BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki peran penting bagi keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Peran penting sumberdaya hutan telah didukung oleh sejumlah fakta sejarah dari peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) serta memiliki kekayaan hayati yang unik. Indonesia juga memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia, luasnya diperkirakan 4,25 juta hektar pada awal tahun 1990-an. Hutan Indonesia juga menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut FAO, jumlah total vegetasi hutan di Indonesia menghasilkan lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negaranegara lain di Asia, dan setara dengan sekitar 20 persen biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika (Global Forest Watch, 2001). Sumberdaya hutan sesuai Undang – Undang pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dibagi ke dalam 3 fungsi utama yaitu produksi, lindung dan konservasi. Begitu besar manfaat sumberdaya hutan bagi kehidupan sehingga dirangkum dalam 3 fungsi hutan tadi. Meskipun kebijakan hingga aturan untuk menjaga pengelolaan sumberdaya hutan yang tepat telah lahir serta diterapkan. Namun beragam dan kompleksitasnya kepentingan terhadap hutan menjadikan hutan sebagai objek untuk dieksploitasi semakin meningkat. Pertumbuhan penduduk yang semakin
1
2
pesat, punahnya sebagian besar fauna/flora endemik hingga menurunnya kualitas ekologis pada hutan menyebabkan angka deforestasi dan degradasi hutan Indonesia terus meningkat. Deforestasi dan degradasi yang terjadi didorong pula oleh pertarungan kepentingan (interest) pemegang kebijakan, pengelola hutan hingga pengusaha hutan untuk kepentingan tertentu. Deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di Indonesia sebetulnya telah terjadi bahkan sebelum era kemerdekaan tahun 1945. Sejarah mencatat, sejak zaman penjajahan Jepang telah terjadi penebangan hutan terutama hutan jati di Pulau Jawa secara berlebihan. Kondisi tersebut berulang pada dekade 1960an dimana pada daerah - daerah tertentu terjadi perambahan kawasan hutan yang berkaitan dengan stabilitas politik nasional seperti ; pada tahun 1998 hingga awal tahun 2000an terkait dengan krisis moneter pada awal era reformasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Suprijatna (2008) bahwa “Indonesia adalah pusat dari deforestasi global, telah hilang sekitar 20 juta ha dari tahun 1965 sampai tahun 1997, dan 5 juta ha dari tahun 1997 sampai 2000”. Percepatan deforestasi dan degradasi semakin meningkat seiring dengan tata kelola hutan yang belum tepat. Adanya kelemahan aspek kelola hutan di antaranya; perencanaan tata ruang yang tidak efektif dan tenurial yang lemah, manajemen hutan yang kurang efektif, kelemahan tata kelola (Governance) di sektor kehutanan serta penegakan hukum yang masih lemah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nurrochmat (2011) bahwa tata kelola hutan (forest governance) memiliki makna yang lebih luas daripada pengelola hutan (forest government) karena dalam tata kelola termasuk pula elemen konstitusi, legislatif, eksekutif dan yudikatif yang kesemuanya merupakan
3
komponen penting sebagai infrastruktur untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari. Selanjutnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (2015) memasukkan aspek yang menjadi kelemahan tata kelola hutan sebagai tolak ukur dalam indeks tata kelola hutan. Indeks tata kelola hutan tahun 2014 yang diluncurkan pada Mei 2015 memuat; (1) Aspek Kepastian Kawasan Hutan, (2) Aspek Keadilan Atas Sumberdaya Hutan, (3) Transparansi Pengelolaan Hutan, dan (4) Kapasitas Penegakan Hukum. Melalui indeks tata kelola hutan yang memiliki aspek berdasarkan kelemahan dalam pengelolaan hutan diharapkan meminimalisir tingkat deforestasi dan degradasi pada hutan di masa mendatang. Pada dekade 1980-an dan 1990-an muncul keraguan di kalangan masyarakat sipil terutama pada penggiat isu lingkungan terhadap efektifitas pendekatan regulasi oleh institusi pemerintah untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan (Mol et al., 2000: Jordan et al., 2003; Maryudi, 2015). Melalui proses yang berjalan selama dekade 90an, sertifikasi lahir sebagai instrumen untuk mendukung pengelolaan hutan lesatri (PHL). Munculnya sertifikasi hutan berdasar atas keprihatinan akan besarnya laju kerusakan hutan tropis dunia. Hal ini menyebabkan beberapa kelompok penggiat lingkungan dan konsumen kayu tropis di negara maju (Amerika dan Eropa) menuntut agar diberlakukan program sertifikasi terhadap produk hutan sebagai salah satu usaha untuk dapat menahan laju kerusakan hutan. Kelahiran lembaga sertifikasi yang didalangi oleh Negara maju mendorong lahirnya sertifikasi hutan pada negara – negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu bagian dari negara berkembang melahirkan sistem sertifikasi untuk mendukung Pengelolaan Hutan Lestari. Skema sertifikasi hutan di
4
Indonesia diawali oleh berdirinya Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang memunculkan standar penilaian pengelolaan hutan lestari. Setelah pada bulan Juni 1998, sistem sertifikasi PHPL yang dikembangkan oleh LEI kemudian secara resmi diadopsi sebagai standar nasional indonesia (Harve, 2014). Seiring berjalannya waktu Kementerian Kehutanan meelaborasikan sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) ke dalam sistem mandatory lain yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Hingga saat ini ada beberapa skema sertifikasi hutan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia yaitu secara sukarela (voluntary) dan wajib (mandatory). Skema sertifikasi hutan secara sukarela (voluntary) memiliki 3 macam bentuk yaitu ; skema Forest Stewardship Council (FSC), Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC), dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Sedangkan skema secara wajib (mandatory) yaitu sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) serta Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) sebagai skema sertifikasi yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia bagi seluruh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) baik Hutan Alam, Hutan Tanaman, Restorasi Ekosistem hingga Hak Pengelolaan yang ada di Indonesia. Pada sertifikasi PHPL, kinerja penilaian akan dilakukan oleh lembaga yang disebut LPPHPL (Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari). PHPL memiliki 4 aspek yang mempengaruhi penilaian antara lain: prasyarat, produksi, ekologi dan sosial.
5
Keempat aspek tersebut memiliki indikator yang wajib dipenuhi dengan mencapai standar nilai kelulusan yang telah ditetapkan untuk memperoleh izin pengelolaan dari lembaga penilai dan verifikasi independen. Aspek – aspek di atas tentunya memfasilitasi 3 aspek kelestarian untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yang lestari. 3 aspek kelestarian dalam pengelolaan hutan antara lain ; aspek produksi/ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial.
1.2 Rumusan Masalah Program sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) memiliki 4 aspek dengan 22 indikator penilaian di dalamnya. Indikator penilaian kemudian memiliki masing – masing verifier yang digunakan sebagai tools dalam penilaian. Sehingga hasil penilaian sertifikasi PHPL dapat menunjukkan sejauh mana hasil pencapaian kinerja dari pengelola IUPHHK-HA setelah bersertifikasi PHPL. Oleh karena itu melalui pendekatan dengan hasil penilaian sertifikasi PHPL akan dapat diketahui bagaimana capaian antara berbagai aspek pengelolaan Hutan Alam di Indonesia yang perlu mendapatkan penguatan di masa mendatang.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan capaian antara berbagai aspek pengelolaan Hutan Alam di Indonesia yang perlu mendapatkan penguatan setelah dilakukannya sertifikasi PHPL.
6
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian bermanfaat untuk mengetahui capaian kinerja dari pengelola IUPHHK-HA di Indonesia setelah memperoleh sertifikasi PHPL. Sehingga dapat digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan , pengelola IUPHHK-HA dan Lembaga Penilai dalam sertifikasi PHPL untuk memperkuat sertifikasi PHPL di masa mendatang.