1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan masalah utama kesehatan di negara maju, stroke merupakan penyebab kematian kedua terbanyak dan penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Di Amerika Serikat ada 500.000 populasi yang terserang stroke baru dan 200.000 serangan stroke ulang pertahun (Basjirudin,2009). Menurut data Riskesdas Depkes RI, 2007 dalam laporan nasionalnya mendapatkan bahwa penyebab kematian utama untuk semua usia adalah stroke (15,4%), Tuberkulosis (7,5%), hipertensi (6,8%). Stroke iskemik memiliki presentase paling besar yaitu sebesar 80%, terbagi atas subtipe stroke trombotik dan embolik yang dapat mengurangi sirkulasi dan kebutuhan darah di otak atau mengakibatkan kematian neuron otak (Depkes RI,2007). Data WHO menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit pembuluh darah lebih banyak dibanding penyakit lain yaitu sekitar lima belas juta tiap tahun atau sekitar 30% dari kematian total pertahunnya dan sekitar 4,5 juta diantaranya disebabkan oleh stroke. Dari seluruh kematian di negara-negara industri, 10-12 % disebabkan oleh stroke dan sekitar 88% kematian akibat stroke terjadi pada usia diatas 65 tahun (Markus, 2003). Stroke dapat menyebabkan kemunduran kognitif, penyakit serebrovaskuler fokal dapat terjadi akibat trombosis atau embolikvaskuler serta perdarahan otak. Frekuensi gangguan kognitif pasca stroke iskemik berkisar antara 20-30%, dan makin meningkat risikonya bahkan sampai dua tahun pasca stroke (Serano,2007). Gangguan kognitif pasca stroke termasuk dalam suatu kelompok gangguan kognitif yang disebut Vasculer Cognitive Impairment (VCI)yang meliputi gangguan kognitifringan dan tidak
2
mengganggu aktifitas sehari-hari sampai yang paling berat berupa demensia vaskuler. Gangguan kognitif dapat mengenai satu atau lebih domain kognitif seperti atensi, bahasa,memori, visuospasial, dan fungsi eksekutif (Zhao,2010). Gangguan
kognitif
vaskuler
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan gangguan kognitif akibat dari berbagai penyakit termasuk penyakit pembuluh darah besar (large vesel disease) dengan stroke tunggal atau multipel dan penyakit pembuluh darah kecil (small vesel disease) dengan kerusakan white matter yang progresif. Gangguan kognitif vaskuler merupakan penyebab penting dari demensia yang dapat terjadi bersamaan dengan penyakit Alzheimer, khususnya pada populasi usia lanjut dan menjadi masalah di komunitas luas (Rosenberg, 2009). Penelitian Ivan et al.(2004), didapatkan adanya penurunan kognitif pada pasien pasca stroke yaitu 19,3% kasus, sedangkan kontrol 11% kasus. Ballard et al.(2003), dalam penelitiannya menyebutkan 25% pasien pasca stroke megalami demensia, dan risiko pasien post stroke berkembang menjadi demensia dalam lima tahun kemudian adalah sembilan kali lebih tinggi dibandingkan populasi sehat terutama untuk kategori kognitif secara umum, memori, dan atensi. Martini mendeteksi gangguan kognitif pasca stroke dan mendapatkan 57,1% mengalami gangguan kognitif. Setyopranotoet al.(2000), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada pasien pasca stroke terjadi penurunan nilai Mini Mental State Examination (MMSE) atau dapat dikatakan terjadi penurunan nilai kognitif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (bukan stroke). Penatalaksanaan gangguan kognitif yang mengikuti penyakit serebrovaskuler harus ditujukan untuk pencegahan sekunder stroke dan terapi spesifik untuk perbaikan fungsi kognitif. Pencegahan sekunder stroke meliputi pengendalian faktor risiko. Beberapa studi menyatakan bahwa penurunan tekanan darah dan penurunan kadar
3
kolesterol secara signifikan dapat mencegah stroke (Cohen, 2000). Belum cukup data yang tersedia mengenai pengaruh langsung pengendalian faktor risiko terhadap perbaikan fungsi kognitif. Sebuah penelitian observasional menyatakan bahwa pengendalian tekanan darah sistolik 135-150 mmHg menghasilkan stabilisasi fungsi kognitif, dimana penurunan tekanan darah dibawah itu justru berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif (Haring,2002). Homosistein merupakan faktor risiko independen terhadap terjadinya stroke, akan tetapi bila berinteraksi dengan faktor risiko kardio dan serebrovaskuler lainnya akan menyebabkan efek homosistein sebagai faktor risiko menjadi lebih tinggi. Prevalensi timbulnya stroke pada hiperhomosisteinemia adalah 19%. Kejadian stroke pada hiperhomosisteinemia diikuti dengan mikroangiopati serebral dan infark multipel yang dapat menurunkan fungsi kognitif diberbagai domain (Gouaille, 1999).Terapi dengan asam folat 0,5-5mg perhari akan menurunkan homosistein total serum 15-40% dalam 6 minggu (Brattstrom, 1998). Sebuah review menyebutkan bahwa suplementasi asam folat dapat mencegah, mengurangi perburukan dan memperbaiki perubahan neurologis akibat proses degeneratif misalnya penyakit Alzeimer (Ethan et al., 2007). Penggunaan obat neuroprotektif, obat anti kecemasan, hipnosedatif, dan antidepresant memiliki beberapa kerugian dan mahal (Walesiuk et al.,2005). Oleh karena itu ada kecenderungan untuk penggunaan bahan alam, terutama yang berupa formula alami lebih daripada komponen aktifnya, karena formula alami lebih aktif dibanding senyawa isolasi murni (Dhanalaksmi et al., 2007). Dalam hal ini herbal medicine masih terus digunakan dan menjadi makin penting pada kedokteran modern, sebagaimana pada kedokteran tradisional, karena potensi terapeutiknya (Dhanalaksmi et al.,2007;Kumar et al.,2009).
4
Obat herbal telah digunakan oleh 80% penduduk negara berkembang, dan pada tahun 2000 diperkirakan penjualan obat herbal didunia mencapai US $ 60 milyar. Sejak badan kesehatan dunia (WHO) mendukung gerakan back to nature, di Indonesia terjadi peningkatan produksi obat tradisional, bahkan menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM-RI) sampai tahun 2002 terdapat 1012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Dengan melihat kelimpahan bahan baku obat herbal di Indonesia dan tuntutan masyarakat akan obat yang aman, manjur dan berkualitas, maka perlu pembuktian-pembuktian yang nyata melalui penelitian sinergis antara berbagai disiplin ilmu dan unsur masyarakat (Wahyuningsih,2009). Fitofarmaka sebagai obat harus memenuhi persyaratan fitokimiawi, adanya bukti manfaat klinis (efficacy), kemanan (safety) dan sebagainya sesuai kriteria dan metode yang telah diharapkan. Keharusan adanya uji farmakologis, uji toksisitas,dan uji klinis sudah mulai diberlakukan dengan keluarnya UU No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan agar obat tradisional mampu bersaing dengan obat modern dan secara medik lebih dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya (Haumahu, 2011). Salah satu tanaman obat atau herbal yang sering digunakan adalah pegagan (Centella asiatica L. Urban). Pegagan yang termasukkeluarga Apiacceae (Umbiliferae) merupakan tanaman obat yang ditemukan di India, Asia dan Timur Tengah dengan nama yang berbeda-beda. Pegagan mempunyai banyak khasiat, sering digunakan untuk membantu penyembuhan luka, mengatasi arterosklerosis, antijamur, antibakteri dan antikanker (Somchit et al., Zheng et al.,2007). Kandungan utama pegagan berupa tritepen saponin berupa asiaticoside, madecasosside, asiatic acid, dan madecasic acid yang mempunyai aktifitas antioksidan,antiinflamasi dan antiapoptosis (Li et al.,2009;
5
Zang et al.,2010; Zang et al.,2007). Sebagai antiinflamasi, kandungan asiaticoside dan madecasic acid dalampegagan mampu menurunkan produksi TNF-α, IL-6, PGE2 dan ekspresi COX-2 dan terjadi peningkatan IL-10 (Li et al.,2009; Zang etal.,2010). Pegagan juga digunakan sebagai tanaman obat yang bersifat psikoaktif, bekerja pada susunan saraf pusat, yang diklaim dapat meningkatkan kemampuan mental (Rao et al.,2005; Rao et al.,2007). Pegagan sudah dipakai selama berabad-abad dalam sistem pengobatan Ayurveda. Pegagan dilaporkan mempunyai berbagai efek farmakologis pada sistem saraf pusat seperti stimulan tonik saraf, rejuvenasi (Kumar, 2002), anticemas (Wijeweera et al.,2006; Somchit et al.,2004) dan meningkatkan kecerdasan (Dhanasekaran et al.,2009; Shinomol and Muralidhara, 2008). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa ekstrak air daun pegagan berpengaruh terhadap morfologi CA3 hippokampus dan arborisasi dendrit neuron amygdala pada tikus neonatal (Rao et al., 2007; Kumar et al.,2009). Keseluruhan tanaman juga dapat meningkatkan kemampuan mental umum pada anak dengan retardasi mental (Dhanasekaran et al.,2008), juga dapat menurunkan berbagai parameter stres oksidatif (Kumar & Gupta,2002;Kumar et al.,2009). Hal ini menerangkan bahwa pegagan dapat berpengaruh positif terhadap plastisitas otak, seperti halnya ekstrak daun pegagan dapat meningkatkan panjang dendrit dan percabangannya di neuron CA3 hippokampus (Rao et al.,2007) dan memperbanyak arborisasi dendrit neuronal pada tikus pada keadaan stres atau penyakit neurodegeneratif dan gangguan memori (Rao et al., 2007). Dalam sebuah penelitian mengenai efek pegagan terhadap gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment) didapatkan bahwa ekstrak daun pegagan 500 mg yang diberikan dua kali sehari selama enam bulan dapat memperbaiki fungsi kognitif
6
secara signifikan (t=9,68, p<0,01)diukur dengan Mini Mental State Examination (MMSE). Dalam penelitian yang sama juga didapatkan bahwa ekstrak pegagan dapat menurunkan rata-rata tekanan darah diastol (t=2,22, p<0,05), menigkatkan nafsu makan (X2 = 17,50, p<0,001), dan memperbaiki keluhan gangguan tidur (x2=25,66.,p<0,01) (Tiwariet al.,2008). Omar et al. (2009),dalam penelitiannya yang dilakukan pada individu sehat, didapatkan bahwa pegagan (Centella asiatica) 3 gram dan 4 gram sekali sehari selama dua bulan dapat meningkatkan fungsi kognitif. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengembangkan obat herbal terstandar dengan bahan dari herba pegagan. Tahapan pengembangan herbal terstandar meliputi uji praklinis seperti uji khasiat baik in vivo maupun invitro, penentuan dosis, uji farmakodinamik, uji toksisitas (uji toksisitas akut, subkronik dan khusus); uji klinis (fase 1,2,3 dan 4) (Atkinson, 2007). Telah dilakukan beberapa penelitian di luar negeri yang membuktikan efek ekstrak pegagan (centella asiatica) terhadap perbaikan fungsi kognitif pada pasien gangguan kognitif ringan (Mild Cognitif Impairment) dengan alat ukur Mini Mental State Examination (MMSE). Belum ada data mengenai penelitian efek ekstrak pegagan terhadap gangguan kognitif vaskuler (VCI). Alasan tersebut di atas menjadi dasar untuk dilakukan suatu penelitian mengenai manfaat penggunaan ekstrak pegaganuntuk memperbaiki fungsi kognitif pada pasien VCI dibandingkan dengan asam folat yang telah biasa digunakan sebagai terapi VCI oleh para klinisi. Alat ukur yang digunakan adalah Montreal Cognitive Assesment-Inonesia (MoCA-Ina). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para klinisi dalam mempertimbangkan penggunaan obat herbal
7
khususnya ekstrak pegagan untuk memperbaikifungsi kognitif pada gangguan kognitif vaskuler.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1)
Gangguan kognitif vaskuler pasca stroke dapat berkembang menjadi demensia sehingga menurunkan kualitas hidup seseorang, dan kejadiannya dapat dicegah.
2)
Belum ada obat yang disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) yang digunakan untuk gangguan kognitif vaskuler.
3)
Penggunaan obat herbal ekstrak pegagan (Centella asiatica) untuk meningkatkan fungsi kognitif masih perlu penelitian lebih lanjut. C. Pertanyaan Penelitian Apakah ekstrak daun pegagan (Centella asiatica)750 mg/hari dan1000 mg/hari
selama 6 minggu lebih efektifdibandingkan asam folat 3 mg/hari untuk memperbaiki gangguan kognitif vaskuler pasca stroke dan memiliki tolerabilitas yang baik? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan fungsi kognitif pada pasien gangguan kognitif vaskuler dengan menggunakan Montreal Cognitif AssesmentIndonesia (MoCA-Ina) setelah pemberian ekstrak pegagan (Centella asiatica)750 mg/hari dan 1000 mg/hari dan asam folat 3 mg perhari selama 6 minggu.
8
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat tentang manfaat ekstrak pegagan (Centella asiatica) terhadap perbaikan fungsi kognitif pada pasien dengan gangguan kognitif vaskuler (VCI). F. Keaslian Penelitian Hasil penelusuran kepustakaan mengenai penelitian sebelumnya tentang ekstrak pegagan dalam memperbaiki fungsi kognitif dipaparkan pada tabel berikut. Belum pernah dilakukan penelitian manfaat ekstrak pegagan terhadap gangguan kognitif vaskuler di RSUP Dr.Sarjito Yogyakarta. No 1
Peneliti Tiwari,et al.,2008
Judul Effect of Centella asiatica on Mild Cognitive Impairment (MCI) and other common Age related Clinical Problems
Metode Eksperimental cohort 6 Bulan
Alat Ukur MMSE,
hasil Significant improving MMSE
2
Dev et al.,2009
Eksperimental Cohort 60 hari
WoodcockJohnson Cognitive Abilities Test III(WJ CAT III)
Centella Asiatica dapat memperbaiki berbagai fungsi kognitif
3.
Watanath orn et al.,2007
Comparison on Cognitive Effects of Centella Asiatica in Healthy Middle Age Female and male Volunteers Positive Modulation of Cognition and Mood in the Healthy Elderly Volunteer Following the Administration of centella Asiatica
Double BlindRCT 2 Bulan
Computer Battery test, ond-Lader Visual analog Scale
Centella Asiatica memperbaiki fungsi kognitif terutama working memory dan mood pada subjek sehat