1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit
kardiovaskuler
merupakan
salah
satu
penyebab
morbiditas dan mortalitas utama di seluruh dunia (Ross,1999a). Laporan World Health Organization (WHO) mencatat bahwa hampir 16,7 juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit kardiovaskuler (WHO, 2002). Penyakit jantung koroner (PJK) yang merupakan salah satu bentuk penyakit kardiovaskuler, mendominasi presentasi klinik aterosklerosis (Smith et al., 2004). Berdasarkan hasil Survei Rumah Tangga Departemen Kesehatan Republik Indonesia, posisi PJK sebagai penyebab kematian di Indonesia meningkat setiap tahun, dari urutan ke 11 pada tahun 1972 mengingkat menjadi urutan ke 3 pada tahun 1986, dan menjadi penyebab kematian utama
pada
tahun
1992,
1995
dan
2001
(Timsuskernas,
1972;1986;1992;1995; 2001). Dari data Departemen Kesehatan tersebut dapat disimpulkan bahwa PJK merupakan penyakit yang harus diwaspadai oleh masyarakat Indonesia. Menderita penyakit kardiovaskuler sangat merugikan seseorang karena dapat mengakibatkan membesarnya pengeluaran untuk biaya pemeliharaan kesehatan, terutama ketika kelainan kardiovaskuler dialami
2
pada umur dewasa muda akibat pola hidup yang tidak sehat, seperti merokok dan jarang berolahraga. Pola hidup masyarakat perkotaan yang tidak sehat tersebut diduga berpengaruh besar terhadap meningkatnya kejadian penyakit kardiovaskuler, selain peran faktor genetik yang tidak dapat diabaikan. Hal ini didukung oleh studi Framingham yang menyatakan adanya berbagai faktor risiko konvensional penyakit ini, seperti hipertensi, obesitas, dislipidemi, diabetes mellitus, dan kebiasaan merokok. Faktorfaktor tersebut dianggap mempengaruhi tingginya angka kejadian penyakit kardiovaskuler (Chang dan Harley, 1995; Aviv et al., 2001; Samani et al., 2001; Fuster dan Andres, 2006 ; Damani dan Topol, 2007). Pemahaman mengenai patogenesis PJK sangat bermanfaat untuk melakukan pencegahan dan antisipasi sebelum terjadi manifestasi klinis. Gejala awal PJK seringkali dianggap ringan seperti keluhan ‘masuk angin’ biasa, sehingga
dapat menyebabkan
keterlambatan
diagnosis
dan
pertolongan pertama. PJK selalu dihubungkan dengan aterosklerosis, yakni proses pembentukan plak sebagai penyebab utama penyempitan lumen vaskuler. Kenyataan ini diperkuat oleh penemuan Sheppard (2010) pada autopsi 1647 kasus-kasus yang meninggal mendadak karena serangan jantung (sudden cardiac death), hanya 50 orang (3%) saja penyebabnya bukan aterosklerosis, tetapi karena sebab lain seperti anomali arteri koroner, diseksi dinding arteri, vaskulitis, spasme arteri, kalsifikasi arteri dini idiopatik, displasia fibromuskuler, dan massa tumor yang menyumbat
3
ostium cabang koroner kiri utama. Dua puluh orang diantaranya tidak ada keluhan kardiologis sama sekali, seperti nyeri dada, sinkop atau nafas pendek sebelumnya. Cedera endotel yang mengawali pembentukan plak dicetuskan oleh stimulan aterogenik seperti hiperkolestrolemia, hipertensi, diabetes dan merokok (Fuster dan Andres, 2006). Pembentukan plak berlangsung secara progresif dan tanpa gejala, sampai suatu saat timbul angina setelah terjadi ketidak-seimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan miokard untuk berkontraksi. Pada tahap ini umumnya telah terbentuk plak ateroma yang menyebabkan lumen tersisa tinggal 50% atau kurang, bahkan dalam kondisi yang lebih buruk dapat dijumpai sumbatan total atau subtotal oleh bekuan darah ditempat stenosis tersebut. Lesi aterosklerotik mengandung berbagai tipe sel, antara lain platelet, sel endotel, monosit makrofag, sel otot polos dan limfosit T. Sel-sel ini melepaskan faktor pertumbuhan (growth factor) dan sitokin tertentu guna mempertahankan homeostasis dinding vaskuler yang terpapar berbagai faktor risiko aterosklerosis, yaitu suatu proses yang menyerupai reaksi inflamasi terhadap faktor eksogen dan proses penyembuhan luka (Ross, 1999a). Penelitian tentang berbagai biomarker aterosklerosis seperti malondialdehid, interleukin-6, intercellular adhesion molecule-1 (ICAM1), vascular adhesion molecule-1 (VCAM1), dan C-reactive protein (CRP) merupakan bagian dari upaya kalangan ilmu kedokteran untuk mengetahui
4
pathogenesis aterosklerosis lebih mendalam (Koenig dan Khuseyinova, 2007). Dari sudut pandang genetika, kromosom 9p21, Apo E4, TSP4 dan beberapa gen lain terbukti berhubungan dengan aterosklerosis (Damani dan Topol, 2007). Lebih jauh lagi, terdapat bukti bahwa terjadi perubahan panjang telomer dalam proses aterosklerosis (Blackburn, 2001;Fuster dan Andres, 2006; Minamino et al., 2002) Informasi genetik memiliki dua hal mendasar, yaitu gambaran transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya dan variasi pada tiap individu walaupun satu spesies. Kromosom sendiri merupakan pita deoksi ribo nuklease (DNA) yang dapat bereplikasi ketika terjadi pembelahan sel. Replikasi DNA tersebut kemudian diikuti dengan proses pemisahan yang cepat dan tepat. Peristiwa ini terjadi melalui tahap coiling, recoiling dan folding membentuk susunan kromosom (Bell, 1998). Kestabilan genomik (karena terpeliharanya kromosom dari erosi dan fusi ujung-ujungnya) sangat terkait dengan telomer, yang merupakan struktur spesial DNA yang membentuk tudung (telomeric cap) bersama protein-protein khusus (the telomere-shelterin complex) (Bodnar et al.,1998; Oeseburg et al., 2010). Panjang telomer sendiri berada di bawah kendali genetik yang ketat dan korelasi panjang telomer diantara berbagai jaringan tubuh seseorang sangat erat (von Zglinicki, 2002). Proteksi DNA oleh telomere tergantung pada beberapa faktor, termasuk komposisi protein
5
telomerik,tingkat aktivitas telomerase dan panjang telomer (Blackburn, 2001; Blasco, 2003). Panjang telomer lekosit juga diketahui berhubungan dengan timbulnya penyakit-penyakit terkait penuaan, seperti vascular dementia (von Zglinicki, 2002), penyakit Alzheimer (Panossian et al., 2003), infark miokard (Brouilette et al., 2003), aterosklerosis (Benetos et al., 2004) dan tumor jaringan padat (Wu et al., 2003). Tudung telomer dapat mengalami kerusakan bila protein penunjang utamanya dihambat oleh mutan negatif, khususnya telomeric repeat binding factor-2 (TRF2) dan menginduksi penuaan seluler serta apoptosis (Chong et al., 1995; van Steensel et al., 1998; Karlseder et al., 1999). Mengingat besarnya peran genetika dalam berbagai penyakit serta sedikitnya laporan penelitian tentang telomer di Indonesia, peneliti merasa tertarik untuk meneliti hubungan panjang telomer serta protein TRF2 dengan penyakit jantung koroner dimana sebagian besar penyebabnya adalah aterosklerosis. 1.2 Perumusan Masalah Masalah utama pada penelitian ini adalah mencari prediktor genetik dan atau proteinomik PJK terkait proses aterosklerosis lanjut sebagai salah satu
upaya
mengurangi
morbiditas
dan
mortalitas.
Berdasarkan
pendahuluan yang telah diuraikan di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut :
6
1.2.1 Bagaimana panjang telomer lekosit pada PJK dibandingkan bukan PJK? 1.2.2 Bagaimana kadar TRF2 lekosit pada PJK dibandingkan bukan PJK? 1.2.3 Dapatkah panjang telomer dan kadar TRF2 lekosit jadi prediktor PJK? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Memperoleh
gambaran
tentang
peran
telomer
dan
protein
penunjangnya dalam proses aterosklerosis koroner. 1.3.2. Tujuan Khusus 1.3.2.1
Mengkaji
panjang
telomer
pada
PJK,
dan
perbandingannya dengan bukan PJK. 1.3.2.2 Mengkaji
kadar protein TRF2 pada PJK, dan
perbandingannya dengan bukan PJK. 1.3.2.3 Mengkaji manfaat panjang telomer dan kadar TRF2 untuk memprediksi adanya PJK. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Memberi informasi mengenai prediktor genetik dan atau proteinomik proses aterosklerosis, dan kegunaannya untuk menunjang deteksi dini PJK.
7
1.4.2 Praktis Membuka peluang untuk mengenali proses aterosklerosis lebih awal melalui pemeriksaan prediktor genetik dan atau proteinomik secara non invasif, sebagai wujud peningkatan peran informasi genetika, khususnya terhadap penderita berisiko tinggi terhadap PJK. 1.5 Keaslian Penelitian Dari beberapa referensi, diperoleh bukti adanya keterkaitan panjang telomer dengan kejadian PJK, seperti publikasi Ogami et al. (2004) tentang hasil pemeriksaan preparat dinding lumen arteri koroner pada autopsi 11 orang penderita PJK dan 22 orang bukan penderita PJK. Ukuran panjang telomer dievaluasi melalui perbandingan kandungan DNA telomerik dan DNA sentromerik (rasio T/C). Pada kedua kelompok didapati perbedaan bermakna dengan p < 0,0001. Selain itu, Wilson dan Patel (2008) juga menemukan bukti bahwa ada korelasi kuat antara telomer lekosit dan telomer vaskuler dimana ukuran telomer pada lekosit dapat memprediksi panjangnya telomer vaskuler. Peneliti lain, Brouilette et al. (2003) dan Nakashima et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan terbalik antara panjang telomer lekosit dengan aterosklerosis dan infark miokard prematur. Hal serupa juga dikemukakan Cawthon et al. (2003) yang memperoleh kesimpulan dari studi retrospektif tentang adanya hubungan negatif antara panjang telomer lekosit dengan mortalitas kardiovaskuler. Keausan sel dapat terjadi pula
8
akibat uncapping telomer, terlepas dari ada tidaknya perubahan panjang telomer dan aktivitas telomerase. Keausan sel yang diamati pada fibroblast atau sel fibrosarkoma tersebut disebabkan oleh ekspresi berlebihan suatu negative mutant telomere capping protein TRF2, meskipun tak ada pemendekan telomer (van Steensel et al., 1998; Bakkenist et al., 2004). Terinspirasi laporan-laporan ini, peneliti ingin mengetahui seberapa besar hubungan panjang telomer serta kadar TRF2 lekosit dengan beratnya aterosklerosis pada arteri koroner, yang tergambar dari penyempitan lumen arteri
tersebut
berdasarkan
hasil
angiografi.
Mengingat
sebagian
masyarakat Indonesia yang cenderung menghindari prosedur pemeriksaan invasif seperti angiografi koroner, hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai indikator penunjang dalam upaya deteksi dini penyakit jantung koroner dan prediksi penderitanya secara non invasif pada populasi pasien di RSPAD Gatot Subroto.