BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada akhir abad ke-20 penyakit kardiovaskuler telah menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di berbagai negara, terutama di negara-negara maju. Pada tahun 1990 kematian karena penyakit-penyakit tidak menular merupakan 68% dari seluruh kematian di negara-negara sedang berkembang, 63% diantaranya disebabkan karena penyakit kardiovaskuler (Reddy, 2000). Indonesia, terdapat peningkatan jumlah absolut penduduk usia lanjut, maka diperkirakan penyakit-penyakit
degeneratif
seperti
penyakit-penyakit
kardiovaskuler,
neoplasma, diabetes mellitus dan penykit-penyakit tulang dan persendian akan meningkat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab utama kematian meningkat dari urutan 11 pada tahun 1972, menjadi urutan 3 pada tahun 1986, dan menjadi urutan pertama pada tahun 1992 (Rustika, 2001). Sindroma metabolik (SM) maupun komponen-komponennya (obesitas, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia) merupakan faktor risiko yang diyakini secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik. Komponen-komponen sindroma metabolik secara sendiri-sendiri mewakili suatu faktor risiko utama bagi perkembangan penyakit kardiovaskuler, tetapi bila berakumulasi, gangguan metabolik menjadi lebih aterogenik,
dan
lebih
meningkatkan
kardiovaskuler (Meigs et al., 2002).
risiko
morbiditas
dan
mortalitas
SM merupakan faktor penting untuk
terjadinya daibetes miellitus (DM) tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler (Kelishadi et al., 2005). Orang-orang dengan sindroma metabolik mempunyai paling tidak 2 kali lipat risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik, dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai sindroma tersebut (Reaven et al 2000), sedangkan risikonya untuk diabetes tipe 2 meningkat 5 kali lipat baik pada pria maupun wanita (Grundy et al., 2004,
Alexanderet at al., 2003). Adanya perbedaan
berdasarkan jenis kelamin pada sindroma ini dapat memberi kontribusi terjadinya perbedaan berdasarkan jenis kelamin pada penyakit kardiovaskuler.
1
Prevalensi SM tinggi, tidak saja di komunitas Barat, tapi juga di populasi Asia (Kelishadi et al., 2005). Di AS, SM meningkat prevalensinya dan mengenai hampir sekitar 30% dari populasinya dan SM lebih tinggi pada wanita dari pada pria (setelah distandarisasi dengan umur). Pada usia dibawah 40 tahun terjadi peningkatan prevalensi SM yang lebih tinggi pada para wanita dibanding pria (76% vs 5%) (Regitz-Zagrosek 2006). Di Eropa, terlihat juga peningkatan prevalensi SM walaupun demikian penelitian-penelitian di Eropa tetap mengindikasikan prevalensi SM yang lebih rendah dibanding AS, dan prevalensi SM lebih rendah pada wanita dibanding pria (Pannier et al 2006, Csaszar et al., 2006). Prevalensi SM meningkat bersama dengan bertambahnya umur, merupakan temuan yang konsisten dari berbagai penelitian di dunia (Ford et al., 2002). Secara umum wanita hidup lebih lama dari pada pria dan wanita mendapat penyakit kardiovaskuler pada usia yang lebih tua daripada pria. Selama dekade terakhir ini prevalensi sindroma metabolik meningkat tapi peningkatan tersebut tampak lebih tajam pada wanita, terutama pada wanita muda. Kontribusi dari perbedaan komponen dari sindroma metabolik berbeda diantara jenis kelamin dan berbeda diantara negara (Regitz-Zagrosek et al., 2006). Salah satu miskonsep utama tentang penyakit kardiovaskuler adalah bahwa para wanita kurang takut terhadap penyakit tersebut dibanding pria, dan terdapat anggapan bahwa kebanyakan penyakit kardiovaskuler adalah penyakit para pria (Steyn et al., 1997). Fakta epidemiologis menunjukkan bahwa diantara wanita, insidens dari penyakit jantung koroner tetap meningkat. (McKeigue PM et al., 1996). Para dokter lebih lambat untuk memulai terapi preventif, dan lebih sedikit menginvestigasi faktor-faktor risiko, mendiagnosis, merujuk untuk mendapat opini para spesialis dan memberikan perawatan untuk kondisi infark miokard (IM) untuk para wanita (O'Donnell et al., 2006, Hippisley-Cox et al, (2001). Walaupun wanita lebih lambat 10 tahun dibanding pria untuk terjadinya manifestasi pertama dari penyakit kardiovaskuler, tetapi para wanita lebih besar kemungkinannya meninggal setelah mendapat IM dari pada pria (Vaccarino et al., 1999). Terdapat perbedaan yang signifikan dari model gejala penyakit jantung antara wanita dan pria. Nyeri dada yang klasik sebagai contohnya tidak ditemukan pada semua wanita dengan angina pectoris (The Women's Health Council.
2
Women and cardiovascular health 2003). Masyarakat dan kampanye media menyebabkan wanita terfokus lebih dominan pada penyakit kanker payudara, walaupun kasus tersebut lebih jarang, di Irlandia kematian karena penyakit kardiovaskuler pada wanita hampir 2 kali lebih tinggi daripada kematian karena semua kanker setiap tahunnya (Central Statistics Office Ireland Central Statistics Office Website 2000). Peran hormon seks steroid pria dan wanita dalam memediasi atau memproteksi penyakit kardiovaskuler dan hipertensi masih kontroversi. Penelitian pada binatang menunjukkan implikasi yang kuat hormon androgen sebagai mediator dari penyakit kardiovaskuler dan hipertensi, tapi penelitian-penelitian epidemiologi pada manusia menunjukkan bahwa pada penyakit-penyakit kronis, termasuk hipertensi, kadar testosteron serum darah terlihat menurun (Liu et al., 2003). Temuan-temuan tersebut menyebabkan banyak para peneliti berasumsi bahwa androgen tidak bertanggung jawab dalam memediasi terjadinya penyakit kardiovaskuler. Walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan peran androgen sebagai mediator penyakit kardiovaskuler (Quan et al., 2004, Reckelhoff et al., 2003).
Banyak penelitian-penelitian in vitro menunjukkan
bahwa estradiol bersifat kardio-protektif, demikian
juga pada penelitian-
penelitian di hewan, estradiol atau metabolit-metabolitnya merupakan faktor kardioprotekif (Widder et al., 2003, Dubey et al., 2001). Adanya perbedaan faktor risiko penyakit kardiovaskuler pada wanita dan pria, ada hubungannya dengan adanya interaksi faktor-faktor risiko kardiovaskuler tadi dengan hormon wanita/pria, dan interaksi tadi dapat memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit kardiovaskuler berdasarkan jenis kelamin (Liu et al., 2003) Gender berbeda dengan seksualitas. Seksualitas lebih ditekankan kepada perbedaan-perbedaan dalam fisik dan biologis yang membedakan antara wanita dan pria. Gender merupakan suatu ukuran gabungan dari adanya perbedaan biologis maupun perbedaan sosial, sepertinya ketidaksetaraan kesehatan antara pria dan wanita merefleksikan adanya ketidaksamaan dari faktor biologis (yang ada kaitannya dengan seks) dan faktor sosial dan interaksi dari kedua faktor tersebut (Bird & Rieker, 1999). Ketidaksetaraan gender dibidang kesehatan dapat
3
disebabkan karena adanya perbedaan struktur sosial pria dan wanita, misalnya adanya perbedaan terhadap keterpajanan dengan faktor risiko, sumber daya, gaya hidup, dimana misalnya pria lebih mungkin merokok dan mengkonsumsi alkohol daripada wanita, sementara wanita lebih mungkin tidak aktif secara fisik dibanding pria (Denton et al., 2004). Para wanita dapat mempunyai masalah kesehatan lebih tinggi dibanding pria karena kurangnya akses ke materi dan kondisi sosial yang mendukung kesehatan (Arber & Cooper 1999). Posisi sosial wanita berbeda dengan para pria, misal para wanita lebih sedikit mendapat kesempatan kerja karena variasi jenis pekerjaan lebih terbatas dibanding pria, wanita lebih sering mendapat pendapatan yang rendah dan lebih sering menjadi buruh domestik di banding pria (Denton & Walters 1999; Ross & Bird 1994). Penelitian-penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa wanita mempunyai tingkat masalah kesehatan yang lebih tinggi karena mereka terpajan dengan tingkat “demand” dan kewajiban yang lebih tinggi dari peran sosial mereka, demikian juga pengalaman terhadap peristiwa-peristiwa yang lebih menimbulkan stres (de Vries & Watt 1996). Berdasarkan pajanan yang berbeda, ketidaksetaraan gender dibidang kesehatan dapat ditentukan oleh keadaan bahwa para pria dan wanita menempati status sosial ekonomi yang berbeda. Penekanannya difokuskan pada ketidaksetaraan dari sumber daya yang biasanya diukur dengan status sosialekonomi. Oleh karena itu diharapkan ketidaksetaraan gender di bidang kesehatan dapat terjadi karena adanya perbedaan status sosio-ekonomi individual, dan sumber daya rumah tangga. Disamping itu terdapat adanya perbedaan kerentanan, yang mengindikasikan bahwa para wanita mengalami masalah kesehatan dengan tingkat yang lebih tinggi karena reaksi yang berbeda dengan para pria terhadap determinan sosial dari kesehatan. (McDonough & Walters 2001). Seperti yang telah diindikasikan oleh kepustakaan, variabel-variabel yang berkaitan dengan kesehatan wanita lebih kompleks, dan selain status sosio-ekonomi, dampak yang berbeda dari karakteristik keluarga pada wanita dan pria merupakan hal yang penting. Tanggung jawab serta peran wanita di rumah dan sumber daya sosioekonomi keduanya merupakan elemen penting pada kehidupan wanita, dan hal tersebut krusial untuk memahami bagaimana kondisi tersebut dapat mempengaruhi kesehatan. Stres dan gelisah lebih sering terjadi diantara wanita
4
yang menyatakan dirinya merawat orang-orang tua, atau orang sakit (Walters et al., 2002). Secara garis besar faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler terdiri dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang yang dapat dimodifikasi antara lain adalah faktorfaktor yang berkaitan dengan perilaku tidak sehat seperti merokok, kurang aktifitas fisik (olahraga), pola makan, dan konsumsi alkohol. Sedangkan faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah faktor-faktor umur, jenis kelamin, suku, dan riwayat keluarga/keturunan (Ridker et al., 2007, Ulmer et al., 2004). Terjadinya penyakit kardiovaskuler merupakan interaksi dari berbagai faktor, kausa dari penyakit ini bersifat multifaktorial. Selain efek dari faktor risiko individual (umur, jenis kelamin, suku, riwayat keluarga merokok, pola makan dan lain-lain) terdapat juga efek dari faktor risiko kontekstual/lingkungan bertetangga (misalnya lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi, ketersediaan fasilitas kesehatan) terhadap seorang individu untuk berkembang menjadi sakit. Mekanisme tersebut terutama diteliti dengan epidemiologi yang melihat faktor risiko level individual, perbandingan diantara kelompok pada penelitian level agregat, dan akhir-akhir ini dengan model multilevel yang mengikutsertakan data level individu dan level aggregat (Gould et al., 2001). Walaupun faktor jenis kelamin merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang tidak dapat dimodifikasi, penelitian tentang ketidaksetaraan berdasarkan jenis kelamin pada kejadian penyakit kardiovaskuler menjadi penting karena informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk bahan perencanaan dalam program kontrol penyakit kardiovaskuler berbasis jenis kelamin. Ada asumsi bahwa menggunakan SM mempunyai nilai tambah yang kuat dalam memprediksi peristiwa-peristiwa kardiovaskuler (Sundstrom et al., 2006) Walaupun SM tidak memprediksi penyakit jantung koroner (PJK) sebaik skor risiko Framingham, tapi SM dapat dipakai sebagai alat klinis yang sederhana untuk mengidentifikasi individu berisiko tinggi untuk PJK atau diabetes (Wannamethee et al., 2005).
5
B. Rumusan Masalah 1)
Hasil
Survei
Kesehatan
Rumah
Tangga
(SKRT)
Indonesia
menunjukkan terjadi peningkatan kematian karena penyakit kardiovaskuler dari urutan 11 pada tahun 1972, menjadi urutan 3 pada tahun 1986, dan menjadi urutan pertama pada tahun 1992. 2) SM dan komponennya merupakan faktor penting untuk terjadinya DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Adanya perbedaan kejadian sindroma ini dan komponennya berdasarkan jenis kelamin dapat memberi kontribusi terjadinya perbedaan kejadian penyakit kardiovaskuler berdarakan jenis kelamin. 3) Terdapat peningkatan prevalensi SM di komunitas Barat dan Asia. Di AS prevalensi SM lebih tinggi pada wanita dibanding pria, tapi di Eropa terjadi sebaliknya, prevalensi SM lebih tinggi pada pria dibanding wanita. Di AS terjadi peningkatan prevalensi SM pada pria wanita, tapi meningkat secara tajam pada wanita. 4) Di Indonesia belum pernah ada publikasi hasil penelitian mengenai prevalensi SM dalam skala besar. 5) Walaupun belum pernah dilakukan penelitian di Indonesia, penelitian di negara-negara barat menunjukkan terdapat miskonsep tentang penyakit kardiovaskuler dimana para wanita kurang takut terhadap penyakit tersebut dibanding pria, terdapat anggapan bahwa kebanyakan penyakit kardiovaskuler adalah penyakit para pria, sementara fakta epidemiologis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan insidens penyakit jantung koroner pada wanita, selain itu para dokter lebih lambat untuk memulai terapi preventif, dan lebih sedikit menginvestigasi faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler, mendiagnosis, merujuk untuk mendapat opini para spesialis dan memberikan perawatan untuk kondisi infark miokard (IM) untuk para wanita. Wanita lebih besar kemungkinannya meninggal setelah IM
dari pada pria.
Masyarakat dan kampanye media menyebabkan wanita terfokus lebih dominan pada penyakit kanker payudara, walaupun angka kematian karena penyakit kardiovaskuler lebih besar dibanding karena kanker payudara. 6) Ketidaksetaraan pada kejadian suatu status kesehatan berdasarkan jenis kelamin merefleksikan adanya ketidaksamaan dari faktor biologis (yang ada kaitannya dengan seks) dan faktor sosial serta interaksi dari kedua faktor tersebut. Secara biologis masih ada silang pendapat tentang peran hormon androgen dalam memediasi penyakit kardiovaskuler, sementara itu hormon estrogen dianggap dapat memproteksi
6
terjadinya penyakit kardiovaskuler, adanya perbedaan faktor risiko penyakit kardiovaskuler pada wanita dan pria, ada hubungannya dengan adanya interaksi faktor-faktor risiko kardiovaskuler tadi dengan hormon wanita/pria, dan interaksi tadi dapat memainkan peran penting dalam perkembangan sindroma metabolik dan komponennya dan penyakit kardiovaskuler berdasarkan jenis kelamin. 7) Penelitian menunjukkan bahwa menggunakan SM mempunyai nilai tambah yang kuat dalam memprediksi peristiwa-peristiwa kardiovaskuler. Walaupun SM tidak memprediksi PJK sebaik skor risiko Framingham, tapi SM dapat dipakai sebagai alat klinis yang sederhana untuk mengidentifikasi individu berisiko tinggi untuk PJK atau diabetes. 8) Meneliti SM dan komponennya sebagai sebagai indikator penyakit kardiovaskuer menjadi penting karena SM mewakili suatu faktor risiko utama untuk perkembangan penyakit kardiovaskuler, dan perbedaan berdasarkan jenis kelamin pada sindroma ini dapat memberi kontribusi untuk terjadinya perbedaan kejadian penyakit kardiovaskuler berdasarkan jenis kelamin. 9) Selama ini di Indonesia belum ada penelitian yang mengkaji masalah prevalensi sindroma metabolik dan komponen-komponen berdasarkan jenis kelamin dalam skala nasional. Walaupun faktor jenis kelamin merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang tidak dapat dimodifikasi, penelitian tentang ketidaksetaraan berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian SM dan komponennya menjadi penting karena informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk bahan perencanaan dalam program kontrol penyakit kardiovaskuler berbasis jenis kelamin.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui risiko sindroma metabolik dan komponen-komponennya berdasarkan jenis kelamin pada populasi yang tinggal di perkotaan di Indonesia
2. Tujuan Khusus 1.
Mengetahui
prevalensi sindroma metabolik dan
masing-masing
komponennya pada penduduk yang tinggal di perkotaan, di Indonesia 2.
Mengetahui
prevalensi sindroma metabolik, dan masing-masing
komponennya
berdasarkan faktor-faktor risiko level-1/individu (jenis
7
kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, merokok, aktivitas fisik), penduduk yang tinggal di perkotaan di Indonesia 3.
Mengetahui
prevalensi
komponennya
sindroma
berdasarkan
metabolik, faktor-faktor
dan
masing-masing
risiko
level-2
kontekstual/household (pendapatan keluarga, balita dalam rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, penghasilan rumah tangga, % konsumsi kalori terhadap Angka Kebutuhan Gizi dalam RT, % konsumsi protein terhadap AKG dalam RT) pada penduduk yang tinggal di perkotaan di Indonesia 4.
Mengetahui
prevalensi
komponennya
sindroma
berdasarkan
metabolik, faktor-faktor
dan
masing-masing
risiko
level-3
kontekstual/lingkungan bertetangga (Provinsi, status urban dan status IPM) pada penduduk yang tinggal di perkotaan di Indonesia 5.
Mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan secara statistik kejadian sindroma metabolik dan komponenya berdasarkan jenis kelamin pada level individu, setelah dikontrol dengan variabel-variabel kovariat levelindividu dan level kontekstual
D. Manfaat Penelitian. 1. Teoritis : a.
Diharapkan
hasil
penelitian
ini
dapat
memberikan
sumbangan
pengetahuan mengenai adanya perbedaan risiko mempunyai sindroma metabolik dan atau komponen-komponennya berdasarkan jenis kelamin di Indonesia b.
Dalam bidang publikasi penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi besarnya masalah sindroma metabolik dan gambaran risiko mendapat sindroma metabolik atau komponen-komponennya di daerah perkotaan di Indonesia
2. Program Pelayanan Kesehatan a.
Dengan diketahuinya prevalensi sindroma metabolik dan prevalensi dari masing-masing komponen sindroma metabolik (hipertensi, hiperglikemia
8
2 jam PP, dislipidemia/hipokolesterolemia HDL dan obesitas abdominalis) pada kelompok pria dan wanita, maka paling tidak akan diketahui besarnya estimasi masalah potensi terjadinya penyakit kardiovaskuler dan DM pada kedua kelompok jenis kelamin tersebut b.
Dengan
mengetahui
ada
tidaknya
perbedaan
potensi
penyakit
kardiovaskuler diantara wanita dan pria, maka informasi tadi dapat dipakai sebagai dasar atau acuan pelaksanaan program kontrol penyakit kardiovaskuler berdasarkan jenis kelamin. c.
Pengetahuan risiko SM dan komponen-komponennya berdasarkan jenis kelamin akan membawa kepada kampanye nasional untuk mengedukasi masyarakat
E. Keaslian Penelitian. Dari penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, telah banyak penelitian mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan SM. Hwang et al. (2007) melakukan penelitian yang melihat perbedaan jenis kelamin pada komponen-komponen SM. Survei berbasis populasi besar terdiri dari 5.880 pria dan wanita usia 20-79 tahun
di Taiwan. SM didefinisiskan
berdasarkan kriteria dari NCEP ATP III, yang telah direvisi dengan mengadopsi kriteria Asia untuk pengukuran obesitas abdominal. Santos et al. (2007) melakukan penelitian SM pada pria, melihat hubungan strata sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan) dengan SM, sampel penelitian hanya pria, variabel utamanya adalah status sosial ekonomi Dalongeville et al. (2001) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara pendapatan rumah tangga dengan kejadian SM pada pria dan wanita di Perancis. Variabel utama penelitian disini adalah pendapatan rumah tangga, sampel penelitian adalah wanita dengan SM dan pria dengan SM. Tonstad et al. (2007) meneliti tentang perbedaan jenis kelamin pada prevalensi dan determinan dari SM pada subjek yang diskrining yang berisiko untuk penyakit jantung koroner. Populasinya adalah orang-orang yang diskrining untuk PJK. Variabel-variabel independennya berbeda, umur, aktifitas fisik, CRP,
9
merokok, riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler dini, pendapatan keluarga (tertile). Ogebra et al. (2010) meneliti tentang prevalensi SM berdasarkan jenis kelamin. Populasi penelitiannya adalah pasien-pasien DM tipe 2 berasal dari rumah sakit di daerah urban. Jahan et al. (2007) Membandingkan frekwensi SM diantara pasien rawat jalan pria dan wanita. Di RS pendidikan Aga Khan University. Disain penelitian potong lintang, sampel berusia 25 tahun keatas. Definisi SM menggunakan ATP III. Mabry et al. (2010) melakukan penelitian mengenai prevalensi SM diantara pria dan wanita di Negara-negara GCC (Gulf Cooperative Council /GCC; Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia and the United Arab Emirates). SM didefinisikan menggunakan kriteria ATP III [the Third Adult Treatment Panel (ATPIII) of the National. Cholesterol Education Program (NCEP)]
dan IDF
(International Diabetes Federation), sampel yang dipakai tingkat nasional. Membandingkan prevalensi SM berdasarkan jenis kelamin tapi tidak melakukan pengukuran risiko SM berdasarkan jenis kelamin. Pada penelitian ini untuk mendefinisikan SM, peneliti menggunakan kriteria ATP III tahun 2002, dan criteria ATP III yang telah direvisi tahun 2005 dan lingkar pinggang yang disesuikan untuk mengidentifikasikan SM untuk populasi Indonesia (wanita 83,5 cm dan pria 85 cm), menggunakan rancangan penelitian potong lintang, populasinya berusia≥15 tahun yang terdiri dari pria dan wanita tidak sedang hamil, berasal dari populasi umum, berskala nasional (jumlah sampel besar), variabel-variabel independen yang diteliti hampir sama dengan yang dilakukan oleh Mabry et al. (2010), tidak melakukan pengukuran CRP seperti pada penelitian oleh Tonstad et al., (2007) melakukan pengukuran risiko SM berdasarkan
jenis
kelamin
beserta
komponen-komponennya,
dengan
menggunakan analisis regresi logistik multilevel, belum pernah dilakukan di Indonesia, dan belum pernah ada publikasi yang sama.
10