1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Gunung Sinabung tidak pernah meletus sejak 400 tahun yang lalu yaitu tahun 1600 tetapi mendadak aktif kembali dengan meletus pada tahun 2010 dan tercatat dua orang warga meninggal dunia dan 30.000 orang kehilangan tempat tinggal mereka. Gunung api ini menunjukkan tanda-tanda aktif kembali pada bulan September setelah tertidur selama tiga tahun. Gunung Sinabung meletus pada Senin malam (30/12) dan memaksa lebih dari 19.000 orang mengungsi (BBC, 2013). Letusan-letusan Gunung Sinabung masih terus berlangsung. Pada Sabtu, 3 Januari 2015, Gunung Sinabung kembali mengeluarkan debu vulkanik disertai awan panas yang menjalar empat kilometer ke arah selatan. Jumlah pengungsi mencapai 2.443 jiwa atau 795 kepala keluarga yang ditempatkan di tujuh titik pengungsian (Ananda, 2015). Gunung Sinabung kembali mengeluarkan awan panas dan debu vulkanik, Kamis, 3 April 2015 sekitar pukul 20.00 WIB (Permana, 2015). Pada Selasa 2 Juni 2015, status Gunung Sinabung dinaikkan menjadi awas seiring dengan peningkatan aktivitas gunung yang terus meningkat tajam. Volume kubah lava juga meningkat menjadi lebih dari tiga juta meter kubik dan labil. Terdapat tujuh desa yang
tidak
memungkinkan
untuk
ditinggali
lagi
dan
masyarakatnya
Universitas Sumatera Utara
2
direkomendasikan untuk segera direlokasi. Mereka terdiri dari masyarakat yang berada di dalam radius 3 km, yaitu yang bermukim di Kecamatan Payung (Desa Sukameriah) dan Kecamatan Naman Teran (Desa Bekerah, Desa Simacem), dan masyarakat yang tinggal di luar radius 3 km dari Kawah Gunung Sinabung dan berada di depan bukaan kawah, berpotensi terancam oleh guguran lava dan luncuran awan panas, yaitu: Kecamatan Payung (Desa Gurukinayan), Kecamatan Naman Teran (Desa Kutatonggal), Kecamatan Simpang Empat (Desa Berastepu dan Dusun Sibintun serta Desa Gamber) (BNPB, 2015). Pada Jumat, Februari 2016, Gunung Sinabung kembali menyemburkan awan panas sejauh 3 kilometer ke arah timur dan tenggara. Erupsi disertai luncuran awan panas yang termasuk dalam kategori cukup besar ini dalam beberapa hari terakhir rutin terjadi. Pada umumnya terjadi lebih dari tiga kali dalam kurun waktu satu hari (Noris, 2016). Selasa, 26 April 2016, Gunung Sinabung kembali memuntahkan awan panas sejauh 2.300 m ke arah timur tenggara. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Sinabung mencatat, kegempaan Sinabung masih terus terjadi, seperti gempa hybrid, guguran low frequency, dan gempa tremor yang terjadi terus-menerus. Status gunung Sinabung sendiri masih berada di level tertinggi awas atau level IV (Pinem, 2016). Relokasi atau resettlement merupakan salah satu alternatif untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh, status lahannya tidak legal (illegal) atau bermukim di lingkungan yang rawan bencana untuk menata
Universitas Sumatera Utara
3
kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru (Yudohusodo, 1991). Menurut World Bank (OD 4.30, Juni 1990), resettlement pada umumnya dilakukan pada kondisi “terpaksa” karena tidak ada pilihan lain kecuali harus bersedia dimukimkan pada tempat yang baru. Asian Development Bank dalam salah satu studinya mengemukakan beberapa dampak negatif yang mungkin muncul akibat pelaksanaan relokasi yaitu, perumahan, struktur, dan sistem masyarakat, hubungan sosial dan pelayanan sosial dapat terganggu, sumber-sumber produktif termasuk lahan, pendapatan dan mata pencaharian dapat hilang, kultur budaya dan kegotongroyongan dalam masyarakat dapat menurun, serta kehilangan sumber kehidupan dan pendapatan dapat mendorong timbulnya eksploitasi ekosistem, kesulitan hidup, ketegangan sosial, dan kemiskinan (Asian Development Bank, November 1995). Hasil studi Asian Development Bank (November 1995) menunjukkan bahwa kebijakan dan peristiwa yang sering kali menjadi penyebab dilaksanakannya relokasi adalah: (1) proyek pemerintah yang memerlukan pembebasan lahan untuk keperluan pengembangan dan pembangunan sarana prasarana kota, pembuatan jalan tol dan rel kereta api atau untuk keperluan jaringan listrik dan telepon; (2) kondisi force majour seperti kebakaran, kerusuhan, perang dan bencana alam. Penyintas bencana Gunung Sinabung yang dikenai status relokasi berasal dari tujuh desa dengan jumlah 2053 kepala keluarga/ 6179 jiwa. Masing-masing dari Suka
Universitas Sumatera Utara
4
Meriah, 136 kepala keluarga/ 436 jiwa, Bekerah, 103 kepala keluarga/ 331 jiwa, Simacem, 131 kepala keluarga/ 445 jiwa, Kuta Tonggal, 109 kepala keluarga/ 361 jiwa, Berastepu, 611 kepala keluarga/ 1752 jiwa, Gamber, 185 kepala keluarga/ 589 jiwa, dan Guru Kinayan, 778 kepala keluarga/ 2265 jiwa (Situs Resmi Kabupaten Karo, 2016). Bencana
Gunung
Sinabung
menyisakan
berbagai
kondisi
yang
memprihatinkan. Bencana ini telah menyebabkan kerusakan di desa-desa sekitarnya dan menyebabkan ribuan penyintas kehilangan tempat tinggalnya. Para penyintas tidak hanya kehilangan rumah dan tempat tinggal, tetapi juga lahan pertanian yang menjadi sumber utama lahan pencaharian mereka. Rumah-rumah penyintas dan lahan pertanian telah rusak karena abu vulkanik dan lahar dingin. Oleh karena itu, para penyintas terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan harus mengungsi. Pengungsi yang tempat tinggalnya tidak layak huni lagi akan segera direlokasi. Pengungsi yang dikenai status relokasi adalah keluarga-keluarga yang berasal dari Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem. Lahan relokasi berada di Desa Siosar, Kecamatan Tiga Panah. Dari 103 unit rumah yang akan diserahkan bagi warga Desa Bekerah, baru 50 unit yang sudah memasuki tahap penyelesaian akhir. Sisanya baru pengerjaan tahap awal (Damanik, 2015). Dalam kondisi di tengah bencana, tentunya penyintas menghadapi situasi yang cukup menekan, hal ini ditandai dengan munculnya reaksi-reaksi baik fisik maupun psikologis seperti ketakutan, kecemasan, kejenuhan, dan keluhan-keluhan
Universitas Sumatera Utara
5
fisik yang dirasakan mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketika kondisi ini dialami individu dalam waktu yang berlangsung lama, bisa menimbulkan dampak negatif pada diri mereka (Gardner & Stern, 2002). Khususnya dalam kondisi bencana alam, yang notabenenya adalah “acts of God” sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengontrol keadaan gunung, besar kemungkinan memicu terjadinya stres (Ursano & Norwood, 2003), dan ketika ini berlangsung lama, dampak psikologis yang mungkin terjadi adalah helpless-perasaan tidak berdaya dan merasa tidak mampu untuk menghadapi lingkungannya (Sarafindo, 2011). Selain itu, juga memungkinkan munculnya perasaan insecure, yang mana individu percaya bahwa lingkungannya adalah suatu hal yang mengancam dirinya dan bisa berpengaruh buruk bagi mereka (Ainsworth, 1988). Bagi para penyintas, kehilangan rumah bukan hanya berarti kehilangan fisik bangunan semata, akan tetapi juga kehilangan kenangan dan kehidupan lama mereka. Apalagi mereka harus menerima kenyataan bahwa desa yang selama ini mereka tinggali tidak dapat dihuni lagi dan mereka harus meninggalkan desa yang selama ini menjadi tempat mereka tinggal. Hal ini sejalan dengan data yang dihimpun dari salah seorang penyintas asal Desa Simacem melalui wawancara personal sebagai berikut: “Ginilah sekarang ini dek keadaan di sini. Tinggal nunggu rumah di Siosar itu jadi lah. Kampung kami pun udah betul-betul nggak bisa ditinggali lagi. Rumah kami pun udah rusak semua. Bukan itu aja, kuburan orang tua sama kakek nenek pun udah nggak tahu lagilah. Mau berziarah pun kami nggak tahu lagilah kapan bisa.” (Wawancara Personal, 2015)
Universitas Sumatera Utara
6
Lokasi tempat tinggal mereka yang baru pun masih sangat asing dan jauh dari pemukiman. Fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, tempat ibadah dan sekolah jauh dari jangkauan. Hal ini sejalan dengan yang dingkapkan salah satu penyintas yang tinggal di posko pengungsian yang bertempat di UKA melalui wawancara personal sebagai berikut: “Udah kami tengok ke sana rumahnya dek. Tujuh kilometer jarak paling dekat ke kampung yang lain. Udah gitu kiri kanan pohon pinus semua. Mau kemana-mana, mau belanja pun susahlah. Udah dijanjikan memang mau dibangun sekolah, pajak, tapi itupun nggak tahu kapan. Sedangkan rumahnya pun sampai sekarang belum siap-siap.” (Wawancara Personal, 2015)
Dengan keadaan seperti ini tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan bagi para penyintas bencana Gunung Sinabung yang dikenai status relokasi. Salah satunya adalah kesiapan mental psikologis yang baik sehingga nantinya para penyintas dapat menghadapi keadaan yang baru dengan lebih siap. Mental psikologis yang perlu dipersiapkan salah satunya adalah adalah spiritualitas. Dengan adanya berbagai situasi tidak menyenangkan yang dialami para penyintas mulai dari menghadapi bencana, mengungsi dalam waktu yang lama, sampai harus direlokasi karena tempat tinggal mereka terdahulu sudah tidak layak huni. Situasi seperti ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi kondisi mental psikologis para penyintas bencana Gunung Sinabung yang dikenai status relokasi.
Universitas Sumatera Utara
7
Spiritualitas adalah salah satu bagian dari kekuatan karakter individu, di mana kekuatan karakter merupakan trait positif yang ditampilkan melalui pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Kekuatan karakter adalah karakter positif yang mengarahkan serta membantu individu dalam proses pencapaian, demikian halnya spiritualitas. Spiritualitas mengacu pada kepercayaan dan praktik yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada dimensi transendent (transenden/nonfisik) dalam kehidupan.Spiritual bersifat universal.Walaupun konten dari spiritual bermacam-macam, namun semua budaya memiliki konsep transcendent, suci, sakral, dan adanya kekuatan yang hebat (Peterson & Seligman, 2004). Spiritualitas bukan hanya semata-mata mengenai hubungan antara individu dan Tuhan. Hubungan terbentuk secara harmonis dari berbagai unsur-unsur di antaranya diri sendiri, sesama dan Tuhan. Spiritualitas juga dialami dan dirasakan melalui adanya keterhubungan dengan alam, bumi, lingkungan dan kosmos (Young, 2007). Dalam penelitian yang dilakukan Fiorito & Ryan (2007) ditunjukkan bahwa spiritualitas memiliki kemampuan yang baik untuk memprediksi aspek tujuan spiritual yang dapat meningkatkan psychological well-being seseorang. Hasil penelitian juga menegaskan bahwa spiritualitas yang baik berguna untuk memoderasi hubungan antara tujuan spiritual dan psychological well-being. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Coleman & Holzemer menunjukkan ada keterkaitan yang cukup signifikan antara spiritualitas dan psychological well-being pada AfrikaAmerika pengidap HIV. Pada penetian yang dilakukan Munthe (2014) menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
8
bahwa spiritualitas memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap dimensi psychological well-being pada anak didik di lembaga permasyarakatan. Pada penelitian yang dilakukan Moxey, McEvoy, Bowe, dan Attia (2010) ditunjukkan bahwa kegiatan spiritualitas memberikan manfaat pada lansia di Australia terhadap persepsi dukungan sosial. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan MacGillivray, Sumsion, dan Nicholls (2006) juga menunjukkan bahwa spiritualitas memiliki peranan penting untuk kesehatan mental remaja. Taylor, Lilis, dan Le Mone (1997) menyatakan bahwa tingkat spiritualitas seseorang dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu tahapan perkembangan, budaya, keluarga, agama, pengalaman hidup, serta krisis dan perubahan. Latar belakang para penyintas yang berbeda-beda akan mempengaruhi kondisi spiritualitas para penyintas. Latar belakang penyintas seperti usia, agama dan budaya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang (Taylor dkk, 1997). Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang. Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan proses perkembangan pada manusia. Oleh karena itu spiritualitas seorang invidu dapat dipengaruhi tahapan perkembangan atau usia dari individu itu sendiri. Agama juga merupakan faktor yang memiliki pengaruh penting terhadap spiritualitas individu. Agama adalah sistem keyakinan dan ibadah yang dipraktikkan individu dalam pemenuhan spiritualitasnya. Agama merupakan cara individu dalam
Universitas Sumatera Utara
9
memelihara hidup terhadap segala aspek kehidupan. Budaya juga adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap spiritualitas manusia. Masing-masing budaya berbeda dalam bentuk pemenuhan spiritualitasnya. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar seseorang dalam berbuat sesuatu dan dalam menjalani cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, spiritualitas merupakan salah satu hal yang perlu dipersiapkan oleh para penyintas bencana Gunung Sinabung yang dikenai status relokasi. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat gambaran spiritualitas pada penyintas bencana Sinabung yang dikenai status relokasi. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka
peneliti ingin
menggambarkan bagaimana spiritualitas pada penyintas bencana Sinabung yang dikenai status relokasi dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran umum spiritualitas pada penyintas bencana Sinabung yang dikenai status relokasi? 2. Bagaimana gambaran spiritualitas pada penyintas bencana Sinabung yang dikenai status relokasi ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seperti usia dan agama?
Universitas Sumatera Utara
10
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui gambaran umum spiritualitas pada penyintas bencana Sinabung yang dikenai status relokasi. 2. Mengetahui gambaran spiritualitas pada penyintas bencana Sinabung yang dikenai status relokasi ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seperti usia dan agama. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan pada bidang psikologi terutama dalam bidang psikologi sosial serta dapat menjadi bahan acuan dalam penelitian selanjutnya mengenai spiritualitas dan bencana alam. 2. Manfaat Praktis Bagi penyintas bencana alam, dapat menjadi acuan dan menambah pengetahuantentang kondisi spiritualitas mereka. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan yang berarti bagi para relawan, BNPB, pengamat sosial, dan pihak-pihak lainnya untuk melibatkan pendekatan spiritualitas dalam penanganan masalah pada penyintas bencana Gunung Sinabung.
Universitas Sumatera Utara
11
E. Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Pustaka Pada bab ini berisi uraian kepustakaan yang menjadi landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. BAB III : Metode Penelitian Pada bab ini berisi uraian mengenai metode penelitian yang digunakan, meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, metode pengambilan sampel, instrumen/ alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisa data. BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data Pada bab ini berisi gambaran umum subjek penelitian, hasil peneltian, interpretasi data dan pembahasan.
Universitas Sumatera Utara
12
BAB V: Kesimpulan dan Saran Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun berdasarkan analisa dan interpretasi data serta saran-saran bagi penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara