BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Putusan batal demi hukum adalah suatu putusan yang memiliki akibat hukum yaitu dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula, atau putusan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan. 1 Masalahnya adalah dapatkah surat dakwaan diputuskan oleh majelis hakim batal demi hukum dalam putusan akhir atau setelah pemeriksaan pokok perkara? Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mendefenisikan tentang dakwaan, tetapi dakwaan adalah sebagai dasar dari hukum acara pidana dan berdasarkan dakwaan itu pemeriksaan persidangan dapat dilakukan. 2 Surat dakwaan dibuat oleh Penuntut Umum (JPU) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik. Semua informasi mengenai fakta-fakta delik terhimpun di dalam berkas perkara (case dosier) tersebut. 3 Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh JPU dalam surat dakwaannya sebagaimana ketentuan di dalam 1
http://yusril.ihzamahendra.com/2012/05/17/pendapat-hukum-terhadap-putusan-batal-demihukum/, diakses tanggal 8 Agustus 2015, Artikel yang ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra, judul “Pendapat Hukum Terhadap Putusan Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website yusril.ihzamahendra,com, tanggal 15 Mei 2012. 2 Lilik Mulyadi (I), Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 39. 3 M.L. Hc. Hulsman disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hal. 149-150.
Universitas Sumatera Utara
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 Tanggal 26 Mei 1984. 4 Permasalahan ini menjadi sangat menarik karena dalam praktik biasa terjadi dimana hakim memutus suatu dakwaan menjadi batal demi hukum baik sebelum maupun sesudah dilakukan pemeriksaan pokok perkara atau setelah dilakukan pemeriksaan alat-alat bukti dan pembacaan tuntutan oleh penuntut umum. 5 Hakim yang membatalkan dakwaan pada pemeriksaan pendahuluan sudah diatur di dalam Pasal 143 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP 6, sedangkan untuk pembatalan dakwaan oleh hakim setelah pemeriksaan pokok perkara belum diatur dengan jelas dan tegas di dalam KUHAP melainkan masih kelihatan samar-samar. Gambaran masalahnya sebagaimana diketahui terkait prosedur hukum acara setelah dakwaan dibacakan, dimana hakim kemudian menanyakan kepada terdakwa/penasehat hukumnya mengenai dakwaan tersebut (vide: Pasal 155 ayat (2) huruf b KUHAP), kemudian terdakwa/penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan atas dakwaan dalam bentuk “pengadilan tidak berwenang mengadili” atau “dakwaan tidak dapat diterima” atau “surat dakwaan harus dibatalkan” 7 (vide: Pasal 156 ayat (1) KUHAP), artinya keberatan-keberatan itu harus diajukan oleh terdakwa di sidang pengadilan setelah dakwaan dibacakan. Ketiga macam keberatan tersebut,
4
Lilik Mulyadi (I), Loc. cit. Matteus A. Rogahang, “Suatu Study Tentang Akibat Hukum Dari Surat Dakwaan Kabur Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012, hal. 111. 6 M. Yahya Harahap (I), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 358. 7 Lilik Mulyadi (I), Op. cit., hal. 93. 5
Universitas Sumatera Utara
baik terdakwa maupun penasehat hukumnya, dapat mengajukan salah satunya atau ketiga macam keberatan tersebut sekaligus, asalkan ada relevansi dan dasar hukumnya terhadap surat dakwaan. 8 Kemudian setelah mendengar pendapat dari penuntut umum, hakim seharusnya mempertimbangkan keberatan itu untuk selanjutnya mengambil “keputusan” (vide: redaksional Pasal 156 ayat (1) KUHAP) dan keputusan atas keberatan tersebut dapat berakibat perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, jika keberatan “diterima”, atau sidang dilanjutkan jika keberatan “tidak diterima” atau hakim berpendapat “hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan” (vide: Pasal 156 ayat (2) KUHAP). Ketentuan yang diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP tersebut adalah tentang “pengadilan tidak berwenang mengadili” atau “dakwaan tidak dapat diterima” atau “surat dakwaan harus dibatalkan”. Alur proses penanganan perkara seperti yang digambarkan di atas adalah hal yang lazim dan biasa terjadi, akan tetapi lain halnya ketika muncul bentuk penyelesaian perkara bila terdakwa tidak mengajukan eksepsi/keberatan atas dakwaan, saat/setelah memeriksa alat bukti, hakim menemukan ketidakberesan dakwaan yang dapat membatalkan dakwaan, masalahnya bisakah hakim membuat putusan pembatalan atas dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara dilakukan? Masalah ketidakwenangan mengadili menjadi hal yang mudah dijawab karena sudah jelas ditentukan dalam KUHAP terkait ketidakberesan dakwaan dalam bentuk 8
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
“ketidakwenangan hakim pengadilan”. Sesuai Pasal 156 ayat (7) KUHAP, hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah mendengar pendapat dari JPU dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya dapat
menyatakan
pengadilan
tidak
berwenang.
Jika
hakim
menemukan
ketidakbenaran dakwaan yang berakibat tidak berwenangnya pengadilan maka hakim tersebut dapat memutuskannya. Contoh pada saat dakwaan dibacakan tidak ada eksepsi/keberatan dari terdakwa/penasehat hukumnya mengenai locus delicti tindak pidananya, akan tetapi setelah memeriksa alat bukti: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa 9, ternyata locus delicti-nya terjadi di luar yuridiksi pengadilan yang memeriksa, maka dengan demikian hakim tersebut dapat menyatakan tidak berwenang
mengadili
perkara
tersebut
meskipun
tidak
ada
eksepsi
dari
terdakwa/penasehat hukumnya. 10 Ketidakwenangan mengadili harus diputuskan/ditetapkan sebelum pengajuan tuntutan untuk mencegah terdakwa dituntut dua kali untuk perkara yang sama, lagi pula telah diatur dasar hukumnya di dalam Pasal 156 ayat (2) jo Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a KUHAP. Pasal 156 ayat (2) KUHAP menentukan: “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus
9
Pasal 184 ayat (1) KUHAP. http://guseprayudi.blogspot.com/2014/09/dapatkah-putusan-akhir-berisi.html, diakses tanggal 6 Agustus 2015, artikel yang ditulis oleh Guse Prayudi berjudul “Dapatkah putusan akhir berisi pembatalan dakwaan?”, dipublikasikan di blogspot.com, tanggal 3 September 2014. 10
Universitas Sumatera Utara
setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Pasal 182 ayat (1) huruf 1 a KUHAP menentukan: “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. Bagaimana jika hakim setelah memeriksa alat bukti ternyata menemukan bahwa dakwaan tersebut harus dibatalkan, apa langkah yang bisa diambil oleh hakim tersebut? Apakah bisa memutuskannya dalam putusan akhir? Bukankah KUHAP mengatur putusan akhir itu hanya dalam bentuk putusan pemidanaan (dihukum) dan putusan bukan pemidanaan (bebas atau lepas dari tuntutan hukum) 11 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP, Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP, Pasal 194 ayat (1) KUHAP, Pasal 197 ayat (1) KUHAP, Pasal 199 ayat (1) huruf b KUHAP, dan Pasal 222 ayat (1) KUHAP. KUHAP telah mengatur mengenai suatu putusan akhir dinyatakan batal demi hukum 12, namun untuk pembatalan surat dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara tidak diatur dalam KUHAP. KUHAP tidak mengatur secara tegas mengenai pembatalan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara atau setelah tuntutan dibacakan, akan tetapi jika membaca redaksional Pasal 156 ayat (2) KUHAP yakni “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa 11
Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP. Lihat juga: P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal. 184-185. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging). 12 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt500d17ccd58cb/menguji-putusan-batal-demihukum, diakses tanggal 6 Agustus 2015, Artikel berudul “Menguji Putusan Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website hukumonline.com, tanggal 23 Juli 2012.
Universitas Sumatera Utara
lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”. Penekanan redaksional itu tepatnya dalam hal “…baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan…”. Dari ketentuan ini berarti KUHAP memberikan sarana yuridis bagi hakim untuk memutuskan batal demi hukum atau tidak batalnya suatu dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara selesai, hal yang sama juga berlaku jika dakwaan tidak dapat diterima. Menurut M. Yahya Harahap, majelis hakim lebih baik memeriksa dulu perkaranya secara keseluruhan untuk menjaga cara penilaian yang lebih objektif, 13 sehingga dengan adanya pemeriksaan itu hakim akan lebih objektif menilai, apakah dakwaan itu terang atau tidak, sehingga dapat dibatalkan atau tidak 14, karena suatu dakwaan harus memiliki patokan agar tidak merugikan hak-hak terdakwa dan terdakwa dapat mempersiapkan pembelaannya sebelum perkara tersebut diputuskan dalam putusan akhir. Pertanyaannya lagi adalah kapan suatu pemeriksaan pendahuluan dinyatakan selesai? Bila membaca aturan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP yang menegaskan: “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. Berarti selesainya pemeriksaan pendahuluan adalah setelah proses pemeriksaan alat bukti, dan sebelum pengajuan tuntutan pidana. Sedangkan jika telah ada pengajuan tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan, KUHAP 13
M. Yahya Harahap (II), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 394. 14 Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
menamakannya dengan “pemeriksaan dinyatakan ditutup” (vide: Pasal 182 ayat (2) KUHAP) berarti pemeriksaan pokok perkara telah selesai. Berdasarkan uraian tersebut di atas pandangan ini menyatakan bahwa setelah pemeriksaan pendahuluan dinyatakan selesai, hakim masih dapat memutus suatu dakwaan batal demi hukum, akan tetapi Pasal 156 ayat (2) jo Pasal 182 ayat (2) KUHAP mensyaratkannya dengan tegas harus dilakukan sebelum pengajuan tuntutan, bukan setelah tuntutan dibacakan sebagaimana yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim. Ruang lingkup Pasal 156 KUHAP terkait dengan keberatan/eksepsi dari terdakwa dapat dilakukan jika sebelumnya ada keberatan/eksepsi dari terdakwa. Bagaimana penyelesaiannya jika sebelumnya tidak ada keberatan/eksepsi dari terdakwa mengenai hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim? Penyelesaian ini berpulang kepada penafsiran hakim, mau menganalogikan ketentuan Pasal 156 ayat (2) KUHAP berlaku meskipun tidak ada keberatan sebelumnya dari terdakwa atau tidak. Perlu diingat bahwa hakim hanya diberikan kewenangan memutus secara ex officio (meskipun tanpa ada keberatan dari terdakwa) hanya dalam hal menyatakan pengadilan tidak berwenang (vide: Pasal 156 ayat 7 KUHAP). Bila memperhatikan praktek peradilan tentang aturan hukum acara, contoh tentang berwenangnya JPU mengajukan Peninjauan Kembali (PK) padahal menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP tegas mengatur yang dapat mengajukan PK hanya
Universitas Sumatera Utara
terpidana atau ahli warisnya, menunjukkan aturan hukum acara bukanlah sesuatu yang statis (kaku), dihubungkan pula dengan asas keadilan dan kemanfaatan, terasa sungguh tidak adil dan tidak bermanfaat jika hakim ”terbelenggu” untuk tidak bisa berbuat apa-apa jika saat/setelah memeriksa alat bukti menemukan indikasi dakwaan harus dibatalkan demi hukum atau dakwaan harus tidak dapat diterima. Ada atau tidaknya keberatan/eksepsi sebelumnya dari terdakwa, bukanlah merupakan suatu belenggu bagi hakim untuk berbuat ketika menemukan “ketidakberesan suatu dakwaan” (batal demi hukum/tidak dapat diterima) setelah pemeriksaan alat bukti dan pokok perkara. Sebelum memutuskan dakwaan batal demi hukum/tidak dapat diterima sebaiknya harus mengikuti prosedur berikut ini: 15 1. Langkah pertama: jika pada saat atau setelah melakukan pemeriksaan alat bukti (sebelum pengajuan tuntutan) ditemukan indikasi dakwaan seharusnya batal demi hukum maka hakim harus menyatakannya di persidangan. 2. Langkah kedua: atas pernyataan hakim tersebut, kemudian JPU memberikan pendapatnya atau keberatan/eksepsi yang dilanjutkan dengan pendapat dari terdakwa. 3. Langkah ketiga: jika setelah mendengar keberatan/eksepsi tersebut, hakim tetap memandang dakwaan batal demi hukum maka hakim juga dapat membuat putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Konstruksi hukum yang pertama adalah Pasal 156 ayat (7) jo Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP menjadi dasar argumentasi dalam hal tidak ada keberatan/eksepsi dari terdakwa tetapi selama proses persidangan hakim menganggap tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut (absolut/relatif) maka hakim harus menyatakan tidak berwenang mengadili dan harus dilakukan sebelum adanya pengajuan tuntutan. 15
http://guseprayudi.blogspot.com/2014/09/dapatkah-putusan-akhir-berisi.html, diakses tanggal 6 Agustus 2015, artikel yang ditulis oleh Guse Prayudi berjudul “Dapatkah putusan akhir berisi pembatalan dakwaan?”, dipublikasikan di blogspot.com, tanggal 3 September 2014.
Universitas Sumatera Utara
Konstruksi kedua adalah Pasal 156 ayat (2), jo Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP jika ada keberatan maupun tidak ada keberatan sebelumnya, hakim dapat memutus dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dinyatakan selesai/sebelum tuntutan pidana diajukan.
Sebaiknya sebelum
memutuskan
berdasarkan kedua konstruksi hukum di atas, maka hakim harus mendengar pendapat dari JPU dan terdakwa/penasehat hukumnya. Intinya putusan dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan oleh hakim, bukan dalam bentuk penetapan. 16 Putusan dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan hakim pada 2 (dua) kemungkinan yaitu pada waktu sebelum pemeriksaan alat bukti dan setelah pemeriksaan alat bukti selesai (sebelum dan setelah pemeriksaan pokok perkara). Konstruksi hukum yang kedua di atas masih menimbulkan pertanyaan dan perdebatan dalam praktik dalam hal jika telah ada tuntutan pidana (pemeriksaan telah ditutup), bagaimana prosedurnya? Ada yang mengatakan itu merupakan kelalaian hakim itu sendiri dalam menerapkan hukum acara, dan ada pula yang berpendapat masih dimungkinkan bagi hakim diberikan ruang untuk membatalkan dakwaan menjadi batal demi hukum. Menurut M. Yahya Harahap, suatu dakwaan dapat batal demi hukum apabila dakwaan tersebut tidak merumuskan semua unsur dalil yang didakwakan, atau tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan terdakwa dalam dakwaan, suatu dakwaan batal demi hukum juga karena dakwaan tersebut kabur (obscuur libel) tidak 16
Wilhelmus Taliak, “Akibat Hukum Surat Dakwaan Batal Dan Surat Dakwaan Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara Pidana”, Jurnal Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan cara bagaimana kejahatan/tindak pidana itu dilakukan, tetapi hal ini tidak diputuskan pada putusan akhir, melainkan dalam putusan sela. 17 Oleh karena itulah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim dijadikan sebagai studi analisis untuk memberikan argumentasi hukum (legal reasoning) tentang dakwaan JPU yang dibatalkan hakim oleh karena ditemukannya perbedaan jumlah uang antara yang diterangkan oleh terdakwa dan yang disebutkan JPU dalam surat dakwaan. Terdakwa menerangkan Rikal menyuruhnya membeli sabu-sabu dengan uang patungan masing-masing Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) bertentangan dengan uraian dalam dakwaan JPU yang menyatakan terdakwa disuruh oleh Rikal membeli narkotika jenis sabu-sabu dengan memberikan uang Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah). Selain itu Rikal juga tidak dihadirkan di persidangan setelah diperintahkan oleh majelis hakim. Menurut pendapat M. Yahya Harahap bahwa jika sama sekali tidak ada keberatan/eksepsi dari terdakwa/penasehat hukumnya atau dari jaksa maka berlaku prinsip kekuasaan kehakiman. 18 Salah satu upaya untuk menemukan ruang bagi hakim adalah dengan melihat konsekuensi yuridis dari dakwaan itu sendiri sehingga suatu dakwaan dapat dibatalkan demi hukum atau tidak dapat diterima dikaitkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam teori sistem hukum. Hal itu menjadi menarik bila ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai dakwaan batal demi hukum dikaitkan dengan putusan majelis hakim dalam Putusan
17 18
M. Yahya Harahap (I), Op. cit, hal. 359. Ibid., hal. 392.
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim terhadap terdakwa (Ikhsan Fauzi Rangkuti) yang didakwa oleh JPU melakukan penyalahgunaan narkotika jenis sabu-sabu dengan tuntutan melanggar Pasal 112 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Menariknya kasus ini karena majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim tersebut menjatuhkan putusan akhir dengan dakwaan batal demi hukum artinya putusan hakim tersebut berisi pembatalan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara, padahal bila berpedoman pada Pasal 143 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 156 ayat (1) KUHAP dakwaan menjadi batal demi hukum dapat dijatuhkan oleh majelis hakim seharusnya sebelum pemeriksaan pokok perkara atau saat diajukan eksepsi oleh terdakwa/penasehat hukumnya tentang dakwaan kabur (obscuur libel) atau berkaitan dengan kewenangan hakim mengadili. Majelis hakim dalam Putusan Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim menafsirkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dengan berprinsip pada hukum progresif yang memandang hukum acara tidak mesti dilaksanakan secara kaku (statis). Hakim dalam perkara ini tidak kaku mempertimbangkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dalam membatalkan dakwaan menjadi batal demi hukum sekalipun tidak ada keberatan/eksepsi dari terdakwa/penasehat hukumnya dan juga tidak mengenai masalah kewenangan hakim mengadili. Uraian dalam dakwaan menurut Andi Hamzah sesuai Pasal 143 KUHAP harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan
Universitas Sumatera Utara
dengan menyebut waktu dan tempat delik itu dilakukan. 19 Cara menguraikan isi dalam dakwaan itu menurutnya masih lebih banyak bergantung pada yurisprudensi 20 dan doktrin. Menurut Jonkers yang harus dimuat selain daripada perbuatannya juga dimuat unsur-unsur tindak pidananya. 21 Dakwaan yang tidak jelas dan tidak cermat serta terkesan menambah sesuatu yang tidak jelas itu membuka ruang bagi hakim secara lebih luas memberikan penafsiran, sehingga majelis hakim berpeluang membatalkan dakwaan tersebut. 22 Untuk dapat memenuhi syarat formil dan syarat materiil suatu dakwaan, maka seharusnya terhadap dakwaan harus dilakukan eksaminasi, yaitu penelitian dan pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh pimpinan untuk menilai kecakapan dan kemampuan teknis Jaksa/JPU dalam melaksanakan tugas atau penyelesaian suatu perkara dari sudut teknis yuridis maupun administrasi negara. 23 Pembatalan dakwaan menjadi batal demi hukum oleh hakim setelah pemeriksaan pokok perkara ini diputuskan oleh majelis hakim hanya karena atas nama Rikal yang disebut-sebut dalam dakwaan tersebut adalah orang yang menyuruh membeli dan memberikan uang sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) kepada 19
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 172. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 47/K/Kr/1956 Tanggal 28 Maret 1957. 21 Andi Hamzah (1996), Op. cit. hal. 174 22 Ibid. hal. 177. 23 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, (Jakarta: Kejagung RI, 2011), hal. 4 dan hal. 32-33. Pasal 1 angka 11 jo Pasal 49, Pasal 50 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per036/A/JA/09/2011 tenggal 21 September 2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. 20
Universitas Sumatera Utara
terdakwa (Ikhsan Fauzi Rangkuti) tidak dijadikan tersangka/terdakwa ataupun dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau tidak dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan. Tidak dimasukkannya Rikal ke dalam berkas perkara aquo sedangkan Rikal dalam surat dakwaan disebutkan sebagai orang yang menyuruh membeli narkotika jenis sabu-sabu bahkan memberikan uang sebesar Rp.100.000,(seratus ribu rupiah) kepada terdakwa sesuai fakta-fakta hukum menurut majelis hakim telah bertentangan dengan rasa keadilan yang merupakan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri. 24 Pasal 143 ayat (3) KUHAP menentukan, “….Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP adalah batal demi hukum”. Sekalipun Rikal bukan lah orang yang didakwa dalam Dakwaan JPU Nomor Register Perkara: PDM-06/Siant/N.2.24/Ep.3/01.2015 Tertanggal 19 Januari 2015 melainkan adalah terdakwa Ikhsan Fauzi Rangkuti saja, tetapi majelis hakim memutuskan terhadap dakwaan menjadi batal demi hukum setelah dilakukan pemeriksaan pokok perkara. Pasal 143 KUHAP menentukan: 1. Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 2. Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.
24
Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim Tertanggal 23 April 2015, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 3. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. 4. Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya dan penyidik, pada saat bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Terhadap ketentuan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP menurut Lilik Mulyadi adalah merupakan syarat formil sedangkan syarat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP merupakan syarat materiil. 25 Kekurangan syarat formil surat dakwaan tidak menyebabkan surat dakwaan tersebut batal demi hukum 26, sedangkan kekurangan syarat materiil surat dakwaan misalnya surat dakwaan tidak jelas dan terang 27 atau karena surat dakwaan tersebut bertentangan antara satu dengan yang lainnya mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null end void). 28 Tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tentang syarat materiil adalah batal demi hukum. 29 Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP (syarat materiil) tersebut di atas jelas ditafsirkan oleh majelis hakim berdasarkan konsep kekuasaan kehakiman secara merdeka, bebas untuk menafsirkan hukum, 30 dan hakim wajib menggali, mengikuti, serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
25
Lilik Mulyadi (I), Op. cit, hal. 41. Ibid., hal. 42. Lihat juga: Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 114. 27 Ibid., hal. 44. 28 Ibid., hal. 46. 29 Wilhelmus Taliak, Loc. Cit. 30 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 26
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. 31 Majelis hakim dalam perkara aquo mengatakan “Suatu dakwaan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat materiil surat dakwaan yaitu: dakwaan kabur (obscuur libel) karena unsur-unsur tindak pidana tidak diuraikan atau terjadi pencampuran unsur tindak pidana, berisi pertentangan antara satu dengan yang lainnya. 32 Atas dasar pertimbangan inilah hakim tersebut dikatakan telah menafsirkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP secara bebas dan merdeka sesuai konsep hukum progresif. Dikatakan bahwa hakim dalam putusan ini menafsirkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP secara tidak kaku karena dalam pertimbangannya disebutkan karena adanya unsur-unsur tindak pidana yang tidak diuraikan atau terjadi pencampuran unsur tindak pidana, berisi pertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu antara terdakwa Ikhsan Fauzi Rangkuti dan Rikal. Terdakwa menerangkan bahwa Rikal menyuruhnya membeli sabu-sabu dengan uang patungan masing-masing Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) bertentangan dengan uraian dalam dakwaan JPU yang menyatakan terdakwa disuruh oleh Rikal membeli narkotika jenis sabu-sabu dengan memberikan uang Rp.100.000,(seratus ribu rupiah). Dalam hal ini JPU tidak cermat dan jelas membuat surat dakwaannya. Cermat adalah ketelitian JPU dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat 31
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim Tertanggal 23 April 2015, hal. 13. 32
Universitas Sumatera Utara
kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan. Jelas adalah JPU harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) yang di lakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. 33 Substansi dakwaan yang tidak jelas dan tidak cermat mengenai pencantuman pasal juga bisa mengakibatkan dakwaan batal demi hukum. 34 Meskipun hakim telah memerintahkan kepada JPU untuk menghadirkan orang yang bernama Rikal ke persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi dalam perkara aquo agar perkara tersebut menjadi terang benderang untuk menuju pada kebenaran materiil, namun JPU tidak menghadirkan orang yang bernama Rikal yang telah diperintahkan oleh majelis hakim tersebut hingga perkara ini diputuskan majelis hakim menjadi batal demi hukum. Berdasarkan uraian tersebut di atas menjadi menarik dilakukan penelitian ini dengan menetapkan “Dakwaan Batal Demi Hukum Setelah Pemeriksaan Pokok Perkara Dalam Sidang Pengadilan (Studi Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim)” sebagai judul tesis dalam penelitian ini. 33
Matteus A. Rogahang, Op. cit., hal. 114. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt531db4b93eefc/hakim-ad-hoc-nyatakandakwaan-susi-batal-demi-hukum, diakses tanggal 7 Agustus 2015, Artikel berjudul “Hakim Ad Hoc Nyatakan Dakwaan Susi Batal Demi Hukum”, dipublikasikan di website hukumonline.com tanggal 10 Maret 2014. Seperti yang terjadi dalam kasus yang menjerat Susi Tur Andayani dengan Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena menerima suap bersama-sama M. Akil Mochtar dalam penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan. Padahal, peran Susi Tur Andayani selaku advokat dalam tindak pidana tersebut lebih kepada mewakili kepentingan para pihak yang berperkara di MK. Peran Susi sebagai medepleger (turut serta) lebih kepada bersama-sama Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Ratu Atut Chosiyah, dan pihak-pihal lain yang memberikan sesuatu atau janji kepada M. Akil Mochtar selaku hakim MK. Menurut hakim Sofialdi berpendapat, pasal Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak dapat diberlakukan untuk Susi yang berkapasitas sebagai advokat yang mewakili kepentingan para pemberi. Sofialdi menilai, Susi Tur Andayani justru lebih tepat didakwa dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor. Dengan demikian dakwaan terhadap Susi Tur Andayani menjadi batal demi hukum yang diputuskan dalam putusan sela. 34
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dan pembacaan tuntutan dikaitkan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku? 2. Apakah dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim, dapat diajukan kembali bilamana dikaitkan dengan asas nebis in idem?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami dasar hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dan pembacaan tuntutan dikaitkan dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim., dalam kaitannya dengan asas nebis in idem.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat, secara teoritis maupun manfaat praktis, manfaat tersebut adalah: 1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat membuka paradigma berfikir akademis dalam memahami permasalahan tentang boleh atau tidaknya suatu dakwaan batal demi hukum dan kriteria suatu dakwaan dapat menjadi batal demi hukum dikaitkan dengan putusan hakim yang membatalkan dakwaan di dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim. 2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi para aparat penegak hukum, jaksa, advokat, hakim-hakim pengadilan, khususnya bagi JPU dan hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana. Manfaatnya bagi JPU adalah sebagai masukan agar dapat memperbaiki kesalahannya dalam membuat dan menyusun rumusan delik dalam dakwaan. Manfaatnya bagi advokat/penasehat hukum adalah sebagai masukan agar dapat mempersiapkan diri dalam pembelaan hak-hak kliennya bila suatu dakwaan tidak memenuhi syarat formil dan materiil. Manfaatnya bagi hakim adalah sebagai masukan agar tidak menggunakan kewenangan yudisian independen secara bebas tanpa batas sehingga melanggar prinsip atika dan moral. Bermanfaat pula bagi masyarakat yaitu agar dapat mengetahui dan memahami persoalan di dalam hukum acara termasuk kelemahan KUHAP dalam mengatur tentang pembatalan surat dakwaan.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Sebelum penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran terhadap karya-karya ilmiah maupun tesis milik orang lain (mahasiswa) di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Tujuannya adalah untuk menghindari perbuatan menduplikasi (plagiat) terhadap karya ilmiah (tesis) milik orang lain. Namun dari hasil dari penelusuran tersebut tidak menemukan judul maupun permasalahan tesis yang sama dengan judul dan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan originalisasi (keaslian) karena berdasarkan hasil penelusuran, tidak ditemukan judul maupun permasahalan dari penelitian-penelitian terdahulu yang mengandung kesamaan (identik) dengan judul dan permasalahan tentang dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara dalam sidang pengadilan (sesuai Studi Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim). Baik judul maupun rumusan masalah dalam penelitian ini sama tidak memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis milik orang lain, serta dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian ini adalah teori sistim hukum. Kata “sistem” (systema) diadopsi dari bahasa Yunani
