BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung iskemik
masih
menduduki
peringkat
pertama
di
dunia
dalam dekade terakhir (2000-2011). Penyakit ini menjadi penyebab 7 juta kematian pada tahun 2011 di seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap 93 kematian per 100.000 penduduk di negara dengan penghasilan menengah kebawah (WHO, 2011). Salah satu manifestasi klinisnya yang mengancam jiwa adalah sindroma koroner akut (SKA). Sindroma
koroner
akut
sebagai
konsekuensi
adalah dari
gangguan
yang
terjadi
aterosklerosis
dengan
perubahan sirkulasi koroner. Spektrum klinis penyakit ini adalah angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard akut tanpa elevasi ST (IMA-NEST) hingga infark miokard akut dengan elevasi (IMA-EST) (Hamm et al., 2009). Statistik dari American Heart Association (2012) menyebutkan
setidaknya
penyakit
jantung
koroner
menyebabkan satu dari 6 kematian di Amerika Serikat tahun 2008 dan kira-kira terdapat 195.000 kasus baru
1
2
tiap
tahun.
Pada
tahun
2005
jumlah
penderita
yang
menjalani perawatan medis akibat SKA hampir mencapai 1,5 juta orang dengan 1,1 juta orang (80%) menunjukkan kasus APTS
atau
IMA-NEST,
sedangkan
20%
kasus
tercatat
menderita IMA-EST (Oktarina et al., 2013). Hasil dari Jakarta Cardiovascular Study pada tahun 2008
mencatat
prevalensi
infark
miokard
pada
wanita
mencapai 4,12% dan 7,6% pada pria, atau 5,29% secara keseluruhan (Oktarina et al., 2013). Angka ini jauh diatas prevalensi infark miokard pada tahun 2000, yakni hanya
1,2%
Departemen
saja.
Hal
Kesehatan
ini RI
mendukung yang
hasil
survey
menunjukkan
bahwa
prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu faktor risiko SKA yang paling dikenal adalah lipid plasma yang bersifat aterogenik. Aterogenik berarti zat tersebut merangsang pembentukan ateroma atau aterosklerosis
didalam
dan
dibawah
dinding arteri (Silalahi dan Nurbaya,
lapisan
intima
2011). Lipid
aterogenik plasma merupakan penanda penyakit jantung koroner. Salah satu lipid aterogenik plasma yang paling diketahui sebagai faktor risiko dan target terapi adalah tingginya low density lipoprotein cholesterol (LDL-C).
3
Penelitian oleh Krintus et al. (2012) menyebutkan bahwa
pengukuran
kolesterol
LDL
saja
tidak
optimal
sebagai strategi diagnostik dan terapi sindroma koroner akut. Pasien yang mengalami penurunan kolesterol LDL dibawah 70 mg/dL tetap memiliki risiko residu terhadap kekambuhan kejadian aterotrombosis. Komponen
lipid
yang
bersifat
aterogenik
yaitu
peningkatan level kolesterol total serum, kolesterol LDL, trigliserida (TG), apolipoprotein B (apoB), dan rendahnya
level high density lipoprotein (HDL) serta
apolipoprotein
AI
(apoAI).
Small
dense
LDL
diduga
menimbulkan aterosklerosis pada penyakit jantung koroner karena afinitasnya yang rendah pada reseptor LDL dan rentan terhadap modifikasi oksidatif (Biswas et al., 2008). Data penelitian AMORIS dan INTERHEART (Krintus et al., 2012) serta penelitian oleh Dawar et al. (2010) menemukan bahwa rasio apoB : apoAI adalah prediktor terkuat
infark
miokard
dari
semua
variabel
yang
diinvestigasi dan mampu mengidentifikasi subjek yang berisiko tinggi walaupun LDL subjek berada pada level yang normal. Rasio apoB : apoAI adalah perbandingan dari level
apolipoprotein
B
(apoB)
(apoAI) pada plasma. ApoB
dan
apolipoprotein
AI
merupakan konstituen dari
4
lipoprotein
aterogenik,
sementara
apoAI
merupakan
kontituen lipoprotein antiaterogenik HDL. Data baru dari follow-up jangka panjang dari penelitian prospektif dan analisis
dari
berbagai
uji
klinis
besar
menunjukkan
rasio apoB : apoAI ini memiliki kekuatan prediksi yang paling
superior
mortalitas
untuk
total
kejadian
dibanding
kardiovaskular
variabel
lipid
dan
lainnya.
Kekuatan prediksi ini tidak bertambah dengan tambahan parameter lipid atau rasio lain (Brookes, 2006). Gagal jantung akut merupakan komplikasi hemodinamik dari SKA. Gagal jantung ini memiliki prevalensi dan mortalitas
terbanyak
dibanding
komplikasi
lainnya.
Antman dan Loscalzo (2012) menyatakan luasnya infark berkorelasi secara positif terhadap derajat kegagalan pompa jantung dan mortalitas pada awal (10 hari pertama infark) maupun waktu yang akan datang. Tanda-tanda yang paling umum adalah suara galop S3 dan S4 serta ronkhi paru. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan kelainan
arteri
pulmonal
hemodinamik.
adalah
Hal
ini
karakteristik terjadi
karena
temuan gagal
diastolik (penurunan komplians ventrikel) dan/atau gagal sistolik (penurunan stroke volume yang dengan dilatasi sekunder).
5
Penilaian
hemodinamik
ini
dilakukan
melalui
klasifikasi Killip yang dibagi menjadi empat kategori. Pasien kelas I tidak ada kongesti paru maupun vaskular (tidak
ada
tanda
gagal
jantung).
Pasien
kelas
II
ditemukan tanda gagal jantung ringan hingga sedang yang konsisten.
Pasien
kelas
III
menunjukkan
tanda
gagal
jantung yang parah dan pasien kelas IV menunjukkan tanda syok kardiogenik. Klasifikasi ini biasa digunakan saat admisi
sebagai
stratifikasi
risiko
mortalitas
dan
prognosis pasien gagal jantung akut. Pasien dengan tanda gagal jantung (kelas Killip II-IV) memiliki prevalensi penyakit
arteri
dislipidemia,
dan
koroner, kerusakan
diabetes, ginjal
yang
hipertensi, lebih
besar
dibanding pasien yang tidak mengalami gagal jantung akut (Killip I) (El-Menyar et al., 2012). Penelitian
El-Menyar
et
al.
(2012)
menyebutkan
prevalensi dislipidemia menjadi salah satu indikator pada pasien SKA dengan gagal jantung akut (Killip IIIV).
Prevalensi
abnormalitas koroner
akut.
lipid Namun
dislipidemia sebagai data
ini
faktor
penelitian
menunjukkan
risiko yang
sindroma menyajikan
hubungan antara rasio apoB : apoAI sebagai salah satu lipid aterogenik plasma terhadap gagal jantung akut pada
6
pasien
SKA
masih
belum
diketahui
sehingga
perlu
penelitian lebih lanjut tentang hal ini. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, dapat disimpulkan beberapa masalah, yaitu; 1.
Penyakit jantung iskemik masih menjadi urutan nomor satu sebagai penyebab mortalitas dan morbiditas pada masyarakat dunia; di Indonesia pun diperkirakan akan meningkat prevalensinya.
2.
Pasien SKA dengan komplikasi gagal jantung akut yang ditandai dengan klasifikasi Killip yang lebih tinggi (II-IV) memiliki prevalensi penyakit arteri koroner, diabetes, hipertensi, dislipidemia, dan kerusakan ginjal yang lebih besar dibanding pasien SKA tanpa gagal jantung akut (Killip I).
3.
Belum ada data mengenai hubungan antara apoB : apoAI (lipid aterogenik plasma) dengan terjadinya gagal jantung akut saat admisi pada pasien SKA terutama di RSUP Dr. Sardjito.
7
I.3. Pertanyaan Penelitian Apakah rasio apoB : apoAI plasma berhubungan dengan gagal jantung akut saat admisi pada pasien sindroma koroner akut? I.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki apakah rasio apoB : apoAI plasma mempunyai hubungan dengan terjadinya gagal jantung akut saat admisi pada pasien dengan sindroma koroner akut. I.5. Keaslian Penelitian Penelitian yang menilai prognosis terjadinya gagal jantung akut yang dinilai dengan klasifikasi Killip pada pasien SKA pernah dilakukan (El-Menyar et al., 2012). Penelitian ini menunjukkan pasien dengan gagal jantung akut
memiliki
prevalensi
dislipidemia,
hipertensi,
penyakit arteri koroner, diabetes, dan gangguan ginjal yang
lebih
besar,
tetapi
tidak
dijelaskan
lipid
aterogenik plasma secara spesifik dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menilai prognosis klasifikasi Killip saat perawatan dirumah sakit, bukan saat admisi. Penelitian
oleh
Biswas
et
al.
(2008)
menilai
asosiasi ukuran partikel LDL dan rasio lipoprotein dan apolipoprotein
terhadap
penyakit
jantung
koroner.
8
Penelitian ini menjelaskan apoB, apoB : HDL, nonHDL, apoB : apoAI, dan ukuran partikel LDL merupakan indikator poten untuk penyakit jantung koroner, tetapi penelitian ini tidak menjelaskan hubungannya terhadap gagal jantung akut. I.6. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini akan membantu untuk memahami hubungan apoB : apoAI (dan lipid aterogenik plasma lainnya) dengan komplikasi hemodinamik berupa gagal jantung akut pada pasien SKA. 2. Memberikan informasi bagi tenaga kesehatan dan pasien mengenai
hubungan
apoB
:
apoAI
dengan
terjadinya
gagal jantung akut. 3.
Penelitian
ini
memberikan
data-data
klinis
peran
lipid aterogenik plasma yaitu rasio apoB : apoAI pada pasien
SKA
saat
admisi
dan
terjadinya gagal jantung akut.
kaitannya
dengan