1
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini memiliki prevalensi yang tinggi di daerah tropis dan berdampak kerugian ekonomi yang tinggi. Kerugian yang diakibatkan oleh T. evansi ini diperkirakan mencapai US$ 22.4 juta per tahun (Ronoharjo et al., 1986). Kerugian ekonomi akibat infeksi penyakit Surra diperkirakan lebih besar daripada trypanosomiasis yang menyerang ternak di Afrika, yang diperkirakan berkisar US$ 1.3 Milyar mengingat kerugian akibat turunnya produksi daging dan susu. Di Indonesia, wabah Surra terjadi secara sporadik. Walaupun terkadang wabah terjadi lokal, namun mortalitas (kematian) ternak yang terinfeksi cukup tinggi. Gambaran lain tentang penyakit Surra di Indonesia adalah masih berlangsungnya perpindahan hewan dari daerah yang tertular Surra ke daerah yang bebas atau sebaliknya (Civas, 2014). Kerugian ekonomi akibat wabah penyakit surra di Sumba Timur pada tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp 7 milliar. Sejak penyakit surra masuk ke Sumba Timur tahun 2010 hingga 2014, tercatat ada 689 ekor kuda yang mati dan 171 ekor kerbau mati. Sementara itu di Provisi Banten telah dilaporkan terjadinya kematian 14 ekor kerbau akibat penyakit surra.
2
Secara umum gambaran penyakit ini menunjukkan adanya gejala depresi, penurunan nafsu makan, demam, anemia, ikterus dan kematian pada beberapa kasus. Aborsi dapat terjadi pada tahap lanjut atau kelahiran prematur pernah dilaporkan terjadi pada kerbau, sapi, babi dan babi rusa (Stephen, 1986). Pada Trypanosoma sp yang patogen seperti Trypanosoma evansi diselimuti oleh lapisan protein tebal yang mengandung satu jenis protein yang disebut variable surface glycoprotein (VSG). VSG bekerja sebagai immunogen utama dan mengemban pembentukan antibodi spesifik. Parasit ini mampu menghindari reaksi immun dengan mengubah variasi VSG, suatu fenomena yang disebut antigenic variation (AG) (Desquesnes et al., 2009). VSG akan membantu Trypanosoma evansi menghindari sistem imun dari host, sehingga menyulitkan dalam penanganan dan pencegahan penyakit surra. Hewan yang terinfeksi Trypanosoma evansi menunjukkan peradangan (Marques, 1996) dan protein pada fase akut meningkat sebagai respon terhadap produksi mediator kimiawi yang dilepaskan makrofag dan leukosit selama proses inflamasi dan infeksi (Kent, 1992). Karena itu kehadiran protein pada fase akut menunjukkan tingkat keparahan dari proses inflamasi dan dapat digunakan untuk diagnosa trypanosomiasis dan memahami mekanisme patogenik penyakit (Godson et al., 1996). Teknik elektroforesis dengan gel acrylamide yang mengandung sodium dodecyl phosphate (SDS PAGE) relatif mudah dan murah dan mampu mengidentifikasi konsentrasi protein yang sangat rendah dalam sampel yang sedikit (Gordon, 1995)
3
Perumusan Masalah Sampai saat ini, masih banyak ditemui permasalahan dan keterbatasan dalam diagnosa infeksi Trypanosoma evansi. Diagnosa infeksi Trypanosoma evansi (surra) sebagian besar tergantung dari identifikasi parasit. Namun, sensitifitas dari diagnosa parasitologi menjadi terbatas akibat parasitemia yang rendah pada hewan yang terinfeksi (Thuy et al., 2012). Uji diagnosa molekuler telah dikembangkan untuk menggantikan atau memperkuat diagnosa parasitologi yang telah ada sebelumnya (Desquesnes dan Davila, 2002; Thekisoe et al., 2005). Sensitifitas metode deteksi PCR mampu mencapai 10 parasit/ml darah (Desquesnes et al. 2001; Desquesnes dan Davila, 2002; Claes et al., 2004). Meskipun tehnik PCR mempunyai akurasi yang sangat tinggi, tetapi kurang sesuai untuk diterapkan di lapangan. Metode diagnosa typanosomiasis yang lain adalah suatu uji serologis yang digunakan untuk mendeteksi suatu penyakit berdasarkan reaksi antara antibodi dan antigen yang disebut ELISA (Enzym Linked Immune Sorbent Assay). Salah satu kelemahan metode ini dalam mendeteksi penyakit Surra, yaitu adanya deteksi antibodi yang sering kali terhalang akibat lemahnya spesifitas dan terjadinya reaksi silang dengan spesies Trypanosoma yang lain (Desquenes et al., 2001; Uzcanga et al., 2002). Oleh karena itu, karakterisasi protein T. evansi yang berasal dari berbagai geografis yang berbeda menjadi sangat penting untuk dilakukan. (Queiroz et al., 2001). Sejauh ini, studi tentang antigen T. evansi sangat terbatas dan hanya sedikit diketahui tentang pola pengenalan polypeptida dari antibodi yang berasal dari inang yang berbeda-beda.
4
Laha dan Sasmal (2008) menyatakan bahwa identifikasi antigen yang “common” dan potensial dari isolat yang berasal dari geografis yang berbeda merupakan studi yang menarik untuk dilakukan sehingga dapat digunakan untuk immunodiagnosis yang universal. Pengenalan antigen immunoreaktif secara kualitatif dan kuantitatif dalam antigen whole cell lysate (WCL Ag) dan direaksikan dengan serum imun atau serum hiper imun juga merupakan kebutuhan yang essensial. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil protein Trypanosoma evansi dari isolat-isolat yang memiliki perbedaan patogenitas dan daerah geografis dengan metode SDS PAGE dan Western Blotting.
Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah diketahuinya profil protein yang bersifat common immunogenik yang dapat digunakan sebagai piranti diagnostik surra di lapangan.
Keaslian Penelitian Karakterisasi protein immunogenik pada profil polipeptida T. evansi yang diisolasi dari sapi, kerbau dan kuda di India dengan menggunakan hiperimmun sera dan sera yang diperoleh dari kuda yang diinfeksi alami telah dilakukan oleh Laha dan Sasmal (2008), dimana analisis western blot untuk identifikasi protein
5
immunogenik dalam antigen whole cell lysate (WCL-Ag) yang diisolasi dari T. evansi yang berasal dari kerbau, kuda dan sapi menggunakan sera hiper imun menunjukkan adanya 11 protein immunogenik. Karakterisasi profil protein T. evansi juga telah dilakukan dengan metode SDS PAGE menggunakan sapi yang diinfeksi secara ekperimental di Brazil oleh Teixeria et al., (2012). Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya 26 pita protein dengan berat molekul antara 20 kDa sampai dengan 245 kDa. Sementara itu Queiroz et al., (2001) telah mengevalusi perbedaan pola antibodi spesifik dan pola pengenalan polipeptida pada tikus Wistar yang diinfeksi dengan T. evansi dari Brasil secara eksperimental. Setelah dilakukan analisis dengan Western blot diketahui bahwa sera tikus Wistar mampu mengenali polipeptida dengan berat molekul bervariasi antara 7 kDa sampai 200 kDa, tetapi pengenalan paling kuat terjadi pada polipeptida dengan berat molekul antara 17 hingga 57 kDa. Aquino et al., (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui pola pengenalan polipeptida oleh sera yang berasal dari hewan yang terinfeksi secara eksperimental dan alami menggunakan Western blot. Western blot menunjukkan adanya polipeptida mayor dengan berat molekul antara 74 sampai 38 kDa. Polipeptida dengan berat molekul 66, 48-46 dan 38 kDa dapat diidentifikasi oleh sera dari sapi, keledai, anjing dan coatis yang diinfeksi di laboratorium. Mereka juga menemukan bahwa polipeptida dengan berat molekul 48-46 kDa mampu diidentifikasi oleh antibodi dari sera seluruh hewan yang terinfeksi secara alami.
6
Yadav et al., (2013) melakukan identifikasi dan purifikasi protein antigen T. evansi yang bersifat spesifik dan immuno-dominan pada serum kuda yang diinfeksi T. evansi secara eksperimental menggunakan immunoblotting. Hasil mpenelitian mereka menunjukkan tiga kelompok protein dengan berat molekul 62-66 kDa, 52-55 kDa dan 41-43 kDa berhasil diidentifikasi berdasarkan reaktifitas dengan serum keledai yang terinfeksi T. evansi sampai dengan hari ke280 paska infeksi. Karakterisasi protein dan identifikasi protein immunogenik T. evansi dengan menggunakan isolat yang berasal dari hewan coba yang diinfeksikan secara eksperimen di laboratorium di Indonesia sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini belum pernah dilakukan.