Universitas Sumatera Utara
yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”. 35 Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta dengan adanya sistem hukum. 36 Kondisi penegakan hukum dapat digambarkan dalam suatu sistem peradilan pidana berada dalam sistim besar yaitu teori sistim hukum (legal system theory). Sistem hukum dalam teori JH. Merryman merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum (legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules). 37 Sistem hukum menurut Lawrence Milton Friedman meliputi struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. 38 Jika membicarakan teori sistim hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat tiga komponen yang dilibatkan, sebagaimana menurut Lawrence Milton Friedman, masing-masing yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. 39 Substansi hukum mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan 35
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 4. 36 Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 71. 37 Ade Maman Suherman, Loc. cit. 38 Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9. 39 Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kultur hukum mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain. 40 Bagian penting yang dibicarakan dalam penelitian ini dalam kaitannya dengan sistem hukum adalah masalah prosedur hukum dan substansi hukum. Alasan memfokuskan analisis ini pada prosedur dan substansi hukum karena prosedur hukum acara dan substansi hukum terkait dengan batalnya dakwaan tidak tegas diatur dalam KUHAP dan juga tidak dijelaskan apakah hakim boleh membatalkan dakwaan setelah dilakukan pemeriksaan pokok perkara, dan setelah pembacaan tuntutan, sedangkan dalam praktik bisa terjadi dimana hakim membatalkan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara atau setelah dakwaan dan tuntutan dibacakan. Terkait dengan struktur hukum dalam hal ini ditujukan kepada para aparat penegak hukum khususnya hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang memeriksa dan mengadili perkara dalam Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim yang menjatuhkan putusan menyatakan surat dakwaan batal demi hukum setelah pemeriksaan pokok perkara karena dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap menguraikan syarat materiil dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
40
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan struktur hukum dalam hal ini juga ditujukan kepada jaksa penuntut umum yang tidak menguraikan secara cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap tentang syarat materiil dakwaan. Kelemahan dakwaan penuntut umum yang tidak mencantumkan Pasal 55 KUHP tentang delik penyertaan (deelneming) karena para pelaku dalam perkara a quo bukan tunggal, melainkan banyak (lebih dari satu). Kelemahan dakwaan penuntut umum tersebut sebagai faktor keberhasilan dalam penegakan hukum termasuk bagi hakim yang tidak mencantumkan putusannya pada salah satu putusan akhir, putusan pemidanaan, atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan, melainkan membatalkan dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara. Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa dalam ranah penegakan hukum, perlu diperhatikan komponen-komponen dalam sistem hukum itu yaitu: struktur, substansi dan kultur. 41 Bila suatu kondisi penegakan hukum yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan
hukum
itu
sendiri
untuk
menciptakan
keadilan,
ketertiban,
kemanfaatan, dana kesejahteraan masyarakat, maka perlu kiranya komponen dalam sistim hukum itu dikoreksi guna efektifitas penegak hukum itu sendiri. Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemenelemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen saja tidak bekerja dengan baik maka akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan faktor-faktor
41
Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Jurnal Keadilan Vol. 3, Nomor 6 Tahun 2003/2004.
Universitas Sumatera Utara
penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena bila diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 42 Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial termasuk aparatur penegak hukum. 43 Kepolisian berperan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan berperan melakukan fungsinya di bidang penuntutan terhadap perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya. Sementara hakim pengadilan berperan penting dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidana kepada pelaku. Substansi hukum
(perundang-undangan)
khususnya
KUHAP
juga
harus
mampu
mengakomodasi dan mengatur dengan jelas dan tegas mengenai prosedural hukum acara dalam penegakan hukum. Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu bahwa sejatinya pengadilan sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya berlangsung berbagai proses interaksi dari para aktor dalam melaksanakan litigasi, berperan menegakkan hukum, dan bertemunya kepentingan-kepentingan yang berbenturan. 44
42
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5. 43 Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta, 1996), hal. 14. 44 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hal. 212.
Universitas Sumatera Utara
Sistim hukum harus lebih luas dari hukum acara pidana (hukum prosedural/formal) karena cakupan hukum acara pidana terbatas pada aspek substansi KUHAP saja. Sementara itu sistem meliputi juga selain substansi dan struktur juga budaya hukum, artinya hukum dilihat tidak saja yang diatur secara law in the books tetapi juga law in actions. 45 Proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, sebaliknya tanpa hukum formil maka liar dan bertindak semaunya dan dapat mengarah apa yang ditakutkan orang sebagai judicial tyrany. 46 Sistem hukum secara terpadu diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara para penegak hukum yang sesuai dengan tahap proses kewenangan masing-masing yang diberikan undang-undang. Aktivitas pelaksanaan sistim peradilan pidana merupakan fungsi gabungan dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan dan dan lain-lain baik yang ada di lingkungan pemerintahan maupun diluarnya, tujuan dari gabungan fungsi dalam kerangka sistim hukum itu adalah untuk menegakkan dan melaksanakan hukum. 47 2. Konsepsi Tujuan menggunakan landasan konsepsional ini adalah untuk menghindari penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah:
45
Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Adhoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 46. 46 Ibid. 47 M. Yahya Harahap (III), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, cet. ke-9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
a. Surat dakwaan adalah surat tuduhan yang dibuat atau disiapkan oleh JPU yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya menjadi dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang Pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut. 48 b. Batal demi hukum adalah tidak memiliki daya mengikat secara hukum. c. Dakwaan batal demi hukum adalah dakwaan JPU yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena secara hukum dianggap tidak pernah ada (never existed) dari sejak semula dakwaan itu dibuat oleh JPU. d. Pemeriksaan pokok perkara adalah pemeriksaan perkara oleh majelis hakim dalam sidang pengadilan terkait dengan pokok perkara termasuk dalam hal pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi.
48
A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan dan Suplemen, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
e. Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 49 f. Hakim adalah semua hakim pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung baik dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut 50, khususnya hakim pengadilan yang menjatuhkan putusan terhadap pembatalan surat dakwaan. g. Pengadilan adalah semua pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung baik dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan. 51 h. Kriteria adalah ciri-ciri atau syarat-syarat yang terdapat/terkandung di dalam suatu dakwaan yang dapat dibatalkan oleh majelis hakim. i. Hukum acara adalah hukum formil yang mengatur pelaksanaan hukum materiil sebagaimana hukum formil yang diatur dalam KUHAP.
49
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. 50 51
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman.
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan, 52 menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti,53 meneliti terhadap kaedah-kaedah dan asas-asas hukum, 54 selain mengacu pada teori-teori juga mengacu pada doktrin-doktrin, norma-norma, dan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan. 55 Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan menguraikan permasalahan di dalam praktik sekaligus menganalisis permasalahan tersebut melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, 56 teori-teori, normanorma, kaidah-kaidah, asas-asas/prinsip-prinsip hukum yang relevan. Fakta-fakta tersebut adalah fakta terkait dengan pembatalan suatu dakwaan menjadi batal demi hukum oleh hakim setelah hakim memeriksa pokok perkaranya. 2. Sumber Data Sebagai data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data sekunder,
52
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: IU Press, 1996), hal. 51. C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-2, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 12. 54 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 13. 55 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282. 56 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96. 53
Universitas Sumatera Utara
meliputi: a. Bahan hukum primer yaitu: KUHAP, KUHP, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Simalungun Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Simalungun. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasanulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan ini. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. 57 Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier, diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah, mendownload data melalui internet. Semua data yang diperoleh akan dipilah-pilah dan diurutkan guna memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam hal pembatalan dakwaan JPU oleh hakim pengadilan setelah pemeriksaan pokok perkara.
57
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 160.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Semua data terkait dengan pembatalan dakwaan JPU oleh hakim pengadilan setelah pemeriksaan pokok perkara akan dianalisis secara kualitatif, bukan secara kuantitatif. 58 Analisis secara kualitatif memfokuskan pada analisis menggunakan teori-teori, doktrin-doktrin, asas dan prinsip, serta kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan pembatalan surat dakwaan menjadi batal demi hukum oleh hakim pengadilan setelah pemeriksaan pokok perkara. Fokus analisis mengenai pembatalan dakwaan oleh hakim pengadilan setelah pemeriksaan pokok perkara, untuk menganalisis dakwaan batal demi hukum yang diputuskan oleh majelis hakim dalam putusan akhir sebagaimana Putusan Hakim PN Nomor: 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum acara yang diatur dalam KUHAP. Menganalisis permasalahan dalam penelitian ini sekaligus memberikan legal reasoning yang dikemukakan secara deduktif, 59 diungkapkan secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar data, memberikan penilaian benar atau salah atau bagaimana semestinya menurut teori tentang batalnya suatu dakwaan setelah pemeriksaan pokok perkara, dan juga berdasarkan para doktrin yang ada, asas, norma, dan ketentuan di dalam KUHAP sehingga permasalahan tersebut dapat dijawab. 60
58
Ibid., hal. 161. Deduktif adalah penalaran logika dari umum ke khusus. 60 Ibid., hal. 192. 59
Universitas Sumatera Utara