BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tradisi lisan di tengah kemajuan peradaban umat manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi modern. Tradisi lisan sebagai kekuatan kultural merupakan sumber terbentuknya peradaban dalam berbagai aspek kehidupan penting dilestarikan. Dalam
bentuk
dan isinya yang kompleks tidak hanya mengandung cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Misalnya,
kearifan lokal (local wisdom),
sistem nilai, pengetahuan tradisional (lokal knowledge), sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan, religi, dan astrologi, serta berbagai hasil seni (Abdul Rozak, 2012). Kedudukan tradisi lisan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa ditetapkan dalam Konvensi UNESCO, 17 September 2003. Sebagai bagian dari intangible cultural heritage, dikatakan bahwa “Oral traditions is important to be transmitted value things: oral traditions is going to be the source of identity for humanity in this millenium”. Selain merupakan identitas komunitas dan salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa, tradisi lisan juga sebagai pintu masuk memahami permasalahan dalam masyarakat pemilik tradisi yang bersangk utan (tradisilisan.blogsport.com diakses 8 April 2013). Tradisi bukanlah hal yang sudah selesai dan berhenti, melainkan suatu hal yang masih ada terus dalam berproses dan berkembang berkaitan dengan situasi dan kondisi 1
2
kehidupan pendukungnya. Tradisi biasanya berkembang mengikuti arus perubahan sosial, dan kehidupan pendukungnya namun perubahan yang terjadi tidaklah melenceng jauh dari akarnya. Tradisi lisan di Indonesia telah berkembang
sebelum masyarakat
Indonesia mengenal aksara. Tradisi lisan pada awalnya berkembang di seluruh Nusantara dan menjadi salah satu kekayaan budaya masyarakat Indonesia. Setelah aksara masuk ke Nusantara, perkembangannya beriringan dengan tradisi tulisan. Membicarakan kehidupan tradisi lisan secara keseluruhan tidak terlepas dari nilai budaya dan persoalan kesusastraan daerah, khususnya tradisi lisan yang merupakan warisan budaya daerah secara turun-temurun dan mempunyai nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam usaha menangkal efek negatif globalisasi. Nilai budaya itu merupakan konsep hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat,
terutama
hal-hal yang dianggap
bernilai, sehingga selalu menjadi dasar dan pedoman bagi masyarakat dalam kehidupannya. Tradisi lisan merupakan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat yang diceritakan dari mulut ke mulut dan secara turun -temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan erat kaitannya dengan adat-istiadat yang melekat pada suatu masyarakat (Okta Adetya, 2010). Tradisi lisan yang ada di suatu wilayah dapat berupa mitos, dongeng, legenda, adat-istiadat atau kebiasaan, dan bentuk-bentuk yang lain. Kebanyakan dari tradisi lisan itu mengandung filosofi yang diyakini oleh masyarakat sehingga menjadikannya kepercayaan.
3
Dari tradisi itu muncullah tujuan-tujuan yang melatarbelakangi adanya tradisi lisan tersebut. Tradisi lisan memiliki hubungan erat dengan sastra, antropologi, dan sejarah. Tradisi lisan tidak akan lepas dari sastra. Tradisi lisan juga erat kaitannya dengan antropologi karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah. Tradisi lisan juga tidak dapat lepas dari sejarah karena tradisi merupakan hal yang diwariskan secara turun- temurun. Itu berarti, tradisi lisan berhubungan dengan masa lalu atau sejarah suatu daerah. Tradisi lisan yang dilihat adalah proses dan hasil melisankan. Orangorang sering salah paham karena mengira teknik lisan sebagai sastra lisan. Teknik kelisanan dilakukan pada saat musikalisasi puisi atau pembacaan puisi. Teknik lisan tidak memengaruhi proses penciptaan, misalnya
musikalisasi puisi saat
ditampilkan (Yusuf, 2000). Pada saat ditampilkan, proses penciptaan sudah selesai sehingga penonton atau pendengar tidak dapat memengaruhi proses penciptaan. Teknik lisan adalah salah satu contoh sastra yang dilisankan, seperti orang yang mendongeng dan berpantun. Masalah yang menyangkut tradisi, adat, budaya di Bali tidak akan pernah tuntas untuk dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa Bali kaya dengan ragam tradisi, adat, seni, dan budaya yang dijiwai oleh agama Hindu, lebih-lebih sebelum agama Hindu ke Bali, di Bali telah ada tradisi kuna. Keragaman budaya tersebut tidak lepas dari keragaman latar belakang suku dan ras di dalam masyarakat Bali. Sebelum agama Hindu masuk ke Bali, di Bali sudah punya tradisi. Selanjutnya, dengan terjadinya defusi atau penyebaran budaya terjadilah alkulturasi budaya.
4
Alkuturasi budaya
antara budaya penduduk Bali asli yang disebut dengan
penduduk Bali Aga ( pra Hindu) dengan penduduk Bali Apanaga (Bali-Hindu), yaitu masyarakat yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu (Ramiati, 2006:1). Uraian di atas memberikan gambaran bahwa antara masyarakat Bali Aga dengan masyarakat Bali Apanaga mempunyai latar belakang yang berbeda. Perbedaan ini terutama dari faktor geneologis (keturunan) dan dari faktor budaya. Perbedaan geneologis, yaitu orang-orang Bali Aga termasuk ke dalam kelompok orang-orang Bali Mula ditambah dengan orang Bali keturunan “Mongoloid”. Di sisi lain, orang-orang Bali Apanaga adalah orang-orang Jawa Hindu yang datang ke Bali melalui persebaran penduduk dengan tujuan suci (pilgrim) dan ekspedisi yang dilakukan oleh kerajaan Singasari, yaitu ekspedisi Singasari ke Bali 1284 M . Demikian juga ekspansi Gajah Mada ke Bali pada 1343M (Tim, 1986:121). Dari uraian di atas tampak, bahwa suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan aturan tertinggi bagi perilaku
manusia, seperti aturan
hukum di dalam masyarakat. Nilai budaya biasanya mendorong suatu pembangunan spiritual, seperti adaptasi, usaha dan kerja keras, toleransi, kepercayaan terhadap pendirian atau kepercayaan kepada orang lain dan gotong royong. Dengan demikian, tradisi lisan dapat diartikan sebagai produk budaya lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui mulut, seperti ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita rakyat, mitos, dan nyanyian rakyat. Tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat menggunakan bahasa sebagai media utama. Sastra lisan lebih duhulu muncul dan berkembang
5
di masyarakat daripada sastra tulis. Dalam kehidupan sehari-hari, jenis sastra lisan biasanya dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita kepada para pendengarnya, guru kepada para muridnya, ataupun antarsesama anggota masyarakat. Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan ini, warga masyarakat mewariskannya secara turun-temurun dari generasi ke genersi. Sastra lisan sering juga disebut sebagai cerita rakyat, karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat secara lisan. Tradisi lisan dituturkan, didengarkan, dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwaperistiwa tersebut antara lain berkaitan dengan upacara perkawinan, upacara menanam dan menuai padi, kelahiran bayi dan upacara yang bertujuan magis. Sastra lisan digemari oleh warga masyarakat dan biasanya didengarkan bersamasama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran, dan harapan masyarakat. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak positif untuk menguatkan ikatan batin di antara anggota masyarakat. Dalam konteks ini, dapat dilihat bahwa sastra lisan juga memiliki fungsi sosial, di samping fungsi individual. Dengan demikian, memudarnya tradisi lisan di dalammasyarakat Bali merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka, dan sebaliknya. Usaha menggali nilai tradisi lisan bukan berarti menampilkan sifat kedaerahan, melainkan penelusuran terhadap unsur kebudayaan daerah dan perlu dilaksanakan karena sastra daerah merupakan sumber yang tidak pernah kering bagi kesempurnaan keutuhan budaya nasional. Tradisi lisan sebagai produk
6
budaya sarat dengan ajaran moral, bukan hanya berfungsi untuk menghibur, melainkan juga mendidik, terutama mengajarkan nilai-nilai yang terkait dengan kualitas manusia dan kemanusiaan. Di samping itu, terkandung nilai budaya yang sifatnya universal di antaranya nilai keagamaan, kesetiaan,
sosial,
historis,
moral, pendidikan, etika, dan kepahlawanan. Bali adalah salah satu pulau yang memiliki penduduk yang dominan beragama Hindu, kaya dengan sastra lisan bertutur/masatua, tradisi lisan, dan ritual. Sastra lisan dan tradisi lisan mengandung nilai-nilai budaya, tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya sehingga memegang peranan penting dalam pembentukan watak sosial masyarakat pendukungnya. Salah satu dari sastra lisan ini adalah mitos. Mitos muncul sejak zaman Babilonia sebagai akibat dari adanya perkembangan akal budi manusia yang selalu ingin tahu. Hal ini pulalah yang menyebabkan sastra dan tradisi lisan selalu hidup dan berkembang dalam masyarakat Bali ( Jasin, 2000:3). Mitos adalah salah satu bentuk sastra lisan dan
tradisi lisan dan
merupakan warisan budaya daerah yang turun-temurun. Mitos tersebut mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan dengan usaha menangkal efek negatif globalisasi, serta masih dipercaya oleh masyarakat sampai sekarang. Ada suatu kawasan pertanian di Bali di wilayah pegunungan, yaitu desa Tambakan yang
terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.
Desa ini mempunyai sejumlah teks mitos yang memiliki makna penting bagi masyarakatnya, serta eksistensinya masih dipercaya sampai sekarang. Salah
7
satunya adalah teks mitos bulu geles. Demikian juga bagi masyarakat yang mempunyai masalah dalam kehidupannya seperti panen kurang berhasil, tidak punya keturunan, ingin punya anak laki-laki, naik pangkat ataupun permasalahan yang lain, dapat memohon di Pura Dalem desa setempat dengan perjanjian apabila permohonannya telah dikabulkan yang bersangkutan akan melepas seekor anak sapi jantan (bulu geles). Di kemudian hari apabila permohonannya telah dikabulkan maka perjanjian itu harus dipenuhi. Sapi tersebut di kemudian hari dipercaya akan memberikan petunjuk bagi masyarakat mengenai kesuburan, lingkungan sosial dan alam, kesejahteraan, rejeki dan tidak ketinggalan malapetaka bagi masyarakatnya. Kepercayaan masyarakat tentang teks mitos bulu geles ini masih kuat dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat desa Tambakan. Apabila dikaitkan dengan konsep agama Hindu tentang kesuburan, lingkungan alam sesuai dengan filosofi tentang Lembu Nandini. Lembu Nandini tidak lain sebagai lambang kesuburan. Lembu Nandini, menurut konsep Hindu merupakan wahana atau tunggangan Dewa Siwa. Tiga dewa dalam konsep Hindu disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah Brahma sebagai dewa pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur. Masing-masing dewa memiliki kendaraan atau tunggangan berupa binatang. Dewa Brahma memiliki kendaraan berupa burung Angsa, kendaraan Dewa Wisnu berupa burung Garuda, sedangkan Dewa Siwa berupa seekor lembu yang bernama Lembu Nandini. Kendaraan atau tunggangan adalah
wahana, lambang atau tempat. Lembu
Nandini sebagai kendaraan Dewa Siwa, sesuai dengan filosofi Hindu sebagai
8
wahana atau lambang kesuburuan. Kesuburan tersebut tidak lain adalah bumi sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup berkembang biak. Dewa Siwa yang duduk di atas Lembu Nandini dimaknai sebagai jiwa yang memberi hidup kepada setiap makhluk. Semua kehidupan di alam ini tidak lepas dari dua hal, yaitu tempat hidup (bumi pertiwi) yang memberikan kesuburan dan jiwa yang memberikan kehidupan. Dewa Siwa dengan
Lembu Nandini, juga dimaknai
sebagai lambang purusa (laki) dan predana (perempuan). Lembu Nandini sebagai pertiwi adalah lambang predana (perempuan), sedangkan dewa Siwa yang duduk di atasnya adalah lambang purusa (laki-laki). Artinya, kehidupan di dunia ini tidak akan berjalan jika tidak ada laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, keduanya harus menyatu. Banyak cerita yang mengisahkan tetang keberadaan Lembu Nandini sebagai lambang kesuburan. Dalam kisah Mahabharata, tokoh Krisna diceritakan pengembala lembu untuk dicari susunya sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat. Cerita Tantri (cerita tentang binatang atau fable) juga mengisahkan peran Lembu Nandaka untuk menguji kesabaran si raja hutan yaitu prabu singha dan anjing. Dalam kisah yang lain, Lembu Nandaka juga diutus untuk menguji keberadaan seorang pendeta (Mahanandi, 2012). Di Bali lebih dikenal dengan sebutan Nandaka seperti yang diceriterakan dalam kidung Nandaka Harana. Di desa Tambakan, masyarakat sampai sekarang masih melakukan tradisi seperti pelepasan bulu geles. Bulu geles di upacarai dengan sarana bebantenan barulah dilepas, bulu geles inilah yang disebut i dewa . Teks mitos ini awalnya adalah bertujuan untuk membayar kaul, naik jabatan, ingin punya anak, ingin
9
punya anak laki-laki, naik kelas, dan sebagainya. Masyarakat desa Tambakan meyakini sapi yang dilepas itu akan menjadi sapi jagiran (sapi jantan yang besar), dan pada saat tertentu berkeliling desa. Setiap desa atau sawah yang dilalui oleh i dewa dipercaya akan memperoleh kesuburan. Hal yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat pada saat i dewa itu berkeliling adalah berkata kasar atau mencaci.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila berkata kasar
apalagi mencaci i dewa, maka bencana akan melanda baik bagi pelaku maupun masyarakat setempat.
Sapi-sapi yang dihaturkan atau yang dipersembahkan
memiliki kriteria, seperti: sapi berjenis kelamin jantan, harus mulus dari ujung kepala sampai ekor, dan kakinya tidak boleh cacat sedikitpun. Pelepasan bulu geles di desa Tambakan disertai upacara atau ritual yang dilaksanakan oleh keluarga yang melaksanakan upacara dan disaksikan oleh masyarakat setempat, pemuka desa adat, dan pemuka desa dinas. Pelaksanaan ritual dipimpin oleh seorang Pamangku yaitu seseorang yang dianggap suci untuk melaksanakan upacara itu. Pelaksanaan penangkapan i dewa setiap dua tahun sekali yaitu pada Purnama Kasa untuk disembelih untuk dijadikan sarana upacara Mungkah Wali yang dilakukan oleh seluruh masyarakat desa Tambakan serta pemuka masyarakat dan perangkat desa lainnya. Berkaitan dengan tradisi di desa Tambakan tersebut di atas, tradisi ini perlu diteliti secara ilmiah sehingga keberadaannya dihormati, dilestarikan, dan lebih diyakini. Di samping, itu tradisi ini perlu dideskripsikan dan dirumuskan secara ilmiah. Teks mitos bulu geles perlu dikaji secara akademis untuk dapat menjelaskan tentang tradisi yang ada pada masyarakat Tambakan, baik sebagai
10
penentu kebijakan maupun sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat sehingga perlu dilestarikan. Pelestarian ini penting karena sampai saat ini teks mitos di atas masih digunakan sebagai tuntunan adat dalam kehidupan bermasyarakat khususnya, bagi generasi muda, meskipun sebagian generasi muda kurang memahami tradisi ini. Dengan demikian tatanan adat dan budaya yang ada tidak punah. Kondisi ini perlu diteliti karena tradisi ini merupakan salah satu aset daerah yang berharga. Bagi masyarakat, tradisi ini tidak akan punah karena memiliki nilai yang sakral, unik dan khas. Berdasarkan uraian di atas tampak teks mitos bulu geles ini, memang unik dan khas karena hanya ada di desa pertanian di wilayah pegunungan yang merupakan desa kuna di Bali. Di samping, itu keberadaan mitos ini
hanya
dipahami oleh orang tua (sesepuh) dan tokoh masyarakat, sedangkan generasi muda kurang memahaminya. Masalah teks mitos bulu geles di desa Tambakan, belum pernah dikaji oleh peneliti. Oleh karena itu, teks mitos ini perlu dikaji lebih mendalam yang berkaitan dengan wacana sastra yaitu yang
berkaitan
dengan proses pelepasan bulu geles, fungsi ritual dan sosial (konteks) masyarakatnya, makna mitos dan tradisi pewarisan teks mitos dari generasi ke generasi. Keberadaan teks mitos ini
dapat bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat di wilayah desa kuna pada khususnya tersebut. Tradisi dalam konsep Bali berkaitan dengan teks mitos bulu geles disebut Nandaka (kidung Nandaka Harana). Keunikan dari teks mitos bulu geles ini adalah dalam era modernisasi masih tetap dipercaya dan dilaksanakan sebagai tradisi suci oleh masyarakat
11
Tambakan. Dalam pelaksanaan ritual pada zaman modern mengalami sedikit perubahan karena disesuaikan dengan kondisi zaman sekarang, terutama dalam penggunaan bahan-bahan dari luar. Namun, sebagian besar pelaksanaan ritual menggunakan bahan-bahan yang berasal dari lingkungan desa Tambakan. Ritual pelepasan bulu geles atau mapanauran dilaksanakan oleh keluarga yang berkaul, disaksikan oleh warga masyarakat beserta perangkat desa pada setiap Tilem dan
dipimpin oleh Jro Mangku
di Pura Dalem. Upacara
pemotongan i dewa untuk sarana upacara dilaksanakan setiap dua tahun sekali yaitu pada Purnama Kasa dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat
desa
Tambakan yang dipimpin oleh Jro Bendesa adat dengan jajarannya di Pura Mrajapati di desa Tambakan. Keistimewaan dari penelitian ini adalah keunikan tradisi palepasan bulu geles atau mapanauran
dan upacara Mungkah Wali yang hanya terdapat di
Kabupaten Buleleng. Tradisi ini dipelihara sebagai tradisi suci yang bersumber dari teks mitos bulu geles yang mempunyai fungsi ritual dan sosial yang khas di samping sebagai sumber
kesejahteraan dan kesuburan, dan sebagai simbol
pelestarian lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah Dalam penelitian ini dikemukakan empat masalah yang berkaitan dengan teks mitos sapi di desa Tambakan sebagai berikut 1) Bagaimanakah struktur teks mitos bulu geles di desa Tambakan? 2) Apa fungsi teks mitos bulu geles di desa Tambakan?
12
3) Makna apa yang terdapat dalam teks mitos bulu geles di desa Tambakan? 4) Bagaimanakah sistem pewarisan teks mitos bulu geles di desa Tambakan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi dan dapat mengembangkan salah satu aspek kebudayaan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, memahami, mendiskripsikan, serta melestarikan mitos sebagai warisan budaya bangsa yang terdapat di desa pertanian wilayah pegunungan yang tentunya bermanfaat bagi generasi penerus pada masa mendatang. Diharapkan juga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan menghubungkan penelitian tentang mitos sebagai khazanah ilmu pengetahuan.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui bagaimanakah struktur teks mitos bulu geles di desa Tambakan. 2) Untuk mengetahui fungsi teks mitos bulu geles di desa Tambakan. 3) Untuk memahami makna yang dapat dipetik dari teks mitos bulu geles di desa Tambakan. 4) Untuk mengetahui sistem pewarisan teks mitos bulu geles dari generasi ke genarasi berikutnya, sehingga teks mitos bulu geles lestari sampai saat ini.
13
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) menambah khazanah pengetahuan tentang mitos; ( 2) menambah referensi tentang teks mitos bulu geles di desa pertanian di wilayah pegunungan pada masyarakat Tambakan tentang struktur, fungsi, makna, dan pelestariannya (pewarisannya) teks mitos bulu geles ini.
1.4.2 Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis penilitian ini adalah: (1) bagi masyarakat dapat memahami nilai dan melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari serta
mendokumentasikan mitos ini dalam bentuk publikasi; (2) bagi pemerintah pengambil kebijakan dapat melestarikan dan mengembangkan mitos ke depan; (3) bagi peneliti, dokumentasi dapat digunakan sebagai dasar/model studi bagi peneliti berikutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada struktur, fungsi, makna dan pewarisan teks mitos bulu geles yang terdapat di desa Tambakan. Berikut uraian tentang struktur, fungsi, makna, dan pewarisan teks mitos bulu geles di desa Tambakan.