Bab II bercerita mengenai objek formal dalam penelitian ini yaitu progressivisme pendidikan sebagai salah satu aliran filsafat pendidikan. Peneliti mencoba
menguraikan
pemahaman
progressivisme
mulai
dari
lahirnya
progressivisme yang pemikiran dasarnya berbeda dengan perennialisme, kemudian penjelasan mengenai pokok-pokok pikiran progressivisme, sampai pada tujuan dari filsafat pendidikan progressivisme.
29
Bab III berisi pembahasan objek material yaitu kurikulum pendidikan khususnya kurikulum 2013. Peneliti menjelaskan mulai dari definisi kurikulum secara umum dari banyak tokoh, kurikulum pendidikan Indonesia dari masa ke masa, lahirnya kurikulum 2013, komponen kurikulum 2013 hingga akhirnya tujuan dari dibentuknya kurikulum 2013. Bab IV menguraikan analisis dari dua objek formal dan objek material. Analisis kurikulum 2013 dalam sudut pandang progressivisme. Peneliti memulai dengan penjelasan yang komprehensif mengenai hakikat kurikulum 2013, landasan filsafat kurikulum 2013, kemudian menjelaskan warna progressivisme yang ada dalam kurikulum 2013, kelebihan dan kekurangan kurikulum 2013 menurut progressivisme yang dianalisis secara seksama, hingga terakhir sumbangsih pemikiran progressivisme bagi pengembangan kurikulum 2013 di Indonesia. Bab V berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran dari penelitian ini.