BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peradaban umat manusia yang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu dapat dikenali dari hasil laporan atau rekaman jejak-jejak sejarah dalam berbagai bentuk, ada yang mengabadikannya dengan menulis di atas batu yang dikenal dengan sebutan prasasti dan ada pula yang menuliskannya di atas alas berbahan seperti daun lontar, kulit binatang, kayu, kertas dan lain-lain yang biasa disebut naskah. Bedanya, prasasti menggunakan alat keras seperti batu, tidak pernah digandakan, isinya pendek, biasanya berisi suatu perkara, isi merupakan fakta yang benar-benar terjadi, dan jarang berpindah tempat atau relatif berada di lokasi semula kecuali keperluan tertentu. Naskah, umumnya beralas tulis mudah lapuk, memiliki kemungkinan direproduksi, isinya kemungkinan berpanjang-panjang, mayoritas bersifat fiksi, dan mobilitasnya tinggi. Rekaman-rekaman tersebut yang nantinya akan menjadi alat untuk menggali tradisi, kepercayaan, dan kehidupan manusia pada masa lampau dan diantaranya masih digunakan sebagai landasan dalam kehidupan hingga sekarang. Salah satu bentuk karya sastra pada masa lampau dapat berupa hikayat. Pengertian hikayat menurut beberapa ahli berbeda-beda, salah satunya menurut Hooykaas yang mendefinisikan Hikayat sebagai nama jenis sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai wahananya (via Baried dkk, 1985:4). Bentuk suatu hikayat berupa sebuah prosa yang menceritakan berbagai hal, baik 1
2
berupa fakta atau hal imajinatif. Banyak informasi yang terkandung dalam berbagai hikayat dan bentuk informasi yang terkandung di dalamnya pun terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Salah satu hikayat Melayu yang cukup terkenal dan informatif pada abad ke-19, yaitu Hikayat Ceretera Kapal Asap (CKA) yang berlatarkan waktu pada masa kolonialisasi bangsa Inggris di Melayu. Kolonialisme telah muncul selama berabad-abad yang lalu dan meliputi hampir seluruh wilayah di bumi. Bangsa Eropa menjadi salah satu “produsen” negara-negara yang melakukan praktik kolonisasi dengan wilayah yang cukup luas. Fieldhhouse (via Loomba, 2003:xii) mengatakan bahwa kolonialisme Eropa modern memiliki kekhasan dan merupakan yang paling luas dari berbagai kontak kolonial yang telah menjadi aspek berulang dari sejarah manusia. Menjelang tahun 1930-an, koloni-koloni dan bekas koloni telah meliputi 84,6 persen dari permukaan bumi. Hanya bagian-bagian dari Arabia, Persia, Afganistan, Mongolia, Tibet, Cina, Siam, dan Jepang yang tidak pernah berada dibawah pemerintahan formal Eropa. Praktik kolonial bangsa Eropa di Tanah Melayu berawal dari ekspedisi bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris untuk mencari wilayah baru. Selama perjalanan, para penjelajah tersebut membuat catatan perjalanan untuk mencari daerah baru dan memetakan jalur yang dilewati. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama perjalanan mereka catat, dan catatan tersebut menjadi pedoman bagi penjelajah berikutnya yang akan pergi ke wilayah Timur. Salah satu catatan perjalanan bangsa Eropa didokumentasikan oleh F. De Houtman. Ia berlayar dari benua Eropa menuju ke wilayah Asia dan
3
menemukan jalur perdangangan. Selama penjelajahannya ke Timur, F. De Houtman membuat kamus bahasa yang kemudian digunakan penjelajah lain sebagai bekal dalam perjalananya menuju dunia Timur. Menurut Collin (2011:3) hubungan bahasa Melayu dengan bahasa-bahasa Madagaskar baru diketahui pada awal tahun 1603 ketika F. De Houtman menerbitkan kamus dari kedua bahasa itu dalam buku yang sama. Dari sanalah mulai muncul berbagai dokumentasi tentang dunia Timur yang menjadi daya tarik bagi penjelajah Eropa untuk datang ke sana. Kedatangan mereka ke dunia Timur pada awalanya untuk mencari sumber daya alam khususnya rempah-rempah untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Kurangnya pasokan dan tingginya harga rempah-rempah di Eropa menjadi salah satu penyebab datangnya bangsa Eropa ke dunia Timur untuk mencari wilayah penghasil rempah-rempah yang selama ini mereka konsumsi. Namun, seiring berjalannya waktu, timbul keinginan bangsa Eropa untuk menguasai sumber daya alam dan memonopoli perdagangan. Ketertarikan bangsa Eropa terhadap sumber daya alam yang ada di dunia Timur, khususnya Melayu menjadi latar belakang mereka untuk menguasai tanah Melayu. Bangsa Eropa menguasai wilayah-wilayah di Melayu dengan berbagai macam cara mulai dari membuat pelabuhan untuk menguasai perdagangan, mengintervensi raja-raja Melayu, dan membantu kerajaan-kerajaan yang sedang berperang dengan meminta imbalan tertentu. Cara-cara tersebut perlahan-lahan terbukti ampuh untuk mengambil alih wilayah Melayu. Akibat pengambilalihan tersebut, sumber daya alam dan tatanan kehidupan orang Melayu mulai
4
dipengaruhi
bangsa
Eropa
yang
secara
perlahan-lahan
menancapkan
kekuasaannya di tanah Melayu. Salah satu bentuk pengaruh bangsa Eropa di Melayu yaitu dalam dunia kesusastraan. Ketertarikan bangsa Eropa mengenai kesusastraan Melayu direpresentasikan oleh sosok Raffles. Ia memiliki ketertarikan mengenai naskahnaskah Melayu dan mengumpulkannya untuk di teliti. Mengumpulkan naskahnaskah kesusastraan pada masa lampau merupakan sebuah gaya hidup bagi orangorang Eropa, para kolektor naskah ini kebanyakan adalah orang-orang dari kalangan kelas sosial atas. Kesusastraan juga dapat menunjukkan tingkat intelektualitas si pengumpul atau penikmatnya. Dalam perkembangan dunia kesusastraan Melayu modern, terdapat tokoh yang dianggap sebagai pelopor munculnya tradisi tulis yaitu Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah seorang sastrawan asal Melayu yang banyak menciptakan karya sastra, diantaranya sering dimanfaatkan sebagai bahan ajar di sekolah dasar. Abdullah dilahirkan di Malaka tahun 1797 dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di Malaka. Latar belakang pendidikan yang keras mengenai agama dan pendidikan umum menjadikan Abdullah sebagai guru bahasa yang menguasai beberapa macam bahasa seperti bahasa Arab, Inggris, Tamil, India, dan Melayu sehingga ia diberi gelar al-Munsyi yang artinya pengajar bahasa-bahasa. Abdullah merupakan seorang peranakan Melayu karena asal-usul keluarganya yang bukan orang Melayu asli. Ayahnya bernama Syaikh Abdul Kadir berasal dari Yaman dan Ibunya berasal dari India.
5
Abdullah dikatakan sebagai pelopor sastra Melayu modern. Hal ini, dilihat dari karya-karya Abdullah pada abad ke-19 yang mulai meninggalkan tradisi lama sastra Melayu pada masanya berupa sastra Melayu lisan. Karya sastra Melayu modern digunakan sebagai tolak ukur untuk menggambarkan situasi politik dan sosial yang dialami bangsa Melayu pada masa kolonial Inggris. Sweeney (2005:15-16) mengungkapkan bahwa Abdullah membawa pembaruan dalam bahasa Melayu, terutama dalam penggunaan konsep-konsep abstrak, simbiosis dengan para misionaris dan majikan Eropa yang berlangsung selama puluhan tahun membuat Abdullah terbiasa dengan cara berfikir orang terdidik dalam budaya beraksara-cetak. Bahasa “klasik” pada budaya pernaskahan yang berorientasi lisan mulai kurang digunakan Abdullah karena tidak lagi sesuai dengan zaman budaya cetak yang berkembang pesat. Selain itu, kebijakan pemerintah kolonial Inggris di tanah Melayu turut mendorong perkembangan bahasa Melayu, meskipun pihak kolonial berusaha sekuat tenaga menghambat kemajuan orang Melayu. CKA merupakan salah satu karya Abdullah yang memperlihatkan pengaruh kolonial Inggris. Penelitian ini merupakan penelitian filologi pada tahapan interpretasi teks dengan menggunakan teori terapan pada karya sastra yaitu analisis poskolonial. Tugas seorang filolog yaitu menyajikan dan menginterpretasikan sebuah teks. Pada penelitian ini, peneliti berusaha untuk menginterpretasikan teks. Tahap menyajikan teks telah dilakukan oleh Amin Sweeney yaitu dengan transliterasi dari aksara arab jawi ke dalam bahasa latin. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian filologi karena menginterpretasikan teks merupakan salah satu tugas
6
dari filolog. Menurut Robson (1994:14), bersamaan dengan terjemahan sering juga diperlukan ulasan untuk menjelaskan bagian-bagian tertentu, misalnya yang berkaitan dengan latar belakang budaya, yang mungkin tidak akan jelas atau membingungkan bagi pembaca yang menjadi sasaran terjemahan itu. Semua aktivitas ini termasuk tugas filolog yang rajin dan dimasukkan dalam istilah penyajian dan interpretasi, yang merupakan aspek untuk membuat teks itu dapat dimengerti. Penelitian ini dikatakan sebagai penelitian filologi karena penelitian ini berusaha untuk menginterpretasikan teks yang terdapat dalam CKA. Sehingga penelitian ini merupakan penelitian filologi. Dalam menginterpretasikan teks CKA, peneliti menggunakan pendekatan poskolonial sebagai alat untuk membedahnya. Pendekatan poskolonial dipilih karena dalam teks CKA terdapat unsur kolonial atara penjajah dan terjajah. Hal tersebut yang menjadi alasan pemilihan teori kolonialisme yang dianggap mampu membedah makna yang tersirat dalam teks CKA. Penilaian Abdullah ketika ia mengunjungi kapal asap Sesostris menjadi indikator adanya praktik kolonial. Latar belakang pendidikan Abdullah diduga mempengaruhi cara pandangnya. Tulisan Abdullah dalam CKA diduga mengandung stereotip terhadap bangsa Melayu karena digunakan sebagai salah satu alat untuk praktik kolonial. Karena itulah, penulis melakukan pembacaan poskolonial pada CKA. Pembacaan poskolonial merupakan sebuah bentuk representasi dasar pemikiran kolonial yang mengedepankan efek-efek dari kolonialisme. Pembacaan poskolonial digunakan dalam penelitian ini karena di
7
perkirakan pula dalam CKA terdapat wacana kolonial tentang Superioritas Barat dan Inferioritas Timur yang memperlihatkan posisi diri dan liyan. Penelitian ini menggunakan naskah hasil suntingan dari Amin Sweeney yang berjudul Ceretera Kapal Asap (CKA). Suntingan yang dilakukan Amin Sweeney terhadap CKA dianggap baik dan tidak perlu penyuntingan ulang oleh peneliti. Amin Sweeney dikenal sebagai peneliti yang banyak mengkaji karya sastra Melayu. salah satu tokoh yang memberikan pendapatnya mengenai kelebihan Amin Sweeney dengan peneliti lain yaitu Ajib Rosidi yang merupakan seorang budayawan dan sastrawan. Ajib Rosidi mengatakan bahwa Amin (Amin Sweeney) sangat kritis dan dia tidak ragu-ragu menggunakan kata-kata atau kalimat yang tajam. Tetapi, dia selalu menyertainya dengan argumentasi dan data yang tidak dapat dibantah. Dia mengritik para ahli bahasa dan naskah Melayu seperti Winstedt, Wilkinson, Overback, Hooykaas, Skinner dan banyak lagi yang selama ini diangap sebagai dewa dalam pengkajian bahasa dan naskah Melayu, dengan menunjukkan kekeliruan-kekleiruan mereka terutama karena mengaggap bahasa dan sastra Melayu dalam naskah-naskah itu sudah menjadi klasik, artinya dianggap sudah mati, padahal dalam masyarakat Melayu kini masih hidup dan digemari. Dalam buku-buku yang mereka tulis untuk para pelajar di Indonesia dan Malaya misalnya, mereka menggunakan kacamata Barat sehingga orang Melayu dan Indonesia dididik agar melihat tradisi sendiri melalui kacamata Barat. Celakanya para sarjana Indonesia secara membuta mengikuti sikap dan langkahlangkah
mereka.
http://cabiklunik.blogspot.co.id/2010/12/prof-dr-muhammed-
amin-sweeny-1938-2010.html. Pemilihan teks yang telah disunting oleh Amin
8
Sweeney dianggap sudah baik karena hasil transliterasinya dapat dipahami secara baik oleh peneliti dan penelitiannya mengenai karya sastra Melayu telah diakui beberapa tokoh sastrawan seperti Ajip Rosidi. Naskah CKA sebelumnya pernah diteliti oleh beberapa tokoh, salah satunya Annabel Gallop. Menurut Gallop (via Sweeney, 2006:239--240), teks CKA terdiri dari dua edisi. Edisi pertama yaitu edisi Jawi yang bukunya “Seibu jari tebalnya” yang menurut Gallop merupakan edisi asli. Dalam edisi jawi CKA terdiri dari 86 halaman (1-86); cetak huruf jawi, halaman berukuran 17,5 x 11 cm. Penerbit: Mission Press, Singapura; Pencetak: Alfred North tanpa tanggal. Versi lain yaitu edisi rumi yang berjudul Churtra Kapal Asap terdiri dari 13 halaman (hlm. Judul 1-13); cetak huruf rumi, halaman berukuran 18,5 x 10,5 cm, dengan 28 baris per halaman. Penerbit:
Mission Press, Singapura; Pencetak: Alfred
North, Kampung Bras Basah tahun 1843. (Sweeney, 2006:241) Menurut Hikayat Abdullah (HA) (hlm. 411-2) dan Ceretera Kapal Asap, Kunjungan ke kapal Sesotris terjadi pada 3 Agustus 1841; Terjadinya kolonisasi bangsa Eropa di Melayu menimbulkan dampak bagi kehidupan bangsa Melayu, salah satunya, sifat superioritas dan inferioritas antara penjajah dan terjajah. Sifat tersebut menimbulkan penilaian berupa stereotip dan othering terutama oleh pihak yang merasa superior yaitu Barat khususnya Inggris. Bentuk-bentuk dari stereotip dan othering dalam CKA tersebut menjadi fokus dalam penelitian ini.
9
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana bentuk-bentuk stereotip yang diciptakan bangsa Eropa khususnya Inggris kepada bangsa Melayu dalam CKA? 1.2.2 Bagaimana bentuk-bentuk othering yang diciptakan bangsa Eropa khususnya Inggris dalam CKA?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan praktis dan teoretis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk stereotip yang diciptakan oleh bangsa Eropa dan mendiskripsikan bentuk-bentuk othering yang diciptakan bangsa Eropa, khususnya Inggris kepada bangsa Melayu yang terdapat dalam CKA menggunakan analisis poskolonial. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pandangan bangsa Eropa, terutama Inggris terhadap bangsa Melayu pada masa kolonial. Selain itu, penelitian ini juga menggambarkan kondisi dan posisi pribumi pada masa kolonial yang dianggap liyan oleh bangsa Eropa. Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk menyumbangkan pandangan dari hasil penelitian bagi pengembangan ilmu filologi dengan menggunakan objek material naskahnaskah lama kemudian ditinjau menggunakan teori poskolonalisme.
1.4 Tinjauan Pustaka Ceretera Kapal Asap karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi belum banyak diteliti menggunakan teori sastra, salah satunya pendekatan poskolonial. Peneliti yang mengkaji CKA yaitu Amin Sweeney dalam bukunya berjudul Karya
10
Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi Jilid 2. Amin Sweeney banyak melakukan penelitian karya-karya Abdullah yang kemudian dibukukan menjadi tiga jilid. Jilid I (2005) membahas dua karya Abdullah, yaitu Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura Sampai ke Kelantan (1838) dan Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura Sampai ke Mekkah (1858-9). Jilid II (2006) membahas karya-karya pendek Abdullah yang dikelompokkan menjadi dua bagian: puisi, yaitu Syair Singapura Terbakar (1843), Syair Kampung Gelam Terbakar (1847), dan Malay Poem on New Years Day (1848); serta ceretera, yaitu Ceretera Kapal Asap (1843) dan Ceretera Haji Sabar Ali (1851). Jilid III membahas karya Abdullah yang paling panjang dan paling kompleks, yaitu Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sering disingkat Hikayat Abdullah (HA) (1849), yang dianggap sebagai otobiografi pengarangnya sendiri. Teks tersebut sering dijadikan oleh peneliti asing sebagai acuan mengenai kasusastraan Melayu pada abad ke-19. Pada bagian Ceretera Kapal Asap, Sweeney melakukan penyuntingan dan memberikan komentarnya. Dalam hasil penelitiannya, Sweeney mengatakan bahwa CKA merupakan karya karangan kolaboratif antara Abdullah dengan petinggi Inggris yaitu Alfred North. Selain Amin Sweeney, terdapat beberapa peneliti yang mengkaji naskahnaskah lama yang tidak jauh berbeda jika dilihat dari subjek kajiannya yaitu poskolonialisme. Kurniawan (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Syair Raja Siak: Suntingan Teks dan Analisis Pascakolonial”. Pada skripsi ini peneliti menceritakan mengenai penentangan rakyat Siak terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Rakyat Siak yang merasa terusik dengan kedatangan bangsa Belanda
11
dan mulai mencampuri kehidupan rakyat Siak dan menimbulkan konflik yang berujung peperangan. Ketimpangan hubungan antara Siak dan pemerintah Belanda merupakan imbas hubungan dikotamis. Hubungan tersebut memicu perlawanan dari rakyat Siak melalui saluran-saluran ideologis. Pengalamanpengalaman kolonial yang dialami oleh kerajaan Siak memunculkan gagasangagasan untuk menentang dan melawan praktik-praktik kolonial melaui kekuatankeuatan ideologis berupa pemunculan tokoh-tokoh pahlawan lokal yang berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan antara Siak dan Belanda. Latar belakang agama Islam di Siak menjadi salah satu bentuk perlawanan dan alat pemersatu antikolonial yang tercerai-berai dan sebagai sumber kekuatan ideologis. Muhammad Faqih (2012) yang berjudul “Diri dan Liyan dalam Hikayat Mareskalek Karya Abdullah Bin Muhammad Al-Misri: kajian Poskolonialisme”. Penelitian ini mengkaji tentang hakikat diri dan Liyan dalam hikayat. Belanda sebagai diri berusaha meruntuhkan tradisi-tradisi yang telah dibangun oleh liyan yaitu Melayu untuk berubah menjadi lebih baik lagi menurut Abdullah al-Misri. Pemikiran Abdullah al-Misri dan Syaid Usman memiliki kesamaan pandangan, yaitu memuji pemerintahan Belanda dan mencela orang-orang Jawa. Selain itu, kedua tokoh tersebut memiliki keyakinan yang sama yaitu Islam Ortodoks yang ingin memurnikan Islam. Tujuan dari Abdullah al-Misri dalam membuat Hikayat Marskalek untuk peringatan bagi raja-raja dan pemimpin Melayu yang dianggapnya masih terbelakang, bodoh, dan malas. Sementara, sopan, terdidik, dan berkulit putih merupakan representasi hegemoni kolonial, kesucian ras superior, supremasi ilmu pengetahuan, dan keluhuran peradaban Barat.
12
Hanifah Yuliasari (2013) dalam skripsinya yang berjudul Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Klantan: Analisis Poskolonial (Stereotip dan Ambivalensi). Yuliasari mengungkapkan bahwa kisah tersebut merupakan kisah yang ditulis Abdullah berdasarkan perjalanan yang dilakukannya dari Singapura sampai ke Klantan. Selama perjalanan, Abdullah mengamati kondisi sosial dan gerografis wilayah yang dilewatinya. Ia juga memberikan pandangan stereotip dibeberapa wilayah Melayu. Pandangan Abdullah mengenai stereotip bangsa Melayu tidak lepas dari latar belakang pemikirannya yang sama dengan pemerintah kolonial Inggris. Abdullah dikatakan sebagai hasil pemberadaban pelaku praktik kolonial meskipun ia tidak mengikuti keyakinan tuannya. Stereotip bangsa Eropa yang diyakini Abdullah mengenai kondisi yang terjadi di Melayu kemudian meluas menjadi karakter masyarakat Melayu yang dianggap malas dan tidak menghargai waktu dari sudut pandang bangsa Eropa. Selain membahas stereotip, penelitian Yuliasari juga membahas mengenai ambivalensi. Abdullah dianggap sebagai tokoh yang ambivalen karena disatu sisi ia memberi penilaian-penilaian buruk terhadap bangsa Melayu yang merupakan bangsa tempat kelahirannya. Namun, dengan adanya penilaian itu, sebenarnya ia ingin membantu bangsa Melayu agar berubah menjadi bangsa yang lebih baik dan perasaan tersebut merupakan suatu bentuk kejujuran Abdullah. Pandangannya yang kritis dianggap mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di dalam Tanah Melayu (Yuliasari, 2013:7). Oktarina (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Prasangka Rasial dan Hibriditas dalam Sjair Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina: Tinjauan
13
Poskolonialisme” mendiskripsikan relasi antarbangsa sebagai akibat kontak kaum Pribumi, Cina dan Belanda. Relasi ketiganya menimbulkan ambivalensi dan hibriditas. Hasil penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan kaum Pribumi, Cina, dan Belanda melekatkan stereotip. Stereotip melahirkan sekatsekat antarkelompok bangsa yang menimbulkan rasa superior suatu bangsa.
1.5 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori poskolonial untuk mengetahui bentukbentuk stereotip dan othering yang terdapat dalam CKA. Kolonialisme merupakan penaklukan dan pengambilalihan atas harta dan tanah dari pihak pribumi sebagai penduduk asli oleh pihak pendatang yang kemudian mendirikan koloni baru. Kolonialisme dapat didefinisikan sebagai penaklukan dan kontrol atas tanah dan harta benda orang lain (Loomba, 2005:8). Oxford English Dictionary (OED) mendiskripsikan kolonialisme sebagai sekumpulan orang yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu terdiri dari para pemukim asli dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama hubungan dengan negara asal masih dipertahankan (OED via Loomba, 2003:1). Munculnya kolonisasi dengan konsep-konsep penaklukan dan perampasan terhadap harta, tanah, dan benda membuat penduduk asli merasa kehidupannya terganggu. Pihak kolonial yang berstatus sebagai pendatang berusaha menggambil alih kekuasaan dan melakukan misi pemberadaban bagi penduduk asli. Namun, usaha-usaha tersebut mendapatkan perlawanan dari penduduk pribumi karena tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Dekolonisasi oleh penduduk
14
pribumi pada akhirnya menyisakan bekas-bekas peninggalan penjajah. Pengusiran penjajah dari tanah jajahannya menjadi tanda berakhirnya masa kolonialisme dan mulainya masa poskolonial atau masa setelah kolonial. Namun, munculnya masa poskolonial atau pascakolonial belum tentu menjadi sebuah awal kebebasan dari penjajah. Menurut Ahcroft, dkk (2003:xxii) dasar semantik istilah ‘poskolonial’ tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Istilah ‘poskolonial’ tidak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan (‘masa kolonial’ dan ‘masa poskolonial’). Poskolonial merupakan istilah paling tepat untuk menyebut kritik-kritik lintas-budaya yang muncul akhir-akhir ini serta wacana yang dibentuknya (Ahcroft, dkk, 2003:xxii). Menurut Gandhi (2007: 4-5), berbagai kontroversi seputar kata “poskolonial” tersebut menggaris bawahi adanya kebutuhan untuk membedakan dan mengklarifikasi hubungan anatara cognate material dan analitik dari kajian-kajian poskolonial. Penggunaan istilah poskolonial atau dalam bahasa Inggris disebut postkolonial yang berarti masa setelah kemerdekaan. Jika dilihat dari bahasa Indonesia, poskolonial memiliki arti yang sama dengan pascakolonial. Padanan kata post dan pasca dapat dikatakan sebuah istilah untuk menyebutkan masa sesudah dalam konteks ini masa sesudah kolonial sehingga pada dasarnya penggunaan istilah poskolonial dan pascakolonial mencakup dan memiliki hal yang sama. Beberapa tokoh ada yang menggunakan istilah poskolonial dan pascakolonial untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kolonialisme yang
15
mencakup poskolonialisme dan pascakolonialisme sehingga diharapkan tidak ada kesalahan tafsir mengenai penggunaan istilah poskolonial dan pascakolonial dalam penelitian ini. Menurut Said (via Faruk, 2007:15), teori poskolonial kemungkinan mencakup tiga hal, yaitu (1) kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa, baik berupa efek penjajahan yang masih berlangsung
sampai
pada
masa
pasca-kolonial
maupun
kemungkinan
transformasinya ke dalam bentuk-bentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun global), (2) respons perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah maupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi, dan (3) segala bentuk marginalitas yang dikaitkan oleh segala bentuk kapitalisme. Ratna (2009:211) menggunakan istilah pascakolonial untuk mengemukakan bahwa teori pascakolonial merupakan akumulasi teori dan kritik yang digunakan untuk menilai kembali aspek-aspek kebudayaan, yaitu sejarah, politik, ekonomi, sastra, bahkan arsip pemerintah sekaligus hubungannya dengan warisan kebudayaan yang ditinggalkannya. Jadi, pascakolonial adalah teori yang digunakan untuk mendekontruksi narasi kolonial. Salah satu narasi kolonial dapat berupa teks, khususnya teks sastra dalam penelitian ini. Teks sastra merupakan sebuah zona kontak yang penting dalam kajian pascakolonialisme (Loomba, 2003:92). Dalam sebuah teks, berbagai perbedaan ideologis dalam masyarakat kolonial berinteraksi dan saling berkonflik. Melalui lembaga-lembaga seperti pasar dan institusi pendidikan, teks-teks sastra
16
memainkan peran penting dalam membangun suatu otoritas kultural bagi para penjajah, baik pada wilayah metropolis maupun kolonial (Loomba, 2003:92). Teks-teks sastra tidak hanya mencerminkan ideologi-ideologi dominan, tetapi juga mengandung unsur-unsur yang menentang idologi-ideologi dominan tersebut (Loomba, 2003:97). Jadi teks yang berkaitan tentang kolonial khususnya teks sastra dapat menjadi alat untuk membentuk wacana-wacana kolonial yang dapat mempengaruhi masyarakat terjajah. Kerangka berpikir poskolonialisme kemudian diaplikasikan untuk meneliti teks, dan pembacaan terhadap teks-teks tersebut sebagai pembacaan poskolonial. Bill Ashcroft, dkk (1998:192) mendefinisikan pembacaan poskolonial sebagai sebuah cara membaca dan pembacaan kembali teks-teks, baik teks budaya metropolitan maupun budaya koloni, yang memberikan perhatian mendalam atas efek-efek terpendam dan tidak terelakkan dari kolonialisme Eropa dalam suatu produksi literatur. Oleh karena itu, proses pembacaan ini merupakan pembacaan yang bersifat dekonstruktif terhadap teks-teks yang menjadi objek kajiannya. Terutama dalam sebuah teks sastra khususnya yang berkaitan dengan kolonial, sastra berperan penting dalam membangun dan merekonstruksi gambaran keadaan pada masa kolonial dan pascakolonial. Konsep mengenai Barat dan Timur dalam kajian Orientalisme merupakan cabang dari bentuk kolonialisme. Dalam buku Edward Said yang berjudul Orientalisme (2010:58) ia mengatakan dalam hubungan antara Timur dan Barat terdapat dua unsur. Unsur pertama adalah pengetahuan sistematis yang terus tumbuh di Eropa mengenai dunia Timur, suatu pengetahuan yang keberadaannya
17
diperkuat dengan munculnya invasi-invasi kolonial, perhatian-perhatian yang besar terhadap hal-hal yang asing dan tidak biasa, yang kemudian dieksploitasi oleh sains-sains etnologi, anatomi perbandingan, filologi, dan sejarah, yang tengah berkembang; bahkan, pengetahuan sistematis ini ditambah lagi dengan sejumlah besar literature yang dihasilkan oleh para novelis, penyair, penerjemah, dan penjelajah-penjelajah berbakat. Unsur kedua yang muncul dalam relasi antara dunia Timur dan Eropa adalah bahwa Eropa selalu berada dalam “kedudukan yang kuat” (untuk tidak mengatakan “mendominasi”). Munculnya wacana kolonial merupakan bentuk dari upaya koloniasasi yang diterapkan oleh bangsa penjajah terhadap bangsa terjajah. salah satu upaya tersebut dengan pembentukan konsep poskolonial, salah satunya bentuk stereotip. Menurut Alatas (1998:45), peniruan dan prasangka terhadap kelompok lain (stereotype) telah menjadi peristiwa biasa dalam sejarah manusia. Stereotip adalah bentuk representasi yang salah dengan kenyataan yang sebenarnya (Bhabha, 2007:107). Pihak penjajah biasanya membuat citra pihak tejajah lebih rendah dan dianggap liyan. Kedatangan bangsa Eropa ke Timur pada awalnya bertujuan untuk melakukan perjalanan ziarah. Dalam perjalanannya, mereka mengunjungi, memotret, dan mengeksplorasi wilayah-wilayah Timur dan mengabadikannya dalam bentuk laporan perjalanan. Laporan-laporan dari peziarah itulah yang menjadi bahan acuan bagi bangsa Barat untuk datang dan mengenal dunia Timur. Dalam proses penulisannya, para peziarah melindungi diri mereka dari pengaruhpengaruh ketimuran. Ketika mereka akan menulis tentang Timur, mereka berusaha
18
menempatkan Timur bukan sebagai sebuah bagian kawasan geografis, tetapi sebagai panggung imajinatif yang dapat diperlakukan sesuka hati (Said, 2010:257). Pandangan tersebutlah yang menjadi awal munculnya stereotip dikalangan bangsa Eropa terhadap cara pandang mengenai dunia Timur. “Pelainan” atau othering terhadap pribumi merupakan hasil dari ideologi dari bangsa Eropa yang merasa bangsanya lebih superior. “Pelainan” (othering) sejumlah besar rakyat, dan pengonstruksian mereka sebagai terbelakang dan rendah itu menurut Abdul Jan Mohamed tergantung kepada yang disebut “alegori Manichean”, dalam mana dihasilkan sebuah biner dan perlawanan diskursif antara ras-ras (1985:60 via Loomba, 2003:136). Menurut Ashcroft, dkk (2003:147) Wacana dominan mengonstruksi otherness dengan suatu cara tertentu yang selalu memunculkan ambivalensi atau rasa cemas terhadap otoritasnya sendiri. Agar tetap memegang kendali otoritas terhadap si Lain (liyan) sebagai sosok yang benar-benar berbeda dari dirinya, pada waktu yang bersamaan, ia harus mempertahankan identitas yang dianggapnya cukup mampu membedakannya dengan “Si lain” guna mendukung kontrolnya atas mereka. Ashcroft dkk (2003:147) juga menambahkan bahwa “Si Lain” tentu saja hanya dapat dikontruksikan dengan menggunakan ingatan-ingatan self itu sendiri, di samping self juga harus mengartikulasikan “Si Lain” tersebut sebagai kelompok yang, tidak dapat dipungkiri, berbeda dengannya. Sedangkan menurut Spivak, othering merupakan asumsi tentang otoritas, ‘suara’, dan control atas ‘kata’, yakni perampasan dan penguasaan sarana-sarana interpretasi dan komunikasi oleh penjajah (Spivak via Aschroft, 2003:138-139).
19
Menurut Cromer (via Said, 2010:53) logika menjadi sesuatu “yang cenderung diabaikan oleh bangsa Timur,” maka cara yang tepat untuk memerintah mereka bukanlah dengan memaksakan ukuran-ukuran ultra ilmiah atau memaksa mereka secara strategis untuk menerima logika, melainkan dengan cara memahami keterbatasan-keterbatasan mereka dan “berusaha menemukan-dalam batasan-batasan tertentu-ikatan kesatuan yang lebih terhormat dan-jika mungkinlebih kuat, antara kita (yang memerintah) dan mereka (yang diperintah). Cromer (via Said, 2010:55) juga menambahkan bahwa pengetahuan tersebut (pengetahuan tentang bangsa-bangsa Timur, rasnya, wataknya, kebudayaannya, tradisinya, sejarahnya, masyarakatnya, dan kemungkinan-kemungkinannya) telah berhasil mempertahankan asumsi yang selama ini dibangun oleh Barat bahwa “bangsabangsa Timur” pada hakikatnya berwatak Platonis, yang bisa dikaji, dipahami, atau diekspos bahkan oleh seorang orientalis (atau penguasa bangsa-bangsa Timur) sekalipun. Dalam proses penanaman praktik-praktik kolonial, mereka berupaya menghegemoni dengan cara menciptakan penilaian-penilaian terhadap pribumi yang menghasilkan stereotip-stereotip tentang “pihak luar”. Kemalasan, agresi, kekerasan,
kerakusan,
pengumbaran
seksual,
kebinatangan,
primitifisme,
kebodohan dan irasionalitas, semuanya dilekatkan (sering kontradiktori dan inkonsisten) oleh para kolonialis Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, dan Portugis kepada bangsa-bangsa Turki, Afrika, Indian-Amerika, Yahudi, India, Irlandia, dan lain-lainnya (Loomba, 2003:139-140).
20
Konsep-konsep mengenai penilaian terhadap Timur merupakan bentukan dari wacana kolonial dan ideologi kolonial untuk melegitimasi kekuasaannya. Ideologi kolonial menganggap penjajah sebagai pihak yang dominan dan pihak terjajah merupakan pihak yang dipinggirkan dengan status subjek kolonial. Alatas (1988:2) berpendapat bahwa ideologi kolonial memanfaatkan gagasan tentang pribumi yang malas untuk membenarkan praktik-praktik penindasan dan ketidakadilan dalam mobilisasi tenaga kerja di koloninya. Rakyat Barat seharusnya memimpin dunia; bahwa mereka paling tepat untuk menghisap kesuburan alam Timur; dan bahwa mereka adalah para administrator yang baik. Karenanya ideologi kapitalisme kolonial merendahkan kemampuan masyarakat Asia Tenggara. Setiap tindakan yang mungkin dilakukan ditujukan untuk memburukan masyarakat Asia Tenggara, termasuk ukuran tubuh dan perwatakannya (Alatas, 1988:12). Menurut Disrail (via Said, 2010:64) kebebasan intercource (membangun hubungan) hampir selalu menjadi hak istimewa orang Barat, “karena kebudayaannya yang lebih kuat, mereka dengan mudah dapat menembus, menggumuli, membentuk, bahkan menafsirkan ‘misteri Asia yang luar biasa’ itu”. Secara perlahan dan sistematis, Eropa mulai menghegemoni bangsa Melayu dengan berbagai cara hingga terbentuknya bangsa Timur berasal dari penilaian-penilaian bangsa Eropa dan bangsa Timur yang menimurkan dirinya sendiri. Berdasarkan uraian di atas oleh beberapa tokoh mengenai teori poskolonialisme, dapat dikatakan bahwa teori tersebut didasari oleh ketimpangan antara Barat dan Timur yang mengatakan bahwa Barat itu superior dan Timur
21
inferior. Ideologi tersebut berusaha ditanamkan oleh pihak kolonial dan terus direproduksi dengan berbagai macam cara. Teori poskolonialisme berperan sebagai alat untuk membedah dan memetakan kondisi masyarakat pascakolonial yang didokumentasikan dalam karya sastra. CKA merupakan salah satu bentuk dokumentasi dalam karya sastra yang menggambarkan situasi Melayu pada masa kolonial Inggris.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode dekriptif kualitatif. Metode ini tidak menggunakan data-data yang bersifat statistik atau tidak dapat diukur dengan satuan ukur atau angka-angka dan dalam mendapatkan data tersebut hanya dapat digunakan dengan pengamatan dan penyidikan secara mendalam. Penelitian ini dapat disebut juga dengan penelitian kepustakaan karena data-data yang dibutuhkan dari sumber-sumber tertulis yang telah dibukukan. Langkah-langkah yang dilakukam dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Pertama pembacaan objek penelitian berupa CKA karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi secara berulang-ulang. Kedua menentukan rumusan masalah dan menganalisis objek kajian berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan dengan menggunakan teori poskolonialisme. Ketiga membuat laporan tertulis mengenai penelitian secara deskriptif dan sistematis.
1.7 Sistematika Penyajian Laporan penelitian ini disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut:
22
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari (1) latar belakang masalah (2) rumusan masalah (3) tujuan penelitian (4) tinjauan pustaka (5) landasan teori (6) metode penelitian (7) sistematika penyajian. Bab II berisi tentang gambaran kondisi Melayu khsuusnya Singapura abad ke-19 dan berusaha merkonstruksi masalah yang ada dalam CKA dengan menggunakan pembacaan pascakolonial. Bab III berisi analisis data dari bentuk-bentuk stereotip oleh bangsa Eropa khususnya Inggris terhadap bangsa Melayu. Selain itu terdapat analisis mengenai bentuk-bentuk Othering atau peliyanan yang dilabelkan bangsa Eropa khususnya Inggris kepada bangsa Melayu. Bab IV berisi kesimpulan dari hasil penelitian.