BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian Wakaf merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan harta di jalan Allah swt. Jika dilihat dari segi kegunaannya, wakaf merupakan salah satu sarana pembangunan baik di bidang keagamaan, perekonomian, kesehatan, dan lain sebagainya. Sehingga wakaf dapat dirasakan manfaatnya untuk kepentingan masyarakat umum, tidak terbatas hanya untuk keluarga saja. Wakaf, baik yang pertama kali dilakukan melalui sedekahnya Nabi Muhammad saw maupun sedekah tanah dari Umar bin Khaththab, merupakan amalan yang dianjurkan untuk kemaslahatan tanpa membedakan apakah wakaf itu diperuntukkan untuk orang-orang tertentu atau untuk kepentingan umum. Wakaf tidak hanya memiliki nilai ibadah semata, melainkan juga memiliki nilai sosial-ekonomi yang cukup besar. Dua posisi dan peran wakaf tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan umat Islam dari masa-masa awal perkembangan Agama Islam sampai saat ini yang telah menyebar ke berbagai belahan dunia.1 Dasar hukum wakaf ini tidak terdapat secara tegas dalam Al-Qur’an, walaupun demikian para fuqaha berpendapat bahwa terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang memberi indikasi bagi pelaksanaan amalan wakaf.
1
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Penyusunan Proposal Pemberdayaan Wakaf Produktif, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementrian Agama Republik Indonesia, 2012, hlm. 1-2.
1 repository.unisba.ac.id
2
Sedangkan di dalam Hadits terdapat dasar hukum tentang wakaf dengan istilah habs seperti wakaf tanah yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab, selanjutnya para fuqaha mengenalkan lebih lanjut dengan istilah wakaf. Pengaturan wakaf lebih lanjut banyak ditetapkan oleh para mujtahid.2 Di Indonesia, saat ini, wakaf telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Terdapat tiga aspek pembaruan dalam peraturan tersebut, antara lain memasyarakatkan wakaf dari sekedar ruang ibadah menjadi bagian dari upaya kesejahteraan sosial; pendayagunaan aset yang dimiliki masyarakat untuk dijadikan sebagai peluang usaha yang lebih produktif yang pada akhirnya bermanfaat bagi kehidupan masyarakat itu sendiri; serta perlindungan terhadap aset ekonomi masyarakat dari kemungkinan terjadinya perebutan yang bertentangan dengan ketentuan hukum. Ketiga aspek tersebut tercantum dalam pasal-pasal yang mengatur kewajiban nazhir untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf secara produktif, pengaturan tentang wakaf uang, pengaturan Badan Wakaf Indonesia, dan lain-lain.3,4 Adanya undang-undang tentang wakaf di Indonesia merupakan suatu keharusan. Hal ini didasarkan pada keprihatinan terhadap pengelolaan dan 2
Tata Fathurrohman, Wakaf Menurut Hukum Islam, Bandung, Fakultas Hukum dan LSI Unisba, 2010, hlm. 99-100. 3 Tata Fathurrohman, Wakaf Menurut Perundang-Undangan yang Berlaku di Indonesia, Bandung, Fakultas Hukum dan LSI Unisba, 2010, hlm. 124-125. 4 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Penyusunan Proposal Pemberdayaan Wakaf Produktif, Op. cit., hlm. 11.
repository.unisba.ac.id
3
pengembangan wakaf di Indonesia. Sebagaimana diketahui jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup banyak, tetapi sampai saat ini keberadaan wakaf belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi umat. Padahal di negara lain seperti Mesir, Saudi Arabia, Yordania, Turki, Bangladesh, wakaf merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang dapat membantu berbagai kegiatan umat. Berbagai negara yang wakafnya sudah berkembang baik tersebut, pada umumnya wakaf telah diatur dengan undang-undang.5 Sebagian besar harta wakaf di Indonesia, merupakan benda tidak bergerak yaitu tanah.6 Tanah, menurut R. van Djik, merupakan modal yang utama dan untuk sebagian besar wilayah di Indonesia, tanah merupakan modal satu-satunya.7 Tanah wakaf di Indonesia tersebar di 403.845 lokasi dengan luas keseluruhan 1.566.672.406 meter persegi, sekitar 10% tanah tersebut berlokasi strategis dan potensial untuk dikembangkan secara ekonomi. 8 Namun sebagian besar tanah wakaf berada jauh dari pusat ekonomi, kondisi tanahnya tidak subur maupun kondisi topografinya yang tidak mendukung.9
5
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 8. 6 Fetty Yahya, Pengelolaan Wakaf Uang, http://salamfalah.blogspot.com/2011/11/wakaf-konsep-kedermawananyang-hampir.html (Diakses pada 20 Oktober 2015). 7 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 1. 8 Suhrawardi K. Lubis, dkk., Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 178. 9 Badan Wakaf Indonesia, Profil Badan Wakaf Indonesia Periode 2007-2010, Jakarta, Badan Wakaf Indonesia, 2008, hlm. 13.
repository.unisba.ac.id
4
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf. Salah satu aspek dalam praktik perwakafan di Indonesia adalah perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf. Bukti pendaftaran atas harta benda wakaf adalah berupa surat keterangan yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang berwenang yang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada negara dengan status sebagai harta benda wakaf. Pada awalnya pengaturan perwakafan sepenuhnya mengacu pada Hukum Islam. Tata cara perwakafan tanah cukup dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab kuning. Namun, dengan terbentuk pemerintahan di bawah kekuasaan Belanda maka setiap perbuatan perwakafan tanah harus diketahui oleh negara c.q. Pemerintah.10
10
Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 9.
repository.unisba.ac.id
5
Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran harta wakaf tersebut (dalam hal ini tanah wakaf) bermanfaat dalam menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf serta memberikan kepastian perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Pentingnya pendaftaran tanah wakaf ini ditegaskan pula melalui pernyataan dari Eksekutif Direktur Badan Wakaf Indonesia kepada Republika Online:11 “Jika tanah wakaf tidak disertifikatkan maka akan mudah diakui hak kepemilikannya oleh orang lain bahkan akan mudah dijual oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab…”
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang Mursyidan Baldan yang menyatakan bahwa banyak aset wakaf yang belum
teradministrasi
dengan
baik
dan
berpotensi
menghentikan
kelangsungan amal jariyah pemberi wakaf. Meskipun pemilik sudah ikhlas mewakafkan tanahnya untuk masjid, namun jika tidak teradministrasi dengan baik, ahli waris sering meminta kembali tanah tersebut.12 Berdasarkan fakta di lapangan, pelaksanaan pendaftaran tanah wakaf 11
Republika Online, Ribuan Tanah Belum Bersertifikat, edisi 4 Juni 2015, http://www.republika.co.id/berita/koran/khazanahkoran/15/06/04/nperg611-ribuan-tanah-wakaf-belum-bersertifikat (Diakses pada 10 Oktober 2015). 12 Ibid.
repository.unisba.ac.id
6
ini belum berjalan efektif, baru 75% tanah wakaf yang telah memiliki sertifikat. 13 Sedangkan menurut data Badan Wakaf Indonesia, disebutkan bahwa tanah wakaf di Indonesia yang terletak di 435 ribu lokasi, namun 143 ribu lokasi diantaranya atau lebih dari 30% masih belum memiliki sertifikat wakaf.14 Khususnya untuk tanah masjid, selain berdasarkan ketentuan UndangUndang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang salah satu isinya adalah:15 “Status tanah yang dimanfaatkan untuk masjid adalah wakaf walaupun secara formal belum memperoleh sertifikat wakaf. Untuk itu, tanah masjid yang belum berstatus wakaf wajib diusahakan untuk disertifikasi sebagai wakaf.”
Adanya fatwa MUI tersebut tidak sejalan dengan kondisi di lapangan, faktanya di Indonesia baru satu persen masjid yang memiliki sertifikat. 16 Padahal pemanfaatan tanah wakaf terbesar adalah untuk masjid dan mushalla.17 Sebagai contoh, Masjid Jami Miftaahusssalam merupakan salah satu fasilitas tempat pusat kegiatan umat Islam di Desa Jayamukti Kecamatan Leuwisari. Masjid tersebut telah berdiri semenjak tahun 1940 di atas tanah 13
Suhrawardi K. Lubis, dkk., Loc. cit. Republika Online, Ribuan Tanah Belum Bersertifikat, Loc. cit. 15 Republika Online, Ini Isi Fatwa Status Hukum Tanah Masjid, edisi 31 Desember 2014, http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/fatwa/14/12/31/nhfr6r-ini-isi-fatwa-status-hukum-tanah-masjid (Diakses pada 20 Oktober 2015). 16 M. Ibrahim Hamdani, 2015, Wapres Kalla: Hanya Satu Persen Masjid Bersertifikat di Indonesia, http://dmi.or.id/wapres-kalla-hanya-satu-persenmasjid-bersertifikat-di-indonesia/ (Diakses pada 10 Oktober 2015). 17 Badan Wakaf Indonesia, Op. cit., hlm. 7. 14
repository.unisba.ac.id
7
wakaf yang tidak memiliki akta ikrar wakaf dan sertifikat tanah. Pelaksanaan ikrar tidak dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf namun hanya disaksikan tokoh masyarakat (ulama) karena wakif maupun nazhir berpedoman kepada Kitab Fiqh sehingga ikrar wakaf hanya secara lisan. Adanya kesenjangan antara peraturan yang berlaku mengenai pendaftaran harta tanah wakaf di Indonesia dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, maka penulis akan melakukan penelitian yang berjudul “Tanah Wakaf yang Tidak Memiliki Sertifikat Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Studi Kasus pada Masjid Jami Miftâhussalam di Desa Jayamukti Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya)”.
B.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dalam penelitian ini, masalah akan dibatasi sebagai berikut: 1.
Bagaimana status tanah wakaf yang tidak memiliki sertifikat menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf?
2.
Bagaimana status dan akibat hukum dari Masjid Jami Miftâhussalam yang tidak memiliki sertifikat wakaf?
repository.unisba.ac.id
8
C.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan identifikasi masalah tersebut di atas maka tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1.
Untuk menganalisis status tanah wakaf yang tidak memiliki sertifikat menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2.
Untuk
menetapkan
status
dan
akibat
hukum
Masjid
Jami
Miftâhussalam yang tidak memiliki sertifikat wakaf.
D.
Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan Teoritis b.
Sebagai sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan ilmu di bidang hukum pada umumnya, khususnya Hukum Agraria.
c.
Untuk
memberikan
sumbangan
pemikiran
dalam
usaha
mengembangkan ilmu di bidang Hukum Islam pada umumnya, khususnya mengenai tanah wakaf.
2.
Kegunaan Praktis a.
Memberikan saran dan informasi mengenai sertifikasi tanah wakaf kepada wakif, nazhir dan mauquf ‘alaih dari Masjid Jami Miftâhussalam di Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya.
b.
Memberikan informasi atau gambaran umum kepada masyarakat mengenai sertifikasi tanah wakaf.
repository.unisba.ac.id
9
c.
Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah, Kementrian Agama, BWI (Badan Wakaf Indonesia), PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai proses sertifikasi tanah wakaf.
E.
Kerangka Pemikiran
1.
Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam Wakaf berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu-waqfan yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan menurut istilah, wakaf berarti berhenti atau menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah swt.18 Al-Qur’an, secara implisit tidak dijelaskan mengenai wakaf, namun terdapat beberapa ayat yang mengilhami keberadaan wakaf seperti Surat Ali-Imran ayat 92 dan Surat Al-Baqarah ayat 261.19 “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan tentang hal itu, sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui.” (Ali-Imran: 92) “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa saja Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 261)
18 19
Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 51. Ibid., hlm. 55-56.
repository.unisba.ac.id
10
Ayat-ayat tersebut mengemukakan keistimewaan menafkahkan harta di jalan Allah dan ajakan untuk berinfak. Ajakan tersebut dikemukakan secara umum dipahami termasuk di dalamnya ajakan untuk berwakaf.20 Sedangkan di dalam Hadits, terdapat beberapa Hadits yang secara eksplisit menyebutkan keberadaan wakaf, antara lain:21 Dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah saw bersabda, “Apabila seseorang meninggal, putuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.”. Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a.: Umar r.a. pernah mendapatkan bagian kebun (dari hasil ramapasan perang) di Khaibar. Lalu dia menghadap Nabi saw untuk memohon fatwa tentang kebun itu. Dia berkata, ”Wahai Rasulullah, saya mendapatkan bagian kebun di Khaibar, yang belum pernah saya mendapatkan suatu harta yang lebih berharga daripada kebun itu. Maka, apakah yang harus saya lakukan terhadap kebun itu?” Beliau bersabda, “Jika kamu mau, wakafkanlah kebun itu dan sedekahkanlah hasilnya!” Kemudian Umar menyedekahkan hasil kebun itu, sedangkan kebunnya tidak dijual, tidak dibeli, tidak diwariskan, dan tidak dihibahkan. Selanjutnya, dia berkata, “Umar menyedekahkan hasil kebun itu kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak, sabilillah (di jalan Allah), ibnu sabil (musafir), dan tamu. Tiada berdosa orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian dari penghasilan itu dengan cara baik atau memberi makan kawannya tanpa menganggapnya sebagai harta miliknya sendiri (tidak sewenang-wenang mempergunakannya seperti miliknya sendiri).”. Fiqh Islam menetapkan unsur (rukun) dari wakaf adalah:22
20
Suhrawardi K. Lubis, Loc. cit. Al-Hafizh Zakî Al-Dîn 'Abd Al-Azhîm Al- Al-Mundzirî, Ringkasan Shahih Muslim (Penerjemah: Syinqithy Djamaluddin dan Mochtar Zoerni), Bandung, Penerbit Mizan, 2002, hlm. 539-540. 22 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, edisi revisi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 34-35, 39-41, 43-44, 49. 21
repository.unisba.ac.id
11
a.
Wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya). Beberapa persyaratan wakif antara lain merdeka, berakal sehat, balig, tidak berada di bawah pengampunan, pemilik penuh dan sah barang yang diwakafkan, kecakapan melakukan tabarru’ (melepaskan hak miliknya kepada orang lain).
b.
Harta yang diwakafkan (mauquf bih) dengan ketentuan harus berupa harta benda, harus tegas dan jelas, milik penuh bagi orang yang mewakafkannya, tidak boleh mewakafkan barang yang tidak berfaedah atau tidak bermanfaat, mutaqawwim (boleh diambil manfaatnya menurut syariah), diketahui dengan yakin ketika diwakafkan serta terpisah (bukan milik bersama/musya’).
c.
Tujuan wakaf (mauquf ‘alaih), terdapat dua macam tujuan wakaf yaitu untuk mencari keridhaan Allah swt termasuk di dalamnya segala macam usaha untuk menegakkan Agama Islam serta untuk kepentingan masyarakat.
d.
Ikrar/sighat (segala ucapan, tulisan, atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya), yang bersifat munjiz (wakaf telah berlaku setelah selesai ikrar wakaf itu).
repository.unisba.ac.id
12
2.
Wakaf dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (UU Wakaf) mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dalam Pasal 2 dan 3 UU Wakaf tersebut, wakaf dinyatakan sah apabila dilaksanakan menurut syariah dan wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Unsur-unsur wakaf yang dijelaskan pada UU Wakaf antara lain: a.
Wakif (perseorangan, organisasi atau badan hukum), dengan ketentuan wakif perseorangan harus dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf. Sedangkan untuk wakif organisasi/badan hukum dalam mewakafkan harta milik organisasi/badan hukum tersebut harus sesuai dengan anggaran dasar organisasi/badan hukum yang bersangkutan.
b.
Nazhir (perseorangan, organisasi atau badan hukum), dengan ketentuan nazhir harus terdaftar pada Menteri dan BWI, salah satu nazhir
harus
berdomisili
di
kecamatan
(perseorangan)
atau
provinsi/kabupaten/kota (organisasi/badan hukum) tempat benda wakaf berada. Adapun persyaratan untuk nazhir perseorangan adalah ditunjuk oleh wakif, warga Negara Indonesia (WNI), muslim, dewasa,
repository.unisba.ac.id
13
amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang perbuatan hukum. Sedangkan untuk nazhir badan hukum/organisasi merupakan
badan
hukum/organisasi
Indonesia,
memenuhi
persayaratan nazhir perseorangan, bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. c.
Objek atau harta benda, dapat benda bergerak atau benda tidak bergerak. Dua persyaratan utama untuk harta benda wakaf adalah (1) dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah serta (2) bebas dari segala sitaan, perkara, sengketa dan tidak dijaminkan.
d.
Ikrar yang dapat dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan oleh wakif atau kuasanya kepada nazhir di hadapan PPAIW disaksikan oleh dua orang saksi, kemudian dituangkan dalam akta ikrar wakaf (AIW) oleh PPAIW, namun dalam kondisi wakif sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya namun belum dibuat AIW, dapat dibuat APAIW (Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf).
3.
Pendaftaran Tanah Wakaf Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), menyebutkan pemerintahan dengan suatu Peraturan Pemerintah akan melaksanakan suatu pendaftaran tanah diseluruh wilayah tanah air.23
23
A.P Parlindungan, Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan, Bandung, CV Mandar Maju, 2011, hlm. 25.
repository.unisba.ac.id
14
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidangbidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Adapun salah satu objek pendaftaran tanah adalah tanah wakaf. Dalam UU Wakaf dijelaskan bahwa harta benda yang diwakafkan harus didaftarkan ke pejabat terkait. Untuk wakaf tanah, pendaftaran dilakukan di BPN yang diajukan oleh PPAIW. Pendanaan untuk pendaftaran ini dibebankan kepada anggaran Departemen Agama. BPN menerbitkan bukti pendaftaran berupa sertifikat, kemudian PPAIW menyerahkan bukti tersebut kepada nazhir. Sertifikat hak atas tanah yang diperoleh setelah proses pendaftaran merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 huruf (c) UUPA, namun bukan merupakan tanda bukti yang mutlak. 24 Hukum Islam tidak mengharuskan pendaftaran tanah wakaf atau mencatat transaksi penyerahan tanah wakaf. Tetapi kalau dilihat dalam 24
Anggita K. Putri, Perlindungan Hukum Tanah Wakaf yang Tidak Bersertifikat atas Tindakan Pengambilalihan Sepihak oleh Ahli Waris Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Tesis, Bandung, Universitas Padjajaran, 2011, hlm. 61.
repository.unisba.ac.id
15
kegiatan muamalah lainnya, ada petunjuk dari Al-Quran untuk menulisnya, misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 282 disebutkan:25 “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar…” (Al-Baqarah: 282) “…Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan...” (AlBaqarah: 282)
Berwakaf adalah satu kegiatan menyerahkan hak yang tidak kalah pentingnya dari utang-piutang, mengingat penyerahan wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf tersebut untuk jangka waktu tidak terbatas, selama beberapa puluh tahun kemudian. Karena untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk menuliskannya, maka secara analogi untuk wakaf sepatutnya harus ditulis juga.26
F.
Metode Penelitian
1.
Metode Pendekatan Berdasarkan aspek fokus dalam penelitian ini, maka metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif-empiris (applied law research) dengan menggunakan studi kasus berupa produk perilaku hukum. Pokok kajiannya adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif
25 26
Adijani Al-Alabij, Op. cit., hlm. 101. Ibid., hlm. 102.
repository.unisba.ac.id
16
secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyakarat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.27 Dalam penelitian hukum normatif-empiris terdapat gabungan dua kajian yaitu (1) kajian mengenai hukum normatif yang berlaku dan (2) penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hasil penerapan akan memberikan pemahaman mengenai realisasi dan efektivitas pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum normatif yang dikaji telah dijalankan secara patut atau tidak. Karena penggunaan kedua kajian tersebut, maka
penelitian hukum
normatif-empiris
membutuhkan data sekunder dan data primer.28
2.
Spesifikasi Penelitian Berdasarkan sifat dan tujuan dari penelitian hukum ini, maka spesifikasi penelitian yang akan digunakan adalah penelitian hukum deskriptif (descriptive legal study).
Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap dan sistematis tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat melalui suatu proses analisis dengan menggunakan peraturan hukum dan asas-asas hukum.29
27
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 52. 28 Ibid. 29 Ibid., hlm. 49.
repository.unisba.ac.id
17
3.
Tahap Penelitian Sesuai dengan metode penelitian hukum yang dipilih, maka dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap pengumpulan data, yaitu 1.
Studi pustaka mengenai hukum normatif yang berlaku dengan cara mengkaji data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. a.
Bahan hukum primer termasuk Al-Qur’an, Hadits, UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam dan Fatwa MUI.
b.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, laporan hukum, jurnal dan lain sebagainya).
c.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder.
repository.unisba.ac.id
18
2.
Studi lapangan untuk memperoleh data-data primer dan fakta hukum yang terjadi di lapangan melalui wawancara langsung kepada narasumber yaitu pihak-pihak yang terkait dalam proses wakaf dari Masjid Jami Miftâhussalam di Dewa Jayamukti Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya serta didukung dengan pengumpulan dokumen hukum yang terkait.
4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan sekunder dilakukan melalui wawancara; studi kepustakaan (bibliography study) yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas; dan studi dokumen (document study) yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum tetapi boleh diketahui oleh pihak
tertentu
dalam
rangka
kajian
hukum,
pengembangan
dan
pembangunan hukum serta praktik hukum.30
5.
Metode Analisis Data Pada penelitian ini digunakan kasus tunggal karena banyak terdapat kasus hukum yang mempunyai kriteria atau karakteristik yang sama sehingga cukup diambil satu kasus hukum saja.31
30 31
Ibid., hlm. 82. Ibid., hlm. 41.
repository.unisba.ac.id
19
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah content analysis method yaitu melalui analisis yuridis yaitu analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan menitikberatkan pada penggunaan data yang bersumber dari data primer dan data sekunder.32
32
Ibid., hlm. 42.
repository.unisba.ac.id