BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae). Kuman ini bersifat intraseluler obligat yang menyerang saraf tepi dan dapat menyerang kulit, mukosa, mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, tulang, otot, testis, kecuali susunan saraf pusat (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990).
Manifestasi klinis infeksi M. leprae juga tergantung
respon imun individu dan bersifat dinamis. Variasi respon imun penderita lepra menunjukkan spektrum klinis yang luas dari bentuk pausibasiler (PB) pada tipe tuberkuloid (TT) sampai bentuk multibasiler (MB) pada tipe lepromatosa (LL) (Gulia dkk., 2010). Lepra masih merupakan masalah kesehatan di dunia dengan insiden tertinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (de Oca, 2011). Lepra juga masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang termasuk Indonesia walaupun Indonesia dapat mengeliminasi lepra secara nasional pada pertengahan tahun 2000 dengan catatan di beberapa daerah tertentu prevalensi lepra masih cukup tinggi (Dep.Kes R.I., 2007). World Health Organization (WHO) tahun 2001 menyatakan eliminasi lepra di dunia telah tercapai dengan prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk (WHO, 2003). Jumlah penderita baru lepra di dunia diperkirakan 720 ribu per tahun dan sekitar 2 juta orang memiliki kecacatan yang berhubungan dengan lepra (Lockwood, 2006). Kecacatan pada lepra dikaitkan dengan invasi M. leprae pada saraf dan reaksi lepra yang berhubungan dengan
1
2
respon imun dan inflamasi yang dapat merusak jaringan (Modlin dan Rea, 2008). Pada tahun 2010 dilaporkan kasus baru lepra MB sebanyak 13.734 kasus dan lepra PB sebanyak 3.278 kasus, sehingga didapatkan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 7,22 per 100.000 penduduk. Cacat derajat 2 dilaporkan sebesar 10,71% cenderung meningkat dibandingkan tahun 2009 yakni 10,37% (Kemenkes R.I., 2011). Data register Poliklinik Kulit dan Kelamin sub Dermatologi Tropis RSUP Dr. Sardjito periode Oktober 2011 sampai Oktober 2012 didapatkan 52 penderita lepra MB baru dengan 6 penderita yang mengalami ENL saat terdiagnosis dan 18 penderita selama MDT. Walaupun program eliminasi lepra secara global telah tercapai tetapi pemberantasan lepra masih dihadapkan tantangan dalam penanganan reaksi lepra. Penderita lepra dapat mengalami reaksi lepra yang merupakan keadaan akut akibat pengaruh respon imun penderita (Trindade dkk., 2010). Reaksi lepra dapat dibedakan menjadi dua yaitu reaksi tipe 1 (atau
reaksi reversal, RR) yang
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan reaksi tipe 2 (atau eritema nodosum leprosum, ENL) yang merupakan reaksi hipersentivitas tipe III menurut Coomb dan Gell (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990). Mekanisme yang mendasari reaksi pada lepra tidak jelas namun hal ini terjadi karena adanya basil lepra yang mati dan terfragmentasi yang merangsang sistem imun penderita (Trindade dkk., 2010). Eritema nodosum leprosum dapat terjadi karena adanya 3 komponen, yaitu: 1) antigen berupa M. leprae baik yang utuh atau pecahannya, 2) antibodi, dan 3) komplemen (C3 dan C4) dengan kadar yang cukup tinggi. Ketiga komponen tersebut membentuk kompleks imun.
3
Kompleks imun tersebut terakumulasi dan menempel pada pembuluh darah, jaringan, dan pembuluh limfe diikuti akumulasi lekosit yang memfagositosis kompleks imun tersebut disertai lepasnya sitokin proinflamasi. Hal ini menyebabkan terjadinya peradangan dan nekrosis jaringan (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990; Rea, 2002; Jadhav dkk., 2011). Manifestasi klinis akibat pembentukan kompleks imun tergantung pada perbandingan relatif antara kadar antigen – antibodi. Jika kadar antibodi berlebihan atau kadar antigen relatif lebih sedikit maka kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap dan menimbulkan infiltrasi hebat sel PMN, agregasi trombosit, dan vasodilatasi pembuluh darah yang ditandai munculnya eritema dan edema (Ghaffar, 2007). Pada penderita lepra tipe lepromatosa rangsangan antigen M. leprae banyak dan berlangsung lama menyebabkan terbentuknya antibodi yang berlebihan dalam sirkulasi penderita (Kahawita dan Lockwood, 2008). Eritema nodosum leprosum biasanya terjadi 50 - 75% pada lepra MB tipe BL dan LL (Burdick dkk., 2006; Balagon dkk., 2010). Reaksi ENL umumnya terjadi pada bulan ke-6 - 12 selama pengobatan, tetapi juga dapat terjadi sebelum dan setelah pengobatan (Burdick dkk., 2006; Balagon dkk., 2010). Evaluasi pengobatan dapat dilakukan dengan pemeriksaan bakteriologi (parameter bakteriologi) yaitu indeks bakteriologi (IB) dan indeks morfologi (IM) (Dep.Kes R.I., 2007).
Dengan MDT, banyak basil lepra yang mati dan hancur menjadi
pecahan kuman yang bertindak sebagai antigen di dalam makrofag dalam waktu yang lama (Brycesson dan Pfaltzgraff, 1990). Indeks bakteriologi yang tinggi pada penderita lepra MB merupakan faktor risiko untuk terjadinya ENL
4
(Pocaterra dkk., 2006; Feuth dkk., 2008; Balagon dkk., 2010). Indeks bakteriologi yang menunjukkan kepadatan BTA biasanya menurun 0,5-1 log-unit/tahun sehingga jumlah antigen M. leprae tetap dalam jumlah yang banyak pada IB yang tinggi atau pada penderita lepra MB (Linder dkk., 2008). Eritema nodosum leprosum cenderung berlangsung lama dan sering berulang menjadi kronis yaitu 62,5% kasus walaupun secara klinis dapat terjadi episode akut tunggal (8% kasus) atau multipel akut (de Oca, 2011). Eritema nodosum leprosum kronis dan rekuren dapat terjadi berbulan-bulan atau tahunan dan menyebabkan neuropati dan kecacatan (Feuth dkk., 2008). Namun bagaimana hubungan antara parameter bakteriologi dengan perjalanan klinis ENL belum pernah dilaporkan. Laporan penelitian yang menyatakan bahwa IB terkait dengan awitan ENL juga belum ada. B. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan uraian permasalahan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan antara IB awal terhadap awitan dan episode ENL pada penderita lepra BL/LL? 2. Apakah ada hubungan antara IM awal terhadap awitan dan episode ENL pada penderita lepra BL/LL? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Mengkaji hubungan antara IB awal awitan dan episode ENL pada penderita lepra BL/LL.
5
2. Mengkaji hubungan antara IM awal awitan dan episode ENL pada penderita lepra BL/LL. D. Manfaat Penelitian Apabila diketahui terdapat hubungan antara parameter bakteriologi (IB dan IM) dengan awitan dan episode ENL maka parameter bakteriologi memiliki nilai prognostik kejadian ENL pada penderita lepra BL/LL. Hasil ini diharapkan dapat menjadi dasar penatalaksanaan ENL yang lebih baik pada penderita lepra BL/LL sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup penderita. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang terkait dengan hubungan antara parameter bakteriologi (IB dan IM) terhadap awitan dan episode ENL pada penderita lepra BL/LL belum ada sejauh pencarian dengan menggunakan kata kunci parameter bakteriologi dan awitan dan episode ENL, IB dan ENL (awitan dan episode), IM dan ENL (awitan dan episode) melalui Ebsco-host, Science Direct, Cochrane, dan PubMed. Publikasi penelitian mengenai hubungan antara IB dan ENL didapatkan pada penelitian Pocaterra dkk. (2006) yang menyatakan terdapat hubungan antara IB ≥+4 dan ENL pada penderita lepra LL (odds ratio [OR] 8,4, Interval kepercayaan (IK) 95% 4,6 - 15,4, p<0,001) dan penderita lepra BL (OR 5,2, IK 95% 2,1 – 12,9, p=0,001). Namun pada penelitian tersebut tidak menilai hubungan IB dan awitan ENL, IM dan ENL, IM dan awitan ENL, atau IB dan IM terhadap episode ENL pada penderita. Publikasi penelitian tentang parameter bakteriologi terhadap awitan dan episode ENL pada penderita lepra MB di Indonesia juga belum pernah dilaporkan.