BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Terdapat lebih dari 1,2 juta kasus kanker kolon baru pada tahun 2012, menempatkan kanker ini pada urutan ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia (American Cancer Society, 2014). Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2012, diprediksi terdapat 14,1 juta kasus kanker baru dan 8,2 juta kematian akibat kanker pada tahun 2012, dimana kanker kolon dan rektum menempati urutan ketiga dengan jumlah kasus sebesar 1,4 juta (9,7%). Angka insidensi kanker kolon ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk baik di negara berkembang maupun negara maju (Siegel et al., 2014). Di Indonesia, kanker kolon dan rektum ini menempati urutan keempat kematian akibat kanker setelah kanker paru, hati, dan perut setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2015). Oleh karena itu upaya pencegahan dan pengobatan yang tepat diperlukan untuk menurunkan insidensi kematian akibat kanker kolon. Doxorubicin merupakan salah satu agen kemoterapi yang termasuk dalam kelas utama agen sitotoksik yaitu antrasiklin yang memiliki aktivitas antitumor spektrum luas. Doxorubicin memiliki beberapa mekanisme aksi, antara lain menghambat sintesis asam nukleat dengan menginterkalasi untai DNA dan menghambat kerja enzim topoisomerase II yang dibutuhkan untuk replikasi DNA.
1
2
Doxorubicin juga mampu menginduksi apoptosis dengan cara mengaktifkan caspase 3, efektor dalam proses apoptosis (Wang et al., 2004). Akan tetapi, penggunaan doxorubicin dibatasi karena dapat menyebabkan toksisitas pada sel normal, kardiotoksisitas yang mengarah ke gagal jantung (Ferreira et al., 2008), hepatotoksisitas (El-Sayyad et al., 2009), dan kemoresistensi (Gangadharan et al., 2009)
sehingga
pengobatan
menjadi
kurang
efektif.
Untuk
mengatasi
permasalahan ini, diperlukan strategi kombinasi kemoterapi (kokemoterapi) yang dapat meningkatkan efektivitas terapi. Pendekatan yang baik adalah mengembangkan agen kokemoterapi yang berasal dari bahan alam. Salah satu tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen kokemoterapi adalah sirih merah. Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) merupakan salah satu spesies dari genus Piper yang banyak ditemukan di Indonesia dan secara tradisional telah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Ekstrak daun sirih merah mengandung metabolit sekunder yaitu flavonoid, alkaloid, minyak atsiri, dan tanin (Farida et al., 2010). Flavonoid dan alkaloid merupakan senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antikanker. Dari hasil penelitian telah membuktikan bahwa daun sirih merah dapat menghambat pertumbuhan sel kanker payudara T47D (Wicaksono et al., 2009) dan sel kanker serviks Hela (Wicaksono et al., 2013). Flavonoid diketahui memiliki aktivitas menghambat proliferasi pada berbagai sel kanker dan mampu menginduksi terjadinya apoptosis. Mekanisme flavonoid dalam menginduksi apoptosis adalah melalui penghambatan aktivitas DNA topoisomerase I/II, modulasi signalling pathways, penurunan ekspresi gen
3
Bcl-2 dan Bcl-XL, peningkatan ekspresi gen Bax dan Bak, serta aktivasi endonuklease (Ren et al., 2003). Alkaloid digunakan sebagai obat antitumor dan mampu menginduksi apoptosis (Pommier, 2006). Piperin merupakan salah satu golongan alkaloid yang dilaporkan memiliki efek sitotoksik pada beberapa jenis sel kanker. Piperin menunjukkan aktivitas sitotoksik pada sel kanker darah CEM dan HL-60, sel kanker melanoma B16, kanker kolon HCT-8 (Bezerra et al., 2005) dan HT-29 (Kim et al., 2009). Penelitian-penelitian tersebut menjadi dasar pengembangan lebih lanjut penggunaan daun sirih merah sebagai agen kokemoterapi. Pengembangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah menguji sitotoksisitas ekstrak metanolik daun sirih merah (EMSM) pada sel WiDr sebagai model kanker kolon. Untuk mengetahui potensinya dalam meningkatkan sitotoksisitas doxorubicin terhadap sel kanker kolon WiDr maka dilakukan uji sitotoksik tunggal dan kombinasi, serta induksi apotosis. Uji sitotoksisitas tunggal maupun kombinasi dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode MTT assay, sedangkan uji induksi apoptosis dilakukan menggunakan metode double staining. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah mengenai aktivitas EMSM dalam meningkatkan sitotoksisitas doxorubicin pada sel kanker kolon WiDr sehingga dapat menjadi landasan pemanfaatan daun sirih merah sebagai agen kokemoterapi doxorubicin dalam pengobatan kanker kolon.
4
B. Perumusan Masalah 1. Apakah ekstrak metanolik daun sirih merah memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker kolon WiDr? 2. Apakah kombinasi ekstrak metanolik daun sirih merah dan doxorubicin memiliki efek sinergis dalam meningkatkan sitotoksisitas terhadap sel kanker kolon WiDr? 3. Apakah kombinasi ekstrak metanolik daun sirih merah dan doxorubicin mampu menginduksi apoptosis terhadap sel kanker kolon WiDr?
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan potensi bahan alam yaitu daun sirih merah sebagai agen kokemoterapi doxorubicin pada pengobatan kanker, khususnya kanker kolon. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui efek sitotoksik ekstrak metanolik daun sirih merah terhadap sel kanker kolon WiDr. b. Mengetahui efek sitotoksik kombinasi ekstrak metanolik daun sirih merah dan doxorubicin terhadap sel kanker kolon WiDr. c. Mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ekstrak metanolik daun sirih merah dan doxorubicin terhadap induksi apoptosis sel kanker kolon WiDr.
5
D. Urgensi Penelitian Sampai saat ini kemoterapi masih menjadi pengobatan utama penyakit kanker. Namun, masalah utama kemoterapi adalah konsentrasi terapi agen kemoterapi yang menimbulkan efek toksik pada jaringan normal, sehingga menjadi tantangan untuk memperbaiki aplikasi klinik agen kemoterapi. Salah satu pendekatan yang kini sedang mendapatkan perhatian adalah penggunaan kombinasi kemoterapi dengan suatu senyawa dari bahan alam untuk meningkatkan toksisitasnya pada sel kanker sehingga dosis terapinya semakin berkurang untuk mendapatkan efektivitas terapi yang sama. Daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) yang awalnya hanya dikenal sebagai tanaman hias, ternyata memiliki kandungan senyawa yang mampu mengobati berbagai penyakit. Penelitian ini ingin mengetahui aktivitas sitotoksik daun sirih merah dan mengetahui pengaruhnya apabila dikombinasikan dengan agen kemoterapi doxorubicin terhadap sel kanker kolon WiDr. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah yang valid mengenai aktivitas sitotoksik dan induksi apoptosis ekstrak metanolik daun sirih merah dan kombinasinya dengan doxorubicin pada sel kanker kolon WiDr sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
6
E. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Kolon Kanker merupakan penyakit seluler dengan karakteristik proliferasi sel yang tidak terkontrol (Hanahan and Weinberg, 2000). Kanker dapat terjadi karena adanya mutasi pada gen-gen regulator proliferasi sel, baik regulator positif (oncogene) maupun negatif (tumor suppressor gene). Gen regulator positif di antaranya cyclin dan ras dapat termutasi dan mengalami peningkatan ekspresi, protein fungsionalnya menjadi memiliki kestabilan tinggi, atau aktivitasnya meningkat sehingga akan memacu proliferasi sel. Di sisi lain, gen regulator negatif seperti halnya p53 dapat mengalami mutasi sehingga mengalami penurunan level ekspresi, protein fungsionalnya menjadi inaktif, atau kestabilannya rendah yang kesemuanya akan menyebabkan sel kehilangan kontrol untuk menghentikan aktivitas proliferasi sel yang abnormal. Aktivitas proliferasi yang berlebih pada sel yang telah termutasi akan meningkatkan laju kerusakan gen sehingga tingkat mutasi akan terus bertambah dan sel akan tertransformasi menjadi sel kanker seiring dengan waktu (King, 2000). Kanker kolon terjadi sesuai dengan karsinogenesis pada umumnya. Gen yang terlibat dalam karsinogenesis kanker kolon dapat digolongkan ke dalam 2 tipe. Gen-gen yang termasuk ke dalam tipe pertama di antaranya APC, DCC, dan K-ras berperan dalam transduksi sinyal yang diperlukan dalam replikasi sel. Gen p53, hMSH2, hMLH1, hPMS1, dan hPMS2 yang termasuk dalam tumor suppressor gene berperan dalam proses perbaikan DNA ketika terjadi kesalahan dalam replikasi (Calvert and Frucht, 2001). Pada saat sintesis DNA, hMSH2,
7
hMLH1, hPMS1, dan hPMS2 memiliki peran penting dalam mekanisme proofreading sehingga akan menekan proses terjadinya mutasi. Protein p53 berfungsi dalam menghentikan daur sel ketika terjadi kerusakan DNA sehingga mekanisme perbaikan DNA dapat berjalan optimal. Selain itu, jika perbaikan tidak berhasil diatasi maka p53 akan memacu terjadinya apoptosis (Gerl and Vaux, 2005).
2. Sel WiDr Sel WiDr (Gambar 1) merupakan sel kanker kolon manusia yang diisolasi dari kolon seorang wanita berusia 78 tahun. Sel WiDr merupakan turunan sel kanker kolon yang lain yakni sel HT-29 (Chen et al., 1987). Sel WiDr memproduksi antigen karsinoembrionik dan memerlukan rentang waktu sekitar 15 jam untuk dapat menyelesaikan 1 daur sel. Ekspresi COX-2 yang tinggi memacu proliferasi sel WiDr (Palozza et al., 2005). Pada sel WiDr, terjadi mutasi p53 pada posisi 273 sehingga terjadi perubahan residu arginin menjadi histidin (Noguchi et al., 1979). Dengan adanya mutasi pada p53 akan mengakibatkan terhambatnya mekanisme apoptosis yang diregulasi oleh protein tersebut. Namun, p21 pada sel WiDr yang masih normal memungkinkan untuk terjadinya penghentian daur sel (Liu et al., 2006). Apoptosis pada sel WiDr dapat terjadi melalui jalur independent p53, di antaranya melalui aktivasi p73 (Levrero et al., 2000).
8
(a)
(b)
Gambar 1. Morfologi sel WiDr (a) sehari setelah thawing, dan (b) setelah mencapai konfluen (ATCC, 2015).
3. Apoptosis sebagai Target Agen Sitotoksik Proses kematian sel dibutuhkan untuk menghilangkan sel rusak yang mungkin membahayakan tubuh dan untuk perbaikan jaringan. Kematian sel dapat terjadi dalam dua cara, yaitu apoptosis atau nekrosis. Nekrosis merupakan proses kematian sel yang ditandai oleh adanya peningkatan volume sel dan kehilangan tekanan membran. Nekrosis diakibatkan adanya pelepasan enzim lisis lisosomal seperti protease dan nuklease, sehingga sel mengalami lisis, yang kemudian diikuti oleh respon inflamasi. Nekrosis merupakan proses patologis karena adanya paparan tekanan fisik atau kimia yang sangat berpengaruh pada sel (Wyllie et al., 2000). Apoptosis merupakan kematian sel secara terprogram yang secara normal terjadi selama proses perkembangan dan penuaan semua jaringan di dalam tubuh. Apoptosis berfungsi mengeliminasi sel yang tidak diinginkan atau tidak berguna selama proses pertumbuhan sel dan proses biologis normal lainnya (Wyllie et al., 2000). Pada proses apoptosis (Gambar 2) ditandai dengan pemadatan dan
9
pemisahan kromatin inti, pengkerutan sel, membrane blebbing, dan fragmentasi sel untuk menghasilkan badan apoptosis yang kemudian difagositosis oleh makrofag dan didegradasi dalam lisosom (Simstein et al., 2003). Dalam mitokondria terjadi
degradasi DNA. Retikulum endoplasma kehilangan strukturnya dan terjadi hilangnya potensi transmembran mitokondria (Chamond et al., 1999). Membran sitoplasma pada sel apoptosis menjadi rusak. Fosfolipid pada membran sel mengubah orientasinya dan terkena paparan lingkungan eksternal. Fragmen dari membran sel membentuk badan apoptosis yang sebenarnya sisa-sisa sitoplasma yang dikelilingi oleh membran sel. Ketika badan apoptosis yang dilepaskan pada lingkungan eksternal, badan apoptosis difagiositosis oleh fagosit sehingga tidak ada reaksi inflamasi (Padanilam, 2003).
Gambar 2. Tahap-tahap apoptosis. Perubahan morfologi meliputi kondensasi, perubahan pada struktur inti, dan fragmentasi sel menjadi badan apoptosis (Padanilam, 2003).
Apoptosis dapat terjadi melalui jalur instrinsik (mitokondria) maupun jalur ekstrinsik (death receptor). Jalur intrinsik umumnya disebabkan oleh sinyal intraseluler seperti kerusakan DNA, glukokortikoid, ceramide, dan penurunan faktor pertumbuhan yang menyebabkan perubahan membran mitokondria. Membran
mitokondria semakin permeabel sehingga menyebabkan pelepasan sitokrom C dan protein apoptogenik seperti AIF (apoptosis inducing factor), Smac/DIABLO, endonuclease G, dan serine protease Omi/HTRA2 menuju sitosol. Pada sitosol,
10
sitokrom C mengikat caspase-activating protein, Apaf1 (apoptotic proteaseactivating factor), dan kemudian kompleks sitokrom C-Apaf1 mengikat procaspase-9 membentuk struktur multiprotein yang disebut apoptosom. Apoptosom mengubah procaspase-9 menjadi caspase-9. Aktivasi caspase-9 ini menginisiasi jalur proteolitik, yaitu caspase-9 memotong dan mengaktifkan protease efektor downstream seperti procaspase-3. Aktivasi caspase memacu fragmentasi DNA dan digesti protein sel yang menyebabkan gangguan integritas sel, diikuti pengkerutan sel, kondensasi kromatin, membrane blebbing, dan pembentukan badan apoptosis yang kemudian akan didigesti oleh sel fagosit (Gimenez-Bonafe et al., 2009). Keluarga protein B-cell lymphoma-2 (Bcl-2) turut mengatur dan meregulasi jalur apoptosis mitokondria. Keluarga Bcl-2 terdiri dari protein pro dan anti
apoptosis. Protein yang termasuk dalam keluarga pro apoptosis adalah Bax, Bak, dan Bok sedangkan yang termasuk protein anti apoptosis adalah Bcl-2 dan Bcl-XL (Padanilam, 2003). Anggota protein pro apoptosis yang lain adalah keluarga BH3only protein yang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu “aktivator” yang secara langsung mengaktifkan Bax dan Bak (Bim dan tBid) dan “sensitizer” yang menghambat kerja protein antiapoptosis (Bad, Bik, Bmf, Hrk, NOXA, dan PUMA). Bid merupakan protein penghubung jalur apoptosis mitokondrial dan jalur death receptor. Permeabilisasi membran mitokondria oleh Bax atau Bak melepaskan protein apoptogenik sitokrom C dan Smac, yang kemudian akan mengaktifkan jalur caspase (MacFarlane, 2009; Gimenez-Bonafe et al., 2009).
11
Perbaikan DNA Pengkerutan Sel Membran blebbing
Fragmentasi DNA
Kondensasi kromatin
Gambar 3. Jalur Apoptois Sel. Jalur induksi apoptosis ekstrinsik diinisiasi oleh ikatan ligan (misal FasL) dengan reseptornya (Fas), yang mengakibatkan pengikatan FADD dan pro-caspase-8, c-FLIP akan mengeblok pro-caspase-8 untuk membentuk kompleksnya. Pro-caspase-8 ini akan teraktivasi menjadi caspase-8. Caspase-8 dapat mengaktivasi caspase-3 atau dapat memotong Bid menjadi t-Bid yang mengikat Bax dan bergabung ke dalam membran mitokondia untuk melepaskan sitokrom C. Sebagai respon terhadap berbagai cellular stress yang menginduksi apoptosis, jalur apoptosis intrinsic (mitokondria) diaktifkan. Bax dapat melepaskan sitokrom C dari mitokondria ke dalam sitosol. Sitokrom C bergabung dengan Apaf-1 dan caspase 9 untuk membentuk apoptosome dan mengaktivasi caspase-3, 6, dan 7 sebagai eksekutor apoptosis (Padanilam, 2003).
Jalur ekstrinsik (Gambar 3) diinduksi oleh ligasi (penempelan) suatu ligan (TNF, FasL) pada reseptor kematian (death receptor) transmembran yaitu Fas dan tumor necrosis factor receptor (TNFR-1). Reseptor ini termasuk dalam TNF super family. Ikatan ligan oleh reseptornya misal FasL oleh Fas akan
12
menyebabkan trimerisasi dari reseptor Fas. Fas akan mengikat suatu protein adaptor yaitu FADD (Fas Assosiating protein with death domain) pada death domain yang terletak pada sisi sitoplasmik dari reseptor dan mengaktifkan caspase-8. Caspase 8 akan mengaktifkan caspase 3, 6, dan 7 yang merupakan faktor kunci dalam eksekusi apoptosis (Hakem and Harrington, 2005). Alternatif lain dari aktivasi caspase-8 oleh Fas adalah mengaktifkan Bid menjadi bentuk aktifnya yaitu t-Bid (truncated Bid). Protein t-Bid akan menginduksi
pembentukan
pori
pada
membran
luar
mitokondria
dan
menyebabkan perubahan konformasi Bax. Protein Bax akan terlokalisasi pada membran luar mitokondria dan akan memacu pelepasan sitokrom C dari mitokondria (Sun et al., 2004). Jalur alternatif menunjukkan bahwa jalur mitokondria dan death receptor saling berhubungan dalam memacu apoptosis. Apoptosis dapat dideteksi dengan pengecatan akridin oranye-etidium bromida. Metode ini berdasarkan pada perbedaan fluoresensi DNA pada sel yang hidup dan mati karena pengikatan akridin oranye-etidium bromida. Metode ini juga dapat membedakan sel yang sedang berada pada fase early dan late apoptosis (McGahon et al., 1995). Akridin oranye akan menembus seluruh bagian sel dan nukleus sehingga tampak berwarna hijau, sedangkan etidium bromida hanya dapat berinterkalasi dengan sel yang membrannya sudah rusak dan nukleus akan berwarna merah. Warna yang ditimbulkan oleh etidium bromida pada sel mati lebih dominan jika dibandingkan dengan akridin oranye sehingga nukleus pada sel mati akan berwarna oranye (McGahon et al., 1995).
13
Sel hidup dengan membran yang masih utuh memiliki nukleus dengan warna hijau yang seragam. Pada apoptosis tahap awal (early apoptosis) membran akan berwarna hijau dengan inti sel berwarna oranye karena telah terjadi membran blebbing sehingga etidium bromida dapat masuk ke dalam sel dan memberikan warna oranye pada inti. Sel yang berada pada apoptosis tahap akhir (late apoptosis) akan
membentuk badan apoptosis dengan ukuran lebih kecil dibanding sel normal dan berwarna oranye, sedangkan sel yang nekrosis akan berwarna oranye dengan ukuran sel normal (McGahon et al., 1995). 4. Kemoterapi dan Kokemoterapi Kemoterapi merupakan terapi yang umum diberikan pada penderita kanker. Menurut Sukardja (2000) kemoterapi merupakan terapi sistemik yang dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat-obat antikanker yang disebut sitostatika. Kemoterapi dapat menjadi bentuk pengobatan primer atau tambahan pada terapi pembedahan atau radioterapi dalam pengobatan kanker. Namun, agen kemoterapi ini tidak dapat membedakan antara sel kanker dengan sel normal yang membelah secara cepat. Hal ini menyebabkan timbulnya efek samping yang berat pada penggunaannya. Doxorubicin adalah salah satu agen kemoterapi spektrum luas yang dapat digunakan pada pengobatan berbagai jenis kanker. Doxorubicin merupakan antibiotik antrasiklin yang diisolasi dari Streptomyces peucetius var. caesius (Singal and Iliskovivic, 1998). Rumus struktur doxorubicin adalah C27H29NO11. Doxorubicin terdiri dari 4 cincin planar yang mengandung kromofor quinon dan aminoglikosida (Gambar 4). Mekanisme aktivitas antineoplastiknya adalah
14
dengan menghambat aktivitas enzim topoisomerase II dengan membentuk kompleks yang stabil dengan DNA enzim tersebut sehingga mencegah pemotongan dan penyambungan untai DNA yang dikatalisis enzim topoisomerase II. Topoisomerase II merupakan enzim eukariot homodimer yang memediasi segregasi kromosom dengan mengkatalisis transport DNA dupleks (bagian T) dengan bagian DNA lain (bagian G) melalui suatu jembatan enzim secara ATP-dependent (Patel et al., 1998). Sebagai inhibitor topoisomerase, doxorubicin mampu
menginduksi apoptosis melalui jalur Fas (Massart et al., 2004).
Gambar 4. Struktur kimia doxorubicin (Agudelo et al., 2014)
Mekanisme sitotoksik lain dari doxorubicin sebagai agen kemoterapi adalah melalui pembentukan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan DNA atau peroksidasi lipid (Gewirtz, 1999). Bagian kuinon pada cincin C doxorubicin dapat membentuk semi kuinon dan secara cepat menghasilkan reactive oxygen species (ROS) seperti anion oksigen (O2•-) atau H2O2. Namun ROS ini dapat menyebabkan efek samping utama pada sistem kardiovaskuler. Manifestasi yang muncul antara ggal jantung, iskemik, hipotensi, hipertensi, edema, bradiaritmia, dan tromboemboli (Yeh, 2006). Penggunaan doxorubicin pada dosis tinggi dan dalam jangka waktu lama juga dilaporkan dapat menimbulkan hepatotoksisitas (El-Sayyad et al., 2009) dan resiko resistensi. Oleh karena itu, doxorubicin
15
umumnya tidak digunakan sebagai agen kemoterapi tunggal namun kombinasi kemoterapi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas terapi sekaligus mengatasi kekurangan kemoterapi tunggal. Agen pendamping (kokemoterapi) merupakan strategi terapi dengan mengkombinasikan suatu senyawa dengan agen kemoterapi. Banyak agen kemoterapi yang penggunaannya menjadi tidak efektif karena sering menimbulkan toksisitas yang tinggi terhadap sel normal dan adanya resistensi sel kanker terhadap obat (Tyagi et al., 2004). Penggunaan agen pendamping bersama dengan agen
kemoterapi merupakan usaha terapi kanker untuk meningkatkan efektivitas agen kemoterapi sekaligus menurunkan efek sampingnya (Sharma et al., 2004). Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah mengkombinasikan senyawa dari bahan alam dengan agen kemoterapi yang mana akan meningkatkan efikasinya dan menurunkan toksisitasnya terhadap jaringan normal, sehingga lebih efektif melawan sel kanker (Sharma et al., 2004). Penggunaan agen kokemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dibandingkan penggunaan agen kemoterapi tunggal. Idealnya obat yang dikombinasi memiliki efek sinergis melawan sel kanker namun toksisitasnya dapat ditoleransi sehingga secara klinik akan lebih efisien dibandingkan dengan agen tunggal (Miles et al., 2002). Sinergis mempunyai arti bahwa campuran obat atau obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi proksimat yang sama, menimbulkan efek yang lebih besar dari jumlah efek masing-masing obat secara terpisah pada pasien. Efek sinergis juga dapat diartikan jika dua obat atau lebih diberikan bersama, obat yang satu dapat memperkuat atau mempunyai efek sinergis terhadap obat yang lain (Kee and
16
Hayes, 1996). Oleh karena itu, perlu dikembangkan senyawa dari bahan alam yang potensial sebagai agen kokemoterapi. 5. Daun Sirih Merah Sirih merupakan tanaman yang telah dikenal oleh masyarakat dan banyak digunakan untuk tujuan pengobatan. Sirih banyak digunakan untuk pengobatan penyakit asma, rheumatik arthritis, rheumatalgia dan luka-luka (Sudarsono et al., 1996). Tanaman sirih telah dikenal sejak 600 SM sebagai antiseptik, untuk mengobati sakit mata, eksim, bau mulut, luka, mimisan, sariawan, sakit gigi, dan menjaga kesehatan alat kelamin wanita (Mursito, 2002). Tanaman sirih terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah sirih merah. Tanaman sirih merah (Gambar 5) tumbuh menjalar seperti sirih hijau, batangnya bersulur, beruas dengan setiap buku tumbuh bakal akar, daunnya bertangkai membentuk jantung dengan bagian atas meruncing, mempunyai warna yang khas yaitu permukaan atas hijau gelap berpadu dengan tulang daun berwarna merah hati keunguan, daun berasa pahit, berlendir serta mempunyai bau yang khas seperti sirih (Duryatmo, 2005). Daun sirih merah secara empiris memiliki banyak fungsi, diantaranya untuk mengobati diabetes melitus, asam urat, hipertensi, kanker payudara, peradangan (liver dan prostat), hepatitis, kadar kolesterol, mencegah stroke, dan lain-lain (Werdhany et al. 2008).
17
Gambar 5. Tanaman sirih merah
Klasifikasi sirih merah adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monochlamydeae
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperaceae
Genus
: Piper
Jenis
: Piper crocatum
(Duryatmo, 2005) Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa daun sirih merah dapat berfungsi menghambat pertumbuhan sel kanker payudara T47D (Wicaksono et al., 2009), aktivator enzim glukosa oksidase (Agustanti, 2008), dan antiinflamasi (Fitriyani, 2011). Aktivitas antikanker daun sirih merah ini telah dibuktikan secara ilmiah melalui uji sitotoksik ekstrak metanol daun sirih merah terhadap sel kanker payudara (T47D) diperoleh nilai IC50 yaitu 44,25 μg/ml. Mekanisme aktivitas daun sirih merah sebagai antikanker pada sel T47D ini melalui menghambat fosforilasi p44/p42 yang berkaitan dengan pertumbuhan sel dan target yang
18
penting untuk terapi antikanker (Wicaksono et al., 2009). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ekstrak etanolik daun sirih merah memiliki efek antiproliferatif dan menginduksi apoptosis pada sel HeLa CCL-2 (Wicaksono et al., 2013). Aktivitas antikanker daun sirih merah diduga metabolit sekunder yang terkandung didalamnya. Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya (Verpoorte and Alfermann, 2000). Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan langkah awal yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari bahan alam yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau prototipe obat beraktivitas tertentu (Harborne, 2006). Ekstrak daun sirih merah mengandung metabolit sekunder yaitu flavonoid, alkaloid, tannin, dan minyak atsiri (Farida et al., 2010). Dari penelitian Yustina et al. (2014) yang melakukan isolasi senyawa aktif dalam ekstrak metanolik daun sirih merah juga menunjukkan terdapat senyawa neolignan di dalam ekstrak metanolik daun sirih merah. Dari hasil kromatografi yang dilakukan Sudewo (2005) juga melaporkan daun sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid senyawa polifenolat, tanin dan minyak atsiri (Sudewo, 2005). Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa flavonoid dan alkaloid merupakan senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antikanker. Flavonoid (Gambar 6) merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman (Rajalakshmi et al., 1985). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik
19
dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Maslarova and Yanishlieva, 2001). Sejumlah tanaman obat yang mengandung flavonoid telah dilaporkan memilki aktivitas antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi, dan antikanker (Miller, 1996). Pada penelitian yang dilakukan oleh Arishandy (2010) menunjukkan bahwa jenis flavonoid yang terdapat pada daun sirih merah adalah senyawa flavonol, flavanon, isoflavon, dan auron. Flavonoid menjadi perhatian karena perannya sebagai obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit kanker.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 6. Struktur kimia flavonoid (a) kerangka dasar flavonoid, (b) flavonol, (c) flavanon, (d) isoflavon, dan (e) auron (Mabry et al., 1970)
Berdasarkan hasil penelitian, flavonoid diketahui mampu menginduksi terjadinya apoptosis. Mekanisme flavonoid dalam menginduksi apoptosis adalah melalui penghambatan aktivitas DNA topoisomerase I/II, modulasi signalling pathways, penurunan ekspresi gen Bcl-2 dan Bcl-XL, peningkatan ekspresi gen
20
Bax dan Bak, serta aktivasi endonuclease. Flavonoid menghambat ekspresi enzim topoisomerase I dan topoisomerase II yang berperan dalam katalisis pemutaran dan relaksasi DNA. Topoisomerase merupakan suatu enzim yang berfungsi memotong DNA yang berlilitan ketat akibat pembukaan double strand DNA oleh enzim helikase, memutar balik dan kemudian menyambungkan lagi. Enzim tersebut bekerja pada saat perpanjangan replikasi DNA (Sismindari, 2002). Inhibitor
enzim
topoisomerase
akan
menstabilkan
kompleks
topoisomerase dan menyebabkan DNA terpotong dan mengalami kerusakan. Kerusakan DNA dapat menyebabkan terekspresinya protein proapoptosis seperti Bax dan Bak dan menurunkan ekspresi protein antiapoptosis yaitu Bcl-2 dan BclXL. Dengan demikian pertumbuhan sel kanker terhambat. Sebagian besar flavonoid telah terbukti mampu menghambat proliferasi pada berbagai sel kanker pada manusia namun bersifat tidak toksik pada sel normal manusia (Ren et al., 2003). Alkaloid digunakan sebagai obat antitumor dan mampu menginduksi apoptosis melalui ikatannya dengan DNA, topoisomerase I, dan menstabilkan kompleks topoisomerase-DNA terpotong. Penstabilan kompleks pemotongan ini akan menyebabkan kerusakan double strand DNA yang permanen sehingga mengarah ke terjadinya apoptosis (Pommier, 2006). Alkaloid mampu mengatur p2 WAF1/CIP1 dan menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara baik melalui jalur p53-dependent (MCF-7) maupun p53-independent (MDA-MB-468) (Liu et al., 1998).
21
Dari beberapa penelitian sebelumnya diketahui bahwa ekstrak tanaman dari genus Piper menunjukkan efek sitotoksik. Piperin (Gambar 7) merupakan salah satu senyawa golongan alkaloid yang dilaporkan memiliki efek sitotoksik pada berbagai jenis sel kanker. Piperin (1–piperilpiperidin) C17H19O3N merupakan alkaloid dengan inti piperidin. Piperin berbentuk kristal berwarna kuning dengan titik leleh 127-129,50C, merupakan basa yang tidak optis aktif, dapat larut dalam alkohol, benzena, eter, dan sedikit larut dalam air (Anwar et al., 1994). Piperin menunjukkan aktifitas sitotoksik pada sel kanker darah (CEM dan HL-60), sel kanker melanoma (B16), dan kanker kolon (HCT-8) (Bezerra et al., 2005). Piperin dilaporkan mampu menekan ekspresi dan sekresi MMP 9, menurunkan aktivasi NF-κB, dan AP-1 yang mengarah pada penghambatan invasi dan metastasis dari sel HT-180 (Hwang et al., 2011). Piperin juga dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon HT-29 melalui induksi apoptosis (Kim et al., 2009).
Gambar 7. Struktur kimia piperin (Epstein et al., 1993)
22
F. Landasan Teori Ekstrak metanolik daun sirih merah (EMSM) mengandung metabolit sekunder yaitu flavonoid dan alkaloid yang diketahui memiliki efek sebagai sebagai antikanker. Flavonoid dan alkaloid ini dilaporkan memiliki efek sitotoksik pada beberapa jenis sel kanker. Berdasarkan penelitian terdahulu, EMSM terbukti mempunyai efek sitotoksik pada sel kanker payudara T47D dan sel kanker serviks HeLa. Oleh karena itu, EMSM diprediksi mempunyai efek sitotoksik pada sel kanker kolon WiDr. Doxorubicin adalah agen kemoterapi yang sering digunakan pada terapi kanker, salah satunya kanker kolon. Namun, doxorubicin ini memiliki efek samping yang berat seperti kardiotoksisitas, hepatotoksisitas, dan resiko resistensi. Pengembangan agen kokemoterapi terutama dari bahan alam untuk menurunkan efek samping dan
mengurangi resistensi doxorubicin perlu dilakukan.
Doxorubicin menghambat pertumbuhan sel kanker dengan mekanisme interkalasi DNA dan menghambat aktivitas enzim topoisomerase II. Flavonoid dan alkaloid dalam EMSM juga memiliki efek sitotoksik pada sel kanker kolon WiDr. Oleh
karena itu, kombinasi doxorubicin dan EMSM diprediksi meningkatkan efek sitotoksik doxorubicin secara sinergis pada sel kanker kolon WiDr. Mekanisme peningkatan efek sitotoksik doxorubicin oleh ekstrak metanolik daun sirih merah tersebut diharapkan melalui induksi apoptosis. Senyawa flavonoid dan alkaloid dalam EMSM diketahui mampu menginduksi terjadinya apoptosis. Mekanisme flavonoid dalam menginduksi apoptosis adalah melalui modulasi signalling pathways, penurunan ekspresi gen Bcl-2 dan Bcl-XL,
23
peningkatan ekspresi gen Bax dan Bak serta aktivasi endonuclease. Alkaloid juga diketahui mampu menginduksi apoptosis melalui ikatannya apoptosis melalui ikatannya dengan DNA, topoisomerase I, dan menstabilasikan kompleks topoisomerase-DNA terpotong. Doxorubicin sebagai inhibitor topoisomerase, doxorubicin mampu menginduksi apoptosis melalui jalur Fas. Oleh karena itu, kombinasi antara EMSM dan doxorubicin diprediksi meningkatkan induksi apoptosis pada sel kanker kolon WiDr dibanding doxorubicin tunggal.
G. Hipotesis 1. Ekstrak metanolik daun sirih merah memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker kolon WiDr. 2. Kombinasi ekstrak metanolik daun sirih merah dan doxorubicin memiliki efek sitotoksik yang sinergis terhadap sel kanker kolon WiDr. 3. Kombinasi ekstrak metanolik daun sirih merah dan doxorubicin mampu menginduksi apoptosis terhadap sel kanker kolon WiDr.