BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan dewasa muda. Di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 1,9 juta orang mengalami cedera kepala traumatik dimana 50.000 orang diantaranya meninggal akibat cedera yang dialaminya. Walaupun cedera kepala traumatik kebanyakan tergolong sebagai cedera kepala ringan, lebih dari 2% dari populasi di Amerika Serikat diperkirakan mengalami kecacatan akibat cedera kepala traumatik. Pada negara maju dan berkembang, trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah usia 45 tahun. Mengingat kebanyakan korban berusia muda maka lebih banyak waktu produktif yang hilang yang diakibatkan oleh trauma daripada penyakit jantung dan kardiovaskuler ataupun dari penyakit kanker (Rockett et al., 1987). Walaupun kebanyakan kematian akibat trauma sebelum masuk rumah sakit adalah akibat cedera dada dan multipel, cedera kepala merupakan penyebab
mayoritas kematian akibat trauma setelah masuk rumah sakit.
(Demetriades et al., 2004). Di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, trauma merupakan penyebab penting dalam hal kematian dan kecacatan. Diperkirakan beban ekonomi akibat trauma pada 11 negara di kawasan ASEAN adalah US$ 11 milyar per
Universitas Sumatera Utara
tahun. (Asian Development Bank, 2003). Pada negara-negara ini peralihan yang besar dari populasi pedesaan ke perkotaan dan peningkatan yang cepat dalam penggunaan kendaraan bermotor melampaui upaya dari pencegahan cedera dan terbentuknya pusat-pusat trauma (Murray et al., 1997; Sethi et al., 1999). Di Indonesia sendiri masih belum tersedia data secara nasional tentang cedera kepala, walaupun demikian cedera kepala merupakan kasus yang sering dijumpai di rumah sakit. Dari data pada tahun 2005, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta terdapat 434 pasien dengan cedera kepala ringan, 315 pasien dengan cedera kepala sedang dan 28 pasien dengan cedera kepala berat, sedangkan di RS Swasta Siloam Gleaneagles terdapat 347 pasien cedera kepala secara keseluruhan (Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal, 2006; Wahjoepramono, 2005). Di Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ), pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala mencapai 125 orang dari 256 orang pasien rawat inap bagian saraf (Irawan et al., 2010). Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya yaitu sebagai cedera kepala ringan, sedang, dan berat. Masing-masing cedera kepala tersebut memiliki tantangan medis yang unik. Kasus-kasus cedera kepala ringan seringkali tidak terdiagnosis karena tidak terdeteksi pada imejing otak (Powell et al., 2008). Cedera kepala sedang dan berat lebih jarang terjadi dan relatif lebih mudah untuk dideteksi, tetapi prognosis komplikasi sekunder jangka pendek ataupun progresifitas jangka panjang masih menjadi tantangan. Deteksi dini dan penanganan dari cedera kepala dapat memperbaiki hasil akhir (Powell et al., 2008; Ponsford et al., 2001) dan membantu menurunkan defisit kognitif jangka panjang serta terjadinya penyakit neurologis lainnya (DeKosky et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
Modalitas diagnosis cedera kepala yang banyak digunakan saat ini adalah pemeriksaan klinis dan radiologis (Zink, 2001). Interpretasi pemeriksaan fisik dapat terganggu pada beberapa keadaan seperti intoksikasi alkohol, terapi yang diberikan, atau tidak terdeteksi dengan baik pada kasus cedera multipel. Antikonvulsan dan obatobatan sedatif merupakan obat yang sering digunakan pada penderita cedera kepala yang dapat mengganggu interpretasi pemeriksaan klinis (Mirski et al, 1995). Banyak penderita cedera kepala ringan dengan GSS 14-15 juga mengalami intoksikasi alkohol dan obat-obatan. Ini tentunya juga akan memengaruhi interpretasi pemeriksaan klinis (Kelly, 1995) Computed Tomography (CT scan) merupakan modalitas radiologi yang paling banyak digunakan, tetapi sangat terbatas dalam mendeteksi cedera difus.Walaupun cedera kepala ringan dapat menyebabkan disabilitas jangka panjang, trauma ringan sering tidak terdeteksi oleh Ct scan, bahkan oleh MRI. Pada pasien yang dirawat di ICU, follow up dengan radiologi akan sulit dilakukan. MRI dan CT scan juga memiliiki kemampuan terbatas dalam memprediksi hasil akhir (Hanlon et al., 1999). Ada banyak kriteria yang digunakan untuk menilai keparahan CT scan, sistem yang paling banyak dilaporkan adalah skor Marshall yang sudah terbukti mampu memprediksi mortalitas, tetapi tidak dapat memprediksi perbaikan fungsi (Wardlaw, 2002). Sistem ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, antara lain variasi interobserver yang besar. Selain itu sistem ini juga tidak dapat menjelaskan gambaran scan normal pada GCS rendah. Peneliti lain juga melaporkan bahwa penambahan beberapa faktor yang spesifik seperti perdarahan intraventrikular atau perdarahan subarahnoid akan memperbaiki akurasi skor Marshall sebagai faktor prognosis. Karena itu dikembangkanlah suatu sistem baru, skor Rotterdam. Beberapa penelitian
Universitas Sumatera Utara
awal menunjukkan superioritas Rotterdam dibandingkan Marshall, tetapi masih diperlukan validasi lebih lanjut (Maas, 2005). Karena itu, diperlukan modalitas diagnosis tingkat keparahan cedera kepala yang juga dapat memprediksi hasil akhir. Dalam dekade terakhir, biomarker cedera saraf telah banyak diteliti. Dengan menganalogikan biomarker infark miokard akut, luas kerusakan jaringan otak seharusnya dapat diperkirakan dengan biomarker (Dash et al., 2010). Walaupun demikian sampai saat ini belum ada biomarker yang diterima oleh U.S.Food and Drug Administration (FDA) untuk diagnosis ataupun prognosis dari cedera kepala, dan mekanisme molekuler dari respon cedera kapala masih sedikit dipahami. Kurangnya pemahaman ini mencerminkan kompleksitas dan keadaan yang multifaktorial dari respon seluler sekunder pada cedera kepala. (Feala et al., 2013) Biomarker yang banyak mendapat perhatian saat ini adalah Neuron Spesific Enolase (NSE), Protein S100B (S100B), dan Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP). Setelah cedera kepala, protein-protein ini akan dilepaskan menuju cairan serebrospinal dan darah. Meskipun demikian, NSE dan S100B tidak spesifik pada kelainan SSP. S100B dilaporkan akan meningkat signifikan setelah fraktur femur bilateral (Pelinka et al., 2003), dan setelah iskemi hepar, lambung dan ginjal (Pelinka et al., 2004). NSE juga dilaporkan meningkat pada keganasan paru dan pada keadaan syok (Pelinka et al., 2005). GFAP merupakan filamen protein intermediet yang terdapat pada sitoskeleton astroglia dan tidak terdapat diluar SSP. Filamen intermediet berperan membentuk jaringan yang menyokong sel. Untuk membentuk jaringan, bentuk dimer GFAP akan bergabung menjadi sebuah tetramer, yang merupakan sub unit
dasar suatu
intermediet filamen.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, fungsi GFAP masih belum diketahui sepenuhnya. GFAP berperan pada proses mitosis dengan menyesuaikan jaringan filamen pada sel. Selain itu, GFAP juga berperan dalam interaksi astrosit neuron dan komunikasi antar sel. Jika terjadi cedera otak, astroglia akan bereaksi dengan memproduksi GFAP yang lebih banyak, yang pada akhirnya akan dilepaskan menuju cairan SSP dan darah (Zurek, 2012; Fedora, 2012).
GFAP secara eksklusif dianggap diproduksi oleh
astrosit, sehingga protein ini spesifik dijumpai di otak. Pengukuran kualitas hidup dapat menggunakan beberapa parameter, antara lain Glasgow outcome scale dan Barthel index. GOS merupakan suatu skala hasil akhir penderita cedera kepala yang dibagi secara hirarkis, mulai kematian sampai perbaikan total. Ini merupakan salah satu sistem penilaian yang paling banyak digunakan untuk menilai hasil akhir cedera otak akut. (Teasdale, 1998). Skala Barthel merupakan skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari, menggambarkan kemampuan seseorang untuk hidup mandiri setelah pulang dari rumah sakit. Skala ini telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari skala 0-10 sampai menjadi 0-100. Skala ini banyak digunakan pada penderita kerusakan saraf, terutama setelah kejadian stroke (Mahoney, 1965).
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian diatas, diajukan pertanyaan penelitian “Apakah kadar Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) serum berhubungan dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala?”
Universitas Sumatera Utara
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan
penderita cedera kepala 2.
Tujuan Khusus • Mengetahui karakteristik penderita cedera kepala di RSUP H. Adam Malik Medan • Mengetahui kadar GFAP serum penderita cedera kepala • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah resusitasi (cedera kepala sedang dan berat) • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan gambaran CT scan menurut skor Marshall • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan gambaran CT scan menurut skor Rotterdam • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan lama rawatan • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan Glasgow Outcome Scale tiga puluh hari pertama • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan Barthel Index tiga puluh hari pertama • Mengetahui perbandingan kadar GFAP berdasarkan kejadian mortalitas selama tiga puluh hari pertama.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1.
Dari peneltian ini, akan didapatkan kadar GFAP serum yang akan memberikan tambahan pengetahuan mengenai patologi cedera kepala
2.
Dengan didapatkannya kadar tertentu, klinisi dapat melakukan tindakan yang tepat serta terhindar dari terapi yang berlebihan maupun terapi yang tidak optimal
3.
Dengan penanganan pasien yang tepat, dari segi ekonomi akan menurunkan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat khususnya dan menurunkan beban negara pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara