BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa hipertensi berada pada peringkat ketiga penyebab kematian di Indonesia, yaitu sebanyak 6,8%. Fakta ini juga didukung oleh hasil Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, bahwa pada tahun 2009 hipertensi menduduki peringkat ke-7 dari 10 penyakit yang paling sering dijumpai pada pasien rawat jalan. Tingginya prevalensi hipertensi di Indonesia memicu dilakukannya pengembangan obat baru yang lebih poten dan dapat diterima di masyarakat (Anonim, 2011). Akhir-akhir ini penggunaan tumbuhan obat di Indonesia semakin meningkat sedangkan usaha budidaya tumbuhan obat masih sangat terbatas. Tumbuhan obat merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan, berupa ramuan jamu tradisional dan telah digunakan sejak lama untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapi (Anonim, 2010a). Pada umumnya penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal) memiliki kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya yang dikembangkan turun-temurun (Anonim,
2010a).
Salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan
masyarakat lokal untuk pengobatan adalah Eupatorium riparium Reg. Tumbuhan yang banyak ditemukan di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Yogyakarta 1
2
tersebut sering dikenal oleh masyarakat daerah sekitar dengan nama tekelan. Tumbuhan tersebut dimanfaatkan sebagai peluruh air seni dalam bentuk sediaan rebusan air. Setelah melakukan skrining terhadap 30 tumbuhan sekitar TNGM, senyawa bioaktif dari ekstrak kloroform E. riparium berhasil diisolasi dan diidentifikasi oleh Fakhrudin dkk. (2007) secara spektroskopi sebagai metilripariokromen-A (MRCA). Metilripariokromen-A memiliki aktivitas yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah tinggi seperti aktivitas vasodilatasi, diuretik, penurunan laju denyut jantung, penurunan tekanan darah, dan ekskresi Na+, K+, dan Cl- (Matsubara dkk., 1999). Metilripariokromen-A dilaporkan aktif sebagai hipotensif karena mampu menurunkan tekanan darah sistolik dan detak jantung tikus jantan galur Wistar (250-300 g) yang diinduksi dengan SHRSP (Stroke-Prone Spontaneously Hypertensive Rats) secara subkutan (Matsubara dkk., 1999). Penelitian terdahulu oleh Anindyawardhani (2012) menunjukkan bahwa ekstrak air E. riparium dengan dosis 400mg/kg BB menyebabkan peningkatan volume urin pada tikus dan mengandung senyawa MRC-A 0,0004% b/v. Kadar MRC-A dalam ekstrak was bensin daun Eupatorium riparium yang diambil dari kawasan Gunung Merapi Kaliurang ditetapkan dengan KLT-Densitometri sebesar 5,37% (Chrystomo dkk., 2011). Penelitian MRC-A yang telah dilakukan dalam ekstrak air, kloroform, serta was bensin mendasari pemilihan ekstrak pada penelitian yang akan dilakukan.
3
Dalam penelitian ini digunakan ekstrak etanol untuk mengetahui potensinya sebagai diuretik yaitu salah satu mekanisme penurunan tekanan darah dengan mempertimbangkan sifat kepolaran MRC-A. Efek antihipertensi ekstrak etanol daun E. riparium akan diujikan pada tikus jantan. Tikus jantan dipilih untuk menghindari pengaruh hormonal yang dicurigai berperan dalam mengontrol tekanan darah pada tikus betina (Reckelhoff, 2001). Melalui penelitian ini serta penelitian-penelitian sebelumnya dapat dijadikan pertimbangan untuk mengembangkan E. riparium menjadi obat herbal terstandar bahkan fitofarmaka Indonesia yang memiliki khasiat antihipertensi. Sehingga ke depannya masyarakat Indonesia dengan mudah mendapatkan obat antihipertensi yang murah dan efektif.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah ekstrak etanol daun E. riparium memiliki aktivitas penurunan tekanan darah melalui mekanisme diuretik pada tikus jantan SD? 2. Berapakah dosis ekstrak etanol daun E. riparium yang memiliki efektivitas penurunan tekanan darah paling efektif? 3. Bagaimanakah perbandingan aktivitas penurunan tekanan darah ekstrak etanol daun E. riparium dengan obat antihipertensi furosemid?
4
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu: 1. Untuk mengetahui aktivitas penurunan tekanan darah melalui mekanisme diuretik ekstrak etanol daun E. riparium pada tikus jantan SD. 2. Untuk mengetahui dosis ekstrak etanol daun Eupatorium riparium yang memiliki efektivitas penurunan tekanan darah paling efektif. 3. Untuk mengetahui perbandingan aktivitas penurunan tekanan darah ekstrak etanol daun Eupatorium riparium Reg. dengan obat antihipertensi furosemid.
D.
Pentingnya Penelitian
Era globalisasi berdampak pada perubahan pola hidup masyarakat yang cenderung negatif. Perubahan pola hidup negatif dapat berakibat berkembangnya penyakit kronis seperti hipertensi, hiperlipidemia, serta diabetes melitus. Untuk mengobati penyakit-penyakit kronis, penggunaan obat tradisional menjadi daya tarik masyarakat serta peneliti. Obat tradisional digunakan secara luas dan berkembang pesat. Menurut WHO, negara- negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima (Anonim, 2002b). Obat tradisional memiliki beberapa kelemahan antara lain efek farmakologisnya lemah, bahan baku belum terstandar, belum dilakukan uji klinik, dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme (Katno, 2008 ).
5
Masyarakat lokal kawasan TNGM memanfaatkan tanaman E. riparium sebagai peluruh air seni sehingga dicurigai dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Efek antihipertensi tanaman obat tradisional E. riparium perlu diteliti. Penelitian dilakukan untuk membuktikan efek farmakologis tanaman tersebut sehingga penggunaannya sesuai dengan indikasi penyakit. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi ekstrak etanol tanaman E. riparium terhadap penurunan tekanan darah, memberikan informasi mengenai dosis yang optimum ekstrak E. riparium terhadap penurunan tekanan darah, serta dapat memacu penelitian lebih lanjut dalam rangka pengembangan E. riparium menjadi obat herbal terstandar atau fitofarmaka yang memiliki khasiat sebagai penurun tekanan darah.
E. 1.
Tinjauan Pustaka
Tanaman E. riparium Kedudukan tanaman E. riparium dalam sistematika tumbuhan adalah
sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae (Compositae)
6
Marga
: Eupatorium
Jenis
: Eupatorium riparium Reg.
Nama umum : Tekelan Nama daerah : Teklan (Sunda), Tekelan (Jawa Tengah) (Anonim, 2009a). E. riparium sering disebut masyarakat lokal di sekitar TNGM sebagai tekelan, suket irengan, atau panjiwulung. Tanaman ini berupa semak dengan tinggi 50-80cm; batang menjalar dengan bentuk batang bulat, batang yang masih muda bersegi empat, beralur, beruas dan berwarna ungu. Daun tunggal, berhadapan, bulat telur, tepi bergerigi, ujung dan pangkal runcing, permukaan berbulu halus, pertulangan menyirip, hijau muda, panjang 4-5 cm, lebar 1-1,5 cm, tangkai pendek, hijau. Memiliki bunga majemuk, malai, tumbuh di ujung batang, kelopak bentuk lonceng, mahkota bunga bentuk jarum, putih. Buah kecil, berbulu, coklat kehitaman. Biji berbentuk jarum, kecil, hitam. Akar berupa akar tunggang dan berwarna coklat muda (Anonim, 2002a). Selain di kawasan TNGM, tanaman E. riparium juga dapat ditemukan di kawasan Gunung Menoreh Samigaluh dan Tawangmangu Karanganyar (Chrystomo dkk., 2011). Tanaman E. riparium dapat dilihat pada gambar 1. E. riparium berkhasiat sebagai peluruh air seni dengan merebus ± 30 gram daun yang segar dan telah dicuci dengan 2 gelas air selama 15 menit, hasil rebusan diminum sehari dua kali ½ gelas pagi dan sore (Anonim, 2002a). Tanaman E. riparium sudah lama digunakan sebagai antimalaria, antibakteri, antifungi,
7
antiinflamasi, hepatoprotektor, antihistamin, antikanker, dan imunostimulan (Shen dkk., 2005). E. riparium mengandung germacrene D, taraksasteril palmitat, taraksasteril asetat, taraksasterol, stigmaterol, benzofuran, dan golongan kromen seperti agerotoriparin, ripariokromen, dan derivat-derivatnya (Woerdenbag, 1993). E. riparium mengandung senyawa yang diidentifikasi oleh Fakhrudin dkk. (2007) sebagai MRC-A. Ekstrak air tanaman E. riparium dengan dosis 400mg/kgBB pada tikus menyebabkan jumlah volume urin yang paling banyak jika dibandingkan dengan dosis 200 dan 800mg/kgBB dan mengandung senyawa MRC-A 0,0004% b/v (Anindyawardhani, 2012).
Gambar 1. Tanaman E. riparium (Anonim, 2002a)
2.
Metilripariokromen-A (MRC-A) Metilripariokromen-A merupakan senyawa yang pernah diisolasi dari daun
kumis kucing (Orthosiphon aristatus) dilaporkan aktif sebagai hipotensif karena mampu menurunkan tekanan darah sistolik dan detak jantung tikus jantan galur Wistar (250-300 g) yang diinduksi dengan SHRSP (Stroke-prone spontaneously hypertensive rats ) secara sub-kutan. Metilripariokromen-A menyebabkan diuretik
8
dan ekskresi ion-ion kalium, natrium, dan klorida setelah 3 jam pemberian secara per oral pada tikus yang dipuasakan. Diduga penggunaan O. aristatus secara tradisional sebagai terapi hipertensi didukung oleh aksi dari MRC-A (Matsubara dkk., 1999). Metilripariokromen-A terbukti memiliki aktivitas diuretik pada tikus dengan dosis oral 100 mg/kg. Pada dosis tersebut, volume urin meningkat 3 kali lipat sama dengan apa yang diamati pada senyawa referensi hidroklorotiazid. Jumlah ion (Na+, K+, Cl-) yang dikeluarkan dalam urin juga meningkat secara signifikan pada dosis 100. Jumlah natrium dan ion klorida pada dosis tinggi juga meningkat namun lebih rendah dibandingkan hidroklortiazid. Konsentrasi setiap ion dalam urin tidak dipengaruhi oleh MRC-A pada semua dosis, sedangkan hidroklortiazid meningkatkan konsentrasi sodium dan klorida secara signifikan (Matsubara dkk., 1999). Dari beberapa penelitian terdahulu disimpulkan bahwa mekanisme yang mendasari aktivitas diuretik dari MRC-A mungkin tidak sama dengan hidroklorotiazid (Anonim, 2010b). Dengan metode Bioassay Guided Isolation, Fakhrudin dkk. (2007) berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi secara spektroskopi senyawa bioaktif dari Eupatorium riparium sebagai MRC-A. Struktur MRC-A dapat dilihat pada gambar 2.
9
Gambar 2. Struktur MRC-A (Shibuya dkk.,1999)
Senyawa bioaktif MRC-A tidak dijumpai pada akar dan batang tetapi hanya dijumpai pada daun E. riparium. Awal terbentuknya senyawa metabolit primer yang diturunkan sampai menjadi senyawa bioaktif MRC-A terjadi di daun melalui proses fotosintesis (Chrystomo dkk., 2011). Kadar MRC-A dalam ekstrak was bensin daun E. riparium yang berasal dari kawasan Gunung Merapi sebesar 5,37% (Chrystomo dkk., 2011). 3.
Hipertensi Hipertensi adalah suatu gangguan yang merujuk pada tekanan arteri yang
meninggi dan abnormal pada sirkulasi sistemik. Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistolnya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolnya > 90 mmHg (Smeltzer dan Bare, 2004). Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia (Wade dan Cameron, 2003).
10
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik (Smeltzer dan Bare, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah (Siyad, 2011) : a. Jenis kelamin. Laki-laki pada umumnya memiliki resiko yang lebih besar menderita penyakit kardiovaskular dan renal dibanding wanita pada usia yang sama. Namun setelah menopause, peningkatan tekanan darah wanita tidak jauh dari lakilaki bahkan terkadang menjadi lebih tinggi (Reckelhoff, 2001). b. Berat badan. Peningkatan tekanan darah terjadi seiring dengan peningkatan berat badan. c. Konsumsi alkohol d. Tempat tinggal (dataran tinggi atau dataran rendah) e. Merokok f. Konsumsi garam g. Predisposisi genetik Pengaturan tekanan darah arteri dilakukan dengan mengontrol curah jantung, resistensi perifer total, dan volume darah. Tempat-tempat anatomi kontrol tekanan darah yaitu arterioli, kapasitas venul, jantung, serta ginjal. Pengaturan tekanan darah jangka pendek dilakukan oleh pusat pengontrolan tekanan darah di
11
medula oblongata melalui refleks baroreseptor. Pengaturan tekanan darah jangka panjang melibatkan sistem perkemihan pada ginjal (Benowitz, 2011). Patogenesis hipertensi melibatkan banyak faktor. Termasuk diantaranya peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer, vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi. Ginjal juga berperan pada regulasi tekanan darah melalui kontrol sodium dan ekskresi air, dan sekresi renin, yang mempengaruhi tekanan vaskular dan ketidakseimbangan elektrolit (Kaplan, 2002). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Gambaran beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah (Kaplan, 2002)
12
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output /CO) dan dukungan dari arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan atau ketahanan periferal (Kaplan, 2002). Klasifikasi tekanan darah pada manusia dewasa berdasarkan Joint National Committe (JNC) VII dapat dilihat pada tabel I.
Tabel I. Klasifikasi tekanan darah pada manusia dewasa berdasarkan JNC VII (Anonim, 2004)
Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prahipertensi Hipertensi Tingkat 1 Hipertensi Tingkat 2
Tekanan Darah Sistolik (mmHg) <120 120-139 140-159 ≥160
Tekanan Darah Diastolik (mmHg) dan <80 atau 80-89 atau 90-99 atau ≥ 100
Pada saat sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi.
Medula
adrenal
menyekresikan
epinefrin
yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal menyekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
13
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, serta menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Rubin dan Rich, 1996 ). Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder (Setiawati dan Bustami, 1995). a. Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan retensi perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium ) berlebihan, stress psikis, dan obesitas. b. Hipertensi sekunder, prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain. Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
hidroklortiazid),
beta
bloker
(misalnya
propanolol,
atenolol,)
penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya kaptopril, enalapril),
14
antagonis angiotensin
(misalnya candesartan, losartan), simpatolitik sentral
(misalnya metildopa), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alpha adrenergic blocker (misalnya doksasozin) (Siyad, 2011). 4.
Terapi hipertensi Tujuan terapi pasien hipertensi adalah target tekanan darah <140/90 mmHg,
untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) <130/80mmHg, penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, serta menghambat laju penyakit
ginjal
proteinuria.
Pengobatan
hipertensi
terdiri
dari
terapi
nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis terdiri dari : a. Menghentikan merokok b. Menurunkan berat badan berlebih c. Menurunkan konsumsi alkohol berlebih d. Latihan fisik e. Menurunkan asupan garam f. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak. Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII adalah sebagai berikut: a. Diuretika, terutama jenis thiazid atau antagonis aldosteron b. Beta Blocker c. Calcium Chanel Blocker
15
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor e. Angiotensin II Receptor Blocker (Tjay dan Rahardja, 2008). 5.
Diuretika Diuretika merupakan obat yang meningkatkan laju aliran urin. Agen ini
digunakan dalam pengelolaan edema dan hipertensi (Piascik, 2002). Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium dan air, sehingga pengeluarannya lewat kemih diperbanyak. Beberapa golongan obat diuretika, antara lain (Tjay dan Rahardja, 2008; Piascik, 2002) : a. Thiazide and thiazide-like diuretics bekerja di tubuli distal dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Diuretika golongan ini efeknya lebih lemah dan lambat, tetapi bertahan lebih lama (6-48 jam) dan terutama digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung. Contoh diuretika golongan ini adalah hydrochlorothiazide, chlorthalidone, indapamida, dan mefrusida. b. Loop diuretics or the high ceiling diuretics. Diuretika golongan ini bekerja pada tubulus proksimal, tubulus distal, dan Henle’s loop dengan merintangi transpor Cl- dan reabsorpsi Na+, serta memperbanyak pengeluaran K+ dan air. Furosemid, torsemid, bumetanid, etakrinat termasuk diuretika golongan ini. Obatobat golongan ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6 jam). c. K+ sparing Na channel inhibitors - Aldosterone receptor antagonists. Diuretika golongan ini bekerja di tubuli distal dengan menghambat penukaran ion Na+ dengan ion K+ dan -NH4 + sehingga mengakibatkan ekskresi Na+ dan retensi
16
K+. Amilorid dan triamteren termasuk diuretika penghemat kalium. Spironolakton bekerja sebagai antagonis aldosteron. Efek obat-obat ini lemah dan khusus digunakan terkombinasi dengan diuretika lainnya guna menghemat ekskresi kalium. d. Osmotic diuretics. Diuretika ini bekerja pada tubuli proksimal dengan menghambat reabsorpsi air dan juga natrium. Contoh obat golongan ini adalah manitol dan sorbitol. e. Carbonic anhydrase inhibitors. Obat golongan ini menghambat enzim karbonik anhidrase di tubuli proksimal sehingga karbonat, juga Na+, K+ diekskresikan lebih banyak bersamaan dengan air. Salah satu diuretika golongan ini adalah asetazolamid. 6.
Furosemid
Gambar 4. Struktur Furosemid (Anonim, 2009 b)
Turunan sulfonamida ini berdaya diuretik kuat dan bekerja dengan menghambat reabsorpsi ion Na+ dan Cl- pada tubulus proksimal dan tubulus distal, serta Henle’s loop (Tjay dan Rahardja, 2008). Onset furosemid per oral 30-60 menit, intramuskular 30 menit, dan intravena 5 menit. Durasi furosemid bila diberikan secara intravena berkisar 2 jam dan per oral 6-8 jam (Anonim, 2013 ). Penggunaan furosemid dapat menimbulkan efek samping yaitu gangguan saluran pencernaan yaitu mual, muntah, diare, kejang kaki, anoreksia, lemah, letih, berkeringat, dan
17
lainnya yang berhubungan dengan efek diuresia seperti deplesi kalsium, kalium, dan natrium, alkalosis metabolik, diabetes, dan nefrokalsinosis pada bayi prematur. Efek samping yang jarang terjadi yaitu syok anafilaktik, reaksi alergi, depresi sumsum tulang, pankreatitis akut, dan gangguan pendengaran (Anonim, 2012). 7.
Pengukuran tekanan darah a. Pengukuran invasif. Pengukuran tekanan darah secara invasif pada arteri
karotis dilakukan menggunakan manometer air raksa. Parameter yang dapat diukur menggunakan metode ini adalah tekanan darah arteri rata-rata. Pada pengukuran invasif, kanula yang dihubungkan pada manometer air raksa diisi dengan larutan heparin salin encer. Tikus yang akan diukur tekanan darahnya dianestesi menggunakan larutan uretan dalam natrium klorida fisiologis (Anonim, 1993). b. Pengukuran non invasif. Metode pengukuran tekanan darah non invasif dilakukan dengan menggunakan manset ekor yang dipasangkan pada ekor tikus uji. Pengukuran
tekanan
darah
non
invasif
terdiri
atas
tiga
tipe,
yaitu
photoplethysmography, piezoplethysmography, dan volume pressure recording. Pengukuran tekanan darah non invasif tipe photoplethysmography dan piezoplethysmography memiliki kelemahan yaitu tidak dapat mengukur tekanan darah diastol. Pada tipe volume pressure recording dapat diperoleh hasil pengukuran enam parameter tekanan darah secara simultan yaitu tekanan darah sistol, diastol, tekanan darah rata-rata, kecepatan denyut jantung, volume darah ekor, dan aliran darah ekor (Malkoff, 2005).
18
F.
LANDASAN TEORI
Tanaman E. riparium telah dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai peluruh air seni. Pada tanaman E. riparium Reg. telah ditemukan senyawa bioaktif secara spektroskopi sebagai MRC-A. Metilripariokromen-A dari daun O. aristatus memiliki aktivitas yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah tinggi seperti aktivitas vasodilatasi, diuretik, penurunan laju denyut jantung, penurunan tekanan darah, dan ekskresi Na+, K+, dan Cl-. Ekstrak air tanaman E. riparium Reg. dengan dosis tertentu dapat meningkatkan volume urin dan mengandung senyawa MRC-A. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan kepolaran MRC-A maka dapat dilakukan uji aktivitas penurunan tekanan darah ekstrak etanol daun E. riparium dengan menggunakan pembanding obat diuretika yaitu furosemid.
G.
HIPOTESIS
Ekstrak etanol E. riparium memiliki aktivitas sebagai antihipertensi pada hewan uji tikus jantan SD.