BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran singkat Hampir di seluruh belahan dunia, orang - orang pasti mengenal sepakbola. Olahraga ini telah dimainkan sejak zaman Romawi kuno (700 tahun yang lalu) dan hingga kini eksistensinya tak pernah lekang oleh waktu. Hal ini dibuktikan dengan mudah ditemukan klub - klub sepakbola hampir di seluruh belahan dunia. Latar belakang sejarah dari olahraga ini merupakan sebuah latihan militer yang diperuntukan bagi para prajurit Romawi sebelum berperang. Konsep latihannya sederhana yaitu rebutan sebuah benda semacam bola untuk melatih kekuatan fisik dari para prajurit. Latihan tersebut kemudian di adaptasi oleh masyarakat di koloni - koloni jajahan Romawi menjadi sebuah permainan sepakbola yang dimainkan oleh para pemuda dari koloni - koloni tersebut untuk mengisi waktu luang. Permainan sepakbola awal ini terkenal di masyarakat umum dengan sebutan Harpaston atau Episkyros. 1 Aturan permainannya pun sederhana yaitu orang – orang yang bermain dibagi menjadi dua kelompok yang harus memperebutkan sebuah bola dan berusaha membobol gerbang pertahanan terakhir (gawang) dari kelompok yang menjadi lawannya. 2 Saat itu belum terdapat aturan baku yang mengatur secara teknis permainan ini sehingga selain menendang bola dengan kaki juga diperbolehkan membawa bola menggunakan tangan, bahkan melukai lawan pun diperbolehkan sehingga kesan keras lekat dalam permainan
1
Artikel History of Footeball – The Origins http://www.fifa.com/classicfootball/history/the-game/origins Guilianotti, Richard. Sepakbola Pesona Sihir Permainan Global (terj)., Penerbit Apeiron Philotes, Maguwoharjo Depok Sleman-Yogyakarta, 2006. P 2-4.
2
1
Harpaston dan Episkyros ini. 3 Bila pengertian umum tentang konflik adalah pertentangan kepentingan tajam antara dua pihak atau lebih, maka sepakbola merupakan konflik yang terlembaga dan tertua di dunia. Sebab dalam sepakbola mulai dari pertentangan kepentingan hingga aksi saling sandra kepentingan terjadi didalamnya. Bedanya konflik dalam sepakbola tidak mengenal konsep - konsep seperti win-win solution ataupun zero sum game dalam pengelolaannya. Penyelesaian konflik yang disajikan dalam sepakbola pun sederhana, yaitu dengan mengkonfrontir secara langsung kubu - kubu yang berkonflik dalam pertandingan sepakbola untuk menentukan siapa yang layak memenangkan konflik. Seiring berjalannya waktu wadah konflik yang menamakan diri sebagai sepakbola ini, kadang terlalu kecil untuk menampung aneka ragam pertentangan kepentingan yang masuk di dalamnya. Di balik kesederhanaan dan keindahan permainannya untuk beberapa kalangan sepakbola bisa berarti agama, ideologi, budaya bahkan pangsa pasar yang sering melahirkan potensi konflik baru. Inilah sisi lain dari sepakbola yang kadang lebih menarik untuk diikuti daripada pertandingannya. Beberapa contoh kasus seperti; kabar yang dimuat di beberapa koran lokal di Yogyakarta periode Agustus - September 2012, ketika asrama pemain PSIM Yogyakarta gelap-gulita karena tidak bisa membayar listrik serta tunggakan gaji pemainnya. 4 Kemudian yang terbaru adalah kasus bentrokan besar antara Viking (supporter Persib Bandung) dengan Jakmania (supporter Persija Jakarta) yang
3
Palupi, Srie Agustina. Politik dan Sepakbola di Jawa 1920 – 1942, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2004. P 22-23. 4 Lihat portal berita http://www.solopos.com/2012/09/18/manajemen-psim-sengaja-nunggak-tagihanrekening-listrik
2
beberapa waktu lalu sempat menjadi headline kolom - kolom olahraga di berbagai media massa nasional. 5 Belum lagi masalah mengenai kisruh dualisme kompetisi sepakbola nasional antara Liga Primer Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI) ditahun 2012-2013, 6 adalah beberapa kasus turunan dari sepakbola yang sama menegangkannya dengan pertandingan El Classico ketika Barcelona harus bertemu dengan Real Madrid. Memang bila dibandingkan dengan isu mainstream dalam ilmu politik seperti Demokratisasi, korupsi, pelanggaran HAM dan topik topik lain yang sering muncul dalam penelitian sosial - politik hari ini, isu ektraparlementer seperti masalah persepakbolaan dalam negeri merupakan isu yang berbeda kasta. Meskipun demikian penulis tetap berkeyakinan bahwa isu isu ekstraparlementer ini juga tidak kalah menarik untuk dikaji dalam penelitian yang serius. Bertolak dari hal - hal di atas, karya tulis ini disusun dengan mengambil tema besar pada salah satu fenomena behind the scene persepakbolaan dalam negeri, serta tidak jauh - jauh dari permasalahan konflik yang selalu erat kaitannya dengan sepakbola. Sementara itu kasus yang menjadi fokus kajian dalam karya tulis ini adalah kasus konflik internal yang terjadi dalam tubuh organisasi supporter klub sepakbola PSS Sleman (Perserikatan Sepakbola Sleman) pada periode tahun 2009-2012 lalu. Konflik ini berawal dari masalah sepele yaitu dari ketidaksepahaman antara organisasi supporter dari PSS Sleman dengan beberapa laskar supporter
5
Lihat portal berita http://www.tempo.co/read/news/2012/05/31/064407299/Wajah-Kelam-Jakmania-Viking dan http://www.tempo.co/read/news/2012/05/30/064407057/Dua-Korban-Tewas-di-Senayan-AnggotaViking 6 Lihat portal berita http://bola.kompas.com/read/2011/01/09/00495154/Arifin.Panigoro:.LPI.Jalan.Terus
3
anggotanya terkait penggunaan atribut pemberian dukungan seperti flaire dan kembang api yang saat itu sedang marak - maraknya dilakukan oleh beberapa kalangan supporter di Indonesia. Ketidaksepahaman inilah yang kemudian bertransformasi menjadi faksionalisasi di internal organisasi supporter PSS Sleman, sebelum akhirnya berkembang menjadi konflik saudara yang memecah massa supporter PSS Sleman menjadi dua kubu yaitu kubu yang pro dengan organisasi dan kubu yang kontra dengan organisasi. Bagaimana konstelasi konfliknya serta perebutan kuasa legitimasi atas massa supporter dari dua kubu yang berkonflik ini menjadi poin tersendiri yang menarik untuk diteliti. Selain itu moment konflik supporter di Sleman ini selain merubah konstelasi massa supporter lokal di internal supporter PSS Sleman juga mempengaruhi konstelasi persepakbolaan nasional. Hal ini terjadi ketika adaptasi sebuah gaya pemberian dukungan baru yang dilakukan oleh kelompok supporter yang kontra terhadap organisasi supporter legal sebagai bentuk ekspresi ketidaksetujuan mereka kemudian mengilhami berbagai komunitas supporter dari berbagai daerah di Indonesia ikut melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh supporter di Sleman (mengadaptasi gaya tersebut), moment inilah yang kemudian menjadi trigger dimulainya gelombang supporter kreatif kedua di negeri ini. Demikianlah beberapa poin penting mengapa pengkajian kasus konflik supporter di Sleman perlu untuk dilakukan, berlandaskan pada alasan - alasan tersebutlah karya tulis ini dibuat sebagai tindak lanjut akademik atas kasus konflik supporter di Sleman ini. Sebagai batasan terhadap fokus kajiannya, secara spesifik karya tulis ini
4
akan membahas mengenai perjalanan pengelolaan konflik atau manajemen konflik yang diupayakan oleh tiap - tiap kubu atau aktor yang berkonflik dalam konflik internal supporter PSS Sleman yang terjadi pada periode tahun 2009 2012. Bagaimana perjalanan konfliknya serta langkah - langkah pengelolaan apa saja yang diambil oleh aktor - aktor yang berkonflik adalah pertanyaan kunci yang akan mengkerangkai tulisan ini. B. Rumusan masalah Bagaimana proses pengelolaan konflik dalam konflik internal suporter klub sepakbola PSS Sleman dilaksanakan? C. Tujuan Penelitian Menghimpun Peta Konflik yaitu diskripsi kronologis dari siklus perjalanan pengelolaan konflik yang terjadi di dalam tubuh komunitas supporter PSS Sleman. Melalui peta konflik tersebut maka akan dapat diketahui aplikasi aplikasi teoritis manajemen konflik apa saja yang diupayakan oleh pihak - pihak yang terlibat dalam konflik tersebut untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan yang mereka alami. D. Manfaat Penelitian •
Penelitian ini diharapkan mampu merubah mainset underestimate dari berbagai
kalangan
ketika
menghadapi
kondisi
konflik
atau
pertentangan; •
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi rujukan, input atau masukan mengenai pengelolaan konflik kepada berbagai instasi / komunitas yang sedang menghadapi kondisi konflik atau pertentangan; 5
•
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah literatur penelitian akademis kluster masyarakat sipil terutama untuk konteks isu - isu sekunder seperti politik dan dunia olahraga (sepakbola).
E. Kerangka Teori E.1. Konflik “Karl Marx dalam sebuah karyanya yaitu Economic and Philosopic Manuscript (1844) menegaskan bahwa hal yang abadi didunia ini adalah Konflik dan Pertentangan” Konflik secara general sering disama - artikan dengan percekcokan, perkelahian, perang-tanding (duel) yang lebih mengedepankan adu kekuatan fisik antara dua pihak atau lebih. Hal tersebut tidaklah salah karena memang secara material sifat-sifat kebendaan dari konflik termanifestasi dalam fenomenafenomena pertentangan fisik tersebut. Hal ini pun ditegaskan dalam New Twentieth Century Dictionary karya Webster bahwa conflict memang dalam bahasa aslinya memiliki arti perkelahian, peperangan, atau perjuangan yang berupa konfrontasi fisik, tetapi seiring berjalannya waktu kasanah arti dari conflict pun berkembang dan meluas tidak hanya pada bentuk konfrontasi fisik saja, maknanya menjadi lebih general yaitu suatu fenomena ketidaksepakatan tajam atau perbedaan tajam atas suatu kepentingan, ide, opini dan lain sebagainya. 7 Konflik juga dapat dipahami sebagai rasionalisasi dari sikap pesimistis manusia terhadap sistem sosial di masyarakatnya. Sebab dalam interaksi sosial manusia seringkali menemukan suatu kondisi perbedaan sudut pandang yang 7
Pruitt, Dean G. dan Jeffrey Z Rubin. Teori Konflik Sosial, Penerbit : Pustaka pelajar, Yogyakarta: 2004. P 9-12.
6
tidak dapat dihindarkan dengan individu lain atau kelompok lain, bahkan jargon yang disebut sebagai kebulatan suara adalah suatu hal yang memang mustahil untuk dicapai, kondisi ini akan langsung kelihatan hanya dengan pengamatan sederhana terhadap dimensi - dimensi yang mempengaruhi hidup manusia dalam bermasyarakat seperti status, kuasa, kekayaan, usia, peran hingga gender dalam suatu kelompok sosial tertentu. 8 Setiap hubungan dengan dimensi-dimensi tersebut, manusia dalam bermasyarakat sering terjebak dalam pertentangan kepentingan-kepentingan yang beraneka - ragam, ketika kepentingan-kepentingan tersebut saling bertentangan dan tensinya meningkat maka terjadilah konflik. Pandangan lebih optimis dalam melihat konflik dikemukakan oleh Diana Francis melalui perspektif budaya, konflik dapat dimaknai sebagai suatu proses dominasi budaya yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lainnya. Melalui proses dominasi budaya tersebutlah, pertentangan atau perselisihan akibat perbedaan pendapat maupun persinggungan kepentingan yang tidak sejalan akan terjadi, maka ketika menghadapi kondisi tersebut hal yang dapat dioptimalkan oleh manusia untuk mengurangi dampak destruktif dari konflik adalah dengan melakukan usaha pengelolaan (manajemen) dari konflik tersebut. 9 Konflik adalah pintu gerbang utama dari terciptanya suatu perubahan sosial. Oleh karena itu melalui konflik jugalah proses evaluasi, refleksi dan perbaikan diri dari suatu system, institusi, maupun individu dimulai, sebab masukan - masukan yang lebih objektif akan didapatkan di sana. Dalam tulisan ini, istilah konflik yang akan dieksplorasi lebih mendalam
8 9
Arida, Sukma. dkk. Mengelola Konflik Batas Wilayah, Uluangkep Press, Bali: 2004. P 36 Francis, Diana. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial, Quills, Yogyakarta : 2006. P 41-45
7
merujuk
kepada konsep konflik yang telah dijelaskan Webster dalam New
Twentieth Century Dictionary bahwa kini konflik adalah suatu fenomena ketidaksepakatan tajam atau perbedaan tajam atas suatu kepentingan, ide, opini dan lain sebagainya, atau perceived divergence of interest yang batasan eksplorasinya jelas yaitu pada persepsi mengenai perbedaan kepentingan. 10 Terdapat dua buah kata kunci dalam konsepsi yang menjelaskan mengenai konflik di atas, yaitu persepsi dan kepentingan. Persepsi disini adalah bayangan, yaitu bagaimana suatu pihak yang berkonflik mampu membayangkan atau mempersepsikan
bahwa
pemuasan
“kepentingan”nya
terhalang
oleh
“kepentingan” dari pihak yang menjadi lawannya. Sedangkan Kepentingan maksudnya adalah perasaan seseorang mengenai hal-hal apa saja yang ia inginkan. Perasaan itulah yang biasanya membentuk sikap, tujuan, dan pikiran yang kemudian memunculkan rasa butuh akan suatu hal dari setiap individu. Konflik terjadi bilamana pihak satu dengan lainnya, atau keduanya memiliki persepsi bahwa pemenuhan aspirasi dari salah satu pihak terhalang oleh pemenuhan aspirasi dari pihak lainnya. 11 E.2. Material Pembentuk Konflik Konflik atau kondisi ketidaksepakatan tajam atas suatu ide, kepentingan atau opini ini, kurang lebih memiliki tiga material pembentuk utama, yang bila ketiga material tersebut lengkap maka seketika itu juga konflik akan muncul. 12 Ketiga material tersebut adalah : 1) Aktor konflik dan Interaksi antar - aktor yang berkonflik. 10 11 12
Opcit, Pruitt dan Rubin P 9. Ibid P 21-28 Ibid P 4- 17
8
Bila konflik adalah kondisi ketidaksepakatan tajam antara beberapa pihak (aktor konflik) mengenai suatu kepentingan yang terjadi dalam suatu proses interaksi, maka bila tidak ada pihak - pihak (aktor) yang berinteraksi atau hanya terdapat satu pihak saja, atau mungkin terdapat beberapa pihak (aktor) tetapi mereka tidak saling berinteraksi maka konflik tidak akan tercipta. Hal ini karena prasyarat utama dari konflik adalah terdapat pihak – pihak (aktor konflik) dan mereka saling berinteraksi satu sama lainnya. 2) Terdapat kondisi pertentangan (ketegangan atau contention) Kondisi pertentangan adalah inti dari konflik, suatu konflik memiliki siklus hidup yang akan aktif hidup ketika benturan kepentingan antar pihak - pihak yang berkonflik terjadi, dan siklus konflik ini akan memuncak ketika kepentingan dari pihak - pihak yang berkonflik saling terhalang dan saling tersandra dengan kepentingan pihak lainnya. Disinilah ketegangan atau contention yang merupakan puncak dari siklus konflik muncul dan menjadi titik balik dari konflik. Konflik akan berakhir saat pihak - pihak yang berkonflik telah berkompromi dengan kepentingan pihak lawan. Kemudian mereda atau mati ketika solusi dari benturan kepentingan tersebut disepakati oleh pihak - pihak yang berkonflik. Siklus hidup dari suatu fenomena konflik inilah yang berisi konik atau kumpulan peristiwa -peristiwa pertentangan yang terjadi dalam interaksi pihak - pihak yang berkonflik. Siklus hidup konflik atau kronologi pertentangan ini, oleh beberapa kalangan juga sering disebut dengan dinamika konflik. 3) Terdapat penyebab atau sumber konflik
9
Sumber konflik adalah hal - hal yang menyebabkan atau melatar belakangi terjadinya pertentangan kepentingan antar pihak - pihak (aktor) yang berkonflik. Hal - hal tersebut biasanya bersifat kondisional dan cenderung bernuansa emosional, biasanya terjadi pada masa - masa awal saat konflik bermula. Hal - hal yang melatarbelakangi konflik ini juga sering disebut sebagai sumber konflik. E.3. Potensi Konflik Manusia tidak akan pernah lepas dari cengkraman konflik, entah konflik dengan dirinya sendiri dengan orang lain, atau kelompok lain. Konflik adalah bagian yang tidak terelakan dan akan selalu ada dalam relung hidup manusia. Telah banyak pemikir-pemikir yang meneliti mengenai konflik mulai dari Thomas Hobes dengan Leviathan-nya, Nicolo Maciavelli dengan Teori homo hominilupus-nya hingga Karl Marx dengan kajian pertentangan kelas-nya, tetapi mereka masih memaknai konflik sebagai suatu hal yang merusak, menindas dan menghancurkan. Hingga kini pandangan tersebut masih sama, konflik masih banyak dipandang dari sudut pandang yang negatif. 13 Padahal sebenarnya antara konflik yang teratasi dengan yang tidak teratasi, lebih banyak yang teratasi, berakhir dengan damai dan memuaskan semua pihak. Di sinilah peran pokok dari pengelolaan konflik yang sesungguhnya, tidaklah mustahil suatu konflik untuk diselesaikan. Bila konflik dipandang dari sudut pandang yang positif maka konsekuensi atau ketakutanketakutan negative dari konflik akan dapat diredam, pemahaman positif mengenai konflik inilah yang disebut sebagai Fungtional Conflict Condition. Sudut pandang 13
Opcit Pruitt dan Rubin, P 12-14
10
ini berangkat dari keyakinan bahwa konflik adalah pintu gerbang utama dari terciptanya suatu perubahan sosial. Selain itu konflik juga merupakan sarana fasilitasi bertemunya berbagai kepentingan serta suatu jalan yang dapat mempererat rasa persatuan dan solidaritas kelompok. Potensi - potensi positif dari konflik tersebut bukanlah suatu hal yang utopis untuk dicapai, tanpa mengesampingkan kemungkinan potensi negatifnya tentu saja, sebab memang hingga kini belum ada yang dapat membantah bila konflik itu benar-benar mampu menimbulkan suatu malapetaka. 14 Sementara bila tiap pihak yang berkonflik tidak mau mengalah atau justru secara sepihak mengambil keputusan yang mengalahkan pihak lawannya, maka yang tercipta adalah Dysfungtional Conflict Condition seperti yang di khawatirkan oleh para pemikir -pemikir klasik terdahulu bahwa konflik akan mendorong timbulnya potensi destruktif yang lebih lanjut seperti makna aslinya.
14
Ibid P 13-15
11
Tabel 1.1. Fungsional dan Disfungsional outcome dari Fenomena Konflik Sumber : Managing Conflict in Organization Third Edition (2001)
Berdasarkan potensi - potensinya konflik memiliki potensi untuk menjadi konflik fungsional maupun konflik disfungsional. 15 Berikut adalah penjelasan dalam bahasa singkat dari potensi - potensi konflik : -
Konflik Fungsional adalah suatu kondisi pertentangan kepentingan yang sehat. Dimana dalam kondisi tersebut perbedaan pandangan dimaknai sebagai konsekuensi positif yang mampu memberikan eksplorasi ide-ide, prinsippinsip dan pandangan baru dalam interaksi antar-Aktor. Konflik fungsional berpotensi menghadirkan kreativitas dan inovasi, serta memiliki orientasi pada penemuan ide-ide (alternative) baru dan bukan pada perebutan pengaruh. Ada juga yang menyebutnya dengan konflik potensial.
-
Konflik Disfungsional adalah kondisi pertentangan kepentingan yang tidak sehat. Dalam konflik disfungsional kondisi perbedaan pandangan yang terjadi
15
Rahim, M. Afzalur. Managing Conflict in Organization Third Edition, Penerbit: Quorum Book, Westport, Connecticut (CT) 06881Greenwood publishing group. Inc. USA. 2001. P.7
12
terdominasi oleh konsekuensi negative dari konflik, yang sifatnya biasanya merugikan. Kondisi tersebut terjadi karena campur-tangan emosi, amarah, dan rasa frustasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berkonflik ketika menghadapi perbedaan pandangan. Dalam kondisi ini dikhawatirkan aksi destruktif akan muncul sebagai sarana pelampiasan dari perbedaan kepentingan yang terjadi yang merugikan salah satu atau bahkan semua pihak yang terlibat konflik. Ada juga yang menyebutnya konflik Actual. E.4. Tahapan Konflik
Gambar 1.1. Episode konflik Louis Pondy Sumber : Organizational Conflict: Concept and Models (________)
Selain memiliki dua kemungkinan potensi, konflik juga dapat dipetakan ke dalam beberapa jenis konflik berdasarkan sifat dan tingkat kedalaman pertentangannya, rangkaian jenis - jenis konflik inilah yang dinamakan sebagai tahapan konflik. Tahapan konflik adalah paparan episodik perjalanan dari suatu fenomena konflik yang mengklasifikasikan konflik berdasarkan sifat dan tingkat kedalaman pertentangannya ke dalam jenis - jenis konflik, tahapan konflik juga sering disebut sebagai episode konflik. Salah satu pendekatan populer dan sering 13
dikutip dalam penjelasan tahapan konflik adalah pendekatan episode konflik dari Lois Pondy. 16 Terdapat kurang lebih lima jenis konflik yang dijadikan indikator klasifikasi untuk menentukan suatu konflik berada pada tahapan atau episode konflik yang bagaimana, kelima jenis konflik tersebut diantaranya adalah : -
Konflik Laten (Latent Conflik) Konflik ini adalah konflik yang paling susah dikelola karena letaknya yang tersembunyi dan mengakar (tidak dapat dilihat secara jelas pertentangannya) di alam bawah sadar aktor-aktor yang berkonflik. Konfrontasi didalam konflik ini memiliki level kedalaman yang tinggi dan umur yang panjang. Bahkan untuk mencapai resolusi dalam konflik ini hampir tidak mungkin karena membutuhkan upaya menyamakan pandangan yang memakan waktu relatif lama. Biasanya konflik jenis ini muncul dalam perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang bersifat prinsipil seperti identitas, ideologi, keyakinan serta agama.
-
Konflik Persepsi (Perceived conflict) Konflik ini memiliki level kedalaman dibawah konflik laten. Kemunculan konflik ini ditentukan oleh persepsi dari masing - masing aktor yang berkonflik ketika memandang lawan konfliknya. Persepsi atau bayangan bahwa kepentingan dari aktor lain telah melanggar serta menghalangi kepentingan aktor pertama merupakan latar belakang kelahiran konflik ini. Persepsi atau bayangan tersebut terbentuk berdasarkan pada eksistensi (tidakan) serta pengalaman interaksi yang dari masing-masing aktor. Pengalaman - pengalaman inilah yang kemudian memunculkan pola historis
16
Pondy, Louis R. Organizational Conflict: Concept and Models, __________________. P.306
14
yang menjadi motif dari tiap - tiap aktor untuk mempersepsikan aktor lain yang menjadi lawannya. Untuk mencapai resolusi dalam konflik ini dibutuhkan upaya konfirmasi serta penyamaan pandangan yang tergantung pada seberapa dalam aktor - aktor yang berkonflik mempersepsikan pelanggaran kepentingan yang dilakukan oleh lawannya. -
Konflik Perasaan (Felt Conflict) Konflik ini memiliki level kedalaman yang setara dengan konflik persepsi tetapi memiliki sumber yang berbeda. Munculnya konflik ini dilatarbelakangi oleh faktor emosional dari aktor-aktor yang berkonflik. Biasanya konflik jenis ini memiliki sifat yang terbuka dan terjadi dalam periode waktu yang singkat. Serta memiliki level kedalaman yang relatif tergantung pada tingkat emosional dari masing - masing aktor yang berkonflik saat berhadapan dengan lawan konfliknya. Konflik perasaan akan selesai saat emosi dari tiap – tiap aktor yang berkonflik telah teredamkan atau hilang. Usaha untuk mencapai resolusi dalam konflik ini dapat dilakukan melalui upaya konfirmasi serta penyamaan pandangan yang ditujukan untuk meredam suasana emosional dari pihak - pihak yang berkonflik.
-
Konflik Manifes (Manifest Conflict) Konflik ini merupakan konflik yang memiliki level kedalaman terendah dari ketiga jenis konflik pendahulunya. Dengan ciri khasnya yaitu memiliki sifat yang terbuka serta letupan pertentangan yang letaknya dipermukaan sehingga mudah untuk diketahui, dan biasanya bersandar pada isu - isu turunan yang sifatnya musiman. Konflik jenis ini biasanya muncul sebagai ekspresi atas
15
suatu pesan, gagasan ataupun aspirasi dari isu - isu musiman dan akan reda bila aspirasi tersebut sampai kepada pihak yang menjadi tujuan dari aspirasi tersebut. -
Konflik akibat (Aftermath conflict) Konflik ini merupakan akibat dari suatu usaha pengelolaan atau manajemen konflik yang dilakukan, apakah memuaskan kepentingan dari tiap - tiap pihak yang berkonflik atau belum. Kelahiran konflik ini muncul dari sisa - sisa permusuhan pasca pengelolaan konflik yang tidak selesai atau tidak disepakati. Ketika pengelolaan konflik memuaskan masing - masing pihak maka konflik ini tidak akan dierdam, namun bila pengelolaan konflik tidak mampu mewadahi kepentingan dari tiap - tiap pihak yang berkonflik atau menyisakan masalah -masalah yang tidak selesai maka kondisi tersebut berpotensi menghadirkan konflik jenis ini, yang memiliki potensi berkembang menjadi jenis - jenis konflik sebelumnya.
E.5. Peta Konflik Selain dengan membongkar potensi serta tahapan konfliknya untuk menganalisa secara holistic suatu fenomena konflik, analisa lebih mendalam juga dapat dilakukan melalui pembedahan secara lebih mendalam material pembentuk konfliknya. Usaha untuk menganalisa secara lebih mendalam material pembentuk konflik inilah yang sering disebut sebagai Peta Konflik. Peta konflik merupakan gambaran kronologis proses eskalasi dari suatu fenomena konflik yang dihimpun dengan cara mendiskripsikan secara rinci proses eskalasi dari suatu konflik ke dalam plot - plot diskripsi tentang siapa saja aktor - aktor yang terlibat dalam
16
konflik, bagaimana perjalanan dinamika konfliknya, serta hal - hal apa saja yang menjadi sumber konfliknya. 17 Penyusunan peta konflik menjadi penting disini, karena melalui peta konflik inilah runutan kronologis dari suatu fenomena konflik dapat diketahui, dan hal- hal apa saja yang akan muncul di masa depan dari suatu konflik dapat diprediksi melalui peta konflik. Bahkan dalam usaha manajemen konflik penyusunan peta konflik menjadi kewajiban sebelum suatu kebijakan pengelolaan dari suatu konflik diambil. Inilah beberapa hal yang melandasi mengapa peta konflik perlu disusun. Berikut adalah beberapa hal yang perlu untuk dikaji dalam penyusunan peta Konflik : E.5.1. Aktor dan Interaksi Antar-aktor yang Berkonflik Aktor konflik adalah pihak-pihak yang terlibat didalam suatu konflik, bisa individu, kelompok bahkan instansi. Mereka memiliki pola interaksi, kekuatan dan kepentingan yang berbeda-beda antara pihak satu dengan pihak lainnya. Dalam menjelaskan interaksi antar aktor, terdapat empat jenis model interaksi yang sering dijadikan basis analisa untuk melihat interaksi antar aktor seperti apa yang terdapat dalam suatu konflik, keempat jenis model interaksi tersebut antara lain; interorganisasional, intergroup, interpersonal dan intrapersonal. 18 Prefix inter digunakan untuk menggambarkan kondisional hubungan “between (antar)” dari pihak-pihak yang berkonflik. Prefix intra digunakan untuk merujuk pada gambaran kondisional “within (dalam)” diri satu pihak yang berkonflik saja. 19 1) Konflik interorganisasional adalah konflik yang terjadi didalam hubungan
17
Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Penerbit LKIS Yogyakarta, Yogyakarta : 2005. P.258-260. 18 Kumar, Arun. Conflict Resolution: Group and Inter-group Processes,_____________. P. 54. 19 Ibid P 55-57
17
antara dua organisasi atau lebih. Konflik ini memiliki potensi untuk menjadi fungsional maupun disfungsional. Tergantung pada keputusan yang diambil oleh Actor (organisasi-organisasi) yang berkonflik dalam memahami kondisi pertentangan
kepentingan
yang
terjadi.
Ketika
mereka
memaknai
pertentangan tersebut sebagai suatu sarana kompetisi untuk meningkatkan kualitas organisasi, maka konflik akan berkembang menjadi konflik fungsional (yang memiliki potensi positif), tetapi jika mereka sepakat untuk memaknai konflik sebagai sarana menjatuhkan lawannya, maka konflik akan berkembang menjadi konflik disfungsional. 2) Konflik intergroup adalah konflik yang terjadi antara dua group atau lebih sebagai Actornya. Group disini berbeda dengan organisasi, bila konflik intreorganisasi memandang organisasi sebagai satu kesatuan tubuh organisasi, dalam pengertian badan atau instansinya (legal - formal). Sementara penekanan spesifikasi kata group pada Konflik intergroup, lebih mengarah ke komunitas - komunitas pembentuk organisasi atau diluar organisasi (informal), seperti kelompok, departemen, tim, faksi, dan lain sebagainya. Kharakteristik konflik intergroup terletak pada, ketika terjadi konflik kumparan-kumparan yang membentuk tiap-grup menjadi lebih bersatu, fokus dengan tujuannya dan loyalitas antar-anggotanya meningkat. Dalam tradisi konflik intergroup, out-grup (grup luar) dianggap sebagai musuh, rasa permusuhan dan tindakan saling halang-menghalangi antaranggota grup, terpengaruh/diturunkan dari pertentangan grup masing-masing. Ketika
menghadapi
kondisi
pertentangan
kepentingan
antar-group
18
dibutuhkan pengelolaan yang hati-hati dan perhatian estra (penyelesaian harus tuntas) agar tidak mengarah kepada konflik lanjutan. Walaupun ranah yang paling berpengaruh adalah emosional, tapi dalam konflik intergroup, sifat emosinalnya memiliki kedalaman yang tinggi (tersimpan dalam konsep dendam), potensi yang timbul selalu merugikan (kebanyakan destruktif) dan siklus waktu pertentangannya relative lama karena kebutuhan penyelesaian menyeluruh (tuntas) untuk mengembalikan stabilitas hubungan seperti sediakala. 3) Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antara dua orang individu atau lebih. Penyebab timbulnya konflik ini adalah perbedaan persepsi antarindividu yang berkonflik mengenai masalah, situasi, norma dan nilai. Kharakteristik klasik timbulnya konflik tersebut karena masalah pada control dan alokasi sumberdaya (uang, wilayah, pengaruh) yang tidak merata. 4) Konflik Intrapersonal adalah konflik yang terjadi didalam diri seseorang. Landasan mengapa seorang individu dapat berkonflik dengan dirinya sendiri adalah karena apa yang dipikirkannya atau diharapkannya (ekspektasi) tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Demikianlah empat corak interaksi antar aktor yang umumnya muncul dalam suatu konflik. E.5.3. Dinamika Konflik Dinamika konflik adalah proses (siklus hidup) dari suatu fenomena konflik, inti dari siklus ini adalah contention/ Pertentangan (kondisi saling sandra) yang disebabkan oleh benturan kepentingan antar-pihak yang berkonflik yang
19
mengganggu usaha pemenuhan kepentingan dari masing-masing pihak. Salah satu model dinamika (proses) konflik yang sering dirujuk untuk menjelaskan siklus hidup suatu konflik adalah model resolusi konfik dari Donelson Forsyth 20.
Gambar 1.2. Dinamika Konflik dari Donelson Forsyth Sumber : Group Dynamics, (2010)
Model tersebut secara general menjelaskan siklus hidup yang akan dilalui oleh suatu fenomena konflik, terdapat kurang-lebih enam tahap perkembangan (periode hidup) yang akan dilalui oleh konflik dari natality (kelahiran) hingga mortality-nya (kematiannya) yang akan kembali pada stabilitas seperti semula 21. Enam tahapan hidup konflik yang diajukan Donelson Forsyth adalah: 1) Disagreement (perpecahan awal - Prakonflik) : situasi awal mula terjadinya konflik, situasi atau pristiwa yang menyulut konflik, awal kondisi ketidaksesuaian
kebutuhan,
nilai,
persepsi,
kekuasaan
dan
perasaan
antarpihak-pihak yang berkonflik. 20 21
Opcit Kumar, P 61 Ibid P 61
20
2) Confrontation (Konfrontasi) : adalah kondisi ketika konflik makin terbuka, pernyataan atau pengungkapan mengenai perbedaan kebutuhan, persepsi, kekuasaan, nilai atau tujuan antara pihak yang berkonflik dinyatakan secara terbuka dan terang-terangan. 3) Escalation (Eskalasi) : Aktualisasi dalam bentuk tidakan (action) hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Dapat dikatakan sebagai perjuangan untuk memenangkan kepentingan dari suatu pihak, yang sebelumnya terhalang oleh kondisi pertentangan (persepsi saling sandra) perbedaan tujuan/kepentingan dengan pihak lawannya. Aplikasi dari bentuk tindakan (action) ini dapat melalui perjuangan diplomatis dalam forum-forum diskusi, public hearing, debat atau mengambil bentuk konfrontasi yang sifatnya fisik seperti demonstrasi, aksi kekerasan, dan pendudukan (occupy) yang biasanya menimbulkan destruktif. 4) De-escalation (Akibat setelah Eskalasi) : dampak atau implikasi dari proses aktualisasi konflik, biasanya berbentuk respon pasca krisis-ketegangan antar pihak yang berkonflik, bentuknya antara-lain pernyataan menyerah, membuka kesempatan bernegosiasi, konsiliasi dan lain sebagainya. 5) Resolusion (resolusi Konflik), adalah proses pengelolaan implikasi konflik atau usaha membangun hubungan-baru yang bisa tahan lama diantara-actor yang berkonflik melalui jalur hukum (litigasi) atau non litigasi,. 6) Routine group Interaction (interaksi Pascakonlik) : adalah situasi terakhir setelah proses pengelolaan konflik, proses stabilisasi hubungan. Apakah bertambah baik, bertambah buruk atau situasi kembali ke kondisi stabilisasi
21
prakonflik. E.5.2. Penyebab/Sumber Konflik Konflik terjadi karena ada benturan kepentingan antar-pihak yang berkonflik, yang mana melalui benturan tersebut terciptalah kondisi death lock, atau kondisi saling menyandra dan saling menghalangi proses pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh tiap-pihak yang saling berinteraksi. Benturan dan kondisi saling menyandra ini, tidak akan mungkin terjadi bila tidak ada penyebab atau sumber yang mengkondisikan terbentuknya 22. Berikut adalah beberapa prasyarat kondisional yang menjadi penyebab atau sumber terjadinya konflik : 1) Ada sejumlah pihak (individu atau kelompok) yang merasa dibedakan, dipisahkan, dianak-tirikan dari suasana kebersamaan. Biasanya konteksnya ada pada ikatan-ikatan seperti agama, bangsa, komunitas, dan lain sebagainya. 2) Tidak adanya interaksi antar anggota suatu kelompok/komunitas. Interaksi biasanya erat kaitannya dengan “kontak dan komunikasi”, bilamana suatu kelompok/komunitas tidak memiliki mekanisme untuk mengatur komunikasi antar-anggotanya maka rentan terjadi konflik didalamnya. 3) Adanya perbedaan posisi atau peran dari para anggota kelompok karena hirarkies relasi dalam suatu pekerjaan. Semakin kaku hirarkienya biasanya kemungkinan untuk terjadi suatu konflik akan terbuka. 4) Adanya kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumberdaya, yang membuat banyak orang tidak puas terhadap pemenuhan kebutuhan adalah ketidakadilan dalam distribusi sehingga menimbulkan kelangkaan yang 22
Opcit Liliweri, P 260-261
22
membuka kesepatan kepada konflik. E.6. Manajemen Konflik Setelah interaksi antar aktor, perjalanan dinamika konflik serta sumber konflik dapat dipetakan dalam deskripsi kronologis peta konflik. Aksi selanjutnya adalah me-manaje konflik, manajemen konflik adalah usaha mengelola konflik melalui tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasikan dan dievaluasi dengan tujuan untuk mengakhiri suatu konflik 23. Usaha ini harus dilakukan sejak ketegangan belum ber-eskalasi ke level yang lebih tinggi dan potensi destruktif muncul, karena konflik merupakan sebuah resiko yang mengancam suatu system membutuhkan penanganan yang tepat dalam pengelolaannya. Banyak literature mengungkapkan bahwa melalui pengelolaan konflik (manajemen konflik) aspirasi dari tiap aktor yang berkonflik dapat dijamin agar tersalurnya dan tertampung dalam suatu wadah negosiasi yang adil. 24 Terdapat beberapa style/model startegi yang biasanya dijadikan rujukan dalam manajemen konflik, tetapi yang paling sering dirujuk adalah dual concern model. Dual concern model adalah model manajerial yang dibuat oleh Blake dan mounton (1962) yang membagi pengelolaan konflik kedalam lima strategi yaitu Forcing, Collaborating, Avoiding, Accommodating dan Compromising. 25 Kelima strategi tersebut diklasifikasikan berdasarkan kebijakan yang diambil oleh tiap pihak yang berkonflik dengan membandingkan indikator kedalaman tingkat ketegasan (assertivitas) yaitu sejauh mana satu pihak berniat memuaskan dan peduli pada diri sendiri, dan kerjasama (kooperativitas) yaitu sejauhmana satu pihak berniat 23 24 25
Opcit Liliweri, P 288-290 Opcit Arida, P 58 Opcit kumar. P. 64
23
memuaskan dan peduli pada pihak lain, yang muncul dalam suatu fenomena konflik. 26 Dual concern model inilah yang juga menginspirasi Pruitt dan Rubin membuat empat kalisfikasi teoritis strategi pengelola konflik contending, problem solving, yielding, dan withdrawing (inactio). 27
Gambar 1.3. Strategi Manajemen Konflik Blake dan Mounton Sumber : Teori Konflik Sosial (2004)
-
Forcing (memaksa): adalah strategi memaksakan kehendak (kepentingan) kepada pihak lawannya. Pihak yang menerapkan strategi ini mencoba untuk mengedepankan pemenuhan kepentingannya diatas kepentingan orang lain maupun kepentingan umum. Caranya adalah dengan bertindak tegas menempatkan diri pada posisi tetap/tidak dapat berubah, taktik yang dipakai dalam metode ini memiliki tingkat assertivitas yang tinggi seperti ancaman, hukuman, atau berbagai tindakan sifatnya mendahului pihak lawannya.
26 27
Avoiding
(menghindar):
adalah
strategi
yang
melibatkan
taktik
Opcit Liliweri, P 305-309 Opcit Pruitt dan Rubin, P 63-68
24
“penghentian usaha” untuk mengatasi atau memenangkan konflik. Ketika satu pihak yang berkonflik memutuskan untuk membatalkan kepentingan dan tujuannya dalam konflik atau ketika satu pihak yang berkonflik mengundurkan diri dari interaksi ketegangan yang dihadapinya, merupakan aplikasi dari strategi ini. -
Accommodating (menampung): adalah strategi menurunkan tuntutan, atau tingkat kepentingan dalam konflik serta memberikan ruang bagi pemenuhan kepentingan pihak lawan dengan jalan meletakan kepentingan pihak
lawan
diatas
kepentingan
pihaknya
sendiri
dalam
usaha
penyelesaian konflik. -
Compromising (kompromi): adalah strategi menjaga hubungan atau interaksi dengan pihak lawan, melalui usaha memindahkan atau melembagakan ketegangan ke dalam ruang-ruang dialog dua arah untuk kebijakan penyelesaian konflik yang tepat.
-
Collaborating (kolaborasi): adalah strategi jalan tengah dengan mendorong tiap pihak yang berkonflik untuk bersepakat mengakomodir kepentingan masing-masing dalam sebuah kesepakatan bersama dan berusaha mencari jalan tengah (alternative) penyelesaian konflik yang tidak merugikan masing-masing pihak. Dual Concern model adalah model strategi manajemen konflik yang
sering dipakai dalam berbagai upaya pengelolaan konflik melalui tatap muka langsung antar-aktor yang berkonflik. “Perundingan atau Negosiasi” merupakan forum tawar menawar yang biasanya dirujuk untuk mempertemukan tiap actor
25
yang berkonflik secara langsung guna mencari kesepakatan menuju penyelesaian konflik secara damai. Dalam forum-forum tatap muka langsung tersebut, pihakpihak yang berkonflik biasanya menunjuk seorang wakil (Negosiator) untuk memperjuangkan aspirasi atau kepentingan masing-masing pihak dalam forum negosiasi.
Seorang
Negosiator
harus
memiliki
kecakapan
untuk
mengkomunikasikan pilihan-pilihan strategi pengelolaan konflik (Forcing, Collaborating, Avoiding, Accommodating dan Compromising) yang dipercayakan untuk diperjuangkan mereka, tetapi secara garis besar masih terdapat beberapa kekurangan dari model-model strategi manajemen konflik ini. Kekurang yang paling terlihat terdapat pada lingkup / skala keterjangkauan model ini terhadap kondisi-kondisi ketegangan yang tidak bisa mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik. Hal ini terjadi karena dual concern model hanya menitikberatkan pada penyelesaian konflik secara langsung (tatap muka
langsung).
Sementara banyak tipe konflik yang memiliki level kedalaman serta umur yang relative lama, yang sering mengkondisikan para pihak yang berkonflik tidak bisa bertemu secara langsung dalam suatu forum negosiasi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan konflik berada dalam kondisi stagnan, berlarut-larut dan kebanyakan menjadi dendam cultural yang sering diturunkan dari generasi ke generasi. Untuk menghadapi kondisi ketegangan seperti itu diperlukan model pengelolaan konflik yang membutuhkan intervensi dari pihak ketiga. 28 Dalam alternative pelibatan pihak ketiga, upaya yang ditempuh dapat dibagi menjadi dua jalur utama yaitu (1) Jalur Litigasi: upaya penyelesaian konflik melalui jalur formal-yuridis, dengan menyerahkan masalah dan 28
Opcit Liliweri, P 343-359
26
penyelesaiannya kepada aparatur Penegak Hukum Formal (Pengadilan) sebagai pihak ketiga dan diselesaikan melalui kaidah-kaidah hukum yang berlaku, mengikat dan tidak dapat diganggu gugat. (2) Jalur non Litigasi: upaya penyelesaian konflik melalui jalur non yuridis, yang lebih bersifat kekeluargaan dan informal. Terdapat kurang-lebih empat strategi yang biasanya dipakai dalam intervensi pihak ketiga, empat strategi tersebut adalah arbitrasi, mediasi, konsiliasi serta konsultan. Syarat utama aktifasi penyelesaian konflik melalui pelibatan pihak ketiga ini adalah jika antar-pihak yang berkonflik gagal merumuskan solusi melalui negosiasi atau penyelesaian langsung, maka strategi ini baru dapat digunakan. 29 Pihak yang berkonflik dapat menunjuk pihak ketiga untuk berperan sebagai arbitrator, mediator, konsiliator atau konsultan. 30 Arbitrasi (wasit) adalah strategi resolusi konflik dengan menunjuk pihak ketiga sebagai Arbitrator atau wasit yang memiliki otoritas untuk memfasilitasi proses negosiasi konflik dan memutuskan solusi penyelesaian konflik berdasarkan kontrak atau persetujuan yang mengikat dan harus dipenuhi pihak-pihak yang berkonflik, tugas pokok dari seorang arbitrator sering disamakan dengan tugas pokok dari wasit yaitu sebagai fasilitator yang memiliki wewenang untuk mengatur terselenggaranya proses negosiasi. Metode Arbitrasi ini biasanya dipilih ketika penerapan negosiasi antar pihak yang berkonflik mengalami kebuntuan (death lock). Terdapat juga badan Arbitrasi yaitu sebuah institusi (panel) yang diakui secara yuridis untuk menyelesaikan konflik diluar intitusi Peradilan (Hukum). Pihak-pihak yang
29 30
Ibid P 345-350 Ibid P 355-359
27
berkonflik menyerahkan penyelesaian masalah persengketaannya kepada Otoritas Arbitrasi, yang bertugas mendengarkan aspirasi pihak-pihak yang berkonflik, memutuskan solusi yang sebaiknya diambil dan memaksakan pelaksanaan keputusan yang telah diambil sebagai upaya penyelesaian konflik. Dengan berdasarkan semacam kontrak kepercayaan kepada badan Arbitrasi untuk menyelesaikan konflik, pihak-pihak yang berkonflik harus mentaati keputusan penyelesaian konflik yang diambil oleh badan Arbitrasi. Keuntungan menggunakan metode Arbitrasi adalah bahwa metode arbitrasi selalu menghasilkan keputusan/solusi penyelesaian konflik. Mediasi (penengah) adalah strategi penyelesaian konflik dengan pelibatan pihak ketiga yang netral, yang bertugas mempermudah suatu perundingan agar berjalan. Orang yang memandu/pelaksana mediasi disebut Mediator. Prinsip utama yang harus diperhatikan seorang mediator adalah netral, komunikatif, informatif dan inovatif. Seorang mediator juga harus dapat menumbuhkan minat pihak-pihak yang berkonflik untuk aktif dan partisipatif dalam proses perundingan keputusan. Cara kerja metode mediasi adalah dengan memadukan aspirasi dari pihak-pihak yang berkonflik agar memperoleh kesatuan pandangan dan mengawal pihak-pihak yang berkonflik dalam
berdialog
guna
merumuskan
solusi
yang
sebisa
mungkin
menguntungkan/menawarkan kemenangan diantara kedua belah pihak (winwin solution). Efektifitas dan efisiensi dari metode ini sangat tinggi dengan tingkat penyelesaian konflik rata-rata 60 persen dan kepuasan serta kemampuan menampung aspirasi antar-pihak dalam perundingan rata-rata
28
sekitar 75 persen, membuat metode ini sering dijadikan rujukan untuk merumuskan resolusi suatu konflik. Konsiliasi (perujuk) adalah strategi penyelesaian konflik dengan penunjukan pihak ketiga sebagai konsiliator (perujuk/penjembatan) yang berperan menjadi penghubung diantara pihak-pihak yang berkonflik tetapi memiliki sisi keberpihakan untuk memperjuangkan kepentingan dari salah satu pihak. Seorang konsiliator memiliki fungsi yang lebih dari pada seorang penjembatan, ia harus memiliki kemampuan berjejaring, komunikatifinformatif dan mampu menginterpretasikan suatu informasi/fakta/pesan dan mampu membujuk pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Terakhir, Konsultan adalah strategi penyelesaian konflik dengan penunjukan pihak ketiga yang netral dan terampil melakukan komunikasi dan analisis manajemen konflik sesuai dengan pengetahuannya, sehingga memudahkan upaya penyelesaian konflik. Fokus dari peran Konsultan tidak berada pada upaya penyelesaian konflik tetapi lebih kepada perbaikan hubungan antarpihak yang berkonflik melalui pengkajian dan analisis konflik secara rigid untuk membantu proses pemahaman kepentingan dan potensi pihak-pihak yang berkonflik agar dapat saling mengerti, bekerja sama dan sadar diri. Tanggung jawab dari metode sangatlah besar yaitu membina persepsi dan mengoptimalkan potensi-potensi positif fungsional yang dimiliki pihak-pihak yang berkonflik. Pada umumnya konflik masih sering dipandang sebagai suatu hal negative dan memiliki sifat yang destruktif, tetapi bila konflik dapat dimanaje/dikelola
29
dengan baik kita akan menemukan sisi-sisi positif dan produktif dari konflik. Sebab konflik adalah pintu gerbang dari proses perubahan dan kesempatan untuk merekonsturksi diri menjadi lebih baik. E.7. SUPORTER Kata Suporter dalam British dictionary berasal dari kata benda (noun) dalam bahasa Inggris “Support” dengan suffict “-er” untuk menyebut orang yang memberikan dukungan kepada suatu hal (organisasi, klub olahraga atau politisi). 31 Dalam sepakbola kata supporter sering disama-artikan dengan dua kata sebutan lain yaitu, kata fans dari Fan(atic) untuk menyebut orang yang menyenangi atau mengagumi suatu klub/tim sepakbola dan kata spectator untuk menyebut penonton atau orang yang rela mengorbankan waktu dan materi untuk datang menonton langsung (distadion) maupun tidak langsung pertandingan sepakbola. Sementara itu dalam tulisan ini penulis menggunakan kata suporter sebagai sebutan untuk kelompok atau komunitas pendukung dari suatu klub/tim sepakbola yang memiliki makna lebih dalam dari pada dua kata diatas. Kehadiran kelompok suporter yang selalu mensupport dukungan baik moril maupun materil kepada klub/tim sepakbola yang didukungnya, landasan dasarnya adalah kecintaan terhadap klub/tim tersebut. Dalam kajian sosiologis komunitas suporter memenuhi syarat untuk disebut sebagai kelompok sosial (social group), karena terjadi hubungan timbal balik didalam kelompok tersebut, memiliki satu kesatuan sosial yang mengikat,
31 31
Lihat http://www.dictionary.com/ british dictionary definitions for support-er (noun); 1. A person who or thing that acts as a support. 2. A person who backs a sports team, politician, etc. Definisi dari web ini diambil dari Collins English Dictionary - Complete & Unabridged 2012 Digital Edition, William Collins Sons & Co. Ltd.
30
pengorganisasian struktur serta pembagian tugas yang cukup jelas didalamnya. 32 Menurut Bierstedt terdapat empat jenis kelompok sosial (social group), antara lain; (1) Kelompok Asosiasi: yang para anggotanya diikat dalam kesamaan kesadaran, kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok serta didalamnya tedapat interaksi sosial dan organisasi (formal/informal) yang mengatur kelompok, (2) Kelompok Sosial: yang para anggotanya diikat oleh kesamaan kesadaran dan kepentingan seperti kelompok asosiasi tetapo mereka tidak dibatasi oleh ikatan organisasi, (3) Kelompok Kemasyarakatan: yang merupakan kelompok sosial yang memiliki tumpuan satu ikatan saja yaitu persamaan kesadaran, bahkan belum ada interaksi dan komunikasi dalam kelompok tersebut dan terakhir (4) Kelompok Statistik: yang merupakan kelompok sosial yang tidak memiliki ikatan kesamaan kepentingan, kesadaran, interaksi sosial bahkan ikatan organisasi. 33 Bila merujuk pada teori klasifikasi kelompok sosial diatas komunitas suporter dapat dimasukan ke dalam jenis kelompok Asosiasi, karena dikat oleh ikatan emosional yaitu persamaan perasaan ‘cinta’ terhadap klub/tim yang didukung sebelum kemudian memunculkan solidaritas, identitas dan struktur organisasi (entah formal maupun informal) yang mengatur kelompok tersebut. Kekuatan kelompok suporter terletak pada jumlah (kwantitas) kumparan massa yang dimilikinya, tetapi karena landasan dasar kehadiran mereka adalah ikatan emosional (kecintaan) terhadap klub membuat mereka tidak stabil dan rentan ter-provokasi oleh berbagai pihak baik dari dalam ataupun luar kumparan masa mereka. Inilah latar belakang mengapa banyak pihak yang memandang
32 33
Syahrial Syarbaini dan Rusdiyanta. Dasar-dasar Sosiologi. Graha Ilmu, Yogyakarta : 2009. P. 75 Ibid P. 76-77
31
kelompok suporter sebagai suatu ancaman keamanan yang mengganggu. Suporter adalah massa yang kongkrit, terukur kuantitasnya, dan kepentingannya jelas sehingga bila dilihat dari sudut pandang keilmuan politik kekuatan massa suporter ini dapat dimobilisasi untuk memperjuangkan suatu kepentingan politik, maka tak jarang kelompok suporter terutama di negeri ini sering dijadikan mesin politik. E.8. Fanatisme Suporter Fanatisme (atau kecintaan berlebih) yang dimiliki komunitas-komunitas suporter ini biasanya tumbuh dan berkembang karena dipengaruhi oleh (1) primodialisme kedaerahan yang muncul karena kebanggaan terhadap klub/tim yang mewakili (daerah, institusi atau kelompoknya) dan (2) pencapaian prestasi yang diperoleh klub/tim yang mereka dukung, kedua hal tersebut turut menyumbang berkembangnya gengsi dan prestis dari suatu kelompok pendukung (suporter) yang sering menjadi sumber konflik dan aksi-aksi kontra produktif dalam olahraga. Fenomena fanatisme ini paling sering ditemui pada kelompokkelompok suporter dalam Sepakbola. Tidak dapat dipungkiri bahwa hari ini, sepakbola adalah olahraga yang paling popular dan memiliki peminat yang banyak. Sementara itu supporter dalam sepakbola sering diibaratkan sebagai pemain kedua belas yang juga ikut berjuang membela klub/tim, lewat kehadiran serta dukungan yang mereka berikan kepada klub saat bertanding. 34 Bagi mereka nama besar klub dan martabat dari klub adalah suatu hal yang wajib hukumnya untuk mereka junjung, dan bila ada pihak lain yang melecehkan atau
34
Opcit. Guilianotti. P 61
32
merendahkan martabat klubnya maka tak jarang suporter akan membela matimatian klub tersebut. Supporter juga merupakan identitas sosial yang membedakan antara pendukung suatu klub dengan klub lainnya. Pembahasan lebih rinci mengenai supporter dan sepakbola akan dibahas dalam bab selanjutnya yang terdapat pada tulisan ini. F. Metode Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi perjalanan kasus pengelolaan konflik yang terjadi di dalam tubuh suporter PSS Sleman. Penelitian ini meneliti suatu fenomena kasus kontemporer yang memiliki ruang lingkup spesifik dan sifat insidental maka peneliti menggunakan metode case study (studi kasus) sebagai metode penelitian untuk mengkaji kasus tersebut. Studi kasus memiliki dua fungsi yaitu fungsi penjelasan (explanatory) dan diskripsi (diskriptive), sehingga diharapkan melalui metode ini sisi “Bagaimana” dan “Mengapa” dari kasus yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini dapat tereksplorasi secara lebih mendalam 35. Dalam diatas
gambar dijelaskan
bahwa metode studikasus
memiliki
ruang jelajah yang Gambar 1.4. Tabel Lima Tradisi Penelitian Kualitatif Sumber : Qualitative Inquiry And Research Design:
terdapat pada suatu
Choosing Among Five Traditions (1998) 35
Creswell, John W. Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing Among Five Traditions. London: SAGE Publications, 1998. P15-17
33
kasus, atau suatu kejadian yang mencakup individu, kelompok hingga potret suatu kehidupan yang terjadi didalam masyarakat. 36 Secara singkat Creswell memetakan beberapa kharakteristik khas dari metode studi kasus yang membedakannya dengan metode-metode penelitian lain, beberapa kharakteristik khas tersebut antara lain 37: -
Cocok digunakan untuk penelitian yang fokusnya adalah identifikasi “kasus/peristiwa”
-
Kasus yang diteliti merupakan suatu sistem yang terikat oleh batasan waktu (temporal) dan tempat (special)
-
Usaha pengumpulan data dalam studi kasus dituntut mampu memberikan gambaran terperinci tentang suatu pristiwa
-
Menggunakan metode studi kasus peneliti akan “menghabiskan waktu” untuk menggambarkan konteks dan setting suatu kasus.
Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode ini untuk mengupas kasus yang ditelitinya secara lebih mendalam serta untuk mencapai tujuan penelitiannya. G. Teknik Pengumpulan Data G.1. Sumber Data Metode penelitian studi kasus memiliki tujuan untuk membangun gambaran mendalam dari suatu kasus, oleh karena itu pengumpulan data dalam studi kasus harus (kaya) memiliki banyak metode. 38 Terdapat enam sumber data
36
Ibid P 17 Robert K. Yin Case Study Research Design and Methods (Third edition), Sage publication, Thousand oaks California, 2003. P128-130 . 38 Ibid P 130 37
34
yang dapat dijadikan instrument pengumpulan data dalam studi kasus yaitu dokumentasi, rekaman arsip, wawancara, obervasi langsung, observasi partisipatif dan perangkat fisik. Akan tetapi pengumpulan data pendukung dalam penelitian ini peneliti hanya mengunakan sekitar empat instrument pengumpulan data yaitu: G.1.1 Dokumentasi Sumber data yang diambil dari literature-literature dokumen yang memuat issue/masalah yang menjadi focus penelitian. Literature-literatur tersebut antara lain dokumen-dokumen surat, memorandum, pengumuman resmi, agenda, kesimpulan-kesimpulan pertemuan, dokumen administratif, Buku, artikel-artikel lain yang muncul di media massa (Koran, internet, majalah, jurnal) terutama yang berhubungan dengan berita mengenai sepakbola dan kerusuhan suporter. G.1.2. Wawancara mendalam (in-depth Interview) Wawancara dilakukan melalui kontak langsung dengan narasumber. Wawancara mendalam (depth Interview) dipilih sebagai salah satu mekanisme pengumpulan data karena melalui depth Interview diharapkan kejelasan dan kedalaman data yang dibutuhkan peneliti dapat diperoleh dari narasumber. Selain itu melalui depth interview pengkroscekan langsung apakah data yang didapat valid dan pantas dicantumkan sebagai sumber data atau tidak, dapat terverifikasi secara otomatis karena terukur tingkat kedalaman dan kejelasan informasi yang didapat peneliti. Dalam wawancara mendalam pemilihan narasumber adalah kunci mencapai kedalaman informasi. Dalam penelitian ini, beberapa narasumber yang telah peneliti wawancarai antara lain: Pengurus Komunitas Suporter Slemania seperti Ketua Slemania dan beberapa
35
tokoh yang pernah terlibat membidangi Slemania 1. Ketua Slemania : R Supriyoko yang peneliti wawancarai pada tanggal 15 Agustus 2014 2. Humas Slemania 2005-2009 : Sulistyo Budhi yang peneliti wawancarai pada tanggal 24 Maret 2014 3. Pemimpin Litbang Slemania 2005-2009: Dr. Hempri Suyatna yang peneliti wawancari pada tanggal 24 Februari 2014, 19 maret 2014 dan beberapa diskusi informal pada periode bulan Juni-Juli 2014. 4. Sesepuh Slemania : H. Sukidi Cakrasuwignyo yang peneliti wawancarai pada tanggal 21 Mei 2014 Pengurus dan beberapa tokoh Komunitas Suporter Ultras PSS sekarang Brigata Curva Sud (BCS) 1. Pegiat Laskar Ultras PSS : Tonggos yang peneliti wawancarai pada tanggal 10 April 2014 2. Pegiat komunitas Brigata Curva Sud : Batak dan Deden “the jack” yang peneliti wawancarai pada tanggal 12 April 2014 Tokoh pemerhati Sepakbola dan Suporter di Indonesia (khususnya di Jogja). 1. Beberapa diskusi baik formal dan informal dengan Faris Rusydi, seorang pengamat sepakbola sekaligus pegiat Fanbase Arema Jogha pada tanggal 27 Maret 2014 2. Beberapa diskusi baik formal dan informal pada periode bulan MaretAgustus 2014 dengan Mas Yoga, seorang pengamat sepakbola Yogyakarta
36
dan pegiat di komunitas bawah-skor (grup diskusi sepakbola Yogyakarta). 3. Beberapa diskusi informal dengan Farid Mudatsir seorang mantan pegiat Ultras tribun Selatan Maguwoharjo pada periode bulan Juni-Agustus 2014. G.1.3. Observasi langsung Observasi langsung memungkinkan untuk peneliti dapat mengamati gejala yang terjadi terhadap objek penelitiannya secara langsung, dengan terjun dan membaur kedalam objek penelitian. Tujuan dari obervasi langsung adalah untuk mendapatkan pemahaman mengenai perilaku dan hal-hal yang mempengaruhi objek penelitian secara langsung, dengan cara mendistorsi jarak antara peneliti dengan hal yang diteliti. Model observasi langsung yang dapat peneliti terapkan dalam riset penelitiannya adalah dengan membaur bersama komunitas-komunitas suporter tersebut disekre masing-masing komunitas maupun membaur bersama mereka turut-serta memberi dukungan kepada klub yang didukung saat bertanding dalam laga distadion. H. Lokasi Penelitian Penelitian yang akan penulis lakukan ini berada di seputaran: Sekretariat Slemania Sayap timur Stadion Maguwoharjo Sleman, Sekretariat Brigata Curva Sud (BCS) Condong Catur, dan kawasan Stadion Maguwoharjo ketika digelar pertandingan PSS Sleman .I. Teknik Analisis Data Analisis studi kasus memiliki kesamaan dengan analisis yang terdapat dalam metode etnografi yang mengedepankan deskripsi terperinci kronologi dari
37
suatu pristiwa. 39 Teknik analisis dalam studi kasus terbagi dalam tiga teknik analisis pokok, yaitu (1) penjodohan pola, membandingkan pola yang didasarkan atas data empirik dengan pola yang diprediksikan (atau dengan beberapa prediksi alternatif). Jika kedua pola ini ada persamaan, hasilnya dapat menguatkan validitas internal studi kasus yang bersangkutan. (2) Pembuatan eksplanasi, dengan cara membuat suatu penjelasan terperinci tentang kasus yang bersangkutan, dan terakhir (3) Analisis deret-waktu, yang banyak dipergunakan untuk studi kasus terutama mencari alur-kronologi suatu pristiwa. 40 Analisis deret-waktu
inilah
yang
juga
digunakan
peneliti
sebagai
mekanisme
penghimpunan peristiwa-peristiwa pokok yang menjadi sumber data untuk mengkaji pengelolaan konflik. Diskripsi kronologis yang nantinya didapatkan dari analisis deret-waktu inilah yang akan dijadikan landasan pembentuk peta konflik atau runutan kronologis perjalanan eskalasi dan pengelolaan suatu konflik seperti tujuan awal penelitian ini.
39 40
Ibid P 125 Ibid P 133
38
J. Sistematika Bab I.BAB 1 Pendahuluan Manajemen Konflik: Dualisme Suporter PSS Sleman Pada bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konseptual, definisi operasional, dan metode penelitian. II.BAB 2 Sepakbola dan Konflik Pada bab ini dipaparkan berbagai penjelasan dasar dan konsep-konsep kunci mengenai sepakbola, suporter dan konflik antar-suporter. III.BAB 3 Pergulatan Mencari Bentuk Suporter Indonesia Pengalaman Suporter PSS Sleman Pada bab ini dijelaskan secara singkat profil mengenai sejarah perjalanan hidup klub PSS Sleman, komunitas-komunitas suporter yang setia mendukungnya dan perjalanan terbentuknya komunitas-komunitas suporter pendukung PSS Sleman serta perjalanan dinamika Konflik (Peta Konflik) yang terjadi dalam tubuh suporter PSS Sleman. IV.BAB 4 Kesimpulan Pada bab ini dijelaskan bagaimana masing-masing aktor mengorganisasikan diri, membentuk nilai-nilai identitas perlawanan serta jalur resolusi atau keputusan penyelesaian apa saja yang akhirnya ditempuh kedua kubu yang berkonflik untuk menyelesaikan konflik antar kedua kubu suporter PSS Sleman tersebut hingga kedua kelompok tersebut dapat bersinergi serta berdampingan seperti sekarang ini. *** 